Jumat, 10 Maret 2017

Yang Tak Pernah Kembali

Ilustrasi @google

MENTARI baru saja pulang. Terburu-buru. Di kejauhan sang waktu berdiri sambil berkacak pinggang. Seolah berkata; kalau kau tak segera pulang, maka kau akan mendapat hukuman dari pemilik semesta. Mentari selalu patuh. Tak peduli bagaimanapun semua makhluk berharap agar ia bertahan lebih lama walau sedetik saja.
Mentari tak ingin mencuri jatah rembulan. Kekasih yang sudah dipasangkan pemilik semesta untuk menjadi temannya di dunia ini. Meski tak bisa terbit bersamaan, baginya justru itu merupakan bentuk ketulusan dan kerelaannya dalam memiliki.
Akupun beranjak. Menyudahi ritualku menyaksikan seremoni pergantian waktu dari terang menjadi gelap. Bersamaan dengan rapatnya daun jendela, bulan sudah menyembul di balik gumpalan awan. Semuanya menjadi senyap. Daun-daun berhenti bergemerisik. Burung-burung sudah kembali ke sarang.
Dering telepon mengagetkanku. Kulipat sajadah. Kemudian bangkit meraih smartphone di kasur. Panggilan masuk dari Julie.
"Ya, ada apa?"
"Suaramu lemas sekali. Apa kau sakit, Lila?"
"Tidak. Aku hanya sedang malas."
"Malas kenapa?"
"Malas menerima telepon darimu."
"Oh Lila manis, kau bisa kuwalat nanti bicara begitu padaku." Julie meringkik seperti kuda betina yang sedang dilanda asmara.
"Ada apa Julie. Kenapa magrib-magrib begini sudah menghubungiku, apa kau tidak salat?"
"Aku sedang cuti."
"Pantas saja..."
"Kau ada acara apa malam ini."
“Tidak ada. Aku mau tidur saja. Badanku letih,” refleks aku menyentuh tengkuk. Untuk memastikan kalau aku memang letih.
“Letihmu tidak akan hilang kalau kau bawa tidur saja, Lila.”
“Jangan bertele-tele.”
Julie kembali meringkik. Sahabatku yang satu itu seorang sanguinis sejati. Ia selalu ceria dan kadang aku iri padanya. Hidupnya seperti tidak pernah ada masalah. Julie sangat menikmati hidupnya. “Aku ingin mengajakmu minum kopi. Sudah lama kita tidak minum kopi bersama kan Lila. Tadi siang aku membuat cake, nanti akan kubawa sebagai teman minum kopi.”
“Mana sempat kau minum kopi denganku, sejak menikah kau berubah. Bisa kuhitung dengan jari berapa kali kau mengajakku bertemu,” jawabku pura-pura merajuk.
Julie sahabat terbaikku di kota ini. Kami berteman sejak masih kuliah. Kami saling mengunjungi dan berbagi cerita karena sama-sama anak rantau yang kekurangan uang jajan. Hobinya membuat kue dan membawanya pada takdir yang indah.
Sejak dua tahun lalu Julie punya toko kue. Ia punya pelanggan dari sejumlah instansi di ibu kota provinsi ini. Semua itu ia dapatkan berkat hubungan asmaranya dengan Faiz. Pegawai di sebuah instansi pemerintahan provinsi. Setahun terakhir mereka meresmikan cintanya sebagai sepasang suami istri. Sejak itu Julie sering menggodaku karena tak kunjungi mengikuti langkahnya.
“Lila, kau tahu kan ini akhir tahun. Bang Faiz sibuk dengan pekerjaannya. Kadang-kadang dia hampir lupa menjemputku di toko.”
“Malang sekali nasibmu kawan.”
“Ya begitulah. Tapi kurasa lebih malang lagi sahabatku yang setiap Sabtu malam harus buru-buru membentangkan kasurnya dengan alasan badannya letih.”
Aku ingin meninju Julie saat itu juga kalau saja kami tidak sedang berbicara di telepon.
“Katakan di mana aku harus menemuimu Julie,” jawabku dengan muka panas.

oOo
Tidak sulit mencari kedai kopi yang disebutkan Julie. Letaknya di kawasan pecinan Peunayong. Namanya bernuansa etnik. Aku suka penataannya yang bertema alam. Di kejauhan kulihat Julie melambai. Ia duduk agak ke pojok dekat rumpun bambu kuning. Wajahnya semringah. Giginya sudah terlihat dari kejauhan.
