Jumat, 06 Januari 2017

Zenja, Kuceritakan Padamu Secarik Kertas Rahasia

ilustrasi @google 

Zenja,
Ketika diam menjadi syarat, bisakah kita membatalkannya?
Mungkin demi riuh!

Zenja, kira-kira apa yang ada di benak mentari yang belakangan ini terus dikurung cakrawala? Saat aku terbangun di pagi hari, kudapati langit berwarna kelabu. Begitu juga ketika jarum jam berada di pukul dua belas. Harusnya mentari sedang berada di pucak kegarangannya. Yang kilaunya membuat kita terpicing berkali-kali. Membuat kita ingin berteduh dan merindui angin yang bergerak semilir.

Hingga jarum jam bergerak di pukul enam belas, langit masih tetap kelabu. Harusnya ia sedang berwarna jingga, atau emas, atau saga. Dan kilaunya di permukaan laut bagai tumpukan mutiara atau batu permata. Membuat siapa pun yang menyaksikannya akan terkagum-kagum.

Tetapi akhir-akhir ini kudapati langit lebih sering kelabu. Awan terus saja melahirkan butir-butir hujan yang ritmik. Angin berdesau lebih kencang dari biasanya. Malam terasa lebih cepat datangnya. Dan saat malam hadir kita juga tak menyaksikan wajah bulan di kejauhan sana. Bintang-bintang pun memilih meringkuk di ketiak waktu.

Kalau boleh aku menerka-nerka. Barangkali mentari juga tak ingin terus terkurung. Pastilah ingin memberontak. Melepas belenggu dan memunculkan dirinya di antara derasnya hujan. Jika itu ia lakukan, kira-kira apa yang akan terjadi di bumi? Mungkin keriuhan yang teramat sangat, kekhawatiran, rasa cemas dan waswas, dan ketakutan. Oh, mungkin karena itu pula mentari menahan gejolaknya untuk terbit bersamaan dengan mendung yang hebat atau hujan yang parah. 

Zenja, pernahkah kau terfikir bahwa mentari sebenarnya juga ingin sesekali melawan takdir? Tapi ia tak kuasa, tak kuasa pada yang telah menciptakan dirinya. Untuk itulah ia terus patuh. Agar bimasakti tetap terjaga keseimbangannya.

Padahal, sekali waktu mentari pernah berbisik padaku. Lewat angin setelah petang ia pernah sampaikan, bahwa salah satu kebahagiaannya adalah melihat rembulan muncul. Sementara pada saat itu ia sedang tergesa-gesa untuk kembali ke ufuk barat. Ia sangat bahagia meskipun yang selalu disaksikannya adalah wajah bulan yang pucat, tanpa rona sedikitpun. Ia juga sangat bahagia bisa memberikan sedikit cahayanya pada rembulan. 

Saat keduanya berpapasan mentari tak bisa menyembunyikan perasaannya. Hatinya berdegup kencang. Tetapi ia tak bisa memperlihatkan wajahnya kepada rembulan. "Saat kami bersatu semua makhluk akan ketakutan," begitu kata mentari kepadaku.

Aku tak bereaksi apa-apa pada pernyataan mentari ketika itu. Hanya diam. Tapi, Zenja. Ada satu hal yang kupelajari dari sikap keduanya. Mereka -meski tak bisa bersama- tetap saling mendukung, saling bekerja sama, saling memberi semangat, saling mendoakan dalam diam, saling merindukan, saling mencintai sepenuh hati, saling bersabar, saling setia.

Di ambang senja, saat keduanya berpapasan secepat kilat, mereka saling melempar secarik kertas yang ditangkap dengan sigap. Isinya singkat saja. Kepada rembulan mentari menuliskan begini; kupercayakan malam padamu wahai kekasihku. Hiburlah semua makhluk dengan keanggunan dan kesantunanmu. Sementara kepada mentari rembulan menuliskan begini; istirahatlah kekasihku, sesungguhnya pekerjaanmu lebih berat dariku. Terimakasih telah menitipkan secercah cahayamu dalam diriku. Dan dengannya aku menjadi ada. Menjadi berarti.

Ketika diam tak lagi menjadi syarat, 
Maka tak ada lagi kesakralan yang tersisa
~Zenja~
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)