Kamis, 28 November 2013

Puisi Persada


Senja sudah menggantung di pucuk waktu

Aku di sini masih sibuk mengumpulkan suara-suara angin

Jika jumlahnya cukup akan segera kurangkai menjadi simfoni untukmu Liana

Dengannya kau bisa menyetel harmoni

Mengiramakan detak jantung

Mengatur ritme denyut nadi

Bahkan adrenalin



Senja masih menggantung di pucuk waktu

Matahari kian memerah, sebentar lagi sempurna ia mengatup

Aku masih di sini, masih memilin suara-suara

Sebentar lagi akan menjadi irama lagu happy birthday untukmu



Aku juga akan mengumpulkan bunga-bunga rumput

Kutiup rasa paling dalam dari diriku agar bunga-bunga itu semerbak

Kupercikkan rindu paling dalam agar bunga-bunga itu beraneka warna

Kupercikkan harapan paling harap agar bunga-bunga itu terus hidup

Di hatimu

Di ingatanmu

Di kalbumu

Di hidupmu



Ah, Liana, senja telah tiba

Tajamkan telingamu, dengarlah denting paling harmoni ini

Buka tanganmu, genggam bunga ini

Buka hatimu, terimalah sebagai sebuah ketulusan



Lihat mataku, dan juga gerak bibirku

Aku sedang mengatakan selamat ulang tahun kepadamu

*Sebuah puisi untuk Ibu Liana Persada

Rabu, 20 November 2013

Iklan Gita dan Caleg Facebook

print screen
Pemilu 2014 masih lama. Kita juga masih hidup di tahun 2013. Tapi, maaf, bau 'amis' politik mulai tercium. Ada yang samar-samar, hanya tercium jika ada 'angin' yang membawanya. Ada pula yang terang benderang, seterang lampu petromak di malam gulita. Tak heran jika semua mata tertuju ke lampu atau sumber bau 'amis' itu. 

Beberapa hari ini ada yang berbeda jika saya membuka halaman Kompasiana. Yaitu wajah pak Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan yang tiba-tiba ngablag begitu besarnya hingga bikin kaget. Untung saja cuma foto, kalau beneran orangnya pasti sudah pingsan karena terpesona :-D. 

Wajah besar pak menteri pelan-pelan akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa detik. Jika tak sabaran menunggu sampai hilang sendiri, jangan ragu untuk tekan tanda skipp di pojok kiri atas gambar.  

Rupanya bukan saya saja yang terganggu dengan iklan besar pak menteri, ada Kompasianer lainnya bahkan membuat sebuah artikel yang meminta agar Gita sebaiknya menulis saja di sana, alias menjadi Kompasianer, seperti yang dilakukan Yusril Ihza Mahendra dan Jusuf Kalla. 

Tapi rupanya, Gita yang tak lain adalah calon presiden konvensi Partai Demokrat untuk pemilu 2014 lebih senang beriklan daripada berinteraksi lewat tulisan dengan para Kompasianer lainnya. Bukan hanya memasang iklan di media yang berskala nasional saja, Gita juga memasang iklan di media lokal. 

Minggu, 17 November 2013

Behind the scene resensi "Ibu Dalam Sekeping Cerita"

Behind the scene resensi "Ibu Dalam Sekeping Cerita"
Kamis 14 November 2013 kemarin resensiku yang berjudul "Ibu Dalam Sekeping Cerita" dimuat di Koran Jakarta. Merasa cukup surprise juga karena resensi itu baru kukirim pada Selasa 12 November. Artinya resensi itu dimuat hanya berselang dua hari setelah pengiriman.

Yang bikin aku lebih surprise lagi karena itu resensi perdana yang kubuat dan kukirimkan ke media. Jadi saat tahu resensi itu sudah tayang, senangnya bukan main. Senyum-senyum terus :-) Apalagi salah seorang temanku bela-belain ngirim pemberitahuan di wall facebook-ku. Di grup facebook Forum Lingkar Pena, aku malah diberi selamat. Padahal aku sama sekali bukan anggota grup itu heheheee.... Tapi ini semacam berkah nepotisme karena aku mengenal beberapa dedengkot di forum tersebut. Thx untuk Ferhat.

