Senin, 04 Desember 2017

Traveling with My Boy Bike #2: Gagal Menaklukkan Pentagon



Menjadi seorang goweser, benarlah seperti yang aku duga. Membutuhkan stamina dan fisik yang kuat. Itu kalau kita memang ingin menjadi pengayuh sepeda, yang bisa mengayuh ke mana pun hati inginkan. Si goweser pemula ini sudah kena 'batunya' gara-gara ingin menyaingi para senior. Kapok? Justru itu bikin semangat untuk gowes jadi kian berapi-api.
Ceritanya, dua minggu lalu aku mengajak teman untuk gowes di hari Minggu. Dia bilang ayuk. Kami sepakat untuk 'nebeng' sebuah klub sepeda yang hari itu sudah merencanakan mau ke Pentagon. Konfirmasinya aku dapat jelang tengah malam.
Saking semangatnya, aku lupa menanyakan di mana itu Pentagon, bagaimana rutenya, dan memungkinkan atau tidak buat pemula seperti aku. Pentagon adalah nama yang 'sexy' bagi sejumlah kalangan komunitas sepeda di Banda Aceh, khususnya komunitas sepeda gunung. Setidaknya, teman-teman di dua komunitas sepeda yang aku kenal, menyebutkan kalau Pentagon cukup berarti untuk dituju.
Lalu, di mana itu Pentagon? Bukan, bukan di Amerika, melainkan di pedalaman Indrapuri sana, di Aceh Besar. Di gugusan Bukit Barisan. Ini salah satu lokasi persembunyian tentara GAM di masa lalu. Wajar kan kalau aku jadi sangat penasaran dengan lokasi ini.
Besok paginya, usai salat Subuh aku langsung bersiap-siap. Pukul 06:30 WIB harus sudah kumpul di Blang Padang. Dari sini kami loading (pergi dengan mobil) menuju Indrapuri. Aku girang bukan kepalang, kegirangan yang hanya seusia es batu yang dikeluarkan dari freezer. Begitu cepatnya ia menyublim.
See... pemandangannya sangat menakjubkan bukan?

Sampai di Indrapuri, mobil berhenti di masjid. Parkir di sini. Inilah titik start kami. Usai berdoa kami semua mulai bergerak, pelan tapi pasti aku mulai mendayung. Mengekor senior yang menjadi kepala suku. Mula-mula tak ada kendala apa pun. Aku mengayuh dengan santai, sambil sesekali merasakan uap tubuh yang hangatnya terasa lain. Sisa demam tak jadi beberapa hari yang lalu. Meski begitu aku terus berafirmasi, i can do it, i can do it.
Tapi i can do it saja ternyata tidak cukup. Saat mulai memasuki area yang berbukit, aku mulai kewalahan. Napas mulai ngos-ngosan, keringat keluar segede-gede gaban. Bisa ditebak, posisiku jadi yang paling cembret. Terakhir, aku memilih turun dan mendorong sepedaku agar sampai ke puncak. Sementara yang lain asyik saja mendayung dengan santai.
Sampai akhirnya, untuk menuntun sepeda pun aku tak sanggup lagi. Jalanku bagai siput. Di saat yang tepat seorang senior yang sudah di puncak turun lagi untuk mengambil sepedaku. Aku? Ya ampuuuunnn... ini sebenarnya 'aib' untuk diceritakan, tapi tak apalah. Aku malah terkulai tak berdaya di pinggir jalan. Tiba-tiba pitam dan gelap. Kemudian muntah-muntah. Duh... betapa memalukan. Di tengah situasi itu, temanku malah usil meledekku. Dia bilang aku jadi begitu gara-gara nggak pakai helm dan sarung tangan. Ingin rasanya kutimpuk bokongnya dengan kerikil.
Setelah pitamnya hilang aku dan teman tadi menuju ke bukit tempat yang lainnya sudah menunggu. Kalimat yang pertama kudengar adalah: gimana, mau lanjut atau balik aja?
Menyatu bersama embun
Tanpa memedulikan 'harga diri', aku langsung jawab, balik aja deh. Dan ini lagi-lagi jadi kesempatan buat si teman untuk menggoda. Ketika balik seorang diri aku baru tahu, rute yang kami lalui tadi ternyata sudah jauh melewati Pesantren Umar Diyan. Hanya saja kami masuk dari jalur yang berbeda. Walaupun gagal ke Pentagon, tapi ada rasa puas yang hinggap di hati. Oh, ini puas yang sebenarnya, bukan dalam rangka hanya untuk menghibur diri.
Pulangnya karena sudah sendiri, kecepatan gowesnya jadi suka-suka dong. Kalau lelah aku berhenti, sambil foto-foto, atau tiduran di rumput sambil merasakan embun yang tersisa. Hhh... inilah kedekatan paling tak berjarak dengan alam. Ada kedamaian yang merasuk ke jiwa. Sisanya, aku harus menempuh jarak Indrapuri-Banda Aceh yang jauhnya lebih dari 25 kilometer. Menghabiskan hingga tiga jam waktu karena harus berhenti hingga di beberapa tempat.
Mengayuh sepeda ibarat terus mengulang-ngulang doa, suatu saat kita akan sampai pada titik yang dituju. Buatku, bersepeda bukan sekadar untuk mendapatkan 'lelah'. Tetapi cara mudah untuk bersyukur kepada Pemilik Semesta.[]

