Sabtu, 28 Desember 2013

(Membunuh) Anak di Depan TV

foto dari google
DI hari Sabtu -karena tidak bekerja- saya sering memanfaatkan waktu untuk memasak, membaca buku/novel, menonton, dan tidur. Itu saya lakukan jika tidak ada kegiatan lain di luar rumah. Aktivitas pagi hari saya awali seperti biasa dengan bersih-bersih rumah. Setelah itu sembari menunggu jadwal masak saya manfaatkan untuk tidur-tiduran sambil menonton TV. Program favorit saya adalah saluran TVRI yang mengusung selogan Saluran Pemersatu Bangsa.

Sebelum mengenal saluran lain saya sudah mengenal TVRI sejak seperempat abad silam. Siarannya yang pernah menjadi favorit saya adalah Keluarga Cemara, Haryati, Combat dan telenovela Hati Yang Mendua. Nah, menonton TVRI di hari Sabtu adalah upaya saya untuk menghadirkan kenangan di masa lalu.

Pagi tadi misalnya saya menonton program Pelangi Anak Nusantara. Program ini menarik, menyiarkan cerita anak-anak suku Mandar di Polewali, Sulawesi. Pengetahuan saya tentang keragaman bangsa ini pun bertambah. Setelah itu saya melanjutkan menonton siaran Anugerah Pariwisata untuk Wartawan (bukan judul asli) oleh Kementerian Pariwisata di chanel yang sama. 

Setelah dua program di TVRI berakhir, saya mengalihkan ke chanel lain. Sayangnya tidak ada satu pun tayangan yang menarik hati saya. Akhirnya saya tekan off di remote lalu tidur. Belum lagi mata ini terpejam bibi saya muncul. Ia mengira listrik padam sehingga TVnya mati. Saya katakan saya sengaja mematikan TV karena tidak ada tayangan yang jelas.

"Masak tidak ada yang bagus? Ada kabar gosip, tentang Dewi Perssik." katanya.
"Alah biasa paling cuma cari sensasi saja," jawab saya sekenanya. TV masih belum saya nyalakan kembali.
"Ini gosip lain. Dewi Perssik nantangin umi..."

Umi yang dimaksud adalah salah seorang ahli pengobatan alternatif tempat Dewi Perssik pernah berobat. Saya tak berniat membantah, TV saya nyalakan kembali. Beruntungnya acara gosip belum tayang jadi saya bisa memilih tayangan alternatif lainnya.

Bibi saya adalah seorang ibu muda dengan tiga anak, yang tua sekarang kelas 2 SMP, yang kedua kelas 6 SD dan yang bungsu masih tujuh bulan. Tiga tahun terakhir ini saya menumpang di rumahnya, jadi hak veto soal remote TV mutlak ada di tangannya. Saya punya kesempatan nonton tayangan yang saya suka kalau dia tidak ada. Soal tontonan kami memang beda selera. Beberapa tayangan yang saya sukai dia tidak sukai. Misalnya tayangan Ring of Fire.

Tayangan gosip dan hiburan paling disukainya. Mulai dari kasus Raffi Ahmad, kematian Uje, Ustad Solmed, Dewi Perssik, Syahrini, dll, selalu diikutinya. Darimana saya tahu? Tentu saja dari 'laporannya' saat saya pulang. Seringkali saya bengong mendengar cerita-ceritanya. Betapa up to date-nya bibi saya ini. "Kamu kan wartawan, masak ngga tahu sih..." beberapa kali ia pernah menyinggung profesi saya. Menanggapi hal seperti ini paling-paling saya cuma tersenyum. Dalam hati saya berucap "Saya bukan wartawan gosip! Dan tidak suka bergosip"

Program lainnya yang ia sukai adalah Y*S yang menurut saya tak layak ditonton. Betapapun konyolnya sikap Caesar dkk, bibi saya tetap menyukainya. Mungkin juga ibu-ibu lainnya di seluruh Indonesia. 

Sebenarnya keputusan untuk menonton itu hak prerogatif bibi saya. Sama seperti saya yang memutuskan untuk mematikan TV, dia juga berhak untuk terus memantau siaran TV. Hanya saja menurut saya ada beberapa dampak buruk dari hoby menontonnya yang tanpa jadwal itu. Misalnya, si adek yang masih kelas 6 SD jadi tidak malas belajar. Di lain waktu kadang-kadang ia jadi tidak peduli pada dapur. 

