Senin, 17 Agustus 2015

Terbentur Rindu

Ilustrasi

AKU hampir tidak percaya gemuruh ombak yang begitu menggila ini tiba-tiba redam begitu saja. Bahkan senja tak sempat melihat senyum perpisahan darinya. Ia pergi tanpa lambai keangkuhan yang sering kali membuat lunglai. Ia pergi dengan anggun meski tanpa permisi.

Aku lebih tak percaya sebab redamnya gemuruh ini karena engkau. Ouh... siapa aku harus memanggilmu. Angin kah, hujan, atau badai yang berwujud dalam kelopak salju nan lembut. Yang siap menggulungku dalam pusaran rasa yang paling dahsyat.

Aku tahu kau sudah menggulungku bertahun-tahun silam, bahkan jauh sebelum aku tahu apa itu tenggelam. Jika pada akhirnya kita kuyub, kurasa itu karena hujan yang tak sanggup lagi menahan dirinya. Ia menjelma menjadi apa saja, meski tak pernah menampakkan wujudnya yang asli. Rasa, bukankah hanya untuk dinikmati?

Di pengujung senja aku berangsur-angsur pulih. Tidak, aku sedang tidak terluka. Aku juga tidak sedang sakit. Lantas pulih dari apa? Aku sedang tak ingin berdebat dengan jiwaku sendiri. Aku hanya ingin menikmati semilir yang dikirimkan semesta. Berdesir di dalam kalbu yang melahirkan mimpi-mimpi indah. Aku sedang tak berada di dunia khayal, maka rindu dan rasa ini ibarat sepotong es krim yang siap melumerkan seluruh kerigidan.

Aku hanya ingin takluk pada rasa yang kuinginkan. Tapi juga tidak sedang menghancurkan apa yang telah kokoh selama ini. Jika hidup hanya kepingan puzzle yang perlu kususun, maka biarkan kehadiranmu menjadi pelengkap kepingan yang ke seribu satu. Kita seperti dadu, bertemu karena ada seseorang yang melemparkannya. Aku hanya mencari kebahagiaan. Mungkin dengan jalan yang tak harus sama yang dilalui para musafir lain.

Kau yang diantar waktu dengan apa adanya. Dengan segala tentangmu yang biasa-biasa saja, tapi terselip banyak keistimewaan. Tak perlu menjadi perayu untuk membuat seseorang tersanjung bukan? Tak perlu menjadi pelawak untuk membuat seseorang tersenyum. Tak perlu menjadi petani bunga untuk bisa menanam bunga di hati seseorang.

Aku hanya tak percaya mengapa rindu yang gaduh ini tiba-tiba patuh. Diam tak berani menunjukkan raut wajahnya yang kesal. Bahkan suaranya yang lengking tiba-tiba tersedot ke dalam kerak bumi paling dalam hingga aku tak mampu menjangkaunya. Hanya ritme jantungku yang kurasa kian teratur, berdegup pelan pertanda kehidupan sedang berlangsung. Aku tidak sedang jatuh cinta, tapi sedang terbentur rindu.[]