Senin, 16 Desember 2024

Pria Bertopi Flat Cap

Ilustrasi gambar dengan Bing

Uhm, hari-hari selama Desember ini terasa lebih longgar. Tidak seperti Desember-Desember yang telah lalu. Memasuki Desember ini, hanya ada satu deadline lagi yang perlu kuselesaikan. 

Terbiasa dikepung oleh deadline demi deadline, rasanya “aneh” juga ketika terasa memiliki banyak waktu luang begini. Tapi aku jadi punya lebih waktu untuk mengistirahatkan diri. Hanya beban pikiran saja yang tampaknya belum longgar karena ada "proyek" multiyears yang belum selesai.


Untuk “merayakan” kesenggangan itu, aku ingin bercerita tentang sesuatu. Tentang pengemis yang sering kutemui di kedai-kedai kopi.


Kedai kopi selalu menjadi pilihan utamaku untuk bekerja. Kedai kopi favoritku adalah sebuah kedai kopi di daerah kota, persis di tepi Krueng Aceh. Selain tempatnya yang terjangkau dari tempat tinggalku, aku suka citarasa kupi sareng di kedai ini. Seperti hari ini, meskipun aku sudah minum kopi dingin, tetapi rasanya kurang pas kalau belum kena kupi sareng. Alhasil, aku memesan secangkir kopi lagi.


Sudah beberapa jam aku duduk di sini, belum satu pun para peminta itu muncul. Berbeda dengan hari-hari biasa, selama tiga atau empat jam aku di kedai kopi, bisa lebih dari tiga atau empat pengemis yang menyodorkan tangannya. Perempuan, laki-laki, termasuk anak-anak. Belum lagi yang sambil mengamen.


Aku suka mengamati mereka. Cara memintanya macam-macam. Ada yang bermodal ucapan “minta sedekah dikit”; ada juga yang dengan doa-doa. Ada juga yang bermodal ekspresi semata. Tapi lebih banyak cuma modal satu kalimat tadi. Di antara para pengemis yang pernah menyodorkan tangannya ke hadapanku, ada satu yang begitu membekas di ingatanku.


Ia seorang pria. Kutaksir usianya belumlah mencapai lima puluh tahun. Perawakannya sedang, tidak tinggi tidak pendek; tidak kurus tidak juga gemuk. Tampaknya ia pernah terserang stroke ringan sehingga salah satu tangannya terlihat lemah. Saat berjalan pun sebelah kakinya terlihat seperti diseret. Yang melekat dari penampilannya adalah topi jenis flat cap (?) yang sering kulihat dipakai oleh seniman dan tas selempang kecil yang (mungkin) sekaligus berfungsi sebagai dompet.


Biasanya dia akan menghampiri para pengunjung satu demi satu dan saat menyodorkan tangannya tak sepatah kata pun terucap. Ia hanya menyodorkan senyuman. Sebagai pengunjung setia kedai kopi tersebut, bisa dibilang hampir tak pernah aku memberikan sumbangan kepada mereka. Ada beberapa pertimbanganku, di antaranya, kebanyakan yang kulihat memiliki kondisi fisik yang sempurna. Rentang usia mereka pun, meski tak muda lagi, tetapi juga bukan yang tergolong manula yang umumnya berusia di atas 60 tahun. Termasuk si yang bertopi flat cap tadi, hanya pernah kuberi di awal-awal dulu.


Awal November lalu, aku memenuhi undangan diskusi salah seorang rekan ke sebuah kafe. Dibandingkan kedai kopi yang biasa menjadi tongkronganku, kafe itu—sesuai namanya—tergolong elite, baik dari dekorasi dan interiornya, maupun dari variasi dan harga menu-menu yang dijual di sana. Kafe ini terbagi menjadi dua bagian dan bagian depan menghadap ke jalan protokol.  Siang atau malam selalu ramai. Satu sisi ruangannya ber-AC dan satu sisi lagi yang lebih luas non-AC. Di tempat yang non-AC ini biasanya lebih ramai para pria karena mereka bisa sambil menghirup lisong.


Malam itu kami duduk di ruang ber-AC. Kebetulan aku duduk menghadap jalan dan posisi ruangan yang non-AC ada di sebelah kiriku. Kedua ruangan ini dibatasi oleh tembok dan pintu kaca yang transparan. Sekonyong-konyong aku melihat sesosok lelaki di seberang sana. Ia duduk dengan posisi menghadap ke ruangan non-AC. Tampaknya ia tidak sendiri, tetapi aku tidak bisa melihat orang yang di depannya karena terhalang tempok. 


Laki-laki itu tampaknya sangat menikmati suasana malam itu. Ia duduk di kursi berlapis busa yang dibalut kulit sintetis. Dari telinganya tampak sejulur kabel mini yang menghubungkan ke perangkat digital. Kepalanya agak bergoyang-goyang, persis seperti orang yang sedang menikmati alunan musik. Sesekali tampak seperti merespons pembicaraan dengan orang di hadapannya. Sesekali terlihat tertawa sambil bercakap-cakap. Di hadapannya tersaji sepiring makanan dan segelas minuman. Ekspresinya menyiratkan kalau ia senang dan nyaman.


Aku mengenali orang itu karena sesuatu yang melekat di kepalanya, yaitu topi flat cap. Setelah memperhatikan lebih saksama, benar, memang orang yang sama yang sering aku lihat di kedai kopi tongkronganku. Bedanya kali itu ia sebagai pelanggan, bukan sebagai peminta-minta sebagaimana biasanya. Kenyataan itu membuat aku tak bisa berucap. Ingin tertawa rasanya. Untuk sesaat aku kehilangan fokus. 


Berminggu-minggu setelah malam itu, hingga detik aku menuliskan ini, belum sekali pun aku melihat pria dengan topi flat cap itu muncul di kedai kopi ini.[]

Jumat, 02 Agustus 2024

Why Every Woman Needs a Feelingirl Bodysuit in Her Closet





Every fashionista knows that the fashion trends keep changing. The old ones go away, and the new ones take their place. The interesting thing is that many fashion trends make a comeback. Similarly, bodysuits are one of them. They were extremely famous in the 80s and were known as onesies as well.

However, this time, people are wearing them all the time and anywhere they want. You can see people wearing slimming bodysuit during workouts, brunch dates, and night outs. This is because they are easy to wear.

Feelingirl has a lot of bodysuit options available. This is a perfect brand for anyone who wants to purchase bodysuits. So, let’s see why you should choose this brand!





Versatility


The top benefit of using a bodysuit is its versatility. You will never run out of designs, colors, and styles. This means you will not run out of choices. The good thing is that Feelingirl has bodysuits available in straps and full sleeves, so there is something for every woman.


There are bodysuits available in mesh and low backs as well. These options are perfect for women who want a hot option. Also, if you want some bedroom fun, there are lace bodysuits available as well.


Practicality


What we love about a full body shaper or bodysuit is that they are one-piece clothes. This is amazing because you don’t have to worry about the pairing. The bodysuits won’t get untucked. You can wear them with your regular jeans or formal pants with a higher waist. All of these options will create a seamless and smooth look.