Kamis, 30 November 2017

Berburu Oleh-oleh di Balikpapan dengan Tiket Pesawat Murah

via. tempatwisataseru.com

Mendengar nama Balikpapan, yang terpikirkan di benak kita adalah kota ini sangat dipenuhi dengan berbagai macam kegiatan industry dan pertambangan.
Namun jangan salah, di Ballikpapan ternyata banyak sekali tempat-tempat wisata menarik yang wajib untuk dikunjungi. Mulai dari hutan bakau hingga pantai, dengan ciri khas unik sehingga menjadikan Balikpapan sebagai salah satu tujuan wisata yang wajib didatangi.
Tidak heran rasanya jika kita melihat banyak orang yang memesan tiket pesawat ke Balikpapan untuk keperluan bisnis, namun kemudian betah berlama-lama di kota ini karena keindahan wisatanya.
Selain itu, melakukan perjalanan ke Balikpapan tidak lengkap pula rasanya mencicipi makanan khasnya. Di kota ini sendiri tersedia berbagai macam pilihan makanan yang bisa dicicipi langsung hingga dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Apalagi, masih banyak yang belum tahu apakah sebenarnya Balikpapan punya kuliner khasnya sendiri.
Jadi, jika sudah memesan tiket pesawat ke Balikpapan dan sudah mengunjungi tempat-tempat wisatanya, sekarang saatnya berburu oleh-oleh apa saja yang sebaiknya dicicipi. Berikut beberapa diantaranya:
1. Mantau
via.pondokmantau.com

Mendengar nama Mantau kita pastinya akan teringat dengan kue khas dari Tiongkok. Kue yang proses pembuatannya di kukus ini ternyata merupakan salah satu oleh-oleh khas dari Balikpapan.
Di Balikpapan, Mantau diolah lagi sehingga jadi terlihat berbeda dengan Mantau dari Tiongkok. Bahkan beberapa inovasi pun dilakukan oleh pembuat Mantau di Balikapapan.
Salah satunya adalah dengan menyediakan Mantau Lada Hitam yang kini tengah populer sebagai salah satu oleh-oleh dari Balikpapan.
Apalagi jika ditambahkan dengan isi daging didalamnya, dipastikan kue Mantau khas Balikapapan ini punya cita rasa yang sangat lezat.
2. Pisang gapit

via. prokal.co

Oleh-oleh khas berikutnya dari Balikpapan adalah Pisang Gapit. Bagi masyarakat lokal Blikapapan, oleh-oleh ini disebut pisang jepit.
Pisang khas Balikpapan ini ini dibuat dengan menggunakan bahan baku pisang gepok. Pisang tersebut kemudian dibakar dengan menggunapan api dari arang. Ketika sudah matang, pisang dijepit dengan alat dari kayu dan kembali dibakar hingga menjadi lebih matang.
Nah, untuk menambah kelezatan dari pisang, biasanya pembuat Pisang Gapit akan menambahkannya dengan kuah cokelat plus aroma nangka, gula merah dan santan. Penasaran? Yuk, cicipi oleh-oleh ini langsung di Balikpapan.
3. Aneka olahan kepiting

via. bandanaku.wordpress.com

Salah satu makanan utama yang pasti akan selalu ada di Balikpapan adalah kepiting. Hampir di setiap restoran atau warung makan yang ada di Balikpapan menyediakan kepiting sebagai salah satu menunya.
Tidak heran rasanya jika kepiting ini kemudian diolah lagi, sehingga menjadi ciri khas oleh-oleh yang akan dibawa pulang bagi pendatang yang berkunjung singkat ke Balikpapan.
Berbagai oleh-oleh yang bisa dibawa pulang ini diantaranya adalah kepiting tauco, kepiting mentega, hingga kepiting lada hitam.
Namun, selain makanan tersebut, kepting di Balikapapan juga diolah menjadi makanan lainnya, yaitu menjadi abon.
Cara pembuatannya hampir sama dengan abon yang menggunakan bahan dasar populer seperti sapi atau ayam. Namun, kali ini menggunakan bahan dasar kepiting.


via abonkepiting.com

Salah satu ciri khas yang biasanya akan dirasakan saat mencicipi abon kepiting bersama nasi putih hangat adalah, tekstrunya yang halus, namun menghadirkan rasa yang lebih gurih dan nikmat, apalagi jika ditambahkan dengan olahan sambal pedas.
Dijamin, kepiting abon dari Balikpapan ini punya cita rasa yang tidak ada duanya. Nah, jika sudah memesan tiket pesawat ke Balikpapan, dan kemudian sudah puas mengunjungi tempat wisatanya, jangan lupa untuk membeli salah satu abon kepiting di Balikpapan.

Sebagai rekomendasi abon kepiting dengan merek Botting biasanya akan diburu oleh para pendatang yang sedang berkunjung ke Balikpapan untuk berwisata.[] 

Sabtu, 25 November 2017

Traveling with My Boy Bike: Gowes di Aceh Selatan

ADALAH pengalaman tak terlupakan dalam ingatan saat kita bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan. Bersepeda akhir-akhir ini memang menjadi salah satu hobi yang mendapat prioritas, selain tetap menulis seperti biasa. 

Seperti halnya hobi-hobi yang lain, makin dilakukan makin bikin penasaran dan makin menantang. Bersepeda kini menjadi hobi yang makin menarik untuk kulakoni. Ini pula yang membuatku bela-belain memboyong sepedaku ke Aceh Selatan pada 13-17 November, tujuannya agar tetap bisa bersepeda di sela-sela padatnya workshop.

Dan ternyata benar, padatnya agenda workshop nyaris tak memberiku kesempatan untuk itu. Syukurlah kami datang sehari sebelum acara, jadi ada sedikit waktu untuk mengeksplore sebagian wilayah Aceh Selatan dengan sepeda.

