Selasa, 07 November 2017

Menyeduh Narasi Dalam Secangkir Kopi

Tampilan blog saya

SETELAH menunggu sekitar sepuluh menit, kopi yang kupesan akhirnya terhidang juga. Semerbak aroma kopi Gayo seketika menyerbu indra penciumanku. Merasuki otak. Tak berselang lama setelah aku menyeruputnya, kantuk yang tadi masih hinggap di pelupuk mata rasanya menjadi luruh seketika. Ini memang hanya karena faktor sugesti saja. Tapi setidaknya setelah membaui aroma kopi, ide-ide yang ada di kepala lebih mudah dituangkan menjadi narasi.
Kopi dan narasi adalah dua hal yang sangat kugilai. Entah dari mana 'hal gila' ini kuwarisi. Sebab ayah dan ibuku bukanlah penikmat kopi, mereka juga tidak pernah bergelut dengan kata-kata.
Aku tak pernah lupa bersyukur untuk hal ini. Melalui hobi yang kulakoni sejak belasan tahun silam ini, aku lebih mengenal diriku sendiri. Aku menjadi seperti apa yang aku inginkan.
+++
Saat aku menuliskan catatan ini, ingatanku seketika terlempar ke masa lebih dari dua puluh tahun silam. Aku masih seorang gadis kecil yang tomboy. Orang tuaku tinggal di desa dengan topografi perbukitan di Aceh Timur sana. Sejauh mata memandang, yang tampak adalah kebun kelapa dan kakao milik warga setempat. Dengan topografi desa yang seperti ini, kesulitan air bersih menjadi makanan sehari-hari. Terutama di musim kemarau panjang.
Tapi bagi kami yang masih anak-anak, musim kemarau tetap memberikan keasyikan tersendiri. Saban sore kami harus menempuh jarak berkilo-kilometer untuk mandi. Anak-anak di desa kami sangat kompak, termasuk dalam hal mandi bersama. Inilah yang selalu kami tunggu-tunggu.
Pukul empat sore kami mulai bergerak menuju kaki bukit. Berjalan bergerombol mengikuti jalan setapak di antara kebun-kebun warga. Kadang-kadang kami berpapasan dengan babi hutan. Tapi itu tidak membuat kami takut. Karena babi-babi itu juga akan lari terbirit-birit mendengar sorak-sorai kami yang riuh. Pulangnya kami membawa air dalam jeriken isi lima liter, sebagai bekal mandi besok pagi.
Suatu sore, dalam perjalanan pulang dari kaki bukit di musim kemarau, seperti biasa kami melewati jalan setapak yang berada di antara kebun-kebun warga. Kaki-kaki kecil kami kembali dipenuhi bunga-bunga rumput. Meski sudah mandi, keringat kembali membanjiri tubuh karena kelelahan naik turun bukit. Suara sandal jepit berdecit-decit saat bergesekan dengan telapak kaki yang licin. Tapi tidak sekalipun itu menjadi sumber keluhan kami.
Tidak seperti biasa, aku malah sibuk dengan imajinasiku sendiri. Sama sekali tidak terusik dengan keriuhan dan keusilan teman-teman. Aku membayangkan masa-masa ketika aku sudah besar nanti, jadi apa aku, tinggal di mana aku. Hatiku saat itu mengikrarkan; kelak ketika aku dewasa aku ingin menjadi seseorang yang berbeda dari teman-temanku.
+++
Terus belajar mengasah kemampuan diri