“Lila-ku yang cantik, kulitmu masih cokelat saja walaupun kau bekerja di ruangan ber-AC,” Julie menyeringai lebar. Ia segera merengkuhku dan kami berpelukan sambil menempelkan pipi.
“Dan perutmu masih rata saja,” aku membalasnya.
“Ya, itu karena aku diet ketat. Kau tahu, walaupun aku punya toko kue tapi selera makanku payah,” jawab Julie pura-pura tak tahu kalau aku menyinggung soal dirinya yang tak kunjung hamil juga.
“Aku percaya. Bagaimana kabarmu Julie? Kau pasti sangat bahagia kan, sampai tak pernah lupa meledekku.”
“Kau ini terlalu sentimentil. Itu karena aku menyayangimu sobat.”
“Aku tahu. Mana kue yang kau bilang tadi.”
“Jangan terburu-buru, kita pesan kopi dulu. Kopi di sini enak.”
Julie memanggil pelayan. Ia memesan dua cangkir coffee latte.
“Ngomong-ngomong kuenya tinggal di rumah. Aku lupa membawanya tadi,” kata Julie setelah pelayan pergi. “Tapi jangan khawatir, Bang Faiz akan mengantarkannya sebentar lagi.”
“Aku masih bisa mencobanya besok-besok kan. Jangan merepotkan Bang Faiz.”
Julie cepat menggeleng.
No problem. Itu sudah kuurus. Sekarang mari kita nikmati minuman kita. Hmm… baunya sungguh menggoda. By the way lihatlah ukiran latte-nya, punyamu ada love-nya, punyaku tidak.”
Aku melongok ke cangkir kopi Julie. Latte-nya berlukis daun.
“Mungkin ini pertanda baik untukmu Lila.”
“Pertanda baik apa?”
“Ya siapa tahu kau akan dapat jodoh di kedai kopi ini.”
“Tidak ada hubungannya antara jodoh dengan ukiran latte ini. Kau ini, sudah jadi pengusaha kue tapi pikiranmu masih saja seperti anak-anak.”
“Dan kau, sudah jadi bos di tempat kerjamu tapi masih saja belum bisa mengurus dirimu sendiri.”
“Bos apa?”
“Hampir jadi bos. Kau pemimpin redaksi kan?”
“Ya ampun Juli….” Aku kehabisan akal.
“Eh itu Bang Faiz datang.”
Faiz datang dengan sebuah kotak di tangannya. Aku jadi tidak enak.
“Akhirnya suamiku datang juga,” Julie menggoda suaminya.
Mereka saling mengedipkan mata. Aku memandang Julie penuh kecurigaan. Dia membalasnya dengan senyum jenaka.
“Lila, apa kabarmu?”
“Baik.”
“Pekerjaanmu?”
“Aman terkendali.”
“Tawaran kue itu menggiurkannya,” Julie menimpali.
"Jangan hiraukan ucapan Julie. Sekarang makanlah kue ini. Oleh-oleh dari tugas luar kota kemarin," Faiz menyodorkan kotak kue itu kehadapanku.
Aku menatap Julie sambil mendelik.
"Sorry," Julie mengangkat kedua tangannya.
"Apa pendapatmu tentang kedai kopi ini, Lila?" tanya Faiz sejurus kemudian.
Aku kembali mengedarkan pandangan.
"Tempatnya asyik."
Aku tidak berbohong. Kedai kopi ini memang menyenangkan.
"Ya, kau benar. Pemiliknya juga tak kalah asyik. Orangnya masih muda dan smart, kamu harus berkenalan dengannya. Siapa tahu cocok untuk profil bisnis di media tempatmu bekerja," Faiz setengah berpromosi.
"Aku setuju," Juli mengangguk-angguk. Ia kembali melirik suaminya. Seperti memberi kode.
"Kebetulan dia sedang di sini. Tunggu sebentar ya, aku akan panggil dia."
Belum sempat aku mencegahnya Faiz sudah melesat pergi. Hilang di balik temaram lampu dan sesaat kemudian terlihat di bangunan utama bersama seorang pria sepantaran dengannya.
"Mereka berteman baik," Julie seperti membaca pikiranku.
