Sabtu, 02 September 2017

Traveling with My Boy Bike #1: Menjajal Rute Mata Ie - Lhok Nga Seorang Diri


DEMI menguji adrenalin, aku bertekad dan nekat menjajal rute Mata Ie - Lhok Nga dengan my Boy Bike, panggilan khusus untuk si Polygon Xtrada punyaku. Mengapa kukatakan nekat? Sebab aku belum pernah melewati rute ini sebelumnya. Jadi masih blank ke mana tembusnya. Kali ini aku kembali mengandalkan feeling sebagai guide.

Dan, mengapa aku bertekad? Ya, karena aku sekarang punya Boy Bike, rugi kalau dibiarkan menganggur. Dan rasanya kurang menantang jika mengayuh di rute yang aman dan nyaman seperti di seputar perkotaan saja.

Setelah sehari sebelumnya sempat tanya-tanya ke Zelda berapa jarak Mata Ie - Lhok Nga, --yang dijawab dengan tidak serius-- Sabtu pagi, 26 Agustus 2017, sebelum pukul delapan pagi aku mulai bertolak dari kost-an di Peulanggahan, Banda Aceh.

Sebelum bertolak jauh aku terlebih dahulu berhenti di gerbang depan Masjid Raya Baiturrahman yang menghadap ke Sinbun Sibreh. Di sini aku mengabadikan si Boy Bike dengan latar gerbang masjid berornamen Pintoe Aceh.

Kini saatnya untuk bergerak. Aku mulai mengayuh dari pusat kota menuju arah Mata Ie di Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar. Sampai di gerbang Gampong Punie aku berbelok menuju arah Gampong Ulee Tuy. Tujuanku melewati area persawahan dengan view yang sangat keren di sepanjang jalan tembus Ulee Tuy - Asrama TNI di Japakeh.

Sebelumnya aku mampir di warung kecil lewat Masjid Punie untuk sarapan. Saat masih tinggal di Mata Ie, beberapa kali aku pernah sarapan di warung ini. Nasi gurihnya enak. Aku memesan seporsi nasi dengan lauk ayam goreng. Bismillah....

Setelah perut terisi, tenaga jadi full kembali. Semangat untuk melanjutkan mengayuh kembali berapi-api. Usai membayar dan jeda sesaat, segera kuraih sepasang 'tangan' si Boy Bike, kutunggangi sadelnya dan kembali kami berlayar di jalanan. Saat melewati jalan beraspal yang membelah areal persawahan menuju Japakeh, aku berhenti dan mengambil beberapa foto di sini.




Zelda yang pertama sekali memberi tahu rute ini. Dan sejak saat itu aku langsung jatuh cinta pada lokasinya yang keren banget. Areal persawahan dengan latar belakang Bukit Barisan di kejauhan yang tampak hijau. Waktu masih tinggal di Mata Ie, beberapa kali aku pernah melewatu jalur ini saat lari pagi. Udaranya bersih dan sejuk. Pagi itu aku mengulang kembali beberapa fragmen indah yang pernah tercipta di sepanjang jalur ini. Ada debar yang menjalar perlahan di sanubari.

Perjalanan dengan rute yang lebih menantang dimulai dari sini. Setelah menempuh jarak lebih kurang sekitar satu kilometer, sampailah aku di kaki bukit gunung Mata Ie yang sebenarnya tidak terlalu tinggi. Tapi karena sambil bersepeda, aku memilih untuk mendorong saja sepedaku. Belum cukup tenaga dan belum terlatih untuk mengayuh di jalanan menanjak.




Alhasil, sepanjang jalur 1,3 kilometer tersebut aku hanya mendorong saja si Boy Bike. Itupun ditambah berhenti beberapa kali. Perjalanan ini sungguh menguras tenaga. Apalagi hanya seorang diri pula, tidak ada teman untuk bertukar cerita. Mau kirim pesan via aplikasi chatting? Ah, tidak ada sinyal pula di bukit itu. Syukurnya, primata yang biasa kerap memunculkan diri saat ada manusia lewat hari itu entah ke mana mereka. Kalau tidak, mungkin aku sudah panik karena takut ha ha ha.