Daerah itu adalah Kecamatan Samadua, yang berbatasan langsung dengan Kota Tapaktuan, Ibu Kota Kabupaten Aceh Selatan. Cerita seru tentang perjalanan ini akan aku tulis belakangan, sementara aku tampilkan beberapa foto-fotonya dulu ya. Berikut foto-fotonya: 


Di lokasi air terjun Air Dingin di Kecamatan Samadua, Aceh Selatan. Capture by Seila Azzafira


Di bawah marka jalan di ruas jalan nasional Aceh Barat Daya-Aceh Selatan, di Kecamatan Samadua. Capture by Seila Azzafira

Di jembatan gantung di sungai Gunung Sikabu, Kecamatan Samadua, Aceh Selatan. Capture by Seila Azzafira

Di perjalanan menuju jembatan gantung Gunung Sikabu, Kecamatan Samadua, Aceh Selatan. Capture by Seila Azzafira

Berenang bersama bocah di kolam di bawah air terjun Air Dingin Samadua, Aceh Selatan. 

Lelah mendayung, akhirnya 'nebeng' kawan hehehe. Capture by Seila Azzafira


Aishaderm; Klinik Cantik Muslimah yang Bukan Sekadar Tagline


Seorang wartawan melihat shampoo Aishaderm yang terdapat dalam bingkisan. Selain shampo juga terdapat gelas cantik @ihansunrise.com

KESAN teduh dan damai langsung tertangkap indera begitu aku memasuki Klinik Aishaderm di Jalan Sultan Mahmudsyah No. 4-5 Banda Aceh, Kamis pagi, 23 November 2017. Interiornya didominasi warna cokelat, tampak serasi dengan kombinasi hijau dan putih yang diaplikasikan pada seperangkat sofa dan ornamen dinding. Sambutan hangat dari pegawainya yang juga berkostum senada menambah semangatku untuk terus melangkah.

Ihansunrise.com mendapat kesempatan menghadiri konferensi pers untuk melihat-lihat sekaligus merasakan perawatan langsung dari Klinik Aishaderm. Hari ini, Sabtu, 25 November klinik ini resmi hadir dan beroperasi di Banda Aceh . Sejak awal mendapatkan tawaran 'hibah' dari Liza, aku sangat bersemangat. Penasaran, seperti apa sih Klinik Aishaderm ini yang digadang-gadang sebagai "Klinik Cantik Muslimah ini".

Seperangkat produk yang telah di-display di atas meja langsung menarik perhatianku. Sebelumnya aku juga berkenalan dengan Mbak Ined, Marketing Aishaderm Pusat yang bermarkas di Sidoarjo, Jawa Timur, juga dengan Mbak Yuanita selaku Branch Manager Aishaderm Banda Aceh.

Kembali ke produk tadi, berhubung para undangan lainnya belum banyak yang hadir, aku dan cutdekayi.com tak menyia-nyiakan kesempatan. Berbekal kamera yang sudah siap tempur, kami langsung jepret-jepret produk dan interiornya yang memang sangat eye catching. Cekrekkk!!!

Steril dari Pengunjung Laki-laki

@ihansunrise.com

Sesaat sebelum acara dimulai, aku dan cutdekayi.com sempat bincang-bincang seputar tempat perawatan kecantikan perempuan di Banda Aceh. Salah satu kriterianya harus 'steril' dari laki-laki. Bagi kita yang muslimah faktor ini menjadi sangat penting. Soalnya ada salon & spa yang didaulat khusus untuk perempuan, eee tak tahunya pernah ada laki-laki yang masuk main selonong saja. Kan bikin nggak nyaman jadinya.

Ternyata inilah yang sangat dipahami Aishaderm. Mbak Ined dalam keterangannya saat konferensi pers mengatakan, Klinik Aishaderm benar-benar women only. Laki-laki pantang masuk. Tetapi bukan berarti mereka tidak memberi solusi kalau ada pria yang datang untuk membeli produk. Di sinilah uniknya, sebab ada pintu khusus bagi konsumen laki-laki yang hanya menjangkau bagian market tempat produk-produk dipajang. Terus, gimana kalau ada pria yang datang untuk mengantarkan pasangannya? Mohon maaf ya Mas, Abang, Om, monggo tunggu di luar saja.

Beberapa teman perempuan saat kuberitahu soal ini langsung antusias. Mereka langsung girang karena kini punya klinik perawatan yang representatif untuk dikunjungi.

Para pegawai dan therapist-nya --yang semuanya pekerja lokal-- juga menggunakan hijab. Mereka tetap tidak melepaskan hijabnya saat sedang memberi perawatan bagi pasien, padahal sedang ada di ruang khusus. Keren kan? Kalau seperti ini, baru namanya bukan sekadar tagline.

Manfaat Buah Kurma dan Tin



Krim siang di pojok market Klinik Aishaderm @ihansunrise.com


Kurma dan tin telah lama diketahui memiliki manfaat yang baik untuk kecantikan. Kurma, dengan kandungan 0% gula, lemak, protein, dan mineral lainnya seperti asam folat dan magnesium, membantu melembabkan kulit serta berfungsi sebagai antipenuaan dini. Kandungan vitamin B6-nya juga akan membantu mencerahkan kulit.

Sementara buah tin dipercaya memiliki kandungan mineral alkali yang bisa mengontrol Ph kulit dengan sangat baik, membantu mengatasi jerawat, dan mencerahkan kulit. Dengan dua manfaat ini yang diproses dengan teknologi tinggi Aishaderm diharapkan menjadi solusi muslimah agar tampil lebih percaya diri dengan kulit yang sehat.