Kembali kuseruput kopi pesananku yang masih mengepulkan asap. Kombinasi pahit dan manis memberikan sensasi tersendiri di lidah. Kuedarkan pandangan ke sekeliling warung, sekadar untuk merileksasi mata setelah lama menatap layar laptop.
Toko dua pintu yang disulap jadi warung kopi ini tampak sepi . Hanya ada beberapa pengunjung yang duduk di tiga meja terpisah, aku salah satunya. Belakangan datang dua wanita muda yang duduk di dekat meja kasir. Suasana yang lengang membuatku sangat nyaman untuk menulis.
Bertahun-tahun setelah sore di jalan setapak itu, aku menyadari kini aku menjadi sosok yang sangat berbeda dengan teman-temanku dalam hal pekerjaan. Apakah impian di masa kecilku itu telah terwujud? Aku bilang iya, sebab tidak ada satu pun teman masa kecilku yang pekerjaannya berhubungan dengan literasi, seperti yang aku lakoni. Hobi menulis yang terus kuasah ini telah menjadikanku berbeda dengan mereka. Setidaknya aku kini menjadi lebih terkenal dibandingkan mereka ha ha ha.
Ngomong-ngomong soal hobi, aku memaknainya laiknya seperti seorang kekasih saja. Berlebihan? Ah, tidak juga. Bukankah kita rela melakukan dan mengorbankan apa saja demi menyenangkan hati kekasih kita? Itu juga yang kulakukan untuk menyalurkan hobi menulisku yang 'kumatnya' tak pernah kenal waktu.
Aku belum lupa bagaimana rasanya jari-jari tangan ini ‘keriting’ dan pegalnya minta ampun karena harus menulis di atas kertas. Itu zaman saat aku belum memiliki gawai untuk menulis. Hampir setiap malam aku bergadang hanya untuk membuat satu dua catatan, puisi atau cerpen.
Lalu besoknya atau saat punya waktu luang, aku ke warung internet untuk menuliskan ulang sebelum dikirim ke media massa atau sekadar untuk diposting di blog. Tapi hal itu justru membuatku bahagia dan senang. Terutama ketika ada orang-orang yang mengapresiasi karya tulisku.
Hobi menulis ini pula yang mengantarku menjadi seorang pekerja media seperti saat ini. Sebuah pekerjaan yang membahagiakan, sebab aku bekerja untuk menyalurkan hobiku. Sebuah pekerjaan yang awalnya sempat ditentang oleh ibu. Kata ibu suatu ketika, menjadi perempuan itu 'jangan aneh-aneh', bekerja kantoran saja, syukur-syukur bisa jadi PNS karena itu jauh lebih fleksibel. Kalau jadi wartawan, kapan di rumahnya?
Tapi aku ---meski pendiam namun keras kepala- tetap bersikukuh pada keputusan yang sudah kuambil. Buatku ini tantangan, bukan cuma soal sekadar menyalurkan hobi menulis. Tapi bagaimana menjadikan hobi ini bermanfaat bagi orang lain. Bisa menjadi 'suara' bagi orang lain. Karena ada banyak persoalan yang tak hanya cukup secara lisan saja untuk menyuarakannya, tapi harus lewat tulisan. Karena berangkat dari hobi ini pula, aku sangat menikmati pekerjaanku.
Bersepeda ke Glee Gurah, Peukan Bada, Aceh Besar

Memiliki hobi menulis memiliki kesan tersendiri. Banyak teman atau bahkan orang yang tak dikenal memercayakan aku untuk berbagi rahasia mereka. Sebuah pengalaman saat masih SMA misalnya, seorang teman tiba-tiba memintaku untuk menuangkan isi kepalanya dalam sebuah diari. Waktu itu saat dunia daring belum booming seperti sekarang, diari menjadi alternatif jitu untuk menuliskan semua perasaan penulisnya.
"Tapi harus siap dalam malam ini juga," kata temanku dengan suara bergetar.
"Siap malam ini? Diari ini tebal lho.." jawabku kaget.
"Iya, karena besok akan kuberikan pada si A."
Oow... pahamlah aku sekarang. Ternyata temanku ini mau memberikan diari itu kepada mantan kekasihnya yang baru putus beberapa hari lalu. "Aku ingin dia tahu perasaanku yang sebenarnya..." kata si teman lagi dengan mata berkaca-kaca.
Jadilah malam itu kami (aku) menulis hingga larut malam. Temanku itu bercerita, lalu aku merangkum ceritanya dan menuliskannya menjadi narasi yang puitik dan melankoli. Tujuannya cuma satu, agar si mantan kekasihnya itu merasa menyesal dan bersalah karena telah memutuskan dia. Besoknya aku juga yang ditugaskan untuk memberikan diari itu pada mantan kekasih temanku itu, yang temanku juga. Dan ternyata cowok itu benar-benar menyesal. Dia minta balikan, tapi temanku ini tidak mau. Di situ aku merasa misiku telah berhasil ha ha ha.
Di lain waktu, seorang ibu muda yang berdomisili di pulau seberang tiba-tiba mengirimkan pesan melalui Facebook. Sesaat setelah aku menayangkan sebuah cerita tentang cinta segitiga di blogku. "Cerita hidupku nggak kalah satirenya dengan kisah orang yang ada dalam cerita itu, maukah kamu menuliskannya?"
Permintaan itu sejenak membuatku terkesima. Tak lama kemudian perempuan itu menumpahkan semua isi hatinya yang selama ini ia pendam. "Aku ingin perempuan-perempuan di luar sana tidak mengalami kejadian seperti yang menimpaku," katanya di ujung cerita.
Mungkin terkesan sederhana ya? Hanya menuliskan apa yang kulihat dan kurasakan menjadi sebuah tulisan. Tapi itu menjadi sangat luar biasa rasanya ketika melihat mata yang penuh binar, karena kita menuliskan cerita tentang mereka dengan baik dan apik.
Buatku pribadi, menulis adalah menyempurnakan rasa. Saat lisan tergagap dalam menyampaikan sesuatu, maka tulisan akan mengambil alih pekerjaan itu. Lalu ia mengabadikannya bersama waktu. Atau serupa kopi, yang tak hanya menjadikan candu tapi juga menggairahkan.[]
Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)