Rabu, 08 Januari 2014

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

wikipedia
Pengarang: HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
Bahasa : Bahasa Indonesia, Melayu
Genre : Novel
Penerbit : Bulan Bintang
Tanggal    : 1938
Halaman : 224 (cetakan ke-22)
ISBN : 978-979-418-055-6 (cetakan ke-22)

++++++

TENGGELAMNYA Kapal Van Der Wijck. Judul buku ini tidak asing lagi bagi saya. Sejak tahun 90-an saya sudah mendengar namanya. Saat itu roman itu terkesan sangat berat bagi saya sehingga terlewatkan begitu saja.

Jelang akhir 2013 buku ini kembali ramai dibicarakan. Tak lain setelah Ram Soraya mengangkat kisah haru birunya ke layar lebar. Setelah melihat trailernya, saya pun 'kelimpungan' dan sangat ingin membacanya. Beruntung, seorang teman mau meminjamkan buku pinjamannya kepada saya. Rasanya tak sabar untuk segera melahap dan menghabiskan halaman demi halaman novel mega bestseller itu.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menceritakan kesatiran hidup tokoh utamanya Zainuddin. Pemuda itu berayahkan seorang Minang dan ibu seorang Bugis. Ia telah yatim piatu sejak kecil dan diasuh oleh seorang ibu angkat. Setelah dewasa Zainuddin yang merasa keturunan Minang merasa perlu mencari kampung asal ayahnya. Maka dengan menumpang kapal laut mulailah ia berlayar dari Sulawesi melintasi Jawa hingga sampai ke Sumatera untuk mencari Kota Batipuh di tanah Minangkabau.


Sampai di sini saya masih menganggapnya sebagai prolog. Karena perjuangan Zainuddin yang sebenarnya baru dimulai setelah ia sampai di Minang. Namun pencariannya kini tentang jati diri, yang sampai akhir cerita tak juga ditemukannya. Kita semua tahu adat Minang memakai sistem matrilineal yang menentukan garis keturunan berasal dari ibu. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia bahkan dunia yang umumnya menggunakan garis keturunan patrilineal.

Inilah yang membuat Zainuddin terkatung-katung di belantara Minang. Di Minang, ia dianggap sebagai orang Mengkasar. Di Mengkasar ia dianggap sebagai orang Minang. Kondisi tanpa status yang diistilahkan dengan tak bersuku dan berninik mamak ini membuat Zainuddin bagai orang buangan di tanah kelahiran ayahnya sendiri. Ia tak 'dianggap' bahkan oleh bako-nya (kakek) sendiri.
cover versi film @21cineplex

Di tengah kondisi terombang-ambing seperti ini Zainuddin bertemu dengan Hayati. Pertemuan ini tak hanya menerbitkan cinta di hatinya tapi juga semangat hidupnya. Terutama keinginannya untuk terus tinggal di Minangkabau. Zainuddin seperti menemukan pijakan kakinya untuk bertahan. "Sejak Zainuddin berkenalan dengan Hayati, dia tidak merasa sunyi lagi di Tanah Minangkabau yang memandangnya orang asing itu." (Hal. 30).

Zainuddin digambarkan sebagai pemuda yang bersahaja, besar rasa ingin tahunya tentang ilmu dan pendidikan. Tutur bahasa dan prilakunya bagus. Inipula yang membuat Hayati jatuh hati pada pemuda tak bersuku itu. Namun adat istiadat yang kental membuat hubungan mereka putus di tengah jalan. Keluarga besar Hayati menilai kemenakan mereka itu lebih cocok menautkan hubungan dengan Aziz, pemuda Minang kaya raya asal Padang Panjang yang telah 'menyerobot' Hayati dari Zainuddin dengan limpahan hartanya. Namun yang paling menyakitkan Zainuddin adalah pengakuan Hayati bahwa ia memilih Aziz bukan karena terpaksa.

Waktu terus bergulir. Zainuddin diusir secara halus dari Batipuh, pemuda itu lantas pergi ke Padang Panjang. Turut serta bersamanya luka patah hati yang menganga lebar. Di sana ia menumpang di rumah seseorang yang baik hati namun memiliki seorang anak lelaki seorang parewa (sekelompok orang-orang muda yang tak mau mengganggu kehidupan kaum keluarga. Mereka bergantung hidup dari judi, menyabung, dll. Tetapi pergaulan mereka luas dan ahli pencak silat).

Dari parewa bernama Muluk itulah Zainuddin banyak belajar tentang hidup dari sisi yang lain.  Kepada Muluk diceritakannya seluruh kisah hidupnya; tentang ayahnya yang dibuang ke Mengkasar, ibunya yang seorang Daeng, statusnya yang tak bersuku dan berninikmamak, sampai pinangannya kepada Hayati yang ditolak mentah-mentah. Zainuddin bercerita tentang rasa putus asanya. Di luar dugaannya, Muluk malah memberinya banyak pencerahannya. Ia disarankan pergi ke Jawa dan menuliskan semua pengalaman hidupnya dan dikirimkan ke surat kabar.

Berbekal harta warisan dari Mengkasar berangkatlah keduanya ke Jawa. Singkatnya di Jawa Zainuddin berhasil menjadi penulis besar yang termasyur. Karya-karyanya disukai dan tersebar hingga ke berbagai daerah termasuk Minangkabau. Hayati merupakan salah seorang penggemar cerita-ceritanya yang ditulis dengan nama samaran leter Z.

