Rabu, 28 Oktober 2015

Catatan di RSZA; Ketika Kami Jadi Warga Rumah Sakit

MENJADI warga rumah sakit? Sama sekali tidak pernah terlintas di benak saya, apalagi hingga berpuluh-puluh hari. Sekeren dan setinggi apapun tipe rumah sakit tersebut, tetap saja saya dan keluarga tidak pernah mengidam-idamkannya untuk menjadi salah satu pasiennya.

Kenyataannya hingga hari ini, Rabu, 28 Oktober 2015, sudah 53 hari kami menjadi warga rumah sakit. Enam hari di RS Graha Bunda Idi Rayek, sisanya di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin Banda Aceh. Semua cerita ini berawal dari sakitnya Ibu; perempuan terkasih yang saya panggil Mak.

Hampir dua bulan berada di rumah sakit bukanlah waktu yang sebentar. Banyak hal yang kami (saya) rasakan namun sulit untuk diungkapkan, apalagi dituliskan. Sebagai orang yang beriman, kami tidak lupa kalau ini bagian dari Qada dan Qadar-nya Allah. Saya selalu menguatkan Mak agar ikhlas dan sabar (bukan berarti menyerah), karena sakit akan menggugurkan dosa-dosa kecil seseorang. Sedangkan saya sebagai anak, menjadikan kondisi ini sebagai ladang amal dan ladang jihad saya. Saya merawatnya dengan sepenuh hati. Yang terbayang di mata saya adalah betapa lelahnya Mak dulu saat merawat saya yang menderita asma ketika masih kecil. Inilah saatnya gantian.

Selama Mak sakit aktivitas saya juga berubah total. Hampir dua bulan ini saya tidak pernah mencium bau kantor (terimakasih saja rasanya tidak cukup untuk membayar pengertian teman-teman Sikureung Sipakat). Konon lagi untuk nongkrong bersama teman sambil menikmati kopi hitam yang nikmat. Saya sudah rindu bau anyir pantai Ulee Lheue sambil makan jagung bakar bersama karib saya Nita Liana. Rindu bermalas-malasan setelah pulang kerja di rumah sahabat saya Etty Livia Harahap. Saya juga sudah rindu kasur busuk saya di rumah, tempat saya membuang penat dan menyulam mimpi.

Aktivitas saya hanya berkutat di sekitar rumah sakit saja; mengantre di apotik untuk mengambil obat; kadang ke laboratorium untuk mengantar sampel darah Mak, mengantre di Bank Darah untuk mengantarkan sampel darah untuk keperluan crossmatch atau mengambil darah untuk transfusi, selebihnya memang lebih banyak di kamar menjaga Mak.

Banyak yang penasaran dan bertanya-tanya kenapa fokus saya tiba-tiba hanya terpusat pada Mak, Mak dan Mak. Kenapa sampai saya tidak bisa membagi sedikit waktupun untuk nyambi masuk kantor. Atau tetap bekerja sambil merawat Mak misalnya. Atau sekadar untuk santai sejenak di kantin rumah sakit seperti keluarga pasien lainnya. Menjelaskan ini memang tidak mudah. Dan tidak semua orang bisa memahami.

Kondisi Mak tidak memungkinkan saya untuk meninggalkannya lama-lama (tentang diagnosa penyakit Mak saya ceritakan lain waktu). Komplikasi penyakit membuat tubuhnya sangat lemah, yang paling kentara adalah sesak. Karena sesak ini pula Mak sempat mendapatkan perawatan khusus di Intensive Care Unit atau ICU. Paru kirinya yang tidak normal membuat Mak hanya bisa tidur terlentang, tidak bisa berbalik ke kiri ataupun ke kanan. Berbalik sedikit saja langsung batuk dan sesak berat. Selain itu, di rusuk kirinya juga dipasang selang Water Seal Drainase atau  WSD untuk menyedot cairan di paru. Otomatis ruang gerak Mak semakin terbatas.

Suhu tubuhnya juga tidak stabil, demamnya naik turun. Belum lagi reaksi obat yang membuatnya sepanjang hari dan malam mual muntah. Mual muntah ditambah sesak napas, ditambah nyeri punggung dan pinggang hebat sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana kondisinya. Kadang Mak hanya bisa terkulai di bahu saya karena tidak sanggup lagi menahan tubuhnya. Tenaganya terkuras habis untuk mengeluarkan isi perutnya yang tinggal cairan. Hingga hari ini, semua kegiatan Mak hanya berlangsung dari tempat tidur. Untuk mengurangi sakitnya yang kami lakukan adalah memijit dan mengipasinya sampai ia tertidur.

Tidur adalah sesuatu yang paling kami dambakan agar bisa dialami Mak. Kesempatan kami untuk beristirahat adalah ketika Mak tidur. Entah itu sekadar untuk menghirup udara segar sejenak ke luar ruangan, atau merebahkan badan untuk mengendurkan syaraf, atau untuk tidur sebentar. Tapi sayangnya Mak tidak pernah bisa tidur lama. Ini juga yang membuatnya semakin lelah.

Bukan hanya Mak yang lelah, kami anak-anaknya juga lelah. Lelah fisik yang kami rasakan tida seberapa dibandingkan lelah psikologis. Melihat mata Mak yang kadang-kadang redup karena hampir putus asa adalah siksaan berat bagi kami, khususnya saya. Adakalanya cerita yang kami sampaikan untuk menghibur Mak sama sekali tidak berguna. Saya hanya bisa menahan kesedihan itu di hati, kalau sudah tidak tahan lagi saya tinggal masuk ke kamar mandi dan menangis sepuasnya di sana.[]

*Ditulis di sela-sela gesa di  depan ruang ICU RSUZA


Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

5 komentar:

  1. Ihan sayang, lama tak mendengar kabarmu dan postingan ini memberikan gambaran akan situasi yang sedang Ihan sekeluarga hadapi. Semoga Allah menambah kekuatan dan kesabaran bagi Emak, Ihan dan anggota keluarga lainnya dalam menghadapi cobaan ini, ya... Semoga Emak segera diberi kesembuhan. Aamiin. *gerimis baca postingan kamu, Ihan. Yang sabar yaa..

    BalasHapus
  2. Peluk ihan kuat-kuaaattt :'(
    Sabar kawan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan kuat kuat sangat, nggak bisa bernafas nanti hehehe

      Hapus
  3. Sejujurnya, saya tidak sanggup baca sampai habis. Seperti yang kita bicarakan di layanan chatting itu, saya paham apa yang Ihan rasakan. Saya hanya bisa membantu dengan doa, semoga diberikan kemudahan dalam segala urusan....

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)