Sabtu, 28 April 2018

Nggak Janji



Gimana ya rasanya kalau orang yang paling kita harapkan bertemu tiba-tiba mengatakan 'nggak janji ya' saat kita mengusulkan waktu pertemuan, walaupun cuma bercanda. Pasti rasanya enggak enak banget, aku tahu gimana rasanya, karena baru saja mendapatkan jawaban seperti itu hahaha. Rasanya tuh, seperti kantong plastik yang tadinya menggelembung penuh oleh udara tiba-tiba kempes.

Kalau merujuk pada teori 'bahasa kasih' yang dibuat oleh Garry Chapmann, aku masuk dalam kategori manusia yang bahasa kasihnya adalah 'kata-kata pendukung' dan 'sentuhan fisik'. Dua hal ini akan membuat aku merasa sangat disayangi dan dicintai. Aku sangat sensitif dengan yang namanya 'kata-kata', setiap kata yang diucapkan/dituliskan oleh seseorang, tak bisa sekadar lewat begitu saja.

Makanya, ketika tadi ada seseorang yang aku sangat ingin bertemu dengannya dan dia menjawab 'nggak janji ya' saat aku menawarkan waktu temu dengannya, keinginan untuk bertemu dengannya seketika menguap. Ya, setidaknya sampai aku menuliskan ini, jangankan hasrat untuk bertemu, untuk mengobrol via pesan pun aku jadi malas.

Rasanya semua kerinduan yang sudah aku simpan selama ini menjadi enggak berarti sama sekali. Menjalin interaksi dengan manusia itu memang rumit, makanya kata Less Giblin, perlu seni. Kalau ingin dipahami ya harus memahami terlebih dahulu. Sama seperti konsep tuai tabur. Tapi untuk kali ini, dengan rasa rindu yang menggunung di hati, mendapat jawaban seperti itu, rasanya susah buatku untuk bisa 'memahami' kalau dia cuma bercanda.[]

Senin, 16 April 2018

Pesona Seribu Bukit


GEROMBOLAN angin yang mencuri-curi masuk lewat celah jendela minibus L300 membangunkan saya pagi itu. Udara dingin menyergap. Menyelinap menembusi jaket yang membalut tubuh. Merasuk hingga ke tulang. Bahkan, syal berbahan wol yang saya lilitkan di leher tak membantu banyak untuk memberikan rasa hangat.
Saya mengerjap-ngerjap, menghilangkan sisa kantuk yang masih melekat di pelupuk mata. Matahari belum sempurna terbit. Sekelebat pemandangan tiba-tiba tertangkap oleh indera. Sungai lebar yang berkelok-kelok di kejauhan, sawah hijau yang berundak-undak, rumah-rumah penduduk, begitu padu dengan lanskap di sekitarnya yang hijau. Pucuk-pucuk pinus menjulang di lembah dan puncak bukit.
Kabut yang masih mengapung di udara menambah kesyahduan pagi itu. Perlahan mentari mulai muncul di ufuk timur. Menumpahkan cahaya jingganya ke pucuk-pucuk pohon.
"Saya sudah sampai ke Gayo Lues.” Hati saya membatin penuh girang. Kegirangan yang sama agaknya juga dirasakan teman-teman.
Belakangan saya tahu, jalan mulus berliku-liku di tubir bukit dengan hamparan pemandangan memesona itu ada di Kecamatan Pantan Cuaca. Pemandangan yang kurang lebih sama juga terhampar di sepanjang Kecamatan Rikit Gaib, hingga ke Kota Blangkejeren, Ibu Kota Gayo Lues.
Mata yang tadi masih dihinggapi kantuk jadi membelalak. Tak peduli lagi pada rasa gigil yang serasa menggigit tulang, saya justru nekat membuka setengah kaca jendela. Mencondongkan wajah dan membiarkan angin menampar-nampar kulit. Ingin merasakan langsung hawa sejuknya yang selama ini cuma mampir di telinga. Lalu sebisa mungkin mengabadikan keindahannya lewat lensa kamera. Tapi sayang, pacu mobil yang terlalu cepat tak memberi saya kesempatan untuk itu.
Ternyata saya juga tak cukup kuat menantang suhu yang teramat dingin. Terpaksa kembali saya rapatkan kaca jendela mobil. Sudah cukup puas walau hanya memandangi kepingan keindahan itu dari balik jendela yang berkabut.
Di sisa perjalanan sebelum sampai ke Kota Blangkejeren, tak henti-hentinya saya mengucap syukur. Kagum pada keindahan daerah yang dijuluki Negeri Seribu Bukit ini.
+++

