Kamis, 09 Juni 2016

Ketika Ustaz 'Harus' Berpoligami

ilustrasi

ISU cerai Ustadz Zacky Mirza dan istrinya Shinta Tanjung memang sedang menjadi bahasan hangat di media. Perceraian itu disebut-sebut terkait dengan praktek poligami yang dilakukan sang ustaz.

Tapi tulisan ini tidak akan mengulas tentang itu, karena, secara pribadi saya tidak mengenal dan tidak mengikuti perkembangan kasus Ustaz Zacky Mirza dengan istrinya. Saya khawatir apa yang saya tulis nantinya justru akan mengarah pada fitnah karena menerka-nerka.

Saya hanya ingin bercerita tentang seorang ustaz di kampung saya, yang pada akhirnya 'harus' berpoligami. Ya, poligami, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan Islam tapi menjadi sangat amat ditakuti, khususnya oleh kaum hawa, karena berbagai propaganda.

Masyarakat memanggil ustaz tersebut dengan sebutan Abu. Ini istilah yang lazim bagi masyarakat Aceh. Serupa kiyai di Jawa. Abu adalah seorang ulama kharismatik di Aceh Timur. Beliau selalu dilibatkan di setiap lini kehidupan masyarakat, khususnya di desa kami.

Abu memiliki wajah yang tampan. Kulitnya putih. Perawakannya sedang. Dengan janggut tipis di dagunya, ciri khas seorang ustaz. Ia mempunyai istri yang sangat cantik, dipanggil Ummi. Ummi memiliki postur tinggi besar, kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam legam. Anak-anaknya jangan tanya, dua putra dan dua putrinya sangat sedap dipandang mata.

Beberapa tahun lalu Abu menikah lagi, dengan seorang perempuan yang secara fisik bisa dibilang 'kalah' dengan istri pertamanya. Pertanyaannya, mengapa Abu menikah lagi?


Saya masih SD saat pertama kali melihat wajah Ummi yang cantik. Waktu itu ada kenduri di rumah nenek. Ummi datang tapi tidak melakukan apa-apa, dia hanya diam, sambil sesekali menggumam. Saya pernah menjadi murid Abu di pesantren saat masih SMA. Saya juga berteman dengan anak-anak Abu, jadi sedikit banyak tahu apa yang terjadi dengan keluarga Abu. Hal itu membuat saya memahami, mengapa pada akhirnya Abu 'harus' berpoligami.

Ummi sudah lama 'sakit'. Mengapa saya memberikan tanda kutip? Karena saya bingung mau menjelaskan sakit yang diderita Ummi. Di dalam tatanan masyarakat Aceh, ada yang disebut dengan kaƓy alias nazar. Nazar ini jika tidak ditunaikan dalam jangka waktu tertentu maka akan berdampak buruk pada orang yang dinazarkan, dalam hal ini adalah Ummi.

Cerita yang saya dengar, dulu keluarga Ummi pernah bernazar dengan memotong kambing untuk suatu keperluan. Tetapi Abu tidak mau menunaikan nazar tersebut karena khawatir mengarah ke perbuatan syirik. Akhirnya Ummi menjadi 'tumbal' dari nazar yang tidak ditunaikan itu. Kejadian itu sudah berlangsung lama, mungkin sejak Ummi masih memiliki satu atau dua anak.

Sejak itu Ummi menjadi pendiam, pola komunikasinya menjadi kacau. Ia sering berbicara sendiri. Kadang sampai mengamuk sambil berteriak-teriak. Sambil lempar-lempar batu atau kayu. Orang kampung sudah memahami situasi ini, begitu juga dengan para santri perempuan yang biasanya mondok di pesantren yang berada di pekarangan rumah Abu. Kami para santri hanya bisa bersembunyi di bilik kalau Ummi sudah ngamuk, atau menyaksikan dari jauh kalau lokasi mengamuknya di luar pekarangan pesantren.

Jika sudah begitu, Abu yang biasanya sering menghabiskan waktu di mesjid akan membujuk Ummi pulang. Begitulah bertahun-tahun dilakoni Abu. Anak-anak mereka sepertinya juga sudah memahami kondisi Ummi. Mereka memaklumi. Meski tumbuh tanpa sentuhan tangan seorang ibu, nyatanya mereka tetap tumbuh seperti anak-anak lain. Dua anak perempuan Abu dan Ummi sudah menikah saat ini.