Tetapi, pesan Mbak Ined, yang terpenting bagi kita adalah mengenali diri sendiri. Dalam artian, mengenali jenis kulit kita sendiri sehingga bisa melakukan perawatan dan memilih produk yang cocok sesuai kulit. Dan yang lebih penting lagi kata Mbak Ined, cantik itu tidak selalu identik dengan kulit putih. Apalagi untuk kulit orang Indonesia khususnya Aceh yang tinggal di daerah tropis. Ada macam-macam warna kulit. "Kulit yang cantik adalah kulit yang sehat, warnanya merata," lebih kurang seperti itu kata Mbak Ined dalam konferensi pers.

Selain itu Aishaderm yang diproduksi oleh PT. Dion Farma Abadi ini juga sudah memiliki sertifikat Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Dan yang paling penting ada sertifikat halal dari MUI, jadi insya Allah aman untuk dipakai. Produk-produknya diracik dengan teknologi NANOSOME yang mampu mengubah partikel menjadi satu juta kali lebih kecil, sehingga bisa diserap maksimal oleh kulit.

Jenis Produk

Aneka produk Aishaderm yang diracik oleh dr. Fredy @ihansunrise.com

Aishaderm memiliki aneka varian yang bisa disesuaikan dengan jenis kulit dan masalahnya. Memang tidak seru kalau nggak lihat langsung, tapi setidaknya rincian ini bisa sedikit memberi gambaran. Ini dia jenis-jenis produknya:


Facial Jawhara Kurma
=> Perawatan kulit wajah menggunakan bahan alami yang berasal dari kurma berfungsi untuk relaksasi, melancarkan peredaran darah, membersihkan komedo, melembabkan dan mencerahkan kulit wajah.

Produk ini memiliki tiga varian lainnya yaitu Facial Jawhara Kurma for Acne, Facial Jawhara Kurma for Bright, dan Facial Jawhara Kurma for Anti-Aging.

Facial O2 Afiyah 
=> Memiliki tiga varian yaitu untuk Acne, Brightening, dan Anti-Aging.

Jawhara Peel GL

=> Perawatan peremajaan kulit wajah menggunakan bahan natural peeling untuk kulit normal yang berfungsi mengangkat sel kulit mati dan mensitumulasi pertumbuhan sel kulit baru, melembabkan, mengencangkan, dan mencerahkan.

Jawhara Peel Acne
=> Perawatan peremajaan kulit wajah menggunakan bahan natural peeling untuk kulit berjerawat yang berfungsi mengangkat sel kulit mati dan mensitumulasi pertumbuhan sel kulit baru, mengurangi dan mengatasi jerawat serta mencerahkan.

Najma Peel
=> Perawatan peremajaan kulit wajah menggunakan bahan natural peeling untuk kulit sensitif/kering/normal yang berfungsi mengangkat sel kulit mati dan menstimulasi pertumbuhan sel kulit baru, melembabkan, mengencangkan, dan mencerahkan.

Aisha Radiofrekuensi
=> Perawatan pengencangan dengan menggunakan teknologi gelombang radiofrekuensi yang dapat meningkatkan metabolisme sel kulit dan pembentukan kolagen sehingga membuat kulit kembali kenyal, lembab, dan kencang.

Aisha Mesotherapy
=> Perawatan wajah dan tubuh dengan cara mentransfer natural produk ke dalam target organ menggunakan alat mesigun yang berfungsi untuk mengurangi kerutan, pigmentasi/flek, kantung mata, strecthmark, selulit dan juga lemak pada area tertentu.

Aisha Mesotherapy for Hair
=> Perawatan rambut dengan cara mentransfer natural produk ke dalam kulit kepala dengan menggunakan alat mesogun yang berfungsi mengurangi kerontokan dan ketombe.

Aisha Light Therapy
=> Masing-masing terdiri dari light BLUE and RED, masing-masing untuk membasmi jerawat dan membuat kulit kencang.

Aisha Light Therapy for Hair
=> Perawatan menggunakan gelombang merah untuk merangsang pertumbuhan kolagen dan elastin yang bisa mengurangi kerontokan dan ketombe.

Aisha Jetpeel
=> Perawatan kulit wajah dan tubuh dengan menggunakan bahan alami yang dikombinasikan dengan tekanan oksigen tinggi untuk memperbaiki metabolisme kulit untuk peremajaan, pencerahan, antiaging, dan strectmark.

Aisha Jepeel for Hair
=> Perawatan rambut dengan menggunakan bahan alami yang dikombinasikan dengan tenakan oksigen tinggi untuk memerbaiki metabolisme kulit kepala sehingga membantu mengurangi kerontokan rambut dan ketombe.

Konsultasi Gratis

Seorang therapist sedang mepraktikkan perawatan wajah @ihansunrise.com
Klinik ini juga menyediakan dua dokter untuk memberikan konsultasi bagi customer. Jadi, sebelum memutuskan akan melakukan perawatan apa dan menggunakan produk apa, bisa tanya-tanya dulu pada dua dokter yang akan selalu standby yaitu dr. Harfina dan dr. Ika. Calon customer juga tidak diwajibkan membeli produk atau melakukan perawatan kalau misalnya setelah konsultasi tiba-tiba ingin langsung pulang. Asyik kan ya... jadi kita benar-benar dibuat nyaman di sini.

Sebagai informasi tambahan, klinik ini juga menyediakan ruang salat yang nyaman di lantai satu. Di lantai dua ada ruang khusus laktasi bagi ibu-ibu yang mungkin saja membawa bayi. Duh... dimanjakan banget ya. Eit... satu lagi, harganya juga terjangkau banget. Untuk produk-produk misalnya, berkisar antara Rp30-100 ribu. Sementara untuk perawatan mulai dari Rp60 ribu. Huff.... jadi ingin balik lagi ke Klinik Aishaderm. Yuk ahh...!!


