Selasa, 11 April 2017

Terbakarnya Rumah Kami

Atap menganga dari ruang tamu

Pada kayu yang menjadi arang //
Pada puing yang menjadi abu //
Ada luka yang kian menganga //
Kesedihan yang bertumpuk-tumpuk ini.... //
Apakah luka tak bisa disembuhkan tanpa luka baru? // 
Keude Dua, 15 Maret 2017
***

HATI mana yang tak hancur melihat rumah yang dibangun almarhum orang tua kita dengan susah payah, hangus terbakar? Begitu juga denganku.

Siang itu, Rabu, 15 Maret 2017, aku tak kuasa menahan emosi ketika melihat kerangka atap rumah kami telah menjadi arang. Plafon rumah yang terbuat dari asbes hancur berkeping-keping. Berceceran di lantai. Saat aku menginjaknya, terdengar seperti kerupuk yang diremas paksa. Bekas siraman air dari tangki mobil pemadam membuat lantai menjadi becek. Aku terpaksa berjinjit ketika melewati ruang demi ruang, takut ada paku atau terkena serpihan asbes yang tajam.

Atap yang terpaksa dibobol untuk memudahkan petugas memadamkan api, kini menjadi pintu masuk cahaya matahari yang siang itu sangat garang. Aku memandang gumpalan awan di ketinggian sana dengan hati yang terkoyak-koyak. Hatiku bergejolak hebat. Aku mengerjap berulang kali agar air mataku tak sampai jatuh.


Aku tak datang sendiri, melainkan ditemani adik ayahku Cek Muna dan suaminya Cek Wanda, serta dua anak mereka yang masih balita. Cek Muna juga yang memberitahuku kalau rumah kami di Kampung Keude Dua, Idi Rayek, dibakar oleh orang yang dianggap kurang waras pada Selasa dini hari.  Setelah mengetahui kabar itu di pagi hari, aku yang tinggal di Banda Aceh memutuskan segera pulang kampung sore harinya, setelah menyelesaikan segala urusan.

Sebelum masuk untuk melihat isi rumah, kami yang sudah menyiapkan bekal dari rumah lantas makan siang bersama di gazebo di halaman samping. Ini idenya Cek Wanda. Ada benarnya juga. Akhirnya kami memutuskan melihat rumah setelah memasak. Siang itu kami menyantap makan siang dengan lauk daun ubi rebus, sambal terasi dan ikan bandeng. Terasa sangat nikmat. Kerinduan menyantap hidangan di rumah yang sudah sekian lama kutinggalkan akhirnya terbayar juga.

Penampakan ruang keluarga


Setelah makan Cek Wanda bergegas masuk ke dalam rumah dari pintu dapur. Aku mengekor di belakangnya, disusul bibiku beberapa saat kemudian. Melihat kondisi rumah yang berantakan dan noda asap di mana-mana membuat darahku mendidih. Ada kemarahan yang membeludak.

Dari dapur kami melewati dua anak tangga naik ke ruang tengah, kemudian bergerak ke ruang keluarga dan ruang tamu. Dua dari tiga kamar hangus tak menyisakan sedikitpun isinya. Kamar depan yang selama ini ditempati Ibu hanya terbakar sedikit. Setidaknya, tempat tidur dan lemari, yang berisi pakaian dan ijazah kami semua masih tersisa. Dua lemari yang berisi barang pecah belah yang ada di ruang tamu dan ruang tengah juga berhasil diselamatkan.

Dengan kamera ponsel aku memotret seluruh isi rumah, lalu mengirimkan kepada dua adikku yang di Aceh Selatan dan di Jakarta. Aku juga merekam video agar mereka bisa melihat seluruh isi rumah. Setelah itu aku menghubungi Ibu yang saat itu sedang berada di Medan. Ibu sepertinya sudah agak tenang, tidak histeris seperti saat kami berbicara sehari sebelumnya.

Setelah itu kami mengangkut barang-barang yang tersisa untuk dibawa pulang ke rumah Cek Muna. Ada dua tetangga yang kebetulan lewat singgah dan ikut membantu.

***

Gambar diambil dari halaman belakang


Aku tak ingin menceritakan lebih detail bagaimana kondisi rumah kami saat itu. Sedih dan marah adalah dua perasaan berbeda yang berkecamuk dalam diriku saat itu. Buatku pribadi, terbakarnya rumah ini bukan sekadar hilangnya sebuah tempat tinggal. Tetapi ada banyak kenangan, terutama yang berkaitan dengan almarhum ayah yang ikut menjadi puing.

Terbakarnya rumah, berarti memutuskan 'rantai' antara aku dengan kampung ini. Kampung tempat ayahku dibesarkan, hidup, kemudian mengembuskan nafas terakhirnya. Di kampung ini pusara ayahku berada. Setelah belasan tahun merantau, selain Ibu, hanya rumah ini yang membuatku rindu pulang ke kampung. Rumah ini adalah pengobat rinduku pada ayah. Di rumah ini, meskipun ayah telah bertahun-tahun pergi, aku bisa melihatnya hampir di setiap sudut. Sekarang, tanpa rumah ke mana aku (kami) akan pulang?