In simpler words, there won’t be any slips and readjustments. The good thing is that Feelingirl has added adjustable shoulder straps, making it easier to adjust support for breasts. In addition, you can easily move around without any part of your body showing.




 

Flattering Design


This is the biggest benefit of using bodysuits. The bodysuits look amazing on slim as well as chubby people. The good thing is that a black bodysuit is a blessing for chubby women. This will make you look slim and hide all the imperfections.


This happens because bodysuits have a smoothing effect. They keep your body parts in the right place. Also, you can wear the seamless bodysuit shorts with a blazer or on their own, they will look amazing.

 




Unable to Go to Bathroom – The Only Con


Many women don’t purchase a bodysuit because they have to use the bathroom a lot. It is a common concept that they will have to take off the entire bodysuit to pee. However, if you use bodysuits from Feelingirl, there won’t be any such issues.


This is because Feelingirl uses snap closures in the bodysuits. This means you can open the gusset area with buttons and use the restroom. In addition, some of them are available with an open gusset, so you can easily use the restroom.




 

In simpler words, there’s no reason for you to say no to a Feelingirl bodysuit, so start shopping![]

 


Kamis, 24 Februari 2022

Tentang Anjing dan Azan



November 2021 lalu, saya dan Kak Dian Guci pergi ke Bener Meriah dalam rangka tugas liputan jurnalistik. Yang liputan sebenarnya saya, tetapi karena saya perlu teman perjalanan, saya pun mengajak beliau.

Narasumber kami berada di Desa Rembele, Kecamatan Bukit. Berada di lereng Gunung Burni Telong yang masyur itu. Di tengah-tengah hamparan kebun kopi yang luas.
Ada yang menarik perhatian kami selama berada di rumah narasumber tersebut. Kami memang menginap di rumah beliau, mengingat akses ke penginapan maupun transportasi yang lumayan sulit selama di sana.
Kami berangkat malam hari dari Banda Aceh dan tiba di Rembele menjelang subuh. Seekor anjing menyambut kedatangan kami. Hewan itu berdiri tak jauh dari mobil Hi-Ace yang kami tumpangi. Ekornya bergoyoang-goyang. Lidahnya menjulur-julur. Dalam bahasanya seolah-olah dia ingin menunjukkan keramahannya dan mengatakan, "Selamat datang."
Pemandangan seperti ini bisa dibilang lazim di Gayo, mengingat umumnya masyarakat di sana adalah petani kopi. Anjing-anjing ini sangat berguna sebagai teman saat berada di kebun. Dia akan menggonggong saat ada aroma-aroma babi di sekitarnya. Dia juga bertugas sebagai penjaga rumah, terutama ketika ditinggal pemiliknya.
Di kampung kami dulu, di Aceh Timur, ada juga tetangga yang memelihara anjing. Jadi, meskipun saya bukan penyuka anjing, tetapi tidak parno saat melihat ada anjing di rumah orang. Asalkan anjingnya tidak genit dan tidak menggonggong sembarangan (seperti anjing yang ada di seputaran kedai kopi favorit saya di belakang terminal labi-labi Keudah 😃).
Nah, balik lagi saat kami tiba di Desa Rembele. Tak lama setelah kami tiba, azan Subuh pun berkumandang. Yang membuat kami "takjub", saat azan berkumandang, sesaat kemudian lolongan anjing pun terdengar seperti menyahuti. Suaranya terdengar menyayat. Awalnya saya sempat bingung, mengapa anjing-anjing ini melolong berbarengan dengan waktu azan? Perihal ini jadi diskusi kami saat itu juga.
Subuh berikutnya, ketika azan berkumandang di kejauhan, lolongan anjing kembali terdengar memecah keheningan fajar. Saya dan Kak Dian kembali membicarakannya. Suaranya tetap terdengar menyayat hati. Kami pun menyimpulkan, bahwa anjing-anjing ini sebenarnya sedang "mengambil" peran membangunkan manusia-manusia yang sedang terlelap di balik selimut. So, bagi kami yang tak terbiasa dengan dingin yang menggigit tulang dan begitu lelap di balik selimut, justru (karena) suara anjinglah yang membuat kami terbangun untuk salat Subuh.[]

Senin, 15 November 2021

Ceroboh

Ilustrasi


Saya meyakini, ketelitian pasti akan membawa pada manfaat. Untung. Sebaliknya, kecerobohan pasti akan berujung pada kemudaratan. Rugi. Terlepas apakah untung dan ruginya besar atau kecil itu persoalan lain. Begitu juga bentuk untung ruginya, bisa macam-macam. Tak melulu berkaitan dengan uang. Sore tadi, saya mengalami kerugian akibat kecerobohan pemilik warung kopi. 

Ceritanya, selepas asar tadi, saya pergi ke warung kecil di bantaran Krueng Aceh. Sudah lama saya tidak ke warung itu dan tiba-tiba saat terjaga dari tidur siang tadi, terlintas di pikiran saya untuk ke sana. Seperti biasa, saya membawa laptop dan buku. Tergantung mana yang akan saya dahulukan setiba di sana: mengetik atau membaca.

Warung itu letaknya di ujung kampung. Pemiliknya salah satu warga di sana. Bangunannya sederhana saja, seluruh konstruksinya bermaterial kayu. Tiang-tiangnya terpacak di dalam sungai. Lantai kayunya agak sedikit berderik saat dipijak dan membuat saya pelan-pelan saat melangkah. Khawatir menimbulkan derik-derik yang mengusik pengunjung lain. 

Yang membuat nyaman duduk di sana, selain angin pesisir yang lalu-lalang dengan bebas karena kedainya terbuka, juga dimanjakan dengan hijaunya area sekitar yang ditumbuhi bakau. Ada dermaga kecil yang digunakan nelayan untuk menambatkan perahu-perahu mereka. Sesekali lewat perahu bermesin berbadan jumbo. 

Begitu tiba di warung dan sebelum duduk di kursi yang menghadap ke seberang sungai, saya memesan sirup ABC dingin. Sore-sore, meski langit tampak mendung, pasti enak menikmati yang segar-segar dan asam.

Tak lama setelah saya duduk, pemilik warung, perempuan paruh baya yang juga terlihat segar menghidangkan segelas sirup berperisa jeruk. Gelondongan es kristal tampak mengapung. Es yang menyublim melahirkan butiran embun di badan gelas. Saya terbayang pada iklan di televisi yang mempromosikan jeruk dari salah satu negara di Afrika. Ah... betapa segarnya.

Namun, bayangan akan kesegaran itu dengan sendirinya kabur dari pikiran setelah saya mendapati banyak butiran halus berwarna cokelat tua di bibir gelas. Bahkan, ada juga yang sudah bercampur dengan air. Saya menduga, butiran halus itu semacam bubuk kayu atau orang Aceh biasa menyebutnya boh jawa. Menempel di bibir gelas yang diletakkan atau ditelungkupkan (Aceh: gom) di tempat/rak yang sebelumnya sudah ditumpahi bubuk kayu.