Sabtu, 11 November 2017

Seseorang Bertanya tentang Zenja


Seseorang bertanya; mengapa tidak pernah kau tag Zenja di status-statusmu yang puitik?

Aku tak ingin menjawab. Tapi seseorang itu terus mendesak. "Aku penasaran," ucapnya.

"Tidak semua statusku kutujukan untuk Zenja. Dalam sepuluh status mungkin hanya satu dua yang benar-benar kutujukan, atau terinspirasi dari Zenja. Selebihnya bisa dari dan untuk siapa saja," jawabku kemudian.

"Mengapa begitu?" ia bertanya lagi.

Kali ini, pepatah diberi hati minta jantung benar adanya. Tapi demi sorot matanya itu aku berbaik hati menjawab.

"Jika duniaku hanya tertuju kepada Zenja, betapa sempitnya hidupku. Sedangkan aku ingin punya kehidupan yang seluas kehidupan itu sendiri."
"Wow... Bagaimana caranya?"

Hahaha. Aku tergelak. Dia bertanya lagi. Aku enggan menjawab. Pertanyaan yang terjawab adalah bibit untuk pertanyaan baru. Tumbuhnya seperti diberi mantra. Dalam sekali tarikan napas.

"The last quest," katanya membujuk. Matanya mengerjap-ngerjap jenaka.

"Caranya adalah dengan berikhtiar untuk tidak mengorek-ngorek informasi tentang kehidupan orang lain."

Mata yang berbinar itu tiba-tiba padam.[]

*Status Facebook 10 November 2017

Selasa, 07 November 2017

Menyeduh Narasi Dalam Secangkir Kopi

Tampilan blog saya

SETELAH menunggu sekitar sepuluh menit, kopi yang kupesan akhirnya terhidang juga. Semerbak aroma kopi Gayo seketika menyerbu indra penciumanku. Merasuki otak. Tak berselang lama setelah aku menyeruputnya, kantuk yang tadi masih hinggap di pelupuk mata rasanya menjadi luruh seketika. Ini memang hanya karena faktor sugesti saja. Tapi setidaknya setelah membaui aroma kopi, ide-ide yang ada di kepala lebih mudah dituangkan menjadi narasi.
Kopi dan narasi adalah dua hal yang sangat kugilai. Entah dari mana 'hal gila' ini kuwarisi. Sebab ayah dan ibuku bukanlah penikmat kopi, mereka juga tidak pernah bergelut dengan kata-kata.
Aku tak pernah lupa bersyukur untuk hal ini. Melalui hobi yang kulakoni sejak belasan tahun silam ini, aku lebih mengenal diriku sendiri. Aku menjadi seperti apa yang aku inginkan.
+++
Saat aku menuliskan catatan ini, ingatanku seketika terlempar ke masa lebih dari dua puluh tahun silam. Aku masih seorang gadis kecil yang tomboy. Orang tuaku tinggal di desa dengan topografi perbukitan di Aceh Timur sana. Sejauh mata memandang, yang tampak adalah kebun kelapa dan kakao milik warga setempat. Dengan topografi desa yang seperti ini, kesulitan air bersih menjadi makanan sehari-hari. Terutama di musim kemarau panjang.
Tapi bagi kami yang masih anak-anak, musim kemarau tetap memberikan keasyikan tersendiri. Saban sore kami harus menempuh jarak berkilo-kilometer untuk mandi. Anak-anak di desa kami sangat kompak, termasuk dalam hal mandi bersama. Inilah yang selalu kami tunggu-tunggu.
Pukul empat sore kami mulai bergerak menuju kaki bukit. Berjalan bergerombol mengikuti jalan setapak di antara kebun-kebun warga. Kadang-kadang kami berpapasan dengan babi hutan. Tapi itu tidak membuat kami takut. Karena babi-babi itu juga akan lari terbirit-birit mendengar sorak-sorai kami yang riuh. Pulangnya kami membawa air dalam jeriken isi lima liter, sebagai bekal mandi besok pagi.
Suatu sore, dalam perjalanan pulang dari kaki bukit di musim kemarau, seperti biasa kami melewati jalan setapak yang berada di antara kebun-kebun warga. Kaki-kaki kecil kami kembali dipenuhi bunga-bunga rumput. Meski sudah mandi, keringat kembali membanjiri tubuh karena kelelahan naik turun bukit. Suara sandal jepit berdecit-decit saat bergesekan dengan telapak kaki yang licin. Tapi tidak sekalipun itu menjadi sumber keluhan kami.
Tidak seperti biasa, aku malah sibuk dengan imajinasiku sendiri. Sama sekali tidak terusik dengan keriuhan dan keusilan teman-teman. Aku membayangkan masa-masa ketika aku sudah besar nanti, jadi apa aku, tinggal di mana aku. Hatiku saat itu mengikrarkan; kelak ketika aku dewasa aku ingin menjadi seseorang yang berbeda dari teman-temanku.
+++
Terus belajar mengasah kemampuan diri