Beberapa waktu kemudian Hayati dan Aziz pindah ke Surabaya. Di ibu kota Jawa Timur itu sepasang suami istri itu ditakdirkan kembali bertemu Zainuddin. Namun kelicikan Aziz tetap saja belum berubah, perubahan strata sosial Zainuddin jadi incarannya. Tatkala ia kesulitan uang karena kalah judi, tak pelak Zainuddin jadi tumpuannya berhutang. Di pengujung kisah keduanya menumpang di rumah Zainuddin. Di rantau kesenangan Aziz tak berlangsung lama, sikap suka foya-foya, berjudi dan main perempuan mengantarkannya pada keputusan untuk bunuh diri.

Tinggallah Hayati seorang diri yang masih menumpang di rumah Zainuddin. Berbekal surat cerai dari suaminya Hayati berusaha mendapat kembali cinta Zainuddin. Sayangnya Zainuddin terlanjur sakit hati. Ia tak percaya lagi pada ucapan Hayati. Atas inisiatifnya pula Hayati kembali dipulangkan ke Padang dengan menumpang kapal Van Der Wijck. Naas, kapal itu malah tenggelam. Belakangan Zainuddin sadar bahwa sumber kehidupannya adalah Hayati. Ia menyesal. Tak lama kemudian Zainuddin juga meninggal dunia karena menahan beban psikologis.

Awalnya saya mengira cerita ini mirip-mirip dengan Titanic; yang keseluruhan alur ceritanya dihabiskan di kapal. Ternyata saya keliru, tragedi tenggelamnya kapal hanya diceritakan sedikit saja di bab-bab terakhir dalam judul Surat Hayati yang Penghabisan. Bahkan eksplorasi mengenai sebab akibat tenggelamnya kapal hanya disampaikan lewat 'bahasa' koran (Hal. 201).

Inilah yang saya suka, tenggelamnya Van Der Wijck yang menewaskan Hayati hanya klimaks dari kesengsaraan bertubi-tubi kedua tokoh di atas. Sad ending seperti ini, meski tak terlalu disukai pembaca tetapi sangat menyentak dan begitu membekas. HAMKA dengan hak prerogatifnya sebagai penulis (seolah) tak ingin memanjakan pembaca dengan cerita-cerita indah yang terkadang jauh dari kesan logis.

Narasi dalam novel ini jauh lebih kuat dan greget dibandingkan novel sebelumnya yang saya baca; Di Bawah Lindungan Ka'bah. Tidak cengeng tapi mampu membuat air mata menitik. Tidak bertele-tele, menggugah dan mampu mengaduk-ngaduk emosi. Juga hati. Meski yang diangkat tema cinta namun pilihan diksinya benar-benar berkarakter. Hingga di bab terakhir pesan-pesan moral yang ingin disampaikan HAMKA lewat penokohan Zainuddin tak melenceng sedikitpun. Rentetan cerita yang dikemas dalam alur maju tak membuat kita bingung saat membaca novel setebal 224 halaman ini. Dialog-dialog antara Zainuddin dan Hayati lebih banyak diceritakan dalam bentuk surat menyurat.

Membaca novel karya HAMKA ini, jujur saja memberikan sensasi lain di hati saya. Saya menemukan kesejukan, ketenangan dan kedamaian. Dialog dan narasi yang dibangun jauh dari kesan menggurui dan menceramahi. Padahal HAMKA (dengan statusnya sebagai ulama) bisa saja melakukan itu. Taste-nya berbeda dengan novel bernafaskan islami lainnya yang pernah saya baca.

Terlepas sudah digarap ke layar lebar atau tidak, novel ini patut dibaca. Bukan sekedar untuk memuaskan hasrat kita pada karya sastrawi. Tetapi juga untuk mempelajari nilai-nilai kehidupan. Banyak kebiasaan yang dipaparkan dalam novel ini agaknya masih bertahan hingga sekarang. Contoh kecilnya perbandingan harga diri seseorang dengan kekayaan yang dimilikinya.

Untuk karya yang dibuat tahun 1938, rasanya novel ini jauh dari kesan cacat. Melainkan ada sedikit saja keikutsertaan penulisnya dalam alur cerita. Namun itu tak sampai membuat pembaca hilang fokus dan terganggu. Sampulnya juga sangat sederhana namun dengan keterbatasan sarana masa itu, semua itu menurut saya bisa dimaklumi. Terakhir, membaca novel ini benar-benar membuat saya terinspirasi. Selamat mengarungi Van Der Wijck lewat sebuah novel.[]
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

11 komentar:

  1. Saya belum baca, belum nonton juga. Jadi penasaran. Keren, kak resensinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih Neida sudah berkunjung, kabarnya filmnya sangat keren

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Tapi, beberapa kabar angin itu mengatakan bahwa, tak pantas novel Hamka itu ber-cover seperti yang kita lihat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya Pilo aku setuju dalam hal ini, novel ini menurutku bergenre Islami, tp ya begitu untuk menarik visual :-)

      Hapus
  4. Sebenarnya gue yang main film di situ. Hohohohohooo

    BalasHapus
    Balasan
    1. wow..mantap kali, ternyata pemainnya Alvawan :D

      Hapus
    2. bisa jadi kalau hayatinya ihan nurdin. :D

      Hapus
  5. Nanti kalau udah edar dvdnya coba tonton, Mbak. Sewaktu Zainuddin 'menolak' Hayati itu emosinya dapat banget diperankan Herjunot. Kalau menurut saya sih. Saya terbawa emosi juga :D

    BalasHapus
  6. Filmnya memang sangat menggugah, saya belum membaca versi novelnya.

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)