Sabtu, 19 Oktober 2013

Dear Zorro

Ilustrasi
Dear Zorro...

Tiba-tiba aku merasa rindu, sangat! Tapi bukan kepadamu, melainkan pada lorong-lorong sembunyi yang pernah kulalui saat hendak melihat senyummu. Atau pada malam-malam bertabur bintang saat aku bergerak perlahan melewati jengkal demi jengkal tanah Tuhan, untuk sampai kepadamu.

Kau tahu, berkelebat cerita di benakku kala itu. Tak sabar rasanya ingin kutumpahkan di hadapanmu. Agar kau bisa melihat seluruh warna dari "rasa" yang membulir itu. Warna dari luapa emosi karena rindu yang bertubi-tubi menghujam diri ini.

Kau lihat, bulir-bulir itu sebagiannya mengkristal, menjadi kisah dalam baitk-bait berupa puisi, prosa atau cerita-cerita. Hingga pada akhirnya kita selalu percaya bahwa rindu tak pernah jauh dari inspirasi. Kita selalu percaya bahwa inspirasi, sekalipun terlahir dari rahim ketakutan selalu memberi kekuatan. Yang mengalir dalam diri kita untuk tetap bertahan.

Tiba-tiba saja aku ingin menerobos belantara gelap, melewati remang-remang cahaya untuk sampai kepadamu. Timbunan rasa yang bertumpuk di rongga dada ini rasanya tak sanggup lagi kutahan, bagai kancing yang hendak copot. Lalu melesat. Berdenting. Untuk melahirkan irama. Ritme. Harmoni.

Kau pasti tak mengerti. Sama, aku juga ngga tahu apa yang sedang aku katakan. Tepatnya aku tuliskan. Bukankah kita memulai sesuatu dengan ketidakmengertian? Kelak, juga akan selesai dengan ketidakmengertian. Ketidakmengertian yang yang terus bergerak, memberi arti, mendewasakan. Lalu, apakah kita akan tua bersamaan dengan itu? Jawabannya hanya ada setelah lorong-lorong sembunyi itu kita lalui. Untuk kemudian berhulu pada dua pasang mata yang luruh, atau sepasang indera yang saling bertautan, atau mungkin saling menuduh.

Lorong-lorong sembunyi itu bagai memiliki magnit yang menarik kita dalam pusaran yang demikian hebatnya. Menghadirkan bukan hanya getar, tapi juga geletar. Ah, betapa nikmatnya merasai itu semua.

Dear Zorro...
Aku rindu berjalan tergesa-gesa melewati lorong-lorong sembunyi itu. Sungguh! Karena setelahnya aku menemuka muara di ujung hatimu. Dan sepetak delta tempat aku berdiri untuk terus berdiam di kehidupanmu.

~Yours~









Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)