Rabu, 20 September 2017

Zelda


Ketika semuanya menjadi nyata, maka itulah akhir dari sebuah cerita. 

Bukan, bukan aku ingin menyudahi semua proses yang penuh warna ini. Bahkan belum semua warna kita guratkan di atas kanvas. Kita juga belum mencoba semua kuas bukan? Semuanya baru berupa sketsa yang kita belum tahu akan seperti apa bentuknya. Ah, sketsa yang abstrak. Sebab ia sama sekali belum bisa ditebak.

Jika boleh kuandaikan sebagai sebuah rumah. Aku baru sadar, ternyata selama ini ada pintu yang kurang rapat. Dan ada jendela yang merenggang. Mungkin aku yang alpa, atau setengah sengaja? Agar menimbulkan tanya, seperti apa rupa warna-warna di dalamnya?

Aku hanya ingin mendesain ulang sketsa ini. Aku ingin menikmati prosesnya dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Mungkin sudah cukup kita bertemankan riuh, yang membuat potongan-potongan cerita ini dengan mudahnya berceceran.

Aku ingin menikmatinya dalam diam. Bagai bunga-bunga rumput yang tak lena meski dibuai kesiur angin. Yang tetap kokoh meski angin kencang berusaha merebahkannya. Atau seperti karang, yang tak terpancing menyahuti empasan ombak.

Zelda,

Luas hati kita melebihi luasnya semesta. Bukankah itu sudah cukup untuk menyimpan warna-warna?[]

Minggu, 17 September 2017

Kutu Kecil dan Kutu Besar



Dia menyebut buku-buku koleksiku sebagai 'kutu', dan aku menyebutnya sebagai 'kutu besar' berkaki dua yang tingginya melebihi Adam Jordan .  Baiklah, sebut saja buku-bukuku adalah kutu kecil yang memang menggelitik untuk dibaca.

"Tambah lagi donk kutunya." 

Itu komentarnya saat 'kutunjukkan' buku berjudul BUKAN UNDANG UNDANG BIASA. 

"Iyaaaaa...... hahahaha..... tapi kutu ini nggak bikin gatal kayak kutu yang di sebelah situ."

"Kasian yaa yg sudah pernah rasai gatal'a kutu."

"Iya dong, kutunya kakinya dua, tingginya melebihi Adam Jordan. Kalau ngomong.....aduhhhhhh, bikin gatal tujuh keliling."

"Mandi sanaa. Dasar kutuaaan."

Aku hanya bisa terbahak --terbahak dalam arti yang sesungguhnya-- membaca pesan terakhirnya. Begitulah kami saling ejek dan membalas.

+++

Buku ini hadiah dari 'kuis' di pengujung acara Dialog Literasi Perempuan yang dibuat Kohati Badko HMI Aceh setengah hari sore tadi di Aula Kesbangpol Aceh di Kuta Alam, Banda Aceh.

Dialog ini menghadirkan tiga narasumber yaitu psikolog dan penulis buku Blak-blakan Our Secret Nur Jannah Al-Sharafi, yang sebelumnya dikenal dengan nama Nur Jannah Nitura. Lalu ada dosen Fakultas Hukum Unsyiah dan penulis buku Hukum Adat, Teuku Muttaqien Mansur. Dan Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia Yarmen Dinamika.

Di ujung acara Bu Nur Jannah memberikan kuis. Bagi enam peserta yang mampu mendeskripsikan paling panjang sebuah objek yang ditentukan, akan mendapatkan masing-masing satu buku. Objeknya adalah vas bunga dari porselain yang tentunya berisi dengan kuntum-kuntum bunga plastik. 
Aku salah satu di antara peserta yang beruntung mendapatkan hadiah buku.

BUKAN UNDANG UNDANG BIASA ditulis keroyokan oleh 20 penulis, salah satunya adalah Pak T. Muttaqien Mansur. Sebagai refleksi 10 tahun Undang Undang Pemerintahan Aceh. Sebuah undang-undang yang disebut Dekan FH Unsyiah Prof. Faisal A. Rani dalam testimoninya, lahir dari kepentingan penyelesaian konflik secara damai, maka wajah ia harus dijaga oleh berbagai pihak.