Sampai semalam bibi saya masih menyuruh anak-anaknya untuk belajar. Terutama yang lelaki dan masih kelas 6 SD itu. Menurut bibi saya anak keduanya ini 'bandel' dan 'tidak penurut'. Sering saya mendengar ia mengomel karena anaknya ngga mau belajar, pelajaran di sekolah nilainya jelek, dan sikapnya yang sering ngeselin. Apalagi menjelang tahun kelulusan seperti sekarang.

Lha, gimana mau belajar serius kalau belajarnya di depan TV. Sementara si anak sibuk sama buku pelajaran, ibunya malah ngakak-ngakak melihat ulah Caesar. Kalau anaknya bertanya si ibu tanpa sadar menjawab "Sebentar", "Sebentar". Kalau anaknya terus-terusan bertanya, atau dia ikut-ikutan menonton diam-diam ibunya akan menceramahi si anak. Nah, kalau sudah seperti ini si adek biasanya ikut-ikutan marah. Dia masuk ke kamar sambil membanting pintu lalu tidur (mungkin).

Inilah yang tidak pernah dilakukan ibu saya dulu. Dulu saat saya masih SD, di rumah kami hanya ada TV hitam putih ukuran 14 inc. Sangat kecil, hanya sekotak kardus mie instan. Setiap malam ibu tak pernah absen mengajari saya membaca, berhitung dan menulis. Menariknya, meski rumah kami sangat kecil, ibu tak pernah mengajari saya di depan TV, apalagi dalam kondisi TV menyala. Saya selalu belajar di kamar, dinding kamar yang terbuat dari tripleks dimanfaatkan ibu sebagai papan tulis. Inilah yang agaknya lupa dilakukan bibi saya. Jarang sekali saya melihat ia mendampingi anak-anaknya belajar. Jika tak sedang menonton, ia sering ngumpul bersama tetangga di teras rumah. Menjelang pukul sebelas malam baru masuk. 

Akhir-akhir ini, sejak kelahiran anak bungsunya saya melihat 'ancaman' lain. Betapa tidak, dalam hitungan bulan si bayi mulai diperkenalkan dengan program TV. Sebelum berangkat kerja saya sering melihat si bayi didudukkan dalam grek dan diletakkan di depan TV. Mata kecilnya mengerjap-ngerjap melihat tayangan Dahsy** di RCT* yang tidak dimengertinya. Saya membayangkan betapa ngerinya kondisi ini. Apakah dia akan mengikuti jejak ibunya sebagai pencinta TV?

Sering saya melihat para ibu menidurkan anak-anaknya dengan iringan musik dan lagu-lagu yang tak pantas. Sering pula saya mendapati mereka 'menyogok' anaknya dengan berbagai tontonan agar si anak tidak main di luar rumah. Di lain waktu saya melihat seorang ibu memarahi anaknya gara-gara tayangan yang vulgar, sementara si anak mencuri-curi lihat di balik jari renggang yang menutup matanya. Ah ibu, mengapa tidak kau matikan saja TV itu?

Padahal kita sama-sama tahu  sedikit sekali tayangan televisi yang mendidik di jam-jam utama. Kebanyakan acara hiburan, gosip, dan ftv tanpa value sama sekali. Tayangan-tayangan yang menjual kelucuan di luar batas wajar, celaan, perkelahian, konsumtif dan hedon. Saya juga teringat pada bibi saya yang sering marah-marah karena anaknya minta dibelikan produk-produk seperti yang di iklan televisi. Tanpa sadar orang tua telah 'membunuh' anaknya sendiri.[] 
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

4 komentar:

  1. ponakan saya gak dikasi nonton tv sama ibunya, kalopun nonton tempat orang selalu diawasi langsung..

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini contoh yang bagus Yudi, memang seharusnya begitu, tapi banyak orang tua yang lalai

      Hapus
  2. iya benar kali Han.. acara TV sekarang byk nggak mendidik. tapi orang2 televisi selalu berasumsi, memang acara beginilah yg paling disenangi penonton Indonesia. Entah siapa yang salah Tapi menurutku, televisi juga membentuk selera penonton. Coba mereka bat acara kualitas yg tayang di jam prime time, sedikit byk kurasa selera penonton juga berubah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. durasinya juga minta ampun dah, sampai 4 jam gitu, ngalahin konser dan film India, amit-amit

      Hapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)