Jumat, 16 Desember 2016

Cinta Itu Sederhana, yang Rumit adalah Kita


Perlukah aku menyebut namamu dengan garang seperti dulu. Kurasa cukup dengan perlahan saja. Biarlah seperti angin yang bertiup santai, tapi mampu merapatkan kelopak mata. Atau seperti embun yang lembab saja, tetapi dinginnya mampu menembus dinding pori.

Kita tak perlu riuh seperti bayu yang gebunya meremukkan dahan-dahan kering. Atau bergemuruh seperti ombak yang melenyapkan butir-butir pasir. Biarlah mengepak perlahan, seperti kilau sayap camar yang berpadu dengan gurat senja di ujung waktu.

Bahkan saat hati ini melafalkan sesuatu, aku berharap telinga ini tak menangkap suara apapun. Sekalipun itu berbentuk doa. Semua tentangmu kuharapkan menjadi senyap yang lengang.

Kukatakan bahwa aku selalu mengingatmu. Kalimat yang kuucapkan itu seperti anai-anai yang terlepas dari kuntum bunga widuri. Ia terbang ke mana angin membawanya. Melesat begitu saja dari bibir ini. Perlukah kita menyembunyikan rasa?

Rasa membuat kita memahami, bahwa hangatnya mentari pagi mampu menembusi tulang yang tersembunyi di balik kulit. Membuat kita memahami, senyapnya fajar bercampur dengan udara yang lembab mampu menembusi indera kita sekalipun.

Bisakah kita menahan cangkang telur agar tidak pecah? Lalu bagaimana dengan kehidupan yang terdapat di dalamnya?

Cinta itu sederhana, yang rumit adalah kita!
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

2 komentar:

  1. Kemudian biarkan angin lembut bertiup menenangkan tanpa sedikitpun mengganggu masa. Biarkan ia datang menerpa, perlahan tanpa merumitkan jiwa ^^

    BalasHapus
  2. iya, saking sulitnya kenapa nggak tanya aja.. bang kapan lamar saya? :p

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)