Kembali kuseruput kopi pesananku yang masih mengepulkan asap. Kombinasi pahit dan manis memberikan sensasi tersendiri di lidah. Kuedarkan pandangan ke sekeliling warung, sekadar untuk merileksasi mata setelah lama menatap layar laptop.
Toko dua pintu yang disulap jadi warung kopi ini tampak sepi . Hanya ada beberapa pengunjung yang duduk di tiga meja terpisah, aku salah satunya. Belakangan datang dua wanita muda yang duduk di dekat meja kasir. Suasana yang lengang membuatku sangat nyaman untuk menulis.
Bertahun-tahun setelah sore di jalan setapak itu, aku menyadari kini aku menjadi sosok yang sangat berbeda dengan teman-temanku dalam hal pekerjaan. Apakah impian di masa kecilku itu telah terwujud? Aku bilang iya, sebab tidak ada satu pun teman masa kecilku yang pekerjaannya berhubungan dengan literasi, seperti yang aku lakoni. Hobi menulis yang terus kuasah ini telah menjadikanku berbeda dengan mereka. Setidaknya aku kini menjadi lebih terkenal dibandingkan mereka ha ha ha.
Ngomong-ngomong soal hobi, aku memaknainya laiknya seperti seorang kekasih saja. Berlebihan? Ah, tidak juga. Bukankah kita rela melakukan dan mengorbankan apa saja demi menyenangkan hati kekasih kita? Itu juga yang kulakukan untuk menyalurkan hobi menulisku yang 'kumatnya' tak pernah kenal waktu.
Aku belum lupa bagaimana rasanya jari-jari tangan ini ‘keriting’ dan pegalnya minta ampun karena harus menulis di atas kertas. Itu zaman saat aku belum memiliki gawai untuk menulis. Hampir setiap malam aku bergadang hanya untuk membuat satu dua catatan, puisi atau cerpen.
Lalu besoknya atau saat punya waktu luang, aku ke warung internet untuk menuliskan ulang sebelum dikirim ke media massa atau sekadar untuk diposting di blog. Tapi hal itu justru membuatku bahagia dan senang. Terutama ketika ada orang-orang yang mengapresiasi karya tulisku.
Hobi menulis ini pula yang mengantarku menjadi seorang pekerja media seperti saat ini. Sebuah pekerjaan yang membahagiakan, sebab aku bekerja untuk menyalurkan hobiku. Sebuah pekerjaan yang awalnya sempat ditentang oleh ibu. Kata ibu suatu ketika, menjadi perempuan itu 'jangan aneh-aneh', bekerja kantoran saja, syukur-syukur bisa jadi PNS karena itu jauh lebih fleksibel. Kalau jadi wartawan, kapan di rumahnya?
Tapi aku ---meski pendiam namun keras kepala- tetap bersikukuh pada keputusan yang sudah kuambil. Buatku ini tantangan, bukan cuma soal sekadar menyalurkan hobi menulis. Tapi bagaimana menjadikan hobi ini bermanfaat bagi orang lain. Bisa menjadi 'suara' bagi orang lain. Karena ada banyak persoalan yang tak hanya cukup secara lisan saja untuk menyuarakannya, tapi harus lewat tulisan. Karena berangkat dari hobi ini pula, aku sangat menikmati pekerjaanku.
Bersepeda ke Glee Gurah, Peukan Bada, Aceh Besar

Memiliki hobi menulis memiliki kesan tersendiri. Banyak teman atau bahkan orang yang tak dikenal memercayakan aku untuk berbagi rahasia mereka. Sebuah pengalaman saat masih SMA misalnya, seorang teman tiba-tiba memintaku untuk menuangkan isi kepalanya dalam sebuah diari. Waktu itu saat dunia daring belum booming seperti sekarang, diari menjadi alternatif jitu untuk menuliskan semua perasaan penulisnya.
"Tapi harus siap dalam malam ini juga," kata temanku dengan suara bergetar.
"Siap malam ini? Diari ini tebal lho.." jawabku kaget.
"Iya, karena besok akan kuberikan pada si A."
Oow... pahamlah aku sekarang. Ternyata temanku ini mau memberikan diari itu kepada mantan kekasihnya yang baru putus beberapa hari lalu. "Aku ingin dia tahu perasaanku yang sebenarnya..." kata si teman lagi dengan mata berkaca-kaca.
Jadilah malam itu kami (aku) menulis hingga larut malam. Temanku itu bercerita, lalu aku merangkum ceritanya dan menuliskannya menjadi narasi yang puitik dan melankoli. Tujuannya cuma satu, agar si mantan kekasihnya itu merasa menyesal dan bersalah karena telah memutuskan dia. Besoknya aku juga yang ditugaskan untuk memberikan diari itu pada mantan kekasih temanku itu, yang temanku juga. Dan ternyata cowok itu benar-benar menyesal. Dia minta balikan, tapi temanku ini tidak mau. Di situ aku merasa misiku telah berhasil ha ha ha.
Di lain waktu, seorang ibu muda yang berdomisili di pulau seberang tiba-tiba mengirimkan pesan melalui Facebook. Sesaat setelah aku menayangkan sebuah cerita tentang cinta segitiga di blogku. "Cerita hidupku nggak kalah satirenya dengan kisah orang yang ada dalam cerita itu, maukah kamu menuliskannya?"
Permintaan itu sejenak membuatku terkesima. Tak lama kemudian perempuan itu menumpahkan semua isi hatinya yang selama ini ia pendam. "Aku ingin perempuan-perempuan di luar sana tidak mengalami kejadian seperti yang menimpaku," katanya di ujung cerita.
Mungkin terkesan sederhana ya? Hanya menuliskan apa yang kulihat dan kurasakan menjadi sebuah tulisan. Tapi itu menjadi sangat luar biasa rasanya ketika melihat mata yang penuh binar, karena kita menuliskan cerita tentang mereka dengan baik dan apik.
Buatku pribadi, menulis adalah menyempurnakan rasa. Saat lisan tergagap dalam menyampaikan sesuatu, maka tulisan akan mengambil alih pekerjaan itu. Lalu ia mengabadikannya bersama waktu. Atau serupa kopi, yang tak hanya menjadikan candu tapi juga menggairahkan.[]