Akan tetapi, setelah saya lihat-lihat lagi, itu bukan boh jawa.  Entahlah! Saya tidak berhasil mengidentifikasinya. Yang pasti, saya sudah tidak berminat lagi untuk meminumnya.


Saya terpikir untuk memberi tahu pemilik warung, kalau ia sudah ceroboh. Tak mungkin benda halus yang mencolok seperti itu luput dari pandangannya. Saya ingin komplain. Sebagai pelanggan, saya berhak, kan? Berhak pula mendapat ganti minuman yang baru. Namun, mengingat banyak orang di warung yang kecil itu, saya urungkan keinginan untuk mengomplain.

Akhirnya saya putuskan untuk memesan teh manis. Hati kecil saya bilang, "Sudah, pesan yang lain saja, jangan beri tahu pemiliknya kalau minuman itu ada kotorannya. Tak mengapa rugi sedikit, paling-paling hanya beberapa ribu." 

Saya beralasan minuman yang tadi dimasuki lalat, padahal tak satu pun ada lalat yang melintas selama saya duduk. 

Dengan cepat pemilik warung menyuguhkan minuman baru. Kali ini, untuk mengantisipasi lalat-lalat nakal yang kemungkinan gerah dan ingin berenang, minumannya ditutup dengan plastik.

Sebelumnya, sempat saya dengar si Ibu berkata pada suaminya, "Sayang sekali, padahal belum sempat diminum."

Saya meneguk teh manis yang sangat manis itu. Biarlah saya rugi beberapa ribu, tapi 'untung' banyak.[]

Sabtu, 30 Oktober 2021

Hujan, Kopi, dan Semangkuk Soto Daging



Aroma soto daging dengan rajangan daun bawang dan sepotong tomat segar langsung membiusku saat pramusaji menghidangnya di meja. 

"Soto dagingnya," ujar pramusaji yang kutaksir usianya lebih separuh abad sambil menaruh semangkuk soto, sepiring nasi putih yang masih mengepulkan asap, kecap, dan sambal rawit halus. 

"Terima kasih, Pak."

Sebelumnya aku juga memesan kopi dan sepiring camilan campuran tempe, sosis, kentang, nuget, dan kentang goreng. Tanpa menunggu kedatangan dua hidangan lain, aku segera menyantap hidangan soto dengan nasi putih yang harum dan pulen. Kulumuri nasi dengan sesendok demi sesendok kuah soto yang sudah kutuang habis sambal rawit dan perasan sepotong jeruk nipis. Isi sotonya minimalis; cuma ada potongan daging dan tauge saja.

Aku mulai melahap santapan siang ini. Perutku memang sudah mulai terasa lapar, padahal belum pun pukul dua belas. Pagi tadi, saat berangkat ke kampus, aku hanya sempat "sarapan" air putih saja. 

Ya, pagi tadi aku sudah bergerak dari rumah sejak pukul setengah delapan pagi. Karena aku akan pergi ke Kampus UIN Ar-Raniry di Darussalam dengan Trans Kutaraja, mau tak mau aku harus berangkat lebih pagi. Supaya tidak terlambat. Hari ini perdana aku mengisi kelas jurnalistik dari tiga hari yang telah disepakati dengan panitia dari Jurusan Teknologi Informasi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Ar-Raniry. Sudah menjadi kebiasaan, entah itu sebagai peserta, lebih-lebih sebagai pemateri, aku selalu mengusahakan datang lebih awal. Baik itu daring maupun luring. Pagi tadi, aku sudah berada di tempat acara sebelum pukul setengah sembilan. 

Akhir-akhir ini jadwalku bisa dibilang sangat padat. Aku merasa nyaris kekurangan istirahat. Intensitas aktivitasku meningkat mulai setelah Iduladha lalu; menjadi tim penulis tiga buku di Universitas Syiah Kuala, menjadi asisten riset di sebuah lembaga dan harus bertungkus lumus dengan banyak dokumentasi untuk disarikan; dan terlibat beberapa fellowship, seperti dengan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara-Kedutaan Kerajaan Belanda sejak awal tahun, Deutsche Welle (DW)-AJI Indonesia, dan terakhir dengan Tempo. 

Sepanjang dua fellowship yang kusebut terakhir, membuatku intensitasku nge-Zoom meningkat drastis. Minimal sekali Zoom bisa berlangsung selama lima jam, bahkan yang dengan Tempo karena jadwalnya dipres menjadi empat hari, diskusi daringnya berlangsung dari pukul sembilan hingga pukul lima sore. Secara tenaga, aku merasa staminaku betul-betul tersedot. Malamnya sering merasa kelelahan, tetapi rutinitas lainnya tetap harus dilakukan, toh? Namun, setidaknya aku harus bersyukur, karena setiap kali pagi tiba, aku merasa energiku selalu pulih kembali.

Puncaknya memasuki Oktober ini. Diawali kelas intensif dengan Tempo selama empat hari berturut-turut yang diakhiri dengan membuat proposal liputan, dilanjutkan membuat proposal untuk DW. Membuat proposal untuk Tempo sangat menyita waktu karena dua hari berturut-turut aku harus  ke lapangan untuk melakukan reportase dan juga mewawancarai beberapa warga untuk mendapatkan informasi awal. Proposal ini harus kami presentasikan di hadapan dewan juri pada Selasa, 23 Oktober 2021. 

Di sela-sela menyelesaikan proposal, aku menyegarkan diri dengan mengikuti diskusi grup terpumpun yang dibuat oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Aceh. Barulah pada Sabtu dan Minggu aku pergi ke daerah Aceh Besar untuk reportase lapangan. 

Sabtu malam, sembari merampungkan proposal, aku juga sempat nge-Zoom untuk berbagi informasi seputar jurnalisme berperspektif anak yang digagas oleh Komunitas Revisi Qanun. 

Sepanjang minggu ini, aku memulai kesibukan dengan mempresentasikan proposalku di hadapan dewan juri pada Selasa. Ini sungguh mendebarkan, meskipun berlangsung secara daring, tetapi berhadapan dengan tiga dewan redaksi Tempo yang bertindak sebagai juri bukan persoalan gampang. Aku tak masalah dengan presentasinya, tetapi ide liputannya yang kurang sesuai dengan topik liputan investigasi membuatku masuk dalam kelompok yang tak lolos. Dari 20 peserta, juri hanya memilih enam orang saja untuk dibiayai. 

Aku malah bersyukur saat dua hari berikutnya diumumkan dan namaku tak masuk sebagai peserta yang lolos. Berkali-kali aku mengucapkan hamdalah. Selanjutnya, aku menyiapkan diri untuk webinar Penguatan Literasi Agama bagi Penghulu yang diselenggarakan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh pada Rabu, 27 Oktober. Sorenya setelah asar, dilanjutkan dengan proses penjurian calon Raja dan Ratu Baca Provinsi Aceh tahun 2021 yang dibuat oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh. 