+++

Pulang dari diskusi ini aku dan Yelli memilih jalan kaki menuju kost-an di Peulanggahan. Karena sama-sama tidak membawa kendaraan. Saat pergi siangnya kami janjian naik Trans-K. 


Ketika melewati jalur pedestrian di sepanjang pinggir Krueng Aceh, kami berhenti sejenak untuk foto-foto. Tepatnya aku yang meminta untuk difoto dengan koleksi 'kutu' baru. Sebenarnya ingin berlama-lama di sini, tapi karena hari sudah senja, kami segera pulang. Thanks untuk Yelli sudah menjadi fotografer dadakan.[]

Jumat, 15 September 2017

Lavia



"Bisakah kita bertemu sore nanti?"

Pesan dari Lavia membuat Zenra yang sedang malas-malasan di hammock menjadi bersemangat. Degub jantungnya seketika berdetak kencang. Tak mampu ia kendalikan. Akhir-akhir ini ia selalu gugup setiap kali menerima pesan dari Lavia. Padahal isinya sama sekali tak ada yang istimewa bagi kebanyakan orang. Tapi bagi Zenra, semua yang berasal dari Lavia begitu istimewa.

"Bisa."

Balas Zenra tanpa berpikir dua kali. Ia sadar ada janji temu dengan salah satu kliennya nanti sore. Tapi bertemu dengan Lavia jauh lebih penting. Dan berharga. Sudah berbulan-bulan ia tidak melihat wajah sahabatnya itu. Pesan-pesan panjang yang ia kirimkan untuk Lavia hanya dibalas sesekali. Rindu yang sudah lama tumbuh itu menjadi benalu yang kerap membuatnya nyeri. Ia tak peduli meskipun Lavia tak pernah menanggapi rindu yang ia labuhkan.

"Kita bertemu di taman pinggir sungai ya?"

"Baiklah. Pukul setengah lima aku sudah di sana."

Setelah itu tidak ada balasan apa pun lagi dari Lavia. Hanya ada tanda centang ganda di layar aplikasi pengirim pesan di handphone-nya. Tanda bahwa pesan terakhir dari Zenra sudah dibaca. Padahal Zenra berharap Lavia membalas pesan terakhirnya, lalu ia mengirimkan pesan kembali. Begitu seterusnya hingga pertemuan nanti sore.

"Hufff..."

Zenra membuang napas panjang. Ia lompat dari hammock yang diikat di pohon. Pandangannya dibuang ke laut lepas. Menatap birunya laut yang berdesir-desir karena gemuruh ombak. Serupa itulah gambaran hatinya saat ini. Sulit ditafsirkan. Sulit ditenangkan.

Semalaman mengasingkan diri ke pantai tak juga membuat pikirannya tenang. Wajah Lavia terus menerus hinggap di pelupuk matanya.

Lavia. Menyebut nama gadis itu entah mengapa selalu saja menghadirkan debar di hatinya. Nama yang membuat sisi maskulinnya seolah-olah runtuh. Ingin sekali ia bercerita pada Ali, karibnya. Agar beban yang bercokol di hati dan pikirannya itu bisa berkurang. Tapi ia malu. Malu sebab ia jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Pada Lavia. Sementara Lavia tampaknya tidak memberi sinyal apa pun.

Untuk mengungkapkan, Zenra sama sekali tak punya keberanian. Nyalinya menciut. Ia memang kerap mengatakan rindu sambil berlelucon. Tapi Lavia sepertinya hanya menganggap itu sebagai lelucon yang sebenarnya.

"Mungkin sore nanti waktu yang tepat."

Desis Zenra pada dirinya sendiri.

***

Pukul setengah lima saat Zenra tiba di taman tepi sungai, Lavia sudah ada di sana. Gadis itu tampaknya tidak menyadari kedatangan Zenra. Ia terlihat asyik dengan buku di tangannya.

"Hai!"

