Rabu, 03 Mei 2017

"Kapan Kawin" dan "Kapan-Kapan" Lainnya

Ilustrasi


"Kapan nih?"

Itulah pertanyaan yang dilontarkan tetangga di kampung, setelah ia melepas kangen dengan ibu karena sudah lama tidak bertemu. Pertanyaan itu tentu saja ditujukan kepadaku, yang secara tersirat bermakna; kapan kawin?

Aku yang tak menduga bakal langsung disodorin pertanyaan seperti itu, -bahkan sebelum pantatku rapat benar dengan kursi- tak spontan menjawab.

Tetangga tersebut adalah ibu teman SMA-ku. Jika tak salah ingat terakhir kami bertegur sapa sudah lama sekali, waktu aku masih SMA. Kupikir, setelah belasan tahun tidak melihatku, si ibu ini akan bertanya aku kerja di mana, dan hal-hal lainnya yang menyangkut dengan karier. Ternyata dugaanku meleset. Pertanyaan kapan kawin ternyata lebih seksi dan menggoda.

Seperti biasa, aku hanya membalas dengan senyuman saja sebagai 'kode'. Tapi sayangnya saat aku memberi jawaban berupa senyum, si ibu itu malah tak melihatnya. Dia sedang menyiapkan dua mengkok mie so pesanan kami.

"Tuh ditanyain." Ibu memberi kode.

Aku yakin ibu pun menunggu jawabanku dengan penasaran, soalnya selama ini setiap kali ibu mulai menyerempet ke pembicaraan itu aku tak pernah menanggapinya dengan serius. Buatku membicarakan pernikahan belum ketemu di mana asyiknya.


"Bingung juga kalau ditanyakan begitu, pertanyaannya mirip-mirip kapan nih matinya?" Jawabku berusaha berseloroh, tapi kok malah terkesan sarkas.

Tetangga kami itu mungkin merasa tak enak. Buru-buru dia meralat. "Iya, apalagi kita cewek, kan?" Ada penekanan saat dia mengucapkan 'cewek'. Aku tidak merespons lagi.

Actually, ini bukan kali pertama mendapatkan pertanyaan semacam itu. Entah itu dari teman, keluarga, atau orang-orang yang hanya bertemu sesekali seperti tetangga di kampung tadi.

Satu jam sebelumnya, anak tetangga kami di kampung juga menanyakan hal yang sama saat berpapasan di warung. "Sudah punya linto?" tanyanya tanpa basa-basi sesaat setelah aku turun dari sepeda motor.

"Belum!" jawabku lugas dan lantang, sambil ngeloyor masuk ke dalam warung.

Ini memang kebiasaanku. Aku tak perlu merasa malu atau risih dengan pertanyaan itu. Justru, adakalanya ini menjadi 'kesempatan' untuk menunjukkan 'kebebasanku'.

Anak tetangga kami itu, seorang laki-laki yang usianya mungkin lebih tua sedikit dari aku, kemudian tidak bertanya apa-apa lagi. Menurutku sangat aneh bin ajaib. Harusnya setelah bertahun-tahun tidak ketemu, ada banyak hal yang bisa ditanyakan pertama kali selain perihal jodoh. Atau setidaknya dia bisa menanyakan beberapa pertanyaan lain sebagai basa-basi. Tapi yaa....perihal jodoh mungkin memang bab paling menarik untuk diketahui dibandingkan bab lain dalam kehidupan seseorang.



Malamnya, dalam perjalanan pulang ke Banda Aceh, di sebuah grup Whattsapp tiba-tiba sangat serius membahas topik pernikahan. Secara spesifik kami membahas mengenai betapa keponya orang-orang Indonesia. Terutama yang berhubungan dengan relationship.

Topik ini mulai bergulir setelah salah seorang anggota grup melempar sebuah pertanyaan, atau pernyataan- sebab tak ada tanda baca di kalimatnya :-D. "Ada yang tahu berita Zulfikar warga asal Batang, Jawa Tengah. Dapat Jodoh gadis ayu asal Italia."

Ceritanya si gadis Italia itu rela kerja selama dua tahun agar bisa ke Indonesia dan melamar pujaan hatinya si Zulfikar dari Batang itu. Sebelumnya ada Bayu Kumbara dari Riau yang 'beruntung' dapat jodoh perempuan Inggris.

Kemudian ada yang menimpali; jadi kalau dapat jodoh orang luar negeri, orang itu lebih beruntung dari yang dapat jodoh lokal?

