Kamis, 22 Desember 2016

Sepakbola dan Pemenang Sejati


SAMPAI detik ini saya belum menemukan di mana letak 'kenikmatan' menyaksikan pertandingan sepak bola. Sekalipun pertandingan itu sekelas World Cup yang paling ditunggu-tunggu umat manusia sejagat.

Ya, saya kerap terheran-heran saat melihat orang-orang di sekeliling saya begitu antusias menunggu jadwal pertandingan sepak bola. Apalagi jika yang akan bertanding merupakan klub-klub sepak bola tersohor. Tentunya dengan pemain yang sudah menjadi bintang kelas dunia. Bukan lagi sekelas 'tarkam'.

Saya juga tak habis pikir saat seorang remaja perempuan tiba-tiba merajuk. Hasratnya menonton pertandingan antara Indonesia vs Thailand di Piala AFF gagal total, gara-gara adik lelakinya ingin menonton  film The Edge di chanel yang berbeda.

Kini bola bukan hanya milik laki-laki, tapi juga milik kaum perempuan. Sayangnya, saya belum bisa menyukai bola seperti saya menyukai senyumnya Neymar yang manis.

Bagi saya, yang menarik justru setelah pertandingan selesai. Menarik membaca berbagai status di time line media sosial. Menarik mencermati bagaimana seorang penggemar meluapkan kegembiraan ketika tim jagoannya menang. Pun sebaliknya, letupan emosi tersurat dengan jelas lewat umpatan-umpatan manakala tim yang didukungnya dengan setengah hati kalah dengan 'cantik'.


Layaknya sebuah pertandingan sepak bola, begitulah kehidupan kita sedang berlangsung. Ada banyak mata yang sedang menanti 'pertarungan' kita di arena kehidupan ini. Mata-mata itu menunggu dengan cemas, dengan perasaan waswas, penuh harap. Apakah seseorang yang sedang bertarung di arena kehidupan ini bisa memenangkan pertandingan atau justru kalah.

Seorang mahasiswa yang tak kunjung mendapatkan gelar sarjana, seorang sarjana yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan, seseorang yang sudah bekerja namun belum juga bisa menaikkan status sosialnya, pasangan yang tak kunjung mendapatkan keturunan, seorang suami yang tak pernah bisa memenuhi kebutuhan keluarganya secara layak, seorang perempuan yang sedang menanti jodohnya, orang tua yang berharap mendapat kebahagiaan dari anak-anaknya, atau seorang istri yang tak pernah pandai meracik rempah.

Mereka semua ibarat atlet sepak bola yang sedang bertanding di lapangan masing-masing. Orang-orang di sekitarnya adalah penonton yang sedang menanti kapan mereka akan mencetak gol. Di antaranya ada yang berteriak, bertepuk tangan, bersorak sorai memberi semangat. Memberi isyarat agar terus bergerak, bergerak, bergerak, melaju, melaju, melaju. Jangan pedulikan hambatan! Fokus!

Namun tak sedikit juga yang meragukan, meremehkan, menyepelekan, bahkan mencibir, ketika 'bola' yang ditendang melenceng dari gawang.  Bahkan saking derasnya menerima 'kiriman' emosi negatif, petarung yang harusnya bisa menang justru jatuh, terpuruk, tak bisa bangkit lagi.

Sungguh, menjadi petarung itu berat. Risikonya ketika kalah dianggap pecundang. Padahal si petarung sudah mengerahkan seluruh energinya untuk berlaga. Jika kita tidak bisa mendukung seseroang karena suatu alasan, janganlah menjadi penghalang baginya.

Kekalahan mengajarkan dua hal; pertama, tentang KEBERANIAN menghadapi tantangan. Kedua, tentang KEBERANIAN menghadari cibiran. Hanya PEMBERANI yang siap kalah, karena mereka BERANI mencoba. Dan mereka yang BERANI bangkit setelah kekalahannya adalah PEMENANG SEJATI.[]
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

3 komentar:

  1. Sedihnya saya nggak bisa main bola dan selalu dianggap kurang perkasa :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakbola itu cuma salah satu cabang olahraga, jadi nggak perlu sedih. Dan, eh, keperkasaan bukan di bisa atau enggaknya bermain bola kok hahaha

      Hapus
  2. Jelas Liga champions nomer 1, saya sudah rutin setiap tengah pekan walaupun mainnya selalu waktu maling beraksi. Itu sudah berlangsung sejak usia 8 tahun. Kalo disuruh milih, main bola seperti jauh lebih menarik. Buktinya seminggu intensitasnya bisa tiap hari.

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)