Lavia mendongak. Ia menutup buku yang tadi ia baca dan memasukkannya ke ransel di samping tempat duduk dari tembaga. Ransel berukuran besar dan penuh itu menarik perhatian Zenra. Keningnya berkerut. Seolah mengirimkan tanya; mau ke mana?

"Duduklah."

Lavia menggeser duduknya, sehingga cukup leluasa bagi Zenra untuk duduk di sampingnya. "Apa kabar? Lama ya kita nggak ketemu. Kangen juga sama kamu..."

Zenra tersenyum. Hatinya berdesir saat mendengar Lavia mengatakan 'kangen' barusan. Anak muda itu jadi salah tingkah.

"Iya. Kamu nggak pernah mau kalau kuajak ketemu. Kenapa?"

"Lagi malas ketemu sama siapa pun. Hanya ingin menikmati kesendirian tanpa diusik oleh siapa pun."

"Hm... Oh ya, mau ngetrip? Itu kok ranselnya gendut sekali."

"Mau pulang."

"Pulang ke mana?"

"Hahaha... ya pulang ke kampunglah, Zenra. Gini-gini aku kan masih punya kampung yang dirindukan. Dan mungkin nggak balik lagi ke kota ini."

"Nggak balik kenapa?"

Lavia menarik napas panjang. Matanya mulai mengerjap-ngerjap. Perasaan melankoli tiba-tiba menyergapnya. Air sungai yang keruh karena tingginya curah hujan di hulu lebih menarik perhatiannya untuk menenangkan gejolak hati. Ia mengalihkan pandangan agar tak menimbulkan pertanyaan baru dari Zenra.

"Kok malah diam? Nggak balik kenapa?"

Pertanyaan Zenra mengusik Lavia. Gadis itu lantas merogoh sesuatu dari kantong ranselnya. Selembar kertas berwarna biru muda yang dilapisi sampul plastik transparan. Kemudian ia sodorkan pada Zenra.

"Setelah kamu membacanya aku ingin mengatakan sesuatu."

Zenra menerima kertas biru muda itu. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya jadi gemetar. Ia tak ingin menebak apa pun. Dan ia tak berani membayangkan apa pun saat ini.

"Aku tak ingin membuka dan melihat apa yang tertera di dalamnya," jawab Zenra lirih.

"Bukalah, agar kau tahu apa isinya. Dan aku bisa menyampaikan apa yang ada di hatiku."

"Karena ini kau ingin pergi meninggalkanku?"

"Aku hanya ingin meninggalkan kota ini."

"Tapi mengapa?"

"Buka dan bacalah."

Zenra menuruti perintah Lavia. Dibukanya sampul plastik transparan itu. Lalu membuka lipatan kertas biru muda di tangannya. Seketika matanya tertuju pada dua nama yang tertera di sana. Membuatnya mematung. Membuat kata-katanya tersekat di tenggorokan. Bahkan untuk menatap Lavia pun ia tak sanggup.

"Aku tak berharap kau datang, tapi rasanya tak sopan kalau aku tak mengundangmu, Zenra."

Kata-kata Lavia terasa bagai tusukan jarum di telinga Zenra.

"Kau sahabat terbaikku, Zenra. Kita banyak berbagi suka dan duka. Banyak keseruan yang sudah kita lalui bersama. Kau mengenalkanku pada dunia-dunia yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Banyak kebahagiaan yang kudapatkan dari pertemanan kita selama ini..."

Kata-kata Lavia mulai mengalir seperti air sungai yang membelah kota ini. Sungai yang dulu menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal pengangkut rempah-rempah di zaman sebelum masa kolonial. Ia sama sekali tak memerhatikan Zenra yang mematung di sampingnya.

"Tapi lama kelamaan aku menjadi tergantung padamu. Buatku kau lebih dari sekadar teman. Saat aku sakit, aku hanya ingin merepotkanmu untuk mencarikan obat atau membawaku ke dokter. Saat aku butuh sesuatu kau adalah orang pertama yang kurecoki. Saat aku mendapatkan kebahagiaan, kau juga orang pertama yang ingin kubagikan kabar bahagia itu. Tanpa kau ketahui..."