Kamis pagi, aku menghadiri opening ceremonial di UIN Ar-Raniry untuk kegiatan yang dimulai pada hari ini. Selanjutnya kelas akan berlangsung dua kali Sabtu  berikutnya (jadwal tatap muka) dan Kamis (konsultasi/diskusi secara daring di grup WA). Karena ini pula aku terpaksa menolak tawaran menjadi moderator FGD untuk kegiatan yang diselenggarakan Kemenag. Sorenya, lanjut rapat dewan juri Raja dan Ratu Baca untuk membahas mekanisme pada penjurian hari terakhir.



Kemarin, seharian waktuku tersita untuk penjurian di DPKA. Aku pulang dan sampai ke rumah setelah azan Magrib berlalu, di tengah hujan yang mulai jatuh rintik-rintik. Tepat sampai ke rumah dan aku turun dari ojek online, hujan pun turun dengan lebatnya. Rupanya hujan semalam begitu awet, sampai pagi tadi langit masih dikulum mendung kemudian berubah menjadi titik-titik hujan yang meriangkan tumbuh-tumbuhan.

Aku bersantap siang seorang diri. Kupilih sebuah kafe di bilangan Jalan Panglima Nyak Makam. Hujan sudah turun sejak aku masih di kampus. Setelah kutimbang-timbang, aku urung pulang naik kendaraan umum, tetapi demi kulihat beberapa mahasiswi yang ada di area parkir, entah mengapa spontan aku menawarkan diri agar menjadi salah satu tumpangan mereka. Mahasiswi yang baik hati itu pun bersedia mengantarkanku hingga ke tujuan.

Dan, di sinilah aku sekarang. Di sebuah kafe dengan konsep terbuka dan berada di dekat areal pertanian milik salah satu instansi. Aku menikmati makan siangku dengan santai. Tak lama kemudian pesana kopi dan camilan dihidangkan. Hujan-hujan seperti ini, menghirup kepulan uap kopi yang masih panas, rasanya.... ughhh..... Tapi, tiba-tiba saja aku terusik oleh rasa kangen yang jeri.[]

Jumat, 02 Oktober 2020

Nyamannya Kerja Sambil Ngopi di Pinggir Krueng Aceh

Enakkan duduk di sini? :-D



Selama Covid-19 ini saya memang lumayan membatasi bertemu dengan orang-orang. Inisiatif untuk mengajak teman-teman nongkrong jarang sekali saya lakukan. Kalau ke kedai kopi, hampir selalu sendirian saja. Kalaupun sesekali bersama teman, itu artinya sedang ada pekerjaan bersama yang tidak memungkinkan kami untuk tidak bertemu. Atau karena ada sesuatu yang perlu didiskusikan secara langsung. 

Ini merupakan ikhtiar pribadi saya sebagai tindakan preventif di tengah kondisi pandemi yang semakin tidak terkendali. Teman-teman saya sudah ada yang terinfeksi. Saya turut berduka untuk mereka, tetapi saya pun tidak bisa berbuat banyak selain mendukung mereka khususnya secara morel.

Nah, balik lagi ke cerita kedai kopi tadi. Ada beberapa kedai kopi yang akhir-akhir ini menjadi langganan favorit saya. Tak jauh-jauh dari kawasan tempat saya tinggal di Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Walaupun akhir-akhir ini sebagian besar waktu saya ada di rumah, tetapi sesekali butuh juga udara segar, kan? Warung kopi selalu jadi alternatif mengingat tempat-tempat terbuka lainnya kurang mendukung untuk bekerja. Di sana pula biasanya saya duduk berjam-jam untuk mengikuti webinar.

Pagi tadi, saya kembali menemukan sebuah kedai kopi yang menurut saya cukup asyik jadi tempat menyendiri. He he he. Kedai kopi ini berbeda dengan kedai kopi-kedai kopi sebelumnya yang saya datangi. 

Kedai kopi ini sederhana saja. Kedai kopi kampung. Seluruh konstruksinya dari kayu yang seadanya saja. Tanpa nama pula. Berada di Gampong Jawa, tepatnya di bantaran Krueng Aceh. Sebagian bangunannya menjorok ke badan sungai. Kedai kopi ini menjadi tempat persinggahan bagi para nelayan yang hendak maupun pulang melaut. Di sini tidak ada internet. Jadi, kalau mau bekerja di sini ya harus punya modal sendiri (baca: kuota internet). 

Ada kapal besar lewat


Ceritanya, saat bangun tidur pagi tadi saya mendadak ingin duduk di pinggiran sungai. Terbayang oleh saya duduk di taman tepi sungai di depan Bank Indonesia pasti asyik. Namun, mengingat matahari pagi yang pastinya kian beranjak naik, saya pun urung untuk ke sana. Akhirnya, saya menyusuri jalan menuju arah Gampong Jawa. 

Awalnya saya hanya ingin duduk di bawah pohon cemara saja. Dengan laptop satu. Beberapa potong kue dan susu kedelai yang sudah saya beli, pasti asyik sekali merasakan nikmatnya siraman matahari pagi sambil duduk bertelekan alas rumput. Namun, di tengah keasyikan menyusuri jalan sambil melihat-lihat lokasi yang strategis, mata saya menangkap sebuah pondok yang ternyata adalah sebuah warung.

Aha! Sesuai benar dengan keinginan saya. Tanpa pikir panjang, saya pun segera parkir dan masuk ke pondok alias kedai kopi tersebut. Saat saya datang hanya ada dua pengunjung di sana, satu pemuda dan satu lagi orang tua. 

Saya duduk di kursi dengan meja panjang yang langsung rapat ke dinding. Dari sini saya bisa melihat langsung penampakan Krueng Aceh yang bermuara ke laut. Perahu-perahu nelayan parkir di sebelah sini dan di seberang. Sesekali tampak perahu lewat. Di seberang tampak bangunan-bangunan permanen. Suasana di sekitarnya tampak asri karena banyak pohon bakau.

Duduk di sini menyenangkan sekali. Angin semilir hilir mudik. Duduk di sini hilang rasanya kebosanan saya pada suasana kedai kopi modern yang menawarkan aneka hidangan premium. Di sini, secangkir kopi sareng hanya empat ribu rupiah. Duduk di sini, saya jadi lupa pada banyaknya tenggat yang sedang kejar tayang. Hehehe. Makin ke sini, saya makin merindukan suasana kampung tempat saya menghabiskan masa kecil dulu. Berada di sini rasanya jadi mendekatkan dengan kampung halaman, walaupun kampung saya bukan di pesisir.[]

Jumat, 28 Desember 2018

I Need You, Not Google

@ihansunrise


Di era kecanggihan teknologi seperti sekarang, mudah sekali sebenarnya mencari informasi. Kita tinggal buka mesin pencari, memasukkan kata kunci, lalu bisa berselancar sepuasnya.