Diam-diam warga rupanya menaruh rasa prihatin pada Abu. Mereka pun berusaha mencarikan jodoh yang lain untuk Abu, dengan pertimbangan agar ada yang mengurus Abu, ada yang mengurus rumah, mengurus anak-anak. Apalagi, sebagai seorang ulama tentunya banyak tamu-tamu penting yang datang ke rumah Abu. Khususnya di hari-hari besar Islam. Mengingat kondisi Ummi sudah belasan tahun tak bisa melakoni semua tanggung jawab tersebut.

Tapi Abu tak pernah mau. Hal ini terbukti dari sekian lamanya Abu memilih 'mengurus' dirinya sendiri ketimbang mencari sosok pengganti Ummi. Pernah juga salah satu santri menaruh hati dan berharap Abu mau meminangnya sebagai istri. Selentingan kabar pernah juga Abu dijodohkan dengan murid-muridnya. Tapi Abu tak pernah mau. Abu adalah Abu yang sangat bersahaja, ke mana-mana selalu bersepeda ontel. Baru belakangan saja beliau punya sepeda motor Vespa. Itupun karena hadiah dari seorang hamba Allah. Abu sangat tawadhu.

Hingga beberapa tahun lalu saya menerima kabar dari ibu kalau Abu sudah menikah lagi. Bisa dibilang wargalah yang mempersiapkan semua itu. Warga seperti lega, Abu kini punya pendamping yang yang benar-benar bisa mendampinginya.

Setelah menikah, apakah perhatian Abu pada Ummi berubah? Tidak. Masih tetap seperti biasa. Setiap lebaran tiba, setiap ada orang yang berkunjung ke rumahnya, dan jika ada yang mau bersedekah, khususnya bagi para perempuan pasti Abu akan meminta mereka untuk memberikannya pada Ummi. Begitulah cara Abu memuliakan istri pertamanya. Ia tak pernah mengabaikan Ummi, meski Ummi tidak bisa merasakan kepedulian orang-orang di sekitarnya.

Setelah Abu menikah, kondisi rumah benar-benar berubah, sudah bersih, sudah rapi. Ummi muda mengambil alih seluruh peran yang tidak mampu dilakukan oleh Ummi tua, seperti merawat sepasang cucu kembarnya, menerima tamu-tamu yang hadir ke rumahnya, atau mendampingi Abu bepergian. Tapi yang menakjubkan, Ummi tua kini jarang mengamuk-ngamuk seperti dulu. Ya, itulah kenapa Abu harus menikah lagi.[]

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

4 komentar:

  1. Pilihan poligami atau tidaknya itu sudah pasti pilihan yang sulit bagi sepasang suami istri. Kita sebagai penganut agama yang baik, alangkah baiknya berlapang dada dan menerima juga mendoakan agar apapun pilihan mereka semoga itu yg terbaik bagi dirinya, istri, keluarga dan agamanya.

    Satu yang pasti, seorang ustadz adalah manusia. Bukan Tuhan apalagi nabi. Jika salah, ingatkan dengan cara yang baik bisa mendoakan jika ustadz tersebut adalah seorang public figure, jika benar kita ikuti sesuai tuntunan nabi.

    Semoga Allah melindungi lisan kita, jemari kita, perbuatan kita dari hal yang Allah benci.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kak sudah berkunjung dan meninggalkan jejak, :-)

      Hapus
  2. Ihan...., kakak suka sekali dengan cara Ihan menuliskan kisah ini. Sama sekali tidak ada pembelaan untuk sebuah tindakan poligami, namun pembenaran tersirat bhw ada tempatnya seseorang 'terpaksa' berpoligami mengalir dengan indah.

    What a brilliant way to write, ini, mah! Bravo. I love your writing style, Ihan. Go on. Terenyuh membaca kisah ini, semoga Ummi tua, Abu, Ummi muda dan keluarganya tetap dalam lindungan Allah, juga untuk masyarakat desa Ihan. Kepedulian mereka sungguh bikin haru. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih kak Alaika atas apresiasinya, memang kesan itulah yang ingin ditonjolkan, bahwa adakalanya seseorang terpaksa melakukannya karena faktor-faktor tertentu, dan tidak ada pihak-pihak yang tersakiti

      Hapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)