Senin, 16 Oktober 2017 lalu, untuk yang pertama kalinya bagi saya dan kelima teman perempuan: Yelli, Seila, Cut, Ayu, dan Uswah menjejakkan kaki di tanah Gayo Lues.  Kabupaten muda yang mendiami gugusan Bukit Barisan. Yang setiap lekukannya seolah menebarkan aroma segar dari sere wangi. Salah satu komoditas unggulan daerah ini.
Kami semua berangkat dari Banda Aceh, beberapa di antaranya baru saling kenal jelang keberangkatan pada sore sebelumnya. Karena ini pengalaman pertama, tingkah kami terkadang agak norak. Tapi kami menikmatinya. Terutama saat merasakan betapa sejuknya wilayah ini. Berbeda dengan suhu Kota Banda Aceh yang panas karena berada di pesisir.
Kedatangan kami ke kota ini untuk belajar. Saya, bersama lebih dari 20 perempuan yang berasal dari Banda Aceh, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara mendapat kesempatan mengikuti Serial Perempuan Peduli Leuser yang dibuat USAID Lestari. Program beasiswa ini berakhir pada Maret 2018.
Gayo Lues sebagai salah satu zona inti Kawasan Ekosistem Leuser, dipilih USAID Lestari sebagai tempat pelaksanaan workshop pertama. Selanjutnya, pada November nanti workshop yang kedua akan digelar di Tapaktuan, Aceh Selatan.
Sesuai arahan panitia kami sudah tiba sejak Senin pagi, dengan asumsi sisa hari itu akan kami gunakan untuk beristirahat. Tentu saja agar saat workshop dimulai esok harinya kami sudah segar dan siap menerima informasi. Tapi, rasanya sayang sekali jika sudah jauh-jauh ke sana, menempuh perjalanan lebih dari dua belas jam dari Banda Aceh, hanya untuk tidur di hotel.
Sekitar pukul sembilan, usai check in kami memutuskan mencari sarapan. Walaupun semalam sempat mengisi lambung dengan martabak di Pante Raya, Bener Meriah tapi sepagi itu perut sudah minta diisi lagi. Mungkin karena dingin, atau karena penasaran ingin mencicipi kuliner khas Gayo Lues. Rachmi, peserta dari Aceh Selatan yang juga baru tiba bergabung dengan kami.
Rupa-rupanya mencari sarapan di sana tak semudah yang kami bayangkan. Dari Hotel Mulia, tempat kami menginap di Jalan Kuta Panjang, kami harus berjalan kaki hingga ke Jalan Kolonel Muhammad Din. Tak begitu jauh.  Sebuah warung dengan nama penyanyi terkenal Syahrini menjadi tempat perhentian.
Di warung ini saya memilih menu belut goreng dan ikan mas acar. Ikan air tawar memang menjadi menu andalan di warung-warung di daerah ini. Maklum, lokasinya yang sangat jauh dari pantai, tentu saja tak mudah menemukan ikan laut di sini. Namun di hari terakhir di Blangkejeren, saat berkeliling pasar tradisional di Kampung Durin, saya melihat seorang pedagang ikan menjajakan ikan tongkol.
+++

