Jumat, 28 Maret 2014

Ziarah Rasa

Dua belas jam. Aku tau itu bukan waktu yang lama. Tapi aku merasa perjalanan ini bagai setahun. Mungkin lebih. Aku disergap jenuh yang bertubi-tubi. Berbagai kecamuk keinginan melabirin di ruang ingat. Aku ingin waktu membawaku lebih cepat ke kotamu.

Semakin deru itu melaju semakin kubaui aroma kotamu yang sibuk. Tapi bersamaan dengan itu ketakutan paling maha terus melesakku. Aku menatap ke luar jendela. Membuang pandang ke langit paling biru di ujung langit. Tetapi hatiku tetap kelabu. Muram tak dapat kutolak. Apa yang kucari di kota itu tanpamu. Hari ini adalah penyempurnaan dari segala benci yang kurasa untuk sebuah perjalanan.


Lelah. Marah. Tapi akhir dari perjalanan itu membawaku ke hadapanmu. Kau begitu kaku. Tak lagi dapat menyunggingkan sepotong senyum. Sepasang sayap yang tiba-tiba saja berhenti mengepak. Atau mata yang entah mengapa berhenti berbinar, atau berkedip jenaka.

Aku tak bisa berteriak. Sekalipun sangat ingin menggugat. Aku hanya bisa menatap nanar pada gundukan tanah yang aku tahu ada jasadmu di dalam sana. Hari ini adalah puncak di mana sedih tak perlu diberi nama. Jika ini soal takdir, maka selama ini takdir kita tak pernah bernama bukan? Maka itu aku tak ingin memberi makna atas kehilangan ini.

Kau pernah bilang, kau ingin sekali mempunyai kebun anggrek yang luas. Tapi kini Tuhan memberimu kebun kemboja yang begitu luas. Aromanya begitu semerbak. Tapi juga mistis. Menusuk indera paling rasa dalam diriku. Mengingatkanku pada celotehmu yang selalu menembus naluriku.

Lihatlah, kemboja itu meliuk-liuk. Bunganya putih bersih bercampur kuning. Daun-daunnya begitu lebat. Tidakkah itu jadi teman yang indah di kebun ini? Di titik paling nadir ini, aku ingin sekali menjadi kemboja. Yang kuntum atau daun-daunnya berguguran di atas gundukan tanah yang menaungimu. Aroma yang menyelinap ke pusaramu. Bersama desau angin yang bergemerisik mengirimkan pesan-pesan.

Aku mengambil segenggam tanah kemudian menaburkannya ke udara. Seperti inilah hatiku sekarang. Tak terbentuk. Bukan lagi sekedar remuk. Angin telah menghilangkan serpihan-serpihannya. Purnama yang akan datang pun tak mampu mengutuhkannya kembali.


Aku ingin kau ada untuk menyeka kelopak mataku. Aku ingin kau melihat betapa lelah dan perihnya kerjapan demi kerjapan ini. Hati yang basah tak akan pernah kering lagi. Mata yang sembab akan melahirkan cerita hilang paling lara. Rapuh. Apakah aku seperti pohon dengan ranting-ranting yang kurus dan kering? Apakah aku seperti pasir-pasir yang mudah takluk pada angin? Tidak. Kau selalu mengajarkanku agar selalu menjadi karang yang kuat. Kepergianmu adalah hempasan ombak paling dahsyat yang menghantam.[]


Taman Kemboja, 25 Maret 2014
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

1 komentar:

  1. Mengusik kerinduanku pada "laki2 agung" yang bersemayam sejak 11 tahun silam..

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)