Minggu, 05 November 2017

Menjaga Leuser, Menjaga Sumber Air


Terpilih sebagai salah satu penerima beasiswa Perempuan Peduli Leuser merupakan satu hal yang sangat saya syukuri. Walaupun workshopnya baru berlangsung sekali, namun banyak pengetahuan baru yang saya dapat sehingga membuka lebar-lebar cakrawala berpikir saya. Khususnya mengenai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang menjadi wilayah sentral kerja USAID Lestari di Aceh.
Menyebut Leuser, tentu bukan nama yang asing bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh. Wujudnya sebagai gunung dengan ketinggian 3.404 mdpl menjadikannya sebagai gunung tertinggi di Aceh dan tentunya menjadi primadona. "Digunjingkan" semua orang terkhusus para pecinta alam dan aktivis lingkungan. Bagi seorang pendaki gunung, bisa menapakkan kakinya di puncak Leuser yang misterius adalah kebahagiaan tak terdefinisi. Nyatanya menaklukkan Leuser memang tak mudah.
Leuser kian masyur ketika pemerintah pada 1980 menabalkan namanya sebagai Taman Nasional Gunung Leuser yang mencakup Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Aceh Tamiang. Termasuk sebagian wilayah Sumatera Utara meliputi Kabupaten Dairi, Karo, dan Langkat. (wikipedia)
Kita, masyarakat di Provinsi Aceh, patut berbangga akan hal ini. Leuser, khususnya Kawasan Ekosistem Leuser adalah milik seluruh umat yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia. Tak hanya sebagai penyedia oksigen yang kita hirup setiap kali menarik nafas, Leuser adalah cembung air bagi kita.

Maka menjaga Leuser adalah tugas dan tanggung jawab semua orang, bukan hanya masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan saja. Itulah pesan tersurat yang disampaikan Bang Ivan Krisna, Koordinator USAID Lestari Aceh, dalam serial workshop pertama pada pertengahan Oktober 2017 di Blangkejeren, Gayo Lues.
Secara gamblang Bang Ivan menjelaskan, Gayo Lues misalnya, sebagai salah satu kabupaten yang menjadi inti dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) saja memiliki lima Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang menjadi pemasok air bagi 13 kabupaten. Kelima DAS itu adalah DAS Alas, Tamiang, Perlak, Jambo Aye, dan Kuala Tripa. Begitu juga dengan Aceh Tenggara yang memiliki DAS besar pemasok sumber air ke wilayah tetangganya. Bisa dibayangkan jika kawasan ini rusak? 
Sayangnya, sungai-sungai itu debit airnya terus menyusut. Sejalan dengan perusakan hutan yang membabi buta. Namun tidak dibarengi dengan peremajaan hutan atau reboisasi. 
Apakah memang sama sekali tidak ada yang berusaha menyelamatkan hutan? Ada, tentu saja ada. Tetapi jumlah mereka tentu bisa dihitung dengan jari. Itupun dengan imbalan yang hanya bisa diharapkan kepada Tuhan saja sebagai pemilik semesta. 
Dengan luas mencapai 2,6 juta hektar, KEL juga memiliki fungsi lain sebagai sumber mataha pencarian warga, perlindungan bencana, jasa lingkungan, hingga penyerap karbon.
Dihuni Lima Spesies Kunci
Keistimewaan lainnya Leuser adalah kaya akan flora dan fauna yang selalu mengundang rasa penasaran bagi peneliti. Berdasarkan lembar informasi yang saya dapatkan dari USAID Lestari, lebih dari 4.500 spesies tanaman tumbuh di kawasan ini, ada 382 jenis burung, 350 spesies serangga, 92 spesies melata, dan 81 spesies ikan.
Angka ini sama dengan 45% dari estimasi spesies tanaman di Indo - Malaya Barat, 85 % estimasi total spesies burung sumatera dan 54% estimasi hewan darat di Pulau Sumatera, ada di Leuser. Sungguh, kita akan kekurangan kosa kata untuk menggambarkan betapa luar biasanya karunia Allah yang dititipkan di bumi Aceh ini.
Leuser juga menjadi rumah bagi lima spesies kunci yaitu gajah, orangutan, harimau, beruang, dan badak. Sayangnya hewan-hewan ini semuanya terancam punah. Hewan-hewan itu dijadikan komoditas bernilai tinggi. 
Padahal, seperti kata Bang Ivan, keberadaan hewan-hewan ini adalah pelengkap siklus kehidupan itu sendiri. Gajah misalnya, berperan penting dalam proses penyebaran biji-biji tumbuhan. Meminjam istilah Bang Ivan, disebut dengan suksesi di alam.
Sayangnya manusia --yang diutus sebagai khalifah di bumi-- justru tak bisa mengaplikasikan perannya dengan baik. Manusia sering salah dalam melakukan perencanaan ekonomi, sehingga tidak bijak dalam mengelola hutan sesuai fungsi dan keberadaannya. 
Tetapi tidak ada kata terlambat untuk memulai sebuah niat baik bukan?[]
Ket foto: 
1. Aliran air dari pegunungan di Kecamatan Dabun Gelang, menuju ke Kecamatan Pining, Gayo Lues. @ihansunrise
2. Kami beberapa peserta Perempuan Peduli Leuser main-main ke objek wisata Genting di Kecamatan Pining, Gayo Lues @ihansunrise