Ngomong-ngomong soal bikin resensi, ini memang "dunia" baru buatku. Baru banget, karena seumur hidup baru dua kali aku membuat resensi. Meski sudah lama menulis, selama ini aku hanya tertarik bikin cerpen, puisi atau prosa. Tidak yang lainnya. Mungkin belum kali yaa...

Jumat, 15 November 2013

Ibu dalam sekeping cerita [Koran Jakarta]

Judul buku : Ibu dalam Diriku
Penulis : Mitsalina Maulida Hafidz dkk
Penerbit : Gigih Pustaka Mandiri bekerjasama dengan Linikreatif Publishing
Tebal : x 135 halaman
ISBN : 978-602-17414-4-3 
Tahun terbit : 2013

Kehidupan seorang anak tanpa sosok ibu tentu gelap, tak berpengharapan. Tanpa menafikan peran ayah, nyatanya ibu lebih besar dalam proses tumbuh kembang anak. Ikatan emosional antara ibu dan anak yang terjalin sejak dalam kandungan berdampak hingga dewasa.

Begitulah makna tersirat dalam 15 cerpen dalam antologi cerita Ibu dalam Diriku. Kelima belas penulis dari berbagai latar belakang mampu mengemas tema-tema sederhana menjadi menggugah dan sarat makna. Mereka memadukan diksi dan narasi yang mengagumkan.

Kumpulan cerpen yang ditulis Mitsalina Maulida Hafidz dan kawan-kawan ini menggunakan gaya bahasa sederhana, tapi lugas, sehingga tak membuat monoton meskipun tema yang diangkat sangat umum. Melalui tulisan ini, pembaca diajak merenung, tanpa berpegang pada seorang ibu, manusia akan meraba-raba dalam menjalani kehidupan.

Mitsalina, dalam tulisan "Menunggu Jingga", menggambarkan narasi yang memesona, mewakili cerpen-cerpen lainnya. "Aku ingin seperti ibu. Selalu tegar berdiri meski hati sering tersakiti. Aku ingin seperti ibu. Selalu mantap melangkah meski dirundung banyak masalah. Aku ingin seperti ibu. Sungguh, aku ingin, Bu" (halaman 52).

Selasa, 05 November 2013

Taare Zameen Par, setiap anak adalah "bintang"

@internet
SUDAH dua kali saya menonton film  Taare Zameen Par atau Like Star on Earth. Dua kali pula saya menangis. Ini di luar kebiasaan, sebab saya bukan orang yang mudah menitikkan air mata, apalagi hanya untuk sebuah film. Tapi film yang dibintangi Aamir Khan dan Darshel Safary ini benar-benar beda, mengaduk-ngaduk emosi. Masuk hingga ke jiwa.

Film ini bercerita tentang bocah berusia 8-9 tahun (Darshel) yang menderita dyslexia. Dia kesulitan mengenal huruf, misalnya sulit membedakan antara "d" dengan "b" atau "p". Dia juga susah membedakan suku kata yang bunyinya hampir sama, misalnya "Top" dengan "Pot" atau "Ring" dengan "Sing". Bukan hanya itu, dia juga sering menulis huruf secara terbalik. Kondisi ini membuat saya teringat pada masa kecil, di mana saya juga sering terbalik-balik antara angka 3 dengan huruf m.

Akumulasi dari "kesalahan" tersebut membuatnya tak bisa membaca dan menulis, nilai-nilai ulangannya selalu buruk. Semua guru di sekolah mengeluhkan perilakunya; tak pernah fokus saat belajar, tak bisa membaca, suka membuat ulah. Dan hukuman merupakan menu sehari-hari yang diterimanya di sekolah. Sang guru dibuatnya kehabisan akal. Bahkan kedua orang tuanya merasa kehabisan cara dalam mendidik putra bungsunya itu.

Tapi, apakah benar Dharsel yang berperan sebagai Ishaan sedemikian buruknya?