Kamis, 03 April 2014

Ada Pangeran Kodok Dalam Diriku

ilustrasi 

Pagi tadi waktu bangun tidur, dada tiba-tiba terasa berat saat bernafas. Korongkongan terasa perih dan panas. Suara pun tiba-tiba berubah sangat macho. Laki banget deh pokoknya. Ini jelas bukan efek merokok, karena aku tidak merokok. Ini cuma gejala penyakit lama yang sesekali bertandang ke empunya badan. Memang, sejak sore kemarin aku merasa tak nyaman dengan kondisi badanku.

Sakit? Sakit apakah itu?

Bengek! Pernahkah kalian mendengar nama penyakit ini? Menurut orang-orang ini penyakit yang tidak keren. Istilah medisnya asma atau sesak napas. Walau tidak keren, ini penyakit sangat bikin tersiksa, bikin megap-megap kalau lagi kambuh. Tapi syukurlah yang kurasakan sekarang tidak separah dulu.

Yap, dulu, waktu aku masih duduk di sekolah dasar, bengek adalah penyakit langgananku. Saking seringnya, penyakit lain pun enggan mengampiriku. :-D Hidupku tergantung dari obat-obatan. Kalau waktu itu aku sudah bisa berfikir normal mungkin aku akan berfikir bahwa hidupku tak berumur panjang. Ayah dan ibu tak pernah berhenti mencari obat terbaik demi kelangsungan hidup anaknya ini.

Selain mengonsumsi pil, sirup, obat bubuk, dan semua obat racikan rumah sakit. Aku juga meminum jamu dan ramuan herbal. Pokoknya apa yang orang sarankan ibuku pasti akan membeli atau meracik sendiri obat-obatan itu. Pernah saking sudah bosannya minum obat, obat-obat yang disodorkan padaku tidak kuminum. Tapi kulemparkan ke belakang rumah dari balik dinding. Hanya ayah dan ibu yang terheran-heran mengapa aku tak kunjung sembuh. Padahal sudah sekantong plastik obat-obatan kuminum.

Bagi anak kecil yang la saja belum tahu waktu itu. Pil-pil, sirup yang rasanya aneh, atau obat bubuk yang amat sangat pahit itu sungguh menakutkan. Tapi dalam kondisi terburuk sekali pun selalu ada pilihan bukan? Aku memang sengaja memilih obat-obat itu daripada harus menerima suntikan. Aku takut jarum suntik. Sampai sekarang, meski badanku sudah gede.

Aku menderita setiap kali minum obat, kadang sampai terbatuk-batuk, keluar air mata, tapi demi bisa kembali bersekolah dan bermain bersama teman obat-obat itu mau tak mau harus kuminum.

Kata ibu sejak kecil aku memang sudah bengekan. Saat sekolah aku sering libur karena sering sakit. Kalau sudah sakit bisa sampai semingguan. Aku cuma bisa tidur di rumah dengan napas ngik ngik ngik, berat, sakit, menyiksa. Ada ayah dan ibu yang ikut tersiksa melihat penderitaanku. Kalau sudah sakit ibulah yang akan menggendongku kalau mau ke mana saja.

Karena penyakit ini pula ayah jadi protektif sama aku. Aku tidak boleh panas-panasan, tidak boleh main hujan, tidak boleh terlalu capek (banyak aktivitas). Anehnya penyakit itu sering datang otomatis. Misalnya siangnya aku main hujan, malamnya pasti langsung sakit. Awalnya demam, ujung-ujungnya bengek. Hufff.....

Alhasil aku sering curi-curi kalau ingin main hujan. Baru main hujan kalau ayah sedang tak di rumah. Setelah puas main hujan buru-buru tidur. Begitu ayah pulang, beliau akan mengira aku tidak bermain hujan hari itu. Anak sekecil apa pun pasti punya cara untuk menyelesaikan masalahnya sendiri bukan?

Karena itu juga ayah tak pernah memenuhi permintaanku waktu aku merengek-rengek minta dibelikan sapi. Katanya, tak punya sapi saja selalu bengekan. Apalagi nanti kalau sudah ngurus sapi :-D. Tapi belakangan, beberapa tahun kemudian ayah membelikannya juga. Dan akhirnya aku bisa menggembala bersama teman-teman.

Lalu, bagaimana ceritanya aku sembuh?

Ah, ini perjalanan yang amat panjang. Bengek yang telah membuat ayah dan ibuku frustasi. Waktu itu mungkin aku sudah kelas lima atau kelas enam SD. Ada seorang tetangga, namanya Bik Legini, menyarankan pada ibu agar aku diberikan  kodok. Ya, aku sering mendengar kalau kodok berkhasiat untuk kesehatan.

Karena tak tahu lagi harus memberi obat apa, ibu pun mencoba saran itu. Maka hari itu, pergilah ibu ke sumur. Ia mencari seekor kodok yang menurutnya sudah memenuhi kriteria. Kodok itu pun ditangkap, disembelih, dibersihkan, lalu diambil bagian pahanya. Setelah diberi bumbu paha ini dibalut ke hati ayam lalu digoreng. Selanjutnya bisa ditebak, paha kodok goreng itu dihidangkan untukku. Akupun menyantapnya dengan lahap nyam nyam nyam...... Cerita ini aku tahu bertahun-tahun kemudian, setelah bengekku sembuh.

Sejak diberi paha kodok itu penyakitku memang tak pernah kambuh separah dulu lagi. Tak lama kemudian aku lulus SD dan melanjutkan SMP. Aku kost di kota. Sejak saat itu sampai hari ini aku terus hidup jauh dari orang tua. Alhamdulillah bengek itu hanya sesekali datang, tapi tidak sampai mengganggu aktivitasku.[]
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

1 komentar:

  1. Yang paling menarik bukan makan kodoknya, tapi menggembala sapi. Ceritakan itu, kak. :D

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)