Setelah memekarkan diri dari Aceh Tenggara pada 2002 silam, Gayo Lues terus bergerak menuju kabupaten yang mandiri. Posisinya yang berada di gugusan Bukit Barisan tentunya menjadi daya jual yang luar biasa. Ditambah sebagian besar wilayahnya merupakan area Taman Nasional Gunung Leuser. Dua hal ini saja sudah membuat Gayo Lues begitu memikat. Terutama bagi para penikmat keindahan lanskap alam dan peneliti lingkungan.
Belakangan tari saman yang berasal dari Gayo Lues, ditetapkan menjadi warisan dunia takbenda oleh UNESCO pada 2012 silam. Hal ini semakin menjadikan Gayo Lues bak mercusuar yang menarik perhatian dari seluruh penjuru mata angin. Lapangan Seribu Bukit menjadi saksi dua event saman massal yang digelar pada 2014 dan Agustus 2017.
Bagi saya pribadi, setiap jengkal tanah Gayo Lues ini adalah keindahan.  Beberapa lokasi wisatanya sudah akrab di telinga. Sebut saja Bukit Cinta di Tenggulun, dataran tinggi Genting di Kecamatan Pining yang berbatasan dengan Aceh Timur, dan objek wisata Kedah yang menjadi pintu masuk menuju Taman Nasional Gunung Leuser di Gayo Lues. Dan masih banyak objek wisata lainnya yang tersebar di sebelas kecamatan.
Karena keterbatasan waktu, kami hanya sempat main-main ke Bukit Cinta dan Genting. Plus mengunjungi Masjid Asal yang sudah berusia delapan abad di Kampung Penampaan, Blangkejeren di hari terakhir. Setidaknya, masih ada alasan bagi saya untuk kembali mengunjungi Gayo Lues di lain waktu.
Menuju ke kabupaten ini bisa ditempuh dari Aceh Tengah, maupun dari Aceh Tenggara dengan pintu masuknya dari Sumatera Utara. Hanya saja jalur lintas ke Aceh Tengah baru dilalui angkutan umum setelah konflik antara GAM dan Pemerintah RI berakhir. Kondisi ini membuat Gayo Lues pernah menjadi wilayah yang sangat terisolir di Aceh.
Lima Daerah Aliran Sungai yang ada di Gayo Lues, yaitu DAS Alas, Tamiang, Perlak, Jambo Aye, dan Kuala Tripa menjadi pemasok sumber air ke belasan kabupaten. Ini membuktikan, meski Gayo Lues bagi sebagian kita seolah-olah berada di ‘negeri asing’, namun sangat krusial.
Kehangatan dan keramahtamahan orang Gayo menjadi bagian dari cerita yang tak terlupakan. Kesan ini saya dapatkan setelah bertamu ke rumah keluarga Nurcahya dan Hasan di Blangbengkik, Kecamatan Blang Pegayon. Putri mereka, Eva, adalah teman kuliah Yelli saat sama-sama menjadi mahasiswa di Unsyiah. Eva telah berbaik hati membawa kami ke Genting. Sebagai gantinya saya dan Yelli –sembari memulangkan sepeda motor- bertamu ke rumah Eva.
Nurcahya, di usianya yang sudah paruh baya masih terlihat muda dan bersemangat. Cerita-cerita mengenai keunikan dan kekhasan Gayo Lues lebih banyak mengalir dari mulutnya. Berbeda dengan suaminya yang agak pendiam. Hasan hanya menimpali obrolan kami sesekali saja.
“Kalau di Dabun Gelang tempat anakku lewati tadi, banyak sere wangi di sana. Kalau kopi banyak tumbuh di Pantan Cuaca. Kalau di daerah sini sayur-sayuran pun banyak, ada kemiri juga, coklat,” ujar Nurcahya. “Besok datang lagi biar ibu ajak ke ladang, foto-foto nanti kita di sana, pemandangannya bagus.”
Soal ini, Nurcahya tidaklah mengada-ngada. Dalam perjalanan pulang, dari ketinggian pedesaan di Blang Pegayon saya menyaksikan pendar-pendar lampu dari pusat kota. Seperti laiknya gugusan bitang di galaksi. Menakjubkan.
Saya menyimak setiap kata yang diucapkan Nurcahya, sambil diselingi canda tawa. Kami tidak merasa kikuk sama sekali. Nurcahya juga mengatakan, 80 persen penduduk Gayo Lues adalah suku Gayo asli, sisanya pendatang seperti Aceh, Padang, atau Jawa. Hal yang sama sebelumnya dikatakan oleh tukang becak yang membawa kami ke Bukit Cinta.
Lewat kehangatan yang diberikan Nurcahya, saya mendapat kesempatan untuk mengenakan upuh ules. Yaitu kain panjang kerawang Gayo dengan kombinasi warna kuning, hitam, dan merah, bermotifkan mata itik. Kain ini menjadi bawaan wajib atau isi talam dari pengantin pria kepada pengantin wanita, bersama seperangkat pakaian lainnya yang disebut kain selingkuh.
Pengalaman tak terlupakan berikutnya saya dapatkan dari seorang nenek yang dipanggil Mak Eda. Kami bertemu dengannya di tangga Masjid Asal. Meminjam istilah Ayu, Mak Eda adalah pop up yang membawa kami masuk jauh dalam kehangatan masyarakat Gayo.
Dia juga seorang pemasar yang luar biasa. Terbukti, usai berkenalan dengannya kami membawa pulang beberapa souvenir dan kopi Gayo sebagai oleh-oleh. Mak Eda juga memberikan kami sumpit, karung kecil yang terbuat dari anyaman pandan duri sebagai kenang-kenangan.
Lewat Mak Eda kami berkenalan dengan Ridwan, pedagang kopi yang tinggal di Kampung Arul Lemu. Kampung ini tak begitu jauh dari pusat kota. Tapi saat dibawa dengan berjalan kaki, itupun setelah kami berkeliling kota untuk mencari souvenir, perjalanan menuju rumah Ridwan menjadi cukup melelahkan. Kami justru takjub pada Mak Eda yang usianya sudah di atas 60 tahun, namun masih cukup prima.
Dia bahkan sama sekali tidak kesulitan saat harus melewati alur yang terhubung ke sungai Arul Lemu yang berhulu ke Porang, dan melintasi Kampung Penampaan di bawah sana. Sayangnya Mak Eda tak bisa menemani kami lebih lama di rumah Ridwan, karena hari sudah semakin sore.
Ketika senja semakin gelap kami meninggalkan kediaman Ridwan dengan membawa sepotong cerita yang berkesan. Di ufuk barat semburat jingga perlahan memudar. Pucuk-pucuk pohon kini dikulum gelap. Kami bergegas disertai lambaian Ridwan yang mengantar hingga ke persimpangan. Perlahan saya kembali merasakan hawa dingin yang menusuk-nusuk.[]