Saking mudahnya, kadang-kadang kalau kita bertanya pada seseorang dengan topik tertentu tak jarang dijawab: coba cari di Google. Jawaban ini menurut hemat saya ada dua kemungkinan, pertama yang ditanya benar-benar nggak tahu jawabannya. Kedua, dia malas menjawab. Syukur dia nggak berpikir 'ya ampun, gitu aja pake nanya' atau 'ni orang pasti malas googling deh'. 

Kadang kita kerap lupa bahwa kita adalah manusia yang selalu berharap ada umpan balik dari setiap interaksi. Ciri makhluk sosial. Seintrovert dan seindividualis apapun orang tersebut, dia tetap membutuhkan manusia lain.

Selengkap dan sebanyak apapun 'jawaban' yang bisa diberikan oleh teknologi, tetap saja dia tidak bisa merespons, misalnya dengan mengucapkan kalimat 'gimana, jawabannya memuaskan, nggak?' atau saat dia melihat kening kita berkerut karena kebingungan atau sedang menganalisis sesuatu, tiba-tiba dia berceletuk: gitu aja bingung, sini aku jelasin lagi.

Itulah bedanya kita sebagai manusia, yang dianugerahi kecerdasan untuk saling memahami emosi dan pikiran. Bila ada orang yang bertanya kepada kita, jangan buru-buru dicap bahwa dia malas mencari informasi. Bisa jadi, dengan pertanyaannya itu justru menstimulasi kita untuk ikut berpikir, mencari jawaban, belajar menelaah, saling mengemukakan pendapat/ide dan argumentasi, hingga menemukan jawaban yang saling memuaskan.

Atau bisa jadi, seseorang itu menaruh kepercayaan lebih kepada kita. Kita tahu, orang tidak akan sembarangan bertanya pada orang yang tidak dia kenal/dekat/percayai kecuali untuk urusan tertentu. Orang juga tidak akan sembarangan mengeluarkan pikiran-pikirannya pada orang yang tidak membuat mereka nyaman.

Jadi, bila ada yang bertanya pada kita janganlah buru-buru memutuskan 'silaturahmi kata' dengan jawaban seperti di atas. Kecuali memang sudah benar-benar mentok. Akan ada saatnya di mana kita membutuhkan orang lain untuk sekadar didengar.[]

Selasa, 25 Desember 2018

Dianggap Ada dan Penting

Ilustrasi reuters


Di tengah obrolan santai kami melalui Whatsapp, tiba-tiba Zenja memintaku untuk membuatkan sebuah tulisan yang menurutnya cukup representatif untuk memperingati gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Aku yang langsung ngeh dengan permintaannya segera merespons.

"Status di mana?"

"WA."

Berselang menit kukirimkan sebuah kalimat beraroma kontemplasi. 

"Thanks, Say," balasnya.

"Iya, Cinta."

"Kenapa kamu memintaku yang membuatnya. Padahal kamu bisa bikin sendiri, kan?"

"Kamu jagonya," jawabnya.

Seketika hatiku jadi mekar.

"He he he. Aku jadi tersanjung."

"Hmmm..."

"Makasih atas pujiannya. Aku senang kalau itu kamu yang bilang."

"Benar kok."

Lalu kami jadi sibuk bernostalgia. Membicarakan kembali percakapan-percakapan indah yang pernah kami bincangkan.

Memang bukan sekali ini saja Zenja memintaku membuatkan kalimat-kalimat yang ingin ia bagikan kepada publik. Barangkali karena ia tahu aku menggeluti dunia literasi, sehingga hal-hal penting seperti itu ia percayakan padaku.

Lebih dari itu, buatku pribadi ini merupakan hal terindah, ketika orang yang kita sayangi dan cintai menganggap kita ada dan penting. Kami memang sering berdiskusi berbagai hal, mulai dari yang ringan-ringan seperti kegemarannya memasak dan kegemaranku menyantap makanan, hingga yang berat-berat seperti isu-isu politik menjelang pemilu 2019. Aku bersyukur, secara politik kami memiliki pandangan yang sama. Kalau pun tidak, ya enggak masalah, justru karena perbedaanlah kami bisa saling mencintai dan melengkapi.

Dianggap ada dan penting oleh orang-orang terdekat kita menurutku sangatlah penting. Sebab, dengan orang-orang di 'ring 1' inilah kita sering berinteraksi dan berkomunikasi. Disadari atau tidak, hasil interaksi tersebut akan menghasilkan dua energi yang saling bertolak belakang, yaitu energi positif dan negatif. Dua energi ini otomatis akan menjadi roda penggerak bagi kehidupan seseorang. Nah, bergerak seperti apa, ya tergantung dominannya energi apa yang mereka terima.

Dianggap ada dan penting oleh orang-orang terdekat akan membuat seseorang merasa lebih semangat, produktif, dan optimis. Bikin hidup jadi terasa lebih hidup. Membuat kita selalu berupaya melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Begitulah.[]

Selasa, 27 November 2018

Menikmati Kopi Meresapi Cinta

Ilustrasi foto dari majalah.ottencoffee.co.id


Barangkali aku termasuk salah satu orang yang terlanjur mensugesti diri dengan kopi. Bahwa kopi itu sumber inspirasi. Sumber semangat. Hari akan terasa lebih asyik dan hangat bila diawali dengan secangkir kopi.

Secangkir kopi yang pahit, dengan sedikit rasa manis yang menjadikannya legit. Ditambah krema yang kental. Hmm...adakah yang lebih nikmat dari mencecapi itu? Ada, tentu saja ada. Mencecapi kekasih...

Nyaris setiap pagi sebelum memulai aktivitas, aku selalu memulai hariku dengan secangkir kopi. Rasanya seperti ada yang tak lengkap bila belum menikmati kopi di pagi hari. Omong-omong, aku menjadi penikmat kopi sejak masih usia sekolah dasar. Sekarang usiaku sudah lebih seperempat abad.

Saat ini aku sedang tergila-gila dengan sanger. Racikan kopi yang sepertiganya dicampur dengan krimer kental manis. Ini bukan kopi susu. Cocok bagi mereka yang bukan pencandu kopi, tetapi tetap ingin menikmati aroma dan cita rasa kopi yang khas.

Belakangan, seiring dengan promosi yang sangat masif, sanger menjadi naik daun. Minuman ini memang terus dipromosikan sebagai minuman lokal khas Aceh yang pamornya diharapkan bisa seperti kopi nantinya. Menjadi minuman kelas dunia. Beberapa tahun terakhir bahkan sudah digelar secara rutin Festival Sanger.

Bisa kukatakan kalau sanger ini menjadi minuman terfavorit kedua di Aceh setelah kopi hitam.

"Kalau di Italia ada kapucino, di Aceh ada sanger," begitulah komentar Fahmi Yunus, yang digadang-gadangkan sebagai "Bapak Sanger" saat menikmati kopi bersama rombongan dari Kementerian Kehutanan dan Uni Eropa di salah satu kedai kopi di Blang Padang pada Rabu, 21 November 2018 lalu.