Di suatu titik, aku benar-benar kelelahan. Aku terpaksa berhenti di bawah pohon rindang dan merapatkan punggungku dengan aspal yang diteduhi tajuk pohon. Namun saat aku sedang asyik menikmati desau angin, suara deru mobil mengagetkanku. Si pemilik mobil pun tampaknya kaget, kulihat ia membuka kaca jendela mobilnya dan melongokkan kepala ke arahku. Mungkin setelah memastikan aku baik-baik saja, mobil tersebut kembali melaju kencang.

Dari sini aku bebas membuang pandangan ke mana saja. Saat mataku bertumbuk ke bukit, ada rasa nyeri yang menjalar hebat. Bukit-bukit itu nyaris gundul usai terbakar beberapa waktu lalu. Di tubir bukit ada sebuah spanduk berisi larangan membakar hutan berlogo instansi kepolisian lengkap dengan pasal dan nominal dendanya. Aku tak yakin spanduk itu membantu banyak untuk menyelamatkan hutan kita dari tangan-tangan jahil. Tapi setidaknya sudah berusaha kan?





Setelah merasa cukup punya tenaga untuk melanjutkan perjalanan, kembali aku menggamit tangan Boy Bike. Kami kembali menyusuri sisa tanjakan di tengah sengatan matahari yang perlahan namun pasti, mulai menunjukkan kegarangannya. Dan.... akhirnya tibalah kami di puncak bukit. Harapan baru kembali berkecambah. Terbayang sudah 'kenikmatan' melewati jalur menurun yang tak kalah panjangnya dengan jalur mendaki tadi. Itu artinya, aku bisa bersantai di atas sadel tanpa perlu bersusah payah mengayuh.

Di turunan ini, tempat pertama yang menjadi lokasi pemberhentianku adalah gerbang waterpark Mata Ie Hillside. Rasanya kurang lengkap tanpa meninggalkan jejak di sini berupa satu atau dua lembar foto. Seorang pekerja terlihat sedang memperbaiki pagar di dekat gerbang. Kulempar senyum untuknya saat aku akan meninggalkan lokasi ini.



Melewati jalur ini dengan sepeda benar-benar menyenangkan. Sepanjang kiri kanan jalan adalah kebun-kebun warga yang umumnya didominasi oleh tanaman tua seperti kemiri. Di beberapa tempat aku melihat ada pembukaan lahan baru dengan cara membakar kebun. Beberapa kali juga aku berpapasan dengan petani setempat. Di sepanjang kawasan ini tampak beberapa rumah --mungkin juga gubuk-- milik warga. Mereka menawarkan senyum ramah yang membuatku semakin nyaman melewati jalur tersebut. Meski bersepeda sendirian tak ada sedikitpun rasa khawatir atau cemas. 




Gambar di bawah ini adalah spot yang paling berkesan buatku dalam perjalanan akhir pekan lalu. Rasanya semua lelah dan keringat yang bercucuran nggak ada apa-apanya dibandingkan rasa senang yang menguar di dalam hati. Rasa senang itu yang membuatku tak tahan untuk tidak mengabarkan Zelda. "Rasanya puaaaassss kali," sepotong pesan meluncur untuk Zelda begitu aku sampai di rumah. Plus selembar foto yang merujuk pada gambar di bawah ini.




Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, menjadi pemberhentian terakhirku hari itu. Matahari mulai menanjak, cuaca tak lagi bersahabat. Jam digital di gawaiku menunjukkan angka 10:30 AM. Saatnya bergerak pulang.



Di sisa perjalanan hari itu ada syukur yang bertubi-tubi kupanjatkan kepada Tuhan. Atas nikmat tak terhingga. Atas kesempatan yang tak semua orang bisa menikmati. Atas keberanian yang tak terduga. Atas kekuatan yang tak terbayangkan. Juga untuk Zelda...[]

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

2 komentar:

  1. Ihan sendirian asli itu jalan muter-muter naik sepedanya? aku piker sama teman-teman. btw, sepedanya bagusss... dulu anak sulungku 3 tahun ke sma nya pake sepeda yang seperti itu juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak, sendirian aja..... kalau ngajak temen nggak bisa dadakan soalnya. Seru sih naik sepeda ya... cuma ya itu start-nya harus lebih cepet dibandingkan naik motor

      Hapus

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)