Jumat, 06 April 2018

Senyum Senja Mentari Pagi



"Kalau kita punya anak, aku yang berikan nama, ya?" kataku pada Zenja di suatu pagi.

"Boleh."

"Aku sudah siapkan dua nama lho."

"Wow. Mantab."

Hingga pagi itu Zenja masih menuliskan mantap dengan 'b' bukan dengan 'p'. Biasanya aku selalu protes, tapi bukankah cinta adalah pemakluman? Biarkan saja dia menulis tanpa tertib bahasa seperti itu.

"Kalau laki-laki aku akan beri nama Senyum Senja. Kalau perempuan Mentari Pagi," kataku pada hari yang lain.

"Nama Islam saja. Nama itu doa."

"Itu kan juga doa, Sayang."

"Ya, boleh aja nggak dilarang. Kalau mau berpuisi ikuti Jalaluddin Rumi."

"Aku suka nama berbahasa Indonesia yang puitis. Senyum Senja itu representasi dirimu, dan Mentari Pagi itu aku."

"Aku ingin punya baby, kalau kita punya bayi kembar tiga seru ya."

"Iya, seru."

Lalu kami sibuk berbincang tentang bayi kembar. Kerepotan seorang ibu. Kerepotan seorang ayah. Apa yang anak-anak panggil untuk kami sebagai orang tuanya nanti. Dan di setiap ujung perbincangan kami tak lupa mengatakan, "semoga Tuhan memudahkan cinta kita ya, Sayang."

Zenja adalah teman ribut yang asyik, teman untuk merengek-rengek yang selalu hangat. Sekaligus teman untuk merajuk yang menyebalkan.

Perihal nama-nama itu, memang sudah lama terpikirkan. Eh, tapi 'Pagi' yang melengkapi 'Mentari' baru saja terpikir dalam beberapa hari ini. Setelah aku tergila-gila pada Pagi yang hangat, yang riuh, yang sejuk seperti embun. Pagi dan Senja. Senja dan Pagi. Senja yang selalu tersenyum, dan Pagi yang selalu hangat.[]