Minggu, 11 Januari 2015

Cinta Kedua

ilustrasi

Aku sedang terburu-buru saat ponselku berdering malam itu. Telepon dari Emak. Tombol shut down di komputer baru saja kutekan. Aku juga masih harus merapikan meja kerjaku dulu sebelum pulang. Kertas yang berserakan, pulpen, tape recorder, membuat meja kecil ini terlihat semakin sempit. Deringan pertama berlalu begitu saja, aku berniat menelepon Emak setiba di rumah nanti.
Biasanya jam segitu aku masih stand by di kantor. Pekerjaan sebagai jurnalis memang menyita waktuku. Aku terbiasa pulang kerja malam hari, bahkan jika sedang mengejar tenggat tak jarang sampai menjelang larut malam.
Tapi malam itu, walaupun azan Isya belum berkumandang aku memutuskan untuk menyudahi aktivitasku. Sejak petang kurasa tubuhku menghangat. Tenggorokanku juga terasa panas. Namun mendengar deringan telepon dari Emak yang kedua kalinya, terpaksa kuurungkan niat untuk segera pulang. Tak biasanya Emak seperti ini. Mendadak aku jadi was-was.

"Assalammualaikum, Emak," suaraku kubuat seriang mungkin.
Aku tak ingin membuat Emak risau. Aku sudah banyak menyusahkannya.
"Waalaikumsalam, Intan," jawabnya pendek.
Suaranya terdengar menggantung.
“Emak sehat?”
“Sehat, Nak. Ada yang ingin Emak sampaikan padamu,” katanya sejurus kemudian.
Aku tidak lantas menjawab. Mungkin ini ada kaitannya dengan suara Emak yang menggantung tadi. Aku sengaja menunggu. Biarkan Emak menyampaikannya tanpa merasa kucecar. Belakangan ini kurasa Emak lebih sensitif. Beberapa kali ia protes karena aku jarang meneleponnya. Ia juga sering mengeluhkanku yang jarang menjenguknya di kampung.
“Ada yang datang melamarmu pada Emak,” ucap Emak kemudian.
“Siapa, Mak?” tanyaku ragu-ragu.
“Firman,”
Aku tidak tahu apakah kabar yang disampaikan Emak ini membuatku bahagia atau sebaliknya. Firman adalah tetangga kami. Ia pengusaha ayam petelur yang sukses. Kami sudah berteman sejak kecil. Usianya terpaut tiga tahun di atasku.
Meski bertetangga tapi kami jarang berkomunikasi. Apalagi aku sudah lama meninggalkan kampung halaman. Paling kami hanya bertemu saat lebaran, itupun jika Firman bertandang ke rumah atau tak sengaja bertemu di masjid saat salat ied.
Sebenarnya aku pernah menyukai Firman. Bukan hanya aku, beberapa temanku juga ada yang menaruh hati padanya. Ia rajin dan pintar, tapi pemalu. Saat masih di Sekolah Menengah Pertama dulu, Firman sering membantuku mengerjakan tugas-tugas pelajaran Ekonomi. Bakat wirausahanya memang sudah terlihat sejak ia masih remaja. Jika sedang bersama aku sering mencuri-curi pandang padanya. Saat mata kami saling beradu buru-buru aku membuang muka sambil menahan rasa malu.
Itu dulu, saat aku belum mengenal Harris. Tapi mengapa sekarang semua kenangan itu dengan mudahnya menyembul di ingatanku?
“Intan?” suara Emak di seberang sana mengagetkanku.
Aku terhenyak. Suaraku seperti tercekat.
“I…Iya Mak, Intan masih di sini,” jawabku terbata.
“Bagaimana?”
“Apanya?”
Malam itu obrolan antara aku dan Emak berakhir begitu saja. Aku belum memberi jawaban apapun pada Emak. Emak sepertinya juga tak ingin memaksa, meski aku tahu ia ingin segera mendapatkan jawaban dariku.
“Teman-teman sebayamu di kampung sudah menikah semua, bahkan ada yang sudah punya tiga anak. Anak gadis Emak ini entah kapan…” kelakar Emak suatu ketika saat aku pulang kampung.
Sebagai perempuan dengan usia yang nyaris genap berusia tiga puluh tahun, kelakar itu kuterima sebagai sindiran halus. Meskipun setelah itu Emak buru-buru meralat ucapannya. “Tapi kau kejarlah dulu impianmu, Intan,” katanya.