"Julie, aku akan terganggu dengan kehadiran mereka."
"Santai sedikit Lila. Tak ada salahnya berkenalan."
"Kau lihat pakaianku. Aku tidak percaya diri."
"Hm... sejak kapan kau mempermasalahkan itu? Dan sejak kapan kau bermasalah dengan rasa percaya diri?" Julie menatap penuh selidik. "Siapa tahu kalian berjodoh." Julie berdesis.
Aku menarik napas panjang.
"Itu mereka datang," setengah berbisik Juli berdiri menyambut Faiz dan temannya si pemilik kedai kopi.
Aku ikut berdiri. Kusalami pria itu. Ia menyebut namanya Zein.
o0o
Pagi ini kusempatkan diri mengunjungi Julie di tokonya. Aku penasaran apa yang terjadi semalam setelah aku pulang. Sembari menunggu Julie, aku memesan secangkir teh hijau. Salah satu pegawai Julie menemaniku berbincang. Tiga puluh menit kemudian Julie datang.
"Tumben pagi-pagi sudah ke sini. Kenapa tidak mengabarkan aku lebih dulu."
"Kejutan."
"Aku buat salad buah, cicipilah. Rasanya enak walau buahnya tidak komplit," Julie menyodorkan semangkuk salad ke hadapanku.
"Enak. Aku suka. Salad buatanmu memang tidak ada duanya," aku memujinya tulus.
"Si Zein sepertinya terkesan denganmu."
Aku menghentikan suapanku. Tubuhku rasanya seperti menguap.
"Apa kau juga terkesan padanya?"
"Aku?"
"Siapa lagi."
"Kenapa kalian terlalu bersemangat."
"Karena kami menyayangimu, Lila. Kau seperti saudaraku sendiri. Aku ingin melihatmu bahagia."
"Bahagia? Apa aku pernah mengeluh padamu soal kebahagiaan dan sejenisnya?"
"Bukan begitu maksudku. Kau ini sudah bekerja, sudah mapan, usiamu juga sudah cukup, kurasa sudah saatnya kau memikirkan masa depan, Lila."
"Aku selalu memikirkan masa depanku Julie. Aku punya tabungan di bank, aku masuk ansuransi, sekarang aku sedang merintis usaha sampingan juga sebagai bekal masa depanku."
"Itu bagus. Tapi kau tahu maksudku kan? Kau tidak mungkin sendiri terus, Lila. Ibumu pasti ingin menggendong cucu darimu."
"Julie, sudah berapa lama kau mengenalku?"
"Kamu masih menunggu lelaki itu?"
Aku menatap Julie lekat-lekat saat ia menyebut 'lelaki’ itu.
"Apa maksudmu menyebut dia dengan ‘lelaki’ itu?"
"Maksudku adalah Adrian. Apa yang kau tunggu dari lelaki yang sudah bertahun-tahun tidak memberimu kepastian, Lila? Apa kamu tidak lelah terus menerus menangis untuknya, sementara dia terus sibuk dengan kehidupannya. Tidak sedikitpun dia memikirkanmu, Lila."
Adrian. Julie memang tidak menyukainya walaupun belum pernah melihatnya. Tapi bagaimanapun Adrian adalah seseorang yang sangat berarti bagiku. Dia pijar matahariku. Yang membuat hidupku menjadi terang dan hangat.
Aku tidak menyalahkan Julie. Trauma masa lalu kadang-kadang membuatnya tidak rasional. Ia sangat membenci pria yang mendua hati. Aku bersyukur setidaknya dia tidak ikut membenciku.
"Julie!" aku menatap biji mata Julie.
"Maafkan aku Lila. Aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung. Tapi coba kau renungkan lagi, kau pikir dengan matang, apakah kamu perlu mengharapkan dia? Kau jangan terjebak pada cinta buta Lila, sampai-sampai mengabaikan kenyataan. Jangan sampai kau mengecewakan orang tuamu atau dirimu sendiri."
"Kenyataan kalau Adrian sudah menikah?"
"Aku tidak perlu menjawab."
"Julie, aku berterima kasih karena kau sudah memikirkan soal masa depanku. Tapi banyak yang tidak kau ketahui tentang hubunganku dengan Adrian. Dia tidak seburuk yang kau kira."
