Kamis, 30 Juni 2016

Akhir Kisah Bulan Juni

ilustrasi @flipsnack.com

PADA akhirnya aku ada hanya untuk mengantarkan kepergian Juni. Tahun ini, semua pertanda itu telah terlihat sejak Maret hadir. Maret, yang seharusnya menjadi awal dari musim panas justru takluk pada mendung yang muram. Mentari hanya bisa kusaksikan di antara awan yang menggumpal dan butir hujan yang menumpuk.

Di bulan April, aku melewatkan kuning-kuning bunga angsana yang mekar begitu saja. Aku tak ingat menyesap wanginya yang abstrak. Aku bahkan tak memahami ketika bunga-bunganya yang kuning lebat itu berguguran satu persatu. Dan daun-daunnya kembali memuda lagi rimbun. Bukankah semua itu pertanda?

Di bulan Mei, kita sempat berbasa-basi sebentar. Saat mentari belum sempurna terbit ketika itu. Di antara kelopak mata yang masih enggan mengembang. Ya, basa-basi yang ternyata hanya mengantarkanku pada Juni yang kaku lagi beku.

Di bulan Juni, aku sadar bahwa semua ini telah begitu renta. Anggaplah ia sebatang pohon, pernah begitu rindangnya, pernah begitu hijaunya, lalu tiba-tiba menjadi kering dan mati di hadapan kita. Aku ingin sekali bertanya, begitukah kita memperlakukan Juni?


Saat kita tak pernah lagi membicarakan tentang Maret dan Juni, lalu apalagi yang bisa kita harapkan dari sebuah pertautan ini?

Entahlah, mungkin inilah kisah orang-orang di kampung pesisir. Suatu hari mereka menemukan seorang pelaut terdampar dalam kondisi memprihatinkan. Hatinya hancur lebur karena nyaris kehilangan harapan. Di kampung pesisir ini si pelaut seperti menemukan dirinya yang hilang. Semangat hidupnya perlahan ia tata kembali. Luka hatinya berangsur pulih. Dan setelah itu ia bersiap untuk pergi. Maka melambaikan tangan adalah cara terbaik melepaskan kepergiannya.

Tentu saja ada gerimis yang jatuh. Mungkin dari mata seseorang. Tetapi ia telah memutuskan untuk berhenti mencintai.[]
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)