Lavia sengaja menggantungkan kalimatnya. Ia mengerling ke arah Zenra. Ia jadi takut meneruskan kalimatnya. Ada rasa khawatir dan malu jika Zenra mengetahui apa yang sebenarnya ia pendam selama ini.

"Apa.....?"

Zenra akhirnya bersuara. "Apa yang tidak aku ketahui?"

"Hmm..."

"Apa?"

"Aku jatuh cinta padamu."

Wajah Lavia bersemu. Tangannya berkeringat dingin. Bersamaan dengan itu setitik air matanya jatuh.

Kini giliran Zenra yang terperangah. Sama sekali tak menduga jika Lavia menyimpan perasaan yang sama. Namun membaca kembali nama yang ada di kertas biru muda itu membuat dadanya terbakar.

"Tapi kenapa kau tidak pernah mengatakannya?"

"Aku?"

"Emm.... maksudku..."

"Kalau aku berani tentu sudah kukatakan dari dulu. Stupid!" Lavia berdesis.

"Tapi kenapa Ali?"

"Kenapa Ali?"

"Iya. Kenapa kau harus menikah dengan Ali?"

"Karena Ali mencintaiku."

"Aku juga mencintaimu, Lavia."

"Kau?"

Zenra mengangguk cepat. Lavia terkesiap. Ia memandang Zenra tanpa kedip. Airmatanya kembali menetes. Gantian dirinya yang tak bisa berkata-kata.

"Aku takut berterus terang. Entahlah.... setiap kali kuberi sinyal kau sepertinya abai. Lagipula kedekatan kita kukira bisa 'mengikatmu' tapi ternyata tidak. Andai waktu bisa diputar kembali...."

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Mengajakmu menikah... Tentu saja. Aku tak ingin kehilanganmu. Tapi..."

"Tapi apa?" Lavia menyelidik.

Zenra tidak menjawab. Ia meremas kertas biru muda itu dan membuangnya sembarang. Angin menerbangkan bola kertas itu ke sungai dan hanyut mengikuti arus air menuju laut lepas.

"Boleh aku tanya satu hal?"

Lavia memecah kebisuan.

"Apa?"

"Maukah kau menikahiku?"

"Maksudmu?"

"Jadikan aku teman 'bertengkar' seumur hidupmu."

"Kita kawin lari?"

"Kita tidak bisa kawin sambil berlari...."

Keduanya terbahak. Tapi hanya sesaat. Melihat raut wajah Zenra yang berubah, Lavia menghentikan tawanya.

"Apa kau akan menikah dengan Ali?"

Lavia cepat menggeleng. "Itu cuma drama yang kuatur dengan Ali."

***

Butuh waktu lama bagi Lavia untuk menata hidupnya kembali pascaoperasi pengangkatan rahim hampir setahun lalu. Kanker yang menggerogoti tubuhnya ikut menggerus kepercayaan dirinya. Ia nyaris tak ingin bertemu siapa pun, khususnya Zenra.

Penyakit itu telah lama menggoreskan trauma di hidupnya. Penyakit itu juga yang merenggut nyawa ibunya saat ia baru beranjak remaja. Untungnya ia punya ayah yang bisa membantunya melewati hari-hari berat itu. Ayahnya selalu sabar menghadapi mood-nya yang berubah-ubah. Hingga akhirnya Lavia kembali mau bertemu dengan teman-temannya. Tapi ia masih belum mau bertemu dengan Zenra.

Di antara teman-temannya, hanya kepada Ali saja Lavia mau berterus terang mengenai kondisinya. Termasuk perihal perasaannya pada Zenra. Ali pula yang mendesaknya untuk berterus terang dan sibuk memikirkan bagaimana caranya. Sampai akhirnya muncullah ide konyol itu.

