Senin, 25 Agustus 2014

Rindu Mengubah Senja Menjadi Sendu

Ilustrasi senja @pixoto.com

Berbulan-bulan sudah rindu ini tertanam di dalam hati. Kukira sore ini adalah puncak dari semua pergumulan rasa yang tertanam itu. Rindu telah mengubah senja menjadi sendu. Bahkan butir hujan yang hinggap di kaca jendela tak lagi menarik untuk kunikmati. Pucuk-pucuk daun yang digoda angin menjadi tak lagi menghibur. Semuanya bergerak begitu datar, sama sekali tanpa ritme yang biasanya selalu merdu bagai kicau murai.

Dapatkah engkau merasakan betapa hati ini telah mendidih demikian hebatnya? Dapatkah engkau menangkap magma yang mengembun dari balik kata-kata? Dapatkah engkau mencium aroma kesepian yang kian menyengat?

Tidak! Kau tidak akan mengetahui semua itu, bahkan untuk secuil saja. Meski aku melolong panjang pada setiap purnama untuk menggaduhkan semua itu, gendang telingamu tak akan mampu menangkap semua jeritan itu.

Bukan karena kau tidak ingin mendengarnya, tapi aku mengurung semua lengkingan itu di ceruk hatiku yang paling dalam. Bahkan aku sendiri pun tak mampu mendengarnya, bahkan hanya untuk suara kecil serupa desis melata paling berbisa.

Berbulan-bulan rindu itu membesarkan api cinta yang kukira sebentar lagi akan meledak. Anak-anak imajinasi kemudian lahir berloncatan, satu-satu hadir di hadapanmu. Kukira pada saat itu kau akan mematung sejenak serupa seorang durhaka yang dikutuk ibundanya.[]

Minggu, 17 Agustus 2014

Merah Putih yang Kehilangan Makna

foto by tempo

SAMA seperti tahun-tahun yang lalu, 17 Agustus menjadi momen penting bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka hari ini, 17 Agustus yang jatuh pada hari Minggu kembali disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh masyarakat Indonesia. Tak terkecuali warga  di kompleks tempat saya tinggal, di kaki Bukit Barisan di Aceh Besar.

Seminggu sebelum tanggal 17 tiba, para tetua kompleks sudah mengumumkan agar warga memasang bendera di halaman rumah. Warna Merah Putih yang menjadi lambang keberanian dan kesucian. Selembar kain yang mampu memantik semangat patriotisme para pejuang Indonesia di masa lalu.

Beberapa hari setelah itu ada kejadian yang membuat saya berpikir panjang. Apa sih arti selembar bendera bagi kita rakyat Indonesia? Pasalnya, salah satu tetangga saya ada yang mengikatkan benderanya di pohon kuda-kuda yang menjadi pagar rumahnya. Mengikat bendera di pohon kuda-kuda? Yang benar saja! Di mana rasa nasionalismenya? Okelah, tak perlu membawa-bawa istilah nasionalisme, tapi menjemur kain saja kita tak pernah menyangkutkannya begitu saja di dahan pohon bukan?

Bukan hanya saya yang gelisah, tetangga yang lain juga merisaukan laku tetangga tersebut. Menurutnya itu sudah keterlaluan. Sikapnya sudah merendahkan salah satu simbol penting negara ini. Pagi itu 'insiden' bendera di pohon kuda-kuda itu menjadi perbincangan singkat sebelum saya berangkat kerja.

Keesokannya, bendera yang semula diikat di ranting pohon sudah bertengger di tiang yang terpancang di halaman rumahnya. Meski tak berkibar -karena memang sedang tidak ada angin- tapi terlihat anggun dan berwibawa. Tidak nampak 'kuyu' seperti saat masih diikat di ranting pohon. Dalam hati bertanya, mengapa bendera itu sudah berpindah tempat? Rupanya bibi sayalah yang sudah 'membisiki' pemilik rumah tersebut.

Rupanya bibi saya menakut-nakuti si pemilik rumah dengan 'ancaman' akan didatangi bapak-bapak kalau benderanya belum dipasang dengan layak. Ia tak punya alasan yang tepat untuk menegur tetangga tersebut, takut ia tersinggung. Ancaman itu hanya akal-akalannya saja dan terbukti berhasil

"Bukan cuma itu, kompleks ini kan sering dilewati tentara, pasti mereka marah kalau melihat ada warga yang mengikat benderanya sembarangan begitu," kata bibi saya.

Tetangga saya itu, mungkin mewakili sedikit atau banyak rakyat Indonesia lainnya. Yang melihat bendera hanya sebagai pernak-pernik negara yang perlu dikibarkan setahun sekali di bulan Agustus. Tak peduli pada darah ribuan pejuang yang rela berkorban semata-mata untuk melumuri agar setengah dari bendera kita bisa berwarna merah.[]

Selasa, 05 Agustus 2014

Kami Sudah Bercerai

ilustrasi cerai
Sebut saja namanya Faula. Dia teman saya waktu di pondok pesantren dulu. Setelah belasan tahun tidak bertemu, kami kembali bersua saat lebaran Idul Fitri kemarin. Saya dan Faula bertemu di rumah Abu, pemimpin pondok pesantren tempat kami mengaji dulu.

Tak ada yang berubah dari Faula, setidaknya saya langsung mengenali wajahnya begitu masuk ke rumah Abu.

"Faula kan?" Tanya saya sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman. Dia mengangguk, sambil merengkuh sodoran tangan saya.