Terbakarnya rumah ini juga membuat harapan Ibu untuk kembali ke kampung itu menjadi sangat tipis. Sudah setahun lebih sejak Ibu sakit di pengujung 2015 lalu, rumah itu kosong. Ibu tinggal sementara di rumah nenek. Kami empat bersaudara tak seorangpun ada yang tinggal di kampung. Karena tak ada yang menempati, rumput-rumput liar jadi tumbuh bebas. Sekeliling rumah jadi terlihat semak. Bunga-bunga banyak yang mati dan tumbuh tak beraturan.

Di dalam rumah kondisinya juga sama berantakan. Barang-barang dapur berserakan dan lantainya kotor bekas banjir. Kain-kain dari lemari berceceran di lantai. Seseorang yang sakit jiwa itu membuka pintu secara paksa. Dia tidur di rumah. Mengobrak-abrik semua barang. Mengeluarkan karpet.

Belakangan setelah merasa lebih sehat Ibu berulang kali meminta pulang ke rumah. Tetapi kejadian demi kejadian yang menimpa keluarga kami, aku melarang Ibu pulang ke rumah. Dengan kondisinya saat ini, tak mungkin Ibu tinggal di rumah seorang diri. Bagaimana jika sakitnya kambuh sewaktu-waktu, siapa yang akan melihat dan merawatnya. Lagipula, terlalu jauh buatku jika ingin menjenguk ibu di akhir pekan atau hari libur.

Ibulah yang paling terpukul dengan kejadian ini. Akupun tak punya banyak cara untuk menghiburnya. Selain mengatakan bahwa semua ini adalah ketentuan Sang Pencipta. Kukatakan pada Ibu, jika kita ikhlas dan sabar, akan digantikan dengan yang lebih baik oleh Allah. "Mungkin rejeki kita memang tidak di kampung itu, Mak." kataku.

Almarhum ayah membangun rumah itu sekitar tahun 2000-an, ketika konflik Aceh sedang panas-panasnya. Rumah itu menjadi bagian dari saksi konflik Aceh. Di beberapa bagian atapnya bocor bekas serpihan peluru. Ayah membangun rumah ini dengan segala kecintaannya kepada kami, agar kami punya tempat untuk pulang dan berteduh. Dengan keringatnya yang tak pernah kering.

Pada masa itu, tak jarang tentara menginap satu hingga beberapa malam di rumah kami. Posisi rumah yang strategis dijadikan tempat oleh mereka untuk mengintai pasukan pemberontak. Atau sekadar tempat untuk menurunkan barang-barang logistik sebelum pasukan loreng hijau itu masuk ke kampung-kampung.

Kondisi rumah sebelum terbakar. Foto diambil beberapa tahun lalu


Saat konflik, ketika banyak pria muda dan dewasa meninggalkan kampung halamannya, ayah justru tak pernah beranjak walau sejengkal pun. Dengan segala keterbatasan keadaan waktu itu, ayah tetap mencari nafkah di kampung dengan cara berdagang. Sesekali, jika Ibu tak bisa menemani, ayah mengajakku serta jika ia ingin ke kebun. Begitulah cara pria Aceh 'menjaga' dirinya ketika konflik.

Kata Ibu suatu hari, mengapa ayah bisa bertahan dalam kondisi sepelik itu;  karena ayah kalian tidak pernah memihak ke salah satu kelompok.

Ya, begitulah ayah. Ia punya prinsip yang sangat kuat. Ia punya naluri bisnis yang baik. Ia berteman dengan siapa pun. Dan ketika rumah itu selesai dibangun dalam waktu singkat, rumah itu menjadi 'rumah' semua orang. Rumah kami tak pernah sepi, siapa pun yang datang bisa makan tanpa perlu merasa canggung.

Sebenarnya ini bukan kali pertama kami kehilangan tempat tinggal. Tahun 2000-an rumah kami yang sebelumnya, terpaksa dibongkar. Padahal rumah itu baru selesai dibangun belum terlalu lama. Puncak konflik yang meletus di tahun 1999 membuat kami tak mungkin bertahan di desa yang sebelumnya. Terjadi eksodus besar-besaran. Rumah-rumah banyak yang dibakar, termasuk rumah kakak ayahku. Setelah sempat bertahan, ayah akhirnya memutuskan untuk membongkar rumah.

Beberapa material rumah seperti papan, kusen dan seng akhirnya menjadi cikal-bakal rumah kedua ini. Dibangun di atas areal persawahan yang dibeli ayah dari seseorang di kampung ini. Yang pada akhirnya ikut pergi karena terbakar. Aku yakin suatu hari nanti Allah akan menggantinya dengan lebih baik, lebih indah.[]


-->
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

1 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)