Rabu, 15 Februari 2017

Percakapan

@Ihan Sunrise
Seberapa sering kita harus melempar batu ke danau, hanya untuk menikmati riaknya yang sesaat?
Dan berapa banyak batu yang harus tenggelam untuk itu?
Tidak, maksudku, mengapa kita harus memaksa agar danau terus ber(ter)iak, sementara dia tidak ditakdikan bergelombang.Kita bukan samudera yang memiliki ombak dan mampu mengeluarkan gemuruh. Kita hanyalah sunyi, sunyi, sunyi, bagai danau di perut gua karang. Tak tersentuh!

Zenja, aku tertidur usai menuliskan kalimat-kalimat itu semalam. Tidur dengan membawa rasa sakit kepala yang menusuk-nusuk. Kurasakan seperti ada dua tiga paku yang menancap-nancap di ubun-ubun dan puncak kepala. Rasanya ingin kucabut satu persatu rambutku untuk mengurai rasa sakit.

Sesaat sebelum mataku benar-benar terpejam, ada sesuatu yang mengalir dan mengapung di pelupuk mata. Tak bisa kubedakan apa itu keluar karena rasa sakit yang menancap, atau karena mengingatmu. Tapi syukurlah, aku merasa lebih baik saat bangun pagi tadi.

Berwarna apa langit di atasmu saat ini, Zenja? Samakah dengan langit yang kujunjung di atas sini? Matahari sangat garang, melebihi garangnya lidah api yang keluar dari mancis milik pria perokok. Atau teduh, seteduh matamu saat memandangiku. Dan karenanya aku tersipu, malu,  lalu membalasnya dengan mencubitmu bertubi-tubi.


Kau bisa bayangkan, kegarangan itu harus bercampur pula dengan aroma politik yang menyengat. Ya, di sini sedang riuh dengan pemilihan kepala daerah. Banyak orang memamerkan kelingking mereka yang telah dicelupkan ke dalam tinta biru. Eforia politik mengapung di udara bagai anai-anai yang diterbangkan angin. Tak sedikit yang sesumbar.

Ah, mengapa aku harus menceritakan ini padamu? Tanpa kuberitahupun, kau dengan mudah mengetahui segalanya. Sama seperti lima tahun lalu, saat kau mengabarkan ada seorang mantan orang nomor satu di negeri kita yang mendapat perlakuan tak enak di hari pelantikan.

"Kau bahkan tak memberitahuku kalau kau sedang ada di sini," rajukku.

"Hehehe.... kita tetap tak bisa bertemu di gedung itu bukan?"

"Ini bukan soal di mana kita akan bertemu."

"Lalu, tentang apa?"

"Tentang mengapa mereka harus mengundangmu untuk menyaksikan momen lima tahunan itu?"

Kau tergelak. "Sudah kukatakan, akan ada banyak sekali kejutan untukmu."

"Kejutan, sejatinya seperti meriam bambu. Jika kita tak awas letupannya akan membuat kita terbakar."

"Adakah yang lebih membuatmu atau aku terbakar selain cemburu?"

Aarrgghhh.... aku malas berdebat denganmu. Kau memang bukan jebolan fakultas ilmu sosial ataupun politik. Tetapi selalu mampu membuatku tak berkutik. Dan panca inderamu seolah mendukung untuk semua itu.[]
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)