Sejarah di balik lahirnya sanger

Sanger mini espresso @ihansunrise


Banyak yang memplesetkan sanger menjadi 'sangar', tak sedikit pula yang mengatakan kalau sanger merupakan akronim dari istilah 'sama-sama ngerti'. Berdasarkan sejarahnya, nama sanger memang berasal dari istilah sama-sama ngerti yang disingkat sanger. Belakangan istilah ini menjadi populer dan dengan sendirinya menjadi nama sebuah racikan minuman.

Konon di akhir-akhir era Orde Baru, saat itu Indonesia sedang mengalami masa krisis yang membuat kantong-kantong masyarakat melilit. Tak terkecuali kalangan mahasiswa. Dengan kondisi seperti itu mau tak mau gaya hidup terpaksa harus disesuaikan dengan situasi kantong. Para mahasiswa yang biasanya hobi minum kopi susu (baca: kopi krimer kental manis) sebagai pembangkit energi dan semangat, terpaksa mencari alternatif lain yang harganya lebih bersahabat.

Namanya saja mahasiswa. Pastilah selalu muncul ide-ide brilian dari otak mereka. Dalam situasi kantong terjepit sekalipun mereka tak kehilangan sisi kreativitasnya. Mereka pun bersiasat. Melakukan tawar menawar dengan si pemilik warung. Ingin tetap menikmati kopi susu yang gurih, tetapi dengan harga yang miring. Solusinya, kopinya dibanyakin, susu (krimer)nya dikurangin. Inilah hasil dari kesepakatan tak tertulis dari "sama-sama ngerti". Dengan begini simbiosis mutualisme tetap terjaga.

Saya jadi teringat cerita Prof. Sarwidi, pakar Rekayasa Kegempaan dan Dinamika Struktur dari UUI Yogyakarta dalam ceramahnya di Banda Aceh pada 12 September 2018 lalu. Ia mengatakan, dalam situasi sulit tak jarang malah menciptakan kondisi sebaliknya. Memunculkan peluang baru. Hal ini biasanya terjadi di lokasi-lokasi bekas bencana alam yang lama kelamaan menjadi sebagai destinasi wisata baru. Aktivitas ekonomi pun terjadi.

Begitu juga dengan munculnya sanger sebagai varian baru dalam khazanah kuliner Indonesia khususnya di Aceh. Siapa sangka, di balik kesusahan mahasiswa zaman itu, sanger kini menjadi minuman yang digilai sejuta umat. Tak peduli dia berkantong tebal atau kempes. Bukan lagi monopoli mahasiswa berkantong kering.

Beda Penyajian Beda Cita Rasa

Bila Anda sering mendengar istilah kupi sareng, sanger juga bisa diracik seperti itu. Belakangan sejak kopi Arabika 'mewabah', sanger yang tadinya diracik dengan kopi Robusta dengan cara disaring secara manual, kini disajikan dengan cara yang berbeda.

Bubuk kopi dipres dengan mesin espresso untuk mendapatkan sari pati kopi yang lebih kuat. Kremanya, yaitu cairan kuning tua yang muncul saat sari pati kopi terekstraksi lebih pekat dan terasa. Belakangan aku sendiri lebih suka menikmati sanger espresso ketimbang sanger yang diracik secara manual. Sudah lupa kapan terakhir minum sanger Robusta. Ya, beda cara penyajian tentu saja menghasilkan cita rasa yang berbeda. Dan soal rasa, setiap orang pasti punya pilihan yang berbeda.

Ada kebiasaan kecil yang kulakukan sebelum mengaduk cairan kopi dengan krimer di dalam cangkir, menghirup aromanya kuat-kuat. Membiarkan aromanya meresap jauh memasuki ujung-ujung syaraf. Kurasa itulah efek sugesti tertinggi yang kudapat saat minum kopi.

Menikmati Kopi Meresapi Cinta

Cinta dan kopi, menurutku memiliki persamaan. Sama-sama pahit, tetapi sama-sama digilai. Justru di situlah terasa nikmatnya. Rasa pahit yang melekat di ujung lidah, sama seperti nyeri perasaan karena sesak oleh rindu. Dari rasa pahit itulah kejujuran sebuah rasa tercipta.[]

-->

Rabu, 17 Oktober 2018

Dua Jam Bersama Senja

Dua Jam Bersama Senja
44045292_10213020196086669_1590135680552402944_n.jpg
Senin sore kemarin, 15 Oktober 2018 tiba-tiba saja ingin bertemu Senja. Maka bertemulah kami di sebuah kedai kopi di pinggiran jalan protokol di Jalan Ali Hasyimi Banda Aceh. Menunaikan janji temu yang sebelumnya sempat tertunda karena kesibukan masing-masing.
Menikmati petang dengan secangkir kopi pilihan masing-masing. Memberi jeda bagi diri untuk menikmati waktu di sela-sela rutinitas. Saat aku tiba secangkir espresso telah terhidang di hadapan Senja yang lebih dulu tiba. Teksturnya yang pekat berfungsi ganda, sebagai medium bagi Senja untuk membuat skestsa.
Aku memilih memesan sanger, sajian kopi dengan cita rasa yang lebih ringan karena bercampur krim kental manis. Melengkapi sajian spesial itu, aku memesan semangkuk bakso dan seporsi bakwan korea dengan kuah manis dan rajangan seledri yang segar.
Sesaat kemudian Senja menyodorkan kertas . "Ayo kita bikin sketsa..."
Hah! Aku terpelongoh. Apa yang akan kugambar? Senja tertawa. Itulah komentar paling mainstream yang sering ia dengar dari orang-orang sepertiku. Yang sama sekali tak bisa menggambar. Baiklah, dengan segala keterbatasan aku pun mencobanya.
Memilih cangkir di depanku sebagai pemantik imajinasi. Hasilnya seperti di bawah ini.
IMG20181015171605.jpg
Pola cangkir yang kubuat
IMG20181015171745.jpg
Senja memberikan sentuhan terakhir dari pola yang kubuat supaya tampak lebih simetris
IMG20181015172259.jpg
Senja memberikan sentuhan terakhir dengan efek kopi.
IMG20181015172556.jpg
Hasil akhirnya seperti ini. Keren ya?
Bertemu Senja selalu menyenangkan. Selalu ada topik menarik yang bisa didiskusikan. Sore kemarin misalnya, sambil menyelesaikan sketsa, kami mengobrolkan apa saja. Tentang gambar, tentang menulis, tentang gunung, tentang hutan, tentang wakaf, tentang syariat Islam, dan juga tentang cinta.
Oh ya, satu lagi yang membuatku selalu merasa senang mengobrol dengannya. Kami benar-benar mengobrol, tak memberi ruang bagi perangkat apa pun untuk mencuri kebersamaan kecuali untuk mengabadikan potongan-potongan cerita seperti di atas. Bukankah sejatinya pertemuan memang untuk itu? Memberi kesempatan bagi lisan tanpa perantara kata dalam wujud huruf dan angka di layar gawai.[]

Selasa, 29 Mei 2018

(Don't Say Good) Bye



Ada satu kata yang paling tidak ingin kudengar, yaitu bye. Dalam bahasa Inggris kosakata ini artinya selamat tinggal. Ketika seseorang mengucapkan bye padamu, kau tahu itu artinya apa? Secara harfiah dia tentu akan meninggalkanmu. Meninggalkanmu di suatu tempat yang jauh, atau meninggalkanmu dari kehidupannya.