Itulah cikal bakal topik pernikahan yang kemudian menjadi panjang dan baru berakhir lewat tengah malam. Aku yang waktu itu dalam perjalanan dan menumpang L-300 sangat terhibur. Sesekali harus menutup mulut karena menahan tawa. Tak kuhiraukan penumpang yang duduk di sebelahku dan sopir yang sesekali melirik.

Bahasan kemudian berlanjut pada bagaimana cara memikat gadis, yang berdasarkan 'informan' kami di Jerman, lebih mudah memikat hati gadis bule ketimbang gadis lokal (baca: Indonesia). Tapi mudah di sini ternyata harus berhadapan dengan 'modal', di mana memikat hati seorang gadis bule tak cukup hanya modal gombal alias chatting dengan kuota gratisan. Mungkin di sini sangat berlaku istilah na peng na inong, hana peng hana inong.



Lalu pembahasan makin melebar ke mana-mana sampai aku nyeletuk begini; ..., yang udah nikah sok bilang nyali, padahal kalau ketemu orang anaknya belum nambah-nambah dipertanyakan juga nyalinya.

"Hidup bermasyarakat di Indonesia memang rumit ya kak," jawab si informan dari Jerman.

"Punya anak satu, ditanya kapan ada anak kedua. Punya anak laki semua, ditanya kapan punya anak cewek dan sebaliknya. Hana habeh-habeh ya," timpal anggota grup yang doyan solo traveling.

"Udah melewati tahap itu, tahu rasanya gimana,  termasuk membungkam yang sibuk nanya... 'udah isi?'" nah ini yang menimpali adalah seorang pria beristri satu yang kini punya sepasang buah hati.

"Di Eropa, orang sibuk berkarir dan berkarya, gak sempat tanyain ke orang lain, "Kapan nikah?" "Kapan isi?" "Kapan nambah anaknya?"" kembali informan kami di Jerman menimpali. "Kalau mau hidup bebas dari kekepoan masyarakat, hidup aja di Eropa. Tapi karena saking gak keponya, emang gak dipedulikan," sambungnya, lengkap dengan emot terbahak-bahak.

"Asia masih kuat kali ya keponya," si solo traveler berkomentar lagi.

Kemudian si pelempar topik pertama tiba-tiba membuat pertanyaan seperti ini: "Mau tanya pendapat sista, kalo nikah maunya ada pesta pernikahan atau ngga. Tapi Duitnya dialokasikan buat liburan atau bangun rumah?"

Lalu aku menjawab begini; kalau di kita (Aceh) pernikahan itu kemauan keluarga semua.

Informan dari Jerman lagi-lagi nyeletuk; Idem, pengantin cuma pelengkap.

Pendapat ini juga diaminkan oleh salah satu anggota grup yang sudah menikah. "Tapi kedua belah pihak nggak mau.. hana peng.. publoe lampoh. Kita larang, dijawab nyan koen urusan kah.."

Sebenarnya masih banyak lontaran-lontaran kalimat dari kawan-kawan di grup yang menggelikan, tapi merepresentasikan kenyataan yang sebenarnya. Kalau ditulis semua bisa kepanjangan. Yang di atas itu hanya contoh saja, bisa dibilang setiap orang yang kita kenal pernah mendapatkan pertanyaan 'kapan?' dari orang-orang terdekat atau terjauhnya. Dan di lain waktu bisa jadi kita adalah orang-orang yang sibuk bertanya 'kapan?' kepada orang-orang yang kita temui.

Mengetahui 'rahasia' hidup orang lain mungkin suatu kesenangan tersendiri bagi kita, tapi sebelum berusaha mengorek-ngorek rahasia hidup orang lain mengapa tak bertanya pada diri sendiri terlebih dahulu.

Misalnya, jika kita sudah menikah, sebelum bertanya kapan menikah kepada orang lain, tanyakan dulu pada diri sendiri, apakah aku senang mendapatkan pertanyaan seperti itu jika aku masih bersolo karir (baca: single)?

Begitu juga jika kita sudah memiliki buah hati, pikirkan dengan baik sebelum bertanya 'kapan nih punya momongan' kepada teman kita, yang barangkali sudah lama menikah dan belum dikaruniai anak.

Kita perlu belajar berempati. Jangan tambah beban pikiran teman-teman kita kalau tidak bisa memberikan solusi.

Back to pertanyaan di atas yang ditujukan buatku, nanti setelah aku menikah bakal kuceritain blak-blakan no secret yesss?!?[]
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

2 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)