***

Di taman tepi sungai itu Lavia dan Zenra menghabiskan waktu hingga senja tiba. Di ujung pertemuan itu Lavia lebih banyak diam. Ada ketakutan baru yang kini menjadi beban baru di hatinya. Tanpa sepengetahuan Zenra air matanya kembali jatuh.[]

Ilustrasi foto: Graphic Stock

Sabtu, 02 September 2017

Traveling with My Boy Bike #1: Menjajal Rute Mata Ie - Lhok Nga Seorang Diri


DEMI menguji adrenalin, aku bertekad dan nekat menjajal rute Mata Ie - Lhok Nga dengan my Boy Bike, panggilan khusus untuk si Polygon Xtrada punyaku. Mengapa kukatakan nekat? Sebab aku belum pernah melewati rute ini sebelumnya. Jadi masih blank ke mana tembusnya. Kali ini aku kembali mengandalkan feeling sebagai guide.

Dan, mengapa aku bertekad? Ya, karena aku sekarang punya Boy Bike, rugi kalau dibiarkan menganggur. Dan rasanya kurang menantang jika mengayuh di rute yang aman dan nyaman seperti di seputar perkotaan saja.

Setelah sehari sebelumnya sempat tanya-tanya ke Zelda berapa jarak Mata Ie - Lhok Nga, --yang dijawab dengan tidak serius-- Sabtu pagi, 26 Agustus 2017, sebelum pukul delapan pagi aku mulai bertolak dari kost-an di Peulanggahan, Banda Aceh.

Sebelum bertolak jauh aku terlebih dahulu berhenti di gerbang depan Masjid Raya Baiturrahman yang menghadap ke Sinbun Sibreh. Di sini aku mengabadikan si Boy Bike dengan latar gerbang masjid berornamen Pintoe Aceh.

Kini saatnya untuk bergerak. Aku mulai mengayuh dari pusat kota menuju arah Mata Ie di Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar. Sampai di gerbang Gampong Punie aku berbelok menuju arah Gampong Ulee Tuy. Tujuanku melewati area persawahan dengan view yang sangat keren di sepanjang jalan tembus Ulee Tuy - Asrama TNI di Japakeh.

Sebelumnya aku mampir di warung kecil lewat Masjid Punie untuk sarapan. Saat masih tinggal di Mata Ie, beberapa kali aku pernah sarapan di warung ini. Nasi gurihnya enak. Aku memesan seporsi nasi dengan lauk ayam goreng. Bismillah....

Setelah perut terisi, tenaga jadi full kembali. Semangat untuk melanjutkan mengayuh kembali berapi-api. Usai membayar dan jeda sesaat, segera kuraih sepasang 'tangan' si Boy Bike, kutunggangi sadelnya dan kembali kami berlayar di jalanan. Saat melewati jalan beraspal yang membelah areal persawahan menuju Japakeh, aku berhenti dan mengambil beberapa foto di sini.




Zelda yang pertama sekali memberi tahu rute ini. Dan sejak saat itu aku langsung jatuh cinta pada lokasinya yang keren banget. Areal persawahan dengan latar belakang Bukit Barisan di kejauhan yang tampak hijau. Waktu masih tinggal di Mata Ie, beberapa kali aku pernah melewatu jalur ini saat lari pagi. Udaranya bersih dan sejuk. Pagi itu aku mengulang kembali beberapa fragmen indah yang pernah tercipta di sepanjang jalur ini. Ada debar yang menjalar perlahan di sanubari.

Perjalanan dengan rute yang lebih menantang dimulai dari sini. Setelah menempuh jarak lebih kurang sekitar satu kilometer, sampailah aku di kaki bukit gunung Mata Ie yang sebenarnya tidak terlalu tinggi. Tapi karena sambil bersepeda, aku memilih untuk mendorong saja sepedaku. Belum cukup tenaga dan belum terlatih untuk mengayuh di jalanan menanjak.




Alhasil, sepanjang jalur 1,3 kilometer tersebut aku hanya mendorong saja si Boy Bike. Itupun ditambah berhenti beberapa kali. Perjalanan ini sungguh menguras tenaga. Apalagi hanya seorang diri pula, tidak ada teman untuk bertukar cerita. Mau kirim pesan via aplikasi chatting? Ah, tidak ada sinyal pula di bukit itu. Syukurnya, primata yang biasa kerap memunculkan diri saat ada manusia lewat hari itu entah ke mana mereka. Kalau tidak, mungkin aku sudah panik karena takut ha ha ha.