Kau lebih suka yang mana? Kalau aku tak inginkan kedua-duanya, walaupun itu mustahil. Antara meninggalkan dan ditinggalkan tak bisa dihindari, tak bisa hanya memilih salah satunya, sama seperti datang dan pergi yang menjadi sunnatullah. Tetapi ditinggalkan dengan penegasan kata 'selamat tinggal' sungguhlah tidak mengenakkan. Itu artinya ada pintu yang tertutup, mungkin juga akan tergembok rapat. Tipis harapan untuk berharap bisa bertemu kembali.

Dalam satu fragmen hidupku, aku pernah merasakan keduanya sekaligus. Pada saat yang bersamaan aku harus meninggalkan dan juga merasakan nyerinya ditinggal. Itu terjadi ketika usiaku masih belasan tahun. Saat aku belum begitu mengenal siapa diriku sendiri. Saat aku belum bisa memaknai bahwa keduanya sangat tidak menyenangkan.

Itulah saat aku harus meninggalkan kampung halaman karena direnggut konflik. Dan saat aku ditinggalkan oleh kerabat, oleh teman-teman sepermainan. Mereka pergi ke tempat-tempat yang jauh, dan sampai sekarang tak pernah bertemu lagi. Yang tinggal cuma kenangan, ya, cuma kenangan.

Kalau saja saat itu kami sempat saling mengucapkan selamat tinggal, mungkin emosiku takkan begitu teraduk-aduk. Karena tak perlu lagi berharap untuk bertemu, cukup dengan saling berkirim doa saja. Berharap kehidupan kami bisa lebih baik setelah ditinggalkan dan meninggalkan. Selalu ada kehidupan baru yang menanti bukan?

Tapi lagi-lagi itu soal takdir, siapa yang bisa menghalau kehendak Yang Kuasa? Siapa yang bisa memprediksi kejadian besok? Ahli nujum pun tidak bisa...[]


Jumat, 18 Mei 2018

Obrolan Lezat dengan Zenja

Sie reuboh khas Aceh Rayek.


Seumur-umur belum pernah terpikir olehku untuk membuat sie reuboh, olahan daging rebus khas Aceh Besar dengan bumbu sederhana berupa cuka, kunyit, cabai rawit, merica, dan ketumbar. Bumbu-bumbu inipun aku tahu dari Zenja. Dia mengirimkannya melalui pesan Whattsapp dua hari lalu. Aku sendiri baru mengenal olahan daging ini sejak beberapa tahun terakhir, padahal sudah lama menetap di Banda Aceh. Bahkan akhir-akhir ini nama sie reuboh kian populer saja. Ini baik, pertanda citra kuliner Aceh Besar ini terus populer.

Sie reuboh diolah dari daging sapi/kerbau/kambing yang mengandung lemak yang bisa berfungsi sebagai pengawet alami. Dagingnya bisa tahan berhari-hari, kalau disimpan di kulkas mungkin bisa berminggu-minggu. Konon ketika masa perang dulu, sie reuboh ini menjadi perbekalan para pejuang Aceh saat bergerilya di hutan-hutan. Dengan cita rasanya yang sudah berbumbu, daging rebus ini bisa langsung disantap tanpa perlu diolah lagi. Paling tinggal dipanaskan saja supaya lemaknya cair. Di Banda Aceh, warung-warung makan khas Aceh Besar umumnya menyediakan hidangan ini.

Setelah dua hari lalu, hari ini perbincangan tentang sie reuboh dengan Zenja kembali terjadi. Bermula dari obrolah remeh-temeh yang kami lakukan di sela-sela aktivitas melalui perangkat teknologi. Entah mengapa tiba-tiba Zenja berceletuk kalau nanti sore sepulang kerja dia mau membuat sie reuboh. Aku takjub padanya, skill memasaknya sangat oke punya. Padahal dia bukan orang Aceh Besar, pun sudah lama sekali meninggalkan Banda Aceh ini. Selama ini aku sering mendapat kiriman foto-foto makanan olahan tangannya.

"Nanti fotoin step by step-nya ya, kalau Abang berhasil Ihan mau coba juga," ujarku.

"Abang pikir Ihan jago masak, pakai janjian pula," jawabnya bercanda.

"Ihan bisa masak, tapi kan nggak semuanya Ihan bisa."

"Masak putih bisa? Weekend nanti Abang mau masak putih dengan kentang."

"Bisa," jawabku cepat.

Padahal seumur-umur pula aku belum pernah membuat sendiri olahan daging yang satu ini. Tapi resepnya tidaklah susah-susah amat, aku sering melihat Ibu menyiapkan resep olahan daging masak putih.

"Ihan penasaran ingin cobain masakan Abang."

"Sudah pasti enak. Nanti dikasih resep-resepnya."

"Resep cinta?"

"Boleh juga."

Obrolan lezat kami berlanjut hingga beberapa saat kemudian. Setelah itu aku siap-siap untuk salat Zuhur, dan Zenja bersiap-siap menyudahi aktivitasnya kukira, hari ini ia hand over proyek, pasti sangat menyita tenaga dan pikirannya. Karena itu aku tidak merecokinya lebih banyak.

Makanan menjadi salah satu topik yang sering kami bincangkan berdua. Suatu kali Zenja mengirimkan foto olahan nasi Arab yang dibuatnya, di lain waktu ia mengirimkan foto soto Lamongan. Pernah juga ia mengirimkan video sedang membuat martabak bersama teman-teman di apartemennya. Dan sekarang aku menunggu dengan berdebar foto olahan sie reuboh made in Zenja. Kira-kira seperti apa bentuknya?

Suatu ketika aku punya kesempatan untuk menjamu Zenja di rumah. Hidangannya sederhana, hanya hidangan rumah biasa saja. Tapi Zenja makan dengan lahap dan memuji masakanku ketika itu. Aduh, aku senyum-senyum dibuatnya. Perempuan mana sih yang tidak kembang-kempis hatinya ketika dipuji pasangan. Hari setelah lebaran Idul Fitri itu, aku membekalinya dengan sekotak timphan saat ia pulang. Kata Zenja, timphan yang jumlahnya memang tidak banyak itu habis ia makan bahkan sebelum sampai ke rumah. "Timphannya enak," kata dia waktu itu. Ah Zenja... kamu memang paling bisa membuatku berbunga-bunga.