"Maafkan aku Lila. Aku tidak ingin menyakiti perasaanmu. Tapi coba pertimbangkan lagi soal Zein. Kau tidak perlu tergesa-gesa menjawabnya, tidak ada yang memaksamu. Siapa tahu Zein adalah jawaban atas doa-doamu yang selama ini kaupanjatkan," Julie berkata lirih sambil menggenggam tanganku.
oOo
"Malam nanti datanglah ke rumah, ada syukuran ulang tahun pernikahanku dengan Faiz"
Pesan dari Julie.
"Ih, cuma di-read aja. Kamu bisa datang kan Lila. Kamu harus datang!"
Aku mengabaikan pesan itu.
"Lila, kalau kau tidak datang hubungan pertemanan kita cukup sampai di sini"
Aku tak membalas. Aku tahu Julie hanya menggertak sambal. Itu juga salah satu kebiasaannya yang tak pernah berubah.
Tak lama setelah itu Julie menelepon. Kuabaikan. Entahlah, tak bisa kujelaskan apa yang kurasakan saat ini. Aku hanya merasa Julie terlalu jauh ikut campur soal urusan asmaraku. Aku tidak suka itu. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak karena ia sahabat terbaikku. Menjelang magrib pesan dari Julie kembali masuk.
"Aku dan Faiz menunggumu, Lila. Kami tidak memaksa, tapi acara ini akan lebih bermakna kalau kau datang"
Aku mengalah pada Julie. Sebelum pukul delapan malam aku sudah tiba di rumahnya. Tak ada tanda-tanda keramaian. Julie dan Faiz terlihat sibuk di halaman belakang. Meja makan mereka juga sudah berpindah ke sana. Di atasnya sudah terhidang beberapa menu yang menguarkan aroma sedap. Aku jadi lapar setelah membauinya.
"Lila, kamu datang juga. Aku dan Julie sempat khawatir kamu tidak mau datang."
"Aku takut Julie menceraikanku."
"Hahaha... kau ini, itu cuma ancaman, Sayang," timpal Julie sambil menuangkan sup kimlo campur daging ke mangkuk.
"Ini yang kau sebut syukuran Julie?" aku mencecar.
"Iya, cuma untuk kalangan tertentu saja."
Julie tertawa lebar. Dia merasa menang.
"Sebentar, aku jemput Zein dulu. Dia sedang menunggu di depan." Faiz menyela obrolan kami sambil mengangkat smartphone miliknya..
Julie mengedipkan sebelah matanya.
Tak lama setelah Zein datang kami semua langsung bersantap. Julie adalah orang paling bahagia malam ini. Hidungnya kembang kempis karena menerima pujian bertubi-tubi dari Zein tentang masakannya yang enak. Julie pantas mendapatkan kebahagiaan itu. Bukankah makan malam yang ia sebut sebagai syukuran ini memang dibuat untuk merayakan kebahagiaan?
Aku justru tak bisa menikmatinya. Aku risih mendapati Zein tak berhenti memandangiku. Julie adalah orang yang paling ingin kusalahkan atas semua ini. Sudah kubilang ia tak perlu repot-repot menjodohkanku dengan siapa pun karena aku tidak menginginkannya.
Setelah makan malam selesai Julie dan Faiz membawa piring-piring kotor itu ke dalam. Mereka sepertinya sudah sepakat untuk tidak keluar lagi. Mereka meninggalkanku berdua dengan Zein di halaman belakang. Setelah mengobrol sebentar aku pamit pulang. Kutinggalkan Zein yang terbengong-bengong di tempatnya.
Tanpa sepengetahuanku Julie rupanya menyusulku. Baru saja aku akan mengunci pintu kulihat ia turun dari mobilnya dan menerobos masuk dengan wajah bingung.
"Lila ada apa denganmu?"
"Aku baik-baik saja. Kenapa kau menyusulku, aku capek sekali, mau istirahat. Kalau tak keberatan kau pulanglah Julie, besok kita ketemu lagi."
Belum pernah aku mengusir Julie seperti ini.
"Aku tidak akan pulang sebelum aku tahu apa masalahmu. Bagaimana bisa kau meninggalkan Zein begitu saja."
"Kau sudah tahu masalahku yang tidak suka dijodoh-jodohkan begitu."
"Menurutku bukan itu masalahmu, Lila. Kamu menyembunyikan sesuatu dariku?"