Di suatu titik, aku benar-benar kelelahan. Aku terpaksa berhenti di bawah pohon rindang dan merapatkan punggungku dengan aspal yang diteduhi tajuk pohon. Namun saat aku sedang asyik menikmati desau angin, suara deru mobil mengagetkanku. Si pemilik mobil pun tampaknya kaget, kulihat ia membuka kaca jendela mobilnya dan melongokkan kepala ke arahku. Mungkin setelah memastikan aku baik-baik saja, mobil tersebut kembali melaju kencang.

Dari sini aku bebas membuang pandangan ke mana saja. Saat mataku bertumbuk ke bukit, ada rasa nyeri yang menjalar hebat. Bukit-bukit itu nyaris gundul usai terbakar beberapa waktu lalu. Di tubir bukit ada sebuah spanduk berisi larangan membakar hutan berlogo instansi kepolisian lengkap dengan pasal dan nominal dendanya. Aku tak yakin spanduk itu membantu banyak untuk menyelamatkan hutan kita dari tangan-tangan jahil. Tapi setidaknya sudah berusaha kan?





Setelah merasa cukup punya tenaga untuk melanjutkan perjalanan, kembali aku menggamit tangan Boy Bike. Kami kembali menyusuri sisa tanjakan di tengah sengatan matahari yang perlahan namun pasti, mulai menunjukkan kegarangannya. Dan.... akhirnya tibalah kami di puncak bukit. Harapan baru kembali berkecambah. Terbayang sudah 'kenikmatan' melewati jalur menurun yang tak kalah panjangnya dengan jalur mendaki tadi. Itu artinya, aku bisa bersantai di atas sadel tanpa perlu bersusah payah mengayuh.

Di turunan ini, tempat pertama yang menjadi lokasi pemberhentianku adalah gerbang waterpark Mata Ie Hillside. Rasanya kurang lengkap tanpa meninggalkan jejak di sini berupa satu atau dua lembar foto. Seorang pekerja terlihat sedang memperbaiki pagar di dekat gerbang. Kulempar senyum untuknya saat aku akan meninggalkan lokasi ini.



Melewati jalur ini dengan sepeda benar-benar menyenangkan. Sepanjang kiri kanan jalan adalah kebun-kebun warga yang umumnya didominasi oleh tanaman tua seperti kemiri. Di beberapa tempat aku melihat ada pembukaan lahan baru dengan cara membakar kebun. Beberapa kali juga aku berpapasan dengan petani setempat. Di sepanjang kawasan ini tampak beberapa rumah --mungkin juga gubuk-- milik warga. Mereka menawarkan senyum ramah yang membuatku semakin nyaman melewati jalur tersebut. Meski bersepeda sendirian tak ada sedikitpun rasa khawatir atau cemas. 




Gambar di bawah ini adalah spot yang paling berkesan buatku dalam perjalanan akhir pekan lalu. Rasanya semua lelah dan keringat yang bercucuran nggak ada apa-apanya dibandingkan rasa senang yang menguar di dalam hati. Rasa senang itu yang membuatku tak tahan untuk tidak mengabarkan Zelda. "Rasanya puaaaassss kali," sepotong pesan meluncur untuk Zelda begitu aku sampai di rumah. Plus selembar foto yang merujuk pada gambar di bawah ini.




Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, menjadi pemberhentian terakhirku hari itu. Matahari mulai menanjak, cuaca tak lagi bersahabat. Jam digital di gawaiku menunjukkan angka 10:30 AM. Saatnya bergerak pulang.



Di sisa perjalanan hari itu ada syukur yang bertubi-tubi kupanjatkan kepada Tuhan. Atas nikmat tak terhingga. Atas kesempatan yang tak semua orang bisa menikmati. Atas keberanian yang tak terduga. Atas kekuatan yang tak terbayangkan. Juga untuk Zelda...[]