Sering kukatakan pada Zenja, nanti kalau kami sudah hidup berdua aku ingin mendedikasikan diri sebagai asistennya saja di dapur. Selebihnya aku ingin menghabiskan waktu untuk mencintainya. Hanya itu.[]

Rabu, 07 Februari 2018

Aku Makhluk Kesunyian


Petang tadi aku mengunjungi Taman Wisata Krueng Aceh di sisi Jalan Cut Meutia, Banda Aceh. Taman ini selalu saja menarik perhatianku, tapi baru petang tadi niatku untuk bersantai di sini kesampaian. Beberapa bulan lalu aku pernah merapatkan tapak sepatuku dengan batu-batu alam yang melapisi trotoar di bantaran sungai. Numpang lewat menuju jalan pulang. Sambil berkejaran dengan waktu yang hampir sempurna gelap, dibantu Yelli, terekamlah beberapa gambar di ruang memori ponselku.
Tak lewat dari pukul setengah enam aku tiba di taman itu. Menaiki beberapa anak tangga, memijak kaki di trotoar, kemudian menuruni beberapa anak tangga lagi. Lalu berjalan menyusuri lorong setapak di antara taman bunga menuju salah satu kursi yang menghadap ke Krueng Aceh. Kursi-kursi yang dirancang khusus dan muat hanya untuk sepasang manusia berbadan ideal.
Dengan rancangan kursi seperti itu, tentunya menjadi pilihan paling nyaman bagi muda-mudi kasmaran untuk menghabiskan sore jingga mereka di taman ini. Sambil bercengkerama, tertawa malu-malu kala salah satunya menggoda, untuk menghabiskan sebungkus dua bungkus camilan sebagai bekal. Dalam diamku tadi, terlintas di benak, alangkah tak adilnya jika kemudian ada polisi khusus yang di waktu-waktu tertentu datang menghalau muda-mudi yang duduk di sini. Harusnya yang merancang kursi-kursi itu yang dihalau.

Aku memilih salah satu kursi. Mungkin karena bukan akhir pekan, sehingga taman ini tampak lengang. Dari tempatku duduk, di kursi sebelah kanan terlihat seorang pria duduk di sana, hanya ditemani ranselnya yang tergolek masai di sebelahnya. Pria ini bergerak meninggalkan taman pada pukul setengah enam lebih tujuh menit.
Di kursi di sebelah pria dengan ransel tergolek tadi, duduk seorang pria berkaus hijau berkerah, celananya bermotif tentara, dia juga sendiri. Duduk dengan kaki ditegakkan sebelah, dan jari-jari tangan kanan menjepit sebatang rokok. Di kursi di sebelah lelaki bercelana motif tentara itu, ada sepasang manusia di sana, lalu di kursi berikutnya hanya tampak seorang manusia teronggok di sana.
Di sini, di tempatku duduk, aku juga sendirian, tapi bertemankan sebuah buku karangan penulis berambut kriwil Andrea Hirata. Antara aku dan Andrea punya satu kesamaan; punya setitik tahi lalat di dekat bibir. Aku suka cerita-cerita yang ia tulis di dalam bukunya yang berjudul Sirkus Pohon. Aku pernah mengikuti kelas menulis dengannya pada 2007 silam. Di balik untaian kalimat yang jenaka, terselip pesan moral dan intisari cerita yang bikin mata batin terbuka. Andrea oh Andrea, bilakah aku mampu menulis sebohai itu?

Membaca bab demi bab dalam Sirkus Pohon seperti menghisap candu tak berkesudahan. Benar-benar terbuai kita (aku) dibuatnya. Cobalah sejenak kawan-kawan bayangkan, duduk di tepi Krueng Aceh ini saja sudah membuat senang hati luar biasa. Aku merasakan berulang-ulang kesiur angin lembut hinggap di kulitku. Di seberang sungai, punggung-punggung rumah toko terhalang pandang dengan tanggul, rerumputan, dan pohon di dekat bantaran sungai.
Saat aku membuang pandang ke bilah kanan, tampak jembatan Pante Pirak yang ramai oleh kendaraan. Sementara di sisi sebelah kiri, di kejauhan sana menjulang menara masjid di Peunayong yang hijau. Berada di sini membuatku teringat pada sepotong cerpen berjudul Di Tepi Sungai Pidra, karya pengarang terkenal Paolo Coelho. Aku pun teringat pada sungai Rhein yang membelah kota-kota di Benua Biru nun jauh dari tempatku berada. Juga potongan imajinasi pada Selat Bosphoros yang memisahkan Turki dengan dua benua sekaligus.
Ditambah dengan teman dalam wujud sebuah buku yang renyah dan berbobot seperti ini, bukankah berkali-kali lipat senangnya? Sesekali, saat mata lelah, aku menyantap buah langsat yang kubeli di Pasar Kampung Baru. Sore tadi, sebelum ke sungai, aku mampir ke warung Asahi untuk menikmati hidangan berupa nasi putih dengan sayur pakis, dan semur ayam. Plus tiga keping jengkol rendang yang dalam pandanganku dengan perut lapar, tampak seperti kepingan-kepingan mata uang digital Bitcoin yang sedang heboh itu.
Dalam suap demi suap itulah karangan buah langsat yang warna kulitnya menjadi dambaan banyak perempuan terlihat oleh mataku. Mungkin tanpa bantuan kacamata, buah-buah langsat itu takkan tampak. Aku menukar selembar dua puluh ribuan untuk sekilo langsat.
Ratusan burung-burung hitam bersayap kecil sempat mengusik kekusyukanku. Aku menoleh ke udara. Decit berdecit suaranya tembus ke telingaku. Burung-burung ini seketika mengingatkanku pada bungkus bubuk agar-agar merk Sriti. Maka kusebut saja dia burung sriti. Nama latinnya Collacalia esculenta.
Jika sedang tak hujan di hulu, air sungai ini biasanya berwarna kehijauan. Tidak keruh seperti tadi. Beberapa tumpuk sampah mengapung di permukaan. Permukaannya yang biasanya tampak berkilau-kilau, sore tadi hanya tampak beriak-riak kecil tanpa kilau cahaya. Sebab langit Banda Aceh memang agak dikulum mendong sore tadi. Tapi itu justru menambah kenyamanan duduk di tepi sungai.

Aku menikmati betul kesendirianku ini. Aku bisa menenggelamkan diriku sedalam-dalamnya ke berlembar-lembar buku yang sedang kubaca. Sesekali berbalas pesan dengan teman-teman di Whatsapp. Aku adalah makhluk kesunyian. Makhluk yang sangat mencintai suasana lengang dan sunyi. Perihal istilah 'kesunyian' ini, adalah kosakata baru yang kudapat siang kemarin dalam kelas Forum Aceh Menulis yang diampu seorang penyair muda Ricky Syah R.
Ricky mengatakan, seorang penulis umumnya dalah makhluk kesunyian. Karena mereka senang menyendiri untuk mengeksekusi ide-ide liarnya. Tak masalah mereka berada di mana saja, entah itu di warung kopi yang riuhnya bikin kita mengucap berkali-kali, mereka selalu bisa menghadirkan ruang sunyi itu untuk dirinya sendiri. Aku terinspirasi dengan kata kesunyian, dan lahirlah catatan ini; aku makhluk kesunyian.[]
Ditulis pada 25 Januari 2018. Telah dipublikasikan di Steemit