Selasa, 10 Oktober 2017

Saturday with My Boy Bike


BERSEPEDA kini menjadi aktivitas baru yang sangat menyenangkan buatku. Selain rutin berlatih aikido dua kali seminggu, bersepeda masuk dalam daftar aktivitas mingguan yang kulakukan. Terutama di akhir pekan dan waktu-waktu senggang. Alhasil kegiatan berlari yang sebelumnya juga rutin kulakukan terpaksa dipending dulu untuk waktu yang tidak terbatas.
Karena susah menyocokkan waktu dengan teman-teman, jadinya aku lebih sering bersepeda sendirian. Teman-teman di komunitas selalu gowes bareng di hari Minggu, sementara aku pada hari itu malah kerja. Jadinya belum sekalipun niat gowes bareng mereka terwujud sampai hari ini. Kalau ingin bersepeda dengan rute yang jauh aku harus melakukannya di hari Sabtu, karena hari itu aku libur.
Setelah sebelumnya sempat bikin janji dengan dua teman untuk bersepeda bersama di Sabtu pagi, eee.... lagi-lagi aku harus gowes sendirian. Teman yang satu malamnya harinya terpaksa membatalkan karena ibunya datang dari kampung. Mira juga membatalkan karena ada acara di kampus. Karena memang sudah diniatkan untuk gowes, aku tetap bergerak.
Kali ini aku menjajal rute menuju arah matahari terbit. Pukul delapan pagi aku mulai bergerak dari markas di Peulanggahan, Banda Aceh menyusuri jalanan kota yang lengang. Setidaknya cukup nyaman saat harus melewati Jalan Teungku Chik Ditiro yang sedang ada proyek pembangunan jalan layang. Untuk keluar dari Kota Banda Aceh aku memilih menyusuri jalan kampung di sepanjang bantaran Krueng Aceh. Debit air sungai terlihat lebih banyak dari biasa dan warnanya kecokelatan.
Sampai di Lamteungoh, lewat bundaran Lambaro, aku memutuskan mampir di rumah Kak Syarifah Aini. Teman sesama blogger dan juga anggota Forum Aceh Menulis (FAMe). Ide ini muncul tiba-tiba di tengah perjalanan saat aku berhenti sebentar di Pagar Air untuk sarapan. Selain untuk menyambung silaturrahmi, bisa sekalian istirahat kan? Di rumah Kak Aini aku disuguhi secangkir kopi. Dalam obrolan singkat itu kami mendiskusikan dua hal yaitu tentang buku dan disleksia.
Setelah kopi habis dan obrolan pun dirasa cukup, aku berpamitan setelah sebelumnya melihat-lihat kelinci di kandang samping. Kak Aini ini adalah seorang lulusan Fakultas Kedokteran Hewan dan sangat suka pada kelinci. Bersama suaminya Bang Yudi, ia berternak kelinci. Sekali waktu saat buka puasa bersama ia membawa kelinci rendang. Dan ternyata rasanya..... sangat enak lho!

Tujuanku selanjutnya adalah menuju Gampong Lubuk Sukun di Kecamatan Ingin Jaya. Lubuk Sukon ditetapkan sebagai Desa Wisata oleh kementerian terkait pada 2013 lalu. Aku sering melewati desa ini karena ada kerabat yang tinggal di Paleuh Blang. Desa ini cukup menarik secara visual, suasana desanya masih sangat kental. Ciri khas desa ini adalah rumah-rumah berpagar tanaman perdu yang kita kenal sebagai teh-tehan atau bak te. Memberikan kesan asri dan teduh. Di sini juga masih banyak dijumpai Rumoh Aceh.
Karena sendirian, aku tidak berlama-lama di sini, lagipula rute yang harus kutempuh masih panjang. Dari Lubuk aku langsung mengambil jalan pintas melewati Gedung SKB dan tembus ke Gampong Dham Cukok. Terus mendayung hingga bertemu jalan besar menuju Bandara SIM, dari sini aku mengarahkan kemudi ke kanan melewati Gampong Gani, lalu belok kiri melintasi Gampong Lam Siem.
Rute ini sudah tidak asing lagi buatku, dulu aku sering melintasinya dengan sepeda motor. Dan kali ini ingin kembali menjajalnya dengan kereta angin alias sepeda. Walaupun jam digital sudah menunjukkan angka di pukul sepuluh lebih, namun matahari masih sangat bersahabat. Melewati perkampungan yang hijau dengan paparan matahari yang tidak begitu garang sangat mengasyikkan.

Sampai di Gampong Lam Baet aku berhenti sejenak di pinggir sawah untuk minum dan meluruskan kaki. Harusnya ada kopi ya, biar santainya jadi lebih terasa. Jalanan ini cukup lengang, tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Di Lam Baet ini sebenarnya ada juga seorang teman, tapi aku urung menghubunginya dengan pertimbangan harus sampai ke rumah sebelum Zuhur. Benar saja, kalau aku telat pasti sudah kehujanan. Sebab tak lama setelah aku sampai di rumah hujan turun dengan lebatnya.
Setelah jembatan Cot Irie sebelum SPBU aku kembali berhenti. Setumpuk kelapa muda di sebuah kedai bakso seketika menjadi sangat menggoda. Air kelapa muda bagus untuk mengganti ion tubuh yang hilang.

Tiang warna-warni yang memisahkan Taman Bustanussalatin atau Taman Sari Banda Aceh dengan Masjid Raya Baiturrahman adalah pemberhentian terakhirku kemarin. Azan Zuhur baru saja usai berkumandang saat aku tiba di sini. Sudah lama aku ingin mengabadikan sepedaku dengan tiang warna-warni yang menyolok tersebut, tapi baru kesampaian kemarin. Alhamdulillah....[]