"Duduklah dulu, aku ganti baju sebentar."
Juli mengempaskan tubuhnya di sofa.
"Aku tidak punya masalah Julie. Kau pulanglah, jangan sampai membuat suamimu cemas," kataku kemudian.
Aku pura-pura sibuk dengan gawaiku. Sekonyong-konyong Julie merebutnya dan meletakkan di sebelahnya.
"Lila, aku sedang mengajakmu bicara."
"Kau ingin tau masalahku? Kau yakin Julie?"
"Kenapa tidak, siapa tau aku bisa membantu mencari solusinya."
"Zein itu cukup menarik. Tapi aku tidak menyukainya, atau lelaki manapun di dunia ini, Julie."
"Kau akan menjadi perempuan single seumur hidupmu? Tidakkah kau ingin menikah, punya kehidupan seperti yang diidamkan perempuan pada umumnya. Kau punya anak, membina rumah tangga, punya suami yang mencintaimu." Julie tampak frustasi.
Aku membenarkan posisi duduk. Kuraih tangan Julie dan kugenggam kuat-kuat. Julie memandangku heran dan cemas. Mungkin juga ketakutan atas ucapannya barusan.
"Bagaimana bisa aku menikah dengan orang lain sementara aku ini adalah istrinya Adrian," ujarku lirih.
Julie terlonjak. Ia membuang bantal di pangkuannya dan merapatkan posisi duduknya padaku. Matanya menatapku penuh selidik, nyaris tak percaya pada apa yang baru ia dengar.
"Iya Julie... aku sudah menikah dengan Adrian."
"Kapan?"
"Dua setengah tahun yang lalu."
"Dua setengah tahun yang lalu? Kamu bercanda kan, Lila? Bagaimana bisa kau merahasiakannya dariku."
"Saat itu Adrian sedang dalam proses perceraian dengan istrinya, ia memutuskan untuk menikahiku secara sirri sampai proses cerainya selesai baru kami akan mendaftar ke kantor catatan sipil. Aku sengaja tidak memberi tahumu karena aku tau kau sangat membenci Adrian, maksudku pria yang mendua hati. Kau pernah bilang itu padaku dulu, makanya tak banyak yang kuceritakan padamu soal Adrian. Aku tidak ingin persahabatan kita rusak, tapi juga tidak ingin membiarkan Adrian pergi dari hidupku. Tapi sampai sekarang kami tidak mendaftarkan pernikahan kami ke catatan sipil."
"Apa Adrian meninggalkanmu?"
Aku mengangguk. Julie beringsut. Napasnya tak teratur.
"Sudah kukatakan dari dulu, seharusnya kau tidak mencintai dia apalagi menggadaikan perasaanmu padanya."
"Sudah terlanjur Julie. Adrian tak bisa dihidupkan kembali."
"Apa maksudmu?"
"Adrian meninggal. Mungkin ia meninggal. Kau ingatkan kecelakaan pesawat tahun lalu yang heboh di media massa, Adrian salah satu penumpangnya. Perusahaan mengirimkannya ke Belanda untuk suatu pekerjaan, tapi dia tidak kembali lagi sampai hari ini."
Air mataku tumpah. Tak mampu kubendung. Julie tak bisa berkata-kata. Ia mematung. Ekspresinya sulit kulukiskan.
"Kau juga merahasiakan itu padaku?"
"Waktu itu kau baru saja menikah, Julie. Aku tak mungkin berbagi kedukaan ini denganmu, kau sedang menikmati masa-masa pengantin baru yang indah. Tidak seperti kami yang melakukannya secara diam-diam. Aku cukup tahu diri untuk bisa mengurus diriku sendiri."
"Lila, kau bicara begitu seolah-olah aku ini bukan temanmu."
"Sekarang aku hanya hidup untuk bertemu dengan Adrian kelak."

-->
Julie mengangguk-angguk. Ia berhenti berkomentar sampai akhirnya pulang dengan wajah basah oleh air mata. Aku tidak tahu untuk apa Julie menangis. Mungkin ia menangisi takdir asmaraku yang tak seindah takdirnya. Atau juga menangis karena menyesali ucapannya yang pernah secara tak sengaja berharap Adrian mati saja agar aku bisa melupakannya.[]
Januari 2016
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

5 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)