***
Seminggu telah berlalu sejak Emak meneleponku malam itu. Namun ucapan-ucapan Emak terus membayangiku. Benarkah Firman ingin memperistriku? Jika iya, mengapa ia tidak langsung mengatakannya terlebih dahulu padaku. Bukankah ia bisa meminta nomor teleponku pada Emak. Aku ragu, sebab Firman mengetahui siapa aku sebenarnya. Ah, apakah ia mau menerimaku yang tak gadis lagi sebagai istrinya?
Di tengah kekalutan perasaan seperti ini, aku selalu teringat pada Harris. Seorang pria sederhana yang telah membuatku jatuh cinta. Dan sampai sekarang sedikit pun kenangan tentang Harris belum terkelupas dari ingatanku. Setelah mendengar kabar dari Emak, ingatan-ingatan tentang Harris justru semakin menguat. Seolah-olah di setiap langkahku, aku melihat Harris mengekoriku.
Ingatan itu selalu saja membawaku pada buncahan rindu pada lelaki berwajah teduh itu. Ah, jika saja Harris masih ada tentu Firman tidak akan memintaku jadi istrinya. Begitu juga dengan lelaki mana pun di dunia ini. Aku pasti sedang berbahagia dengan Harris.
***
Usiaku baru lima belas tahun saat aku mengenal Harris. Waktu itu aku masih duduk di kelas satu Sekolah Menengah Atas. Kami pertama kali bertemu di acara bakti sosial yang dibuat sekolah. Harris adalah ketua pemuda di kampung pedalaman itu. Belakangan aku tahu bahwa Harris merupakan salah satu anggota gerilyawan. Tapi karena hatiku telanjur terpaut padanya, aku tak mungkin meninggalkannya.
Setahun kemudian Harris mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Aku yang waktu itu sedang dilanda mabuk cinta, menerima pinangan itu tanpa berfikir panjang. Padahal kondisi keamanan saat itu sedang tak karuan. Pemerintah pusat baru saja menetapkan status Darurat Militer di daerah kami. Teman-teman mengatakan aku nekat, tapi aku tak pernah menyesal menikah dengan Harris.
“Kita menikah secara agama saja Intan, dengan begitu kamu tetap bisa melanjutkan sekolahmu,” kata Harris waktu itu.
Ayah dan Emak yang memang sangat menyukai Harris tidak berusaha menghalang-halangi niat kami untuk menikah. Beberapa bulan setelah menikah aku masih sekolah seperti biasa. Tentu saja dengan merahasiakan identitasku sebagai seorang istri anggota gerilyawan.
Setelah menikah aku bukan hanya menjadi istri Harris, tapi juga menjadi sumber informasi penting bagi gerakan gerilyawan. Aku mengumpulkan banyak informasi dari orang-orang yang kutemui di kota. Aku juga rutin membeli koran dan majalah lalu mengirimkannya ke markas gerilyawan. Aku melakukan semua itu dengan rasa bangga. Harris bilang aku istri yang luar biasa.
Namun saat kondisi semakin tak menentu, aku tak bisa bertahan dalam situasi itu. Aparat keamanan semakin sering menyisir ke kampung-kampung. Lama-lama aku memilih untuk mengikuti Harris dan meninggalkan kampung. Beberapa bulan kemudian Harris gugur dalam sebuah pertempuran. Aku merasa duniaku ikut hilang bersama jasad Harris yang hancur lebur terkena letusan bom aparat. Saat itu juga aku memutuskan untuk selamanya akan setia pada Harris. Lelaki suamiku yang telah mencintaiku dengan amat sempurna.
Ayah dan Emak sangat terpukul dengan kejadian yang menimpaku. Di usia muda aku harus menyandang predikat janda. Kenyataan itu membuat mereka bersedih. Apalagi saat itu aku bagai kehilangan sumber kehidupan. Hampir setiap hari aku menangis. Tubuhku kurus dengan wajah cekung. Satu-satunya harapanku adalah janin yang tengah kukandung, tapi karena kondisi psikisku tertekan aku juga harus kehilangan bayiku. Semakin lengkaplah penderitaan yang kurasa saat itu.
Setahun setelah kejadian itu Firman datang menjumpai Emak. Ia menyarankanku untuk kembali bersekolah. Namun demi kerahasiaan identitasku ia menyarankan aku melanjutkan sekolah di tempat lain. Akhirnya aku pindah ke ibu kota provinsi. Di sinilah aku mulai menata sedikit demi sedikit kehidupanku. Aku melakukan banyak hal agar waktuku tidak tersita pada Harris. Tiga tahun terakhir ini aku melakoni pekerjaan sebagai jurnalis yang sibuk. Tapi kesibukan itu ternyata tidak bisa menyembuhkan hatiku yang terlanjur remuk.
Belasan tahun setelah kejadian itu, bukannya tidak ada lelaki yang mengutarakan cintanya padaku. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil meluluhkan hatiku. Aku tak sanggup mengkhianati cinta Harris. Tapi sekarang, mengapa hatiku justru terusik oleh Firman?
***
Telepon genggamku berdering. Dari Emak. Jantungku mendadak berdegub kencang. Aku gugup. Pasti emak akan menanyakan perihal tawarannya seminggu lalu. Jika Emak mendesak aku harus menjawab apa?
“Assalammualaikum, Mak,” jawabku dengan suara kupaksa seriang mungkin.
Tidak ada jawaban. Aku kembali mengulang salam.
“Waalaikumsalam, ini aku Firman,”
Deg! Jantungku rasanya berhenti berdetak. Suara di sana terdengar begitu nyaring.
“A..a.. apa kabar?”
“Aku baik-baik saja Intan, semoga kamu juga begitu,” jawabnya perlahan.
Hening. Aku tak tahu harus mengatakan atau pun menjawab apa. Tubuhku terlanjur kaku. Di seberang sana aku tak tahu apa yang sedang difikirkan Firman. Mungkin di hadapannya juga ada emak dan ayah. Entah apa saja yang sudah dikatakan Firman, aku tak bisa konsentrasi. Wajah Harris seolah menutupi seluruh ruang di memoriku. Namun ada satu kalimat yang diucapkan Firman begitu membekas.
“Mungkin kamu masih mengingat Harris, jika hal itu terjadi padaku mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Tapi aku tidak mungkin memendam rasa ini lebih lama lagi, aku mencintaimu Intan. Jauh sebelum kamu mengenal Harris, tapi waktu itu aku terlalu takut untuk menyatakannya padamu. Jika kau berkenan menerimaku, aku ingin menjadi Harris-mu dalam wujud yang lain.”
Aku sukar menerjemahkan perasaan yang berkecamuk dalam diriku. Tapi entah mengapa, pertama kalinya sejak aku meninggalkan kampung halaman, aku seperti tak sabar untuk segera pulang.[]


Peuniti menjelang Isya, 24 April 2014
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)