Selasa, 17 Januari 2017

Oak... Oak... Oak...


Zenja, di antara tiang warna warni itu di mana kita akan bersandar? 
Kita berdiri kaku, sementara angin menggerakkan dedaunan, rumput rumput bergerak perlahan, menunjukkan kegirangannya. 

Kita hanya termangu, saling menggenggam erat, tetapi tak bisa melangkah walau pun hanya sehasta.

Mampukah angin menerbangkan kita, sejauh angan kita terbang selama ini. Bahkan angkasa pun sulit menggapainya. Atau mungkin lelautan, yang akan mengirimkan kita ke samudra maha luas dan teduh.



Zenja, di mana kita di antara rintik hujan yang disambut gempita oleh semesta. Di bawah payung warna warni yang berbaris tak beraturan itukah? Atau berselubung payung hitam seperti yang digunakan orang-orang ke pemakaman. Kemudian disambut oleh suara gagak yang memilukan.

Oak... Oak... Oak... 



Gagak itu mencakar cakar tanah, kukunya patah, jemarinya terluka, darah menggenang di ujung jarinya.



Zenja, cukuplah angin yang menghibur. Olehnya kabar tak pernah berkurang sesenti atau dilebihkan berdepa-depa. Ia akan mengatakan bahwa hanya ranting kering saja yang mudah patah, hanya daun yang rapuh yang akan mudah terbakar, dan hanya pohon yang lapuk yang akan ambruk. 



Karena itu, karena itu, angin mengingatkan, salinglah menggenggam, salinglah memberi kekuatan, salinglah mendoakan, jangan pernah saling melambaikan tangan apalagi membuang muka.

Zenja, aku percaya langit sore tak pernah menipu waktu, ia akan selalu datang tepat waktu. Jika ia tak muncul karena terhalang mendung, bukan berarti ia ingkar janji bukan? Ia hanya tak bisa membantah pada takdir
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)