Selasa, 15 Agustus 2017

Lelaki Kecil Penjaja Bendera di Trotoar Jalan

Istimewa/Rahmat Aulia

"Bendera, Pak! Bendera!" 
Seorang anak merapatkan wajahnya ke sebuah mobil di persimpangan lampu merah di Simpang Kodim Banda Aceh, sore pekan lalu. Di tangannya ada sejumlah bendera Merah Putih berukuran mini.
Usianya kuperkirakan belum genap lima belas tahun. Pakaiannya tampak lusuh. Kakinya hanya beralaskan sandal jepit. Saat mendongak, nampak jelas rasa lelah menggantung di wajahnya yang terbakar matahari. 
Pemandangan itu masih bercokol di ingatanku hingga hari ini. Saat membayangkannya kembali, ada rasa terenyuh di hati ini. Sekaligus rasa geram, namun entah kepada siapa. Memang, di musim 17-an seperti sekarang ini melihat pemandangan orang berjualan bendera Merah Putih bukan hal yang aneh. Hanya saja, dilakukan oleh seorang anak seusia itu jelas tak bisa dianggap lazim.
Melihat anak tersebut kembali aku teringat pada sebuah gambar yang dikirimkan teman di grup WhatsApp. Potret seorang anak yang terduduk di trotoar jalan, tepat di saat jam sekolah pula. Anak itu juga sedang menjajakan miniatur bendera Merah Putih. 
Lebih memprihatinkan lagi, ia membiarkan kakinya yang telanjang langsung mencecap rasa panas trotoar yang terpanggang matahari. Di betisnya ada luka bakar kecil, seperti luka terkena knalpot sepeda motor.
Entah mereka anak yang sama atau tidak. Hanya saja dua potret di atas menggambarkan betapa beratnya perjuangan hidup yang harus dilalui anak tersebut. Jika kondisi ekonomi keluarganya mencukupi, harusnya ia tak perlu berpanas-panas di bawah siraman matahari untuk menjual selembar dua lembar bendera. Dan kalaupun ia menjual bendera untuk mencari penghasilan tambahan, mestinya tidak dilakukan di jam sekolah. 
Dan memang tidak ada alasan untuk tidak sekolah bukan? Apalagi pemerintah sudah menerbitkan Kartu Indonesia Pintar yang diberikan kepada anak usia 6-21 tahun dari keluarga kurang mampu, yang digunakan untuk kepastian pendidikan anak-anak Indonesia.
Bahkan baru-baru ini secara khusus telah disalurkan beasiswa kepada sekitar 20 ribu anak-anak tukang becak di Banda Aceh dan Aceh Besar. Berdasarkan berita yang kubaca di media massa, distribusi beasiswa tersebut merupakan program Indonesia Pintar yang disalurkan melalui anggota DPR RI. Setidaknya ini menjadi gambaran nyata 'Indonesia Kerja Bersama' dalam memerangi kebodohan. 
"Bendera!" kembali aku terngiang suara lelaki kecil itu saat menjajakan dagangannya kepada si pemilik mobil. Sayangnya, si pemilik mobil tampaknya tak berniat membeli. Bahkan untuk membuka kaca mobilnya pun ia enggan. Sehingga terpaksa si remaja tersebut menempelkan wajahnya dengan rapat, agar bisa mengintip pemiliknya di dalam sana. Saat lampu menyala hijau, dan mobil perlahan bergerak, masih sempat kudengar suara lirihnya merintih, "belilah, Pak."[]

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

3 komentar:

  1. Tulisan yang memikat dan dikerjakan dalam waktu singkat, eh.., rupanya menjadi juara pula. Memang terbaik deh kak Ihan. Selamat ya kak, perlu belajar banyak lagi ne sama kak Ihan tentang cara membuka tulisan yang greget gitu. :D

    BalasHapus
  2. Kadang merasa sedih juga dengan mereka, tetapi mereka lebih baik karena tidak meminta-minta!

    BalasHapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)