Jumat, 02 Oktober 2020

Nyamannya Kerja Sambil Ngopi di Pinggir Krueng Aceh

Enakkan duduk di sini? :-D



Selama Covid-19 ini saya memang lumayan membatasi bertemu dengan orang-orang. Inisiatif untuk mengajak teman-teman nongkrong jarang sekali saya lakukan. Kalau ke kedai kopi, hampir selalu sendirian saja. Kalaupun sesekali bersama teman, itu artinya sedang ada pekerjaan bersama yang tidak memungkinkan kami untuk tidak bertemu. Atau karena ada sesuatu yang perlu didiskusikan secara langsung. 

Ini merupakan ikhtiar pribadi saya sebagai tindakan preventif di tengah kondisi pandemi yang semakin tidak terkendali. Teman-teman saya sudah ada yang terinfeksi. Saya turut berduka untuk mereka, tetapi saya pun tidak bisa berbuat banyak selain mendukung mereka khususnya secara morel.

Nah, balik lagi ke cerita kedai kopi tadi. Ada beberapa kedai kopi yang akhir-akhir ini menjadi langganan favorit saya. Tak jauh-jauh dari kawasan tempat saya tinggal di Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Walaupun akhir-akhir ini sebagian besar waktu saya ada di rumah, tetapi sesekali butuh juga udara segar, kan? Warung kopi selalu jadi alternatif mengingat tempat-tempat terbuka lainnya kurang mendukung untuk bekerja. Di sana pula biasanya saya duduk berjam-jam untuk mengikuti webinar.

Pagi tadi, saya kembali menemukan sebuah kedai kopi yang menurut saya cukup asyik jadi tempat menyendiri. He he he. Kedai kopi ini berbeda dengan kedai kopi-kedai kopi sebelumnya yang saya datangi. 

Kedai kopi ini sederhana saja. Kedai kopi kampung. Seluruh konstruksinya dari kayu yang seadanya saja. Tanpa nama pula. Berada di Gampong Jawa, tepatnya di bantaran Krueng Aceh. Sebagian bangunannya menjorok ke badan sungai. Kedai kopi ini menjadi tempat persinggahan bagi para nelayan yang hendak maupun pulang melaut. Di sini tidak ada internet. Jadi, kalau mau bekerja di sini ya harus punya modal sendiri (baca: kuota internet). 

Ada kapal besar lewat


Ceritanya, saat bangun tidur pagi tadi saya mendadak ingin duduk di pinggiran sungai. Terbayang oleh saya duduk di taman tepi sungai di depan Bank Indonesia pasti asyik. Namun, mengingat matahari pagi yang pastinya kian beranjak naik, saya pun urung untuk ke sana. Akhirnya, saya menyusuri jalan menuju arah Gampong Jawa. 

Awalnya saya hanya ingin duduk di bawah pohon cemara saja. Dengan laptop satu. Beberapa potong kue dan susu kedelai yang sudah saya beli, pasti asyik sekali merasakan nikmatnya siraman matahari pagi sambil duduk bertelekan alas rumput. Namun, di tengah keasyikan menyusuri jalan sambil melihat-lihat lokasi yang strategis, mata saya menangkap sebuah pondok yang ternyata adalah sebuah warung.

Aha! Sesuai benar dengan keinginan saya. Tanpa pikir panjang, saya pun segera parkir dan masuk ke pondok alias kedai kopi tersebut. Saat saya datang hanya ada dua pengunjung di sana, satu pemuda dan satu lagi orang tua. 

Saya duduk di kursi dengan meja panjang yang langsung rapat ke dinding. Dari sini saya bisa melihat langsung penampakan Krueng Aceh yang bermuara ke laut. Perahu-perahu nelayan parkir di sebelah sini dan di seberang. Sesekali tampak perahu lewat. Di seberang tampak bangunan-bangunan permanen. Suasana di sekitarnya tampak asri karena banyak pohon bakau.

Duduk di sini menyenangkan sekali. Angin semilir hilir mudik. Duduk di sini hilang rasanya kebosanan saya pada suasana kedai kopi modern yang menawarkan aneka hidangan premium. Di sini, secangkir kopi sareng hanya empat ribu rupiah. Duduk di sini, saya jadi lupa pada banyaknya tenggat yang sedang kejar tayang. Hehehe. Makin ke sini, saya makin merindukan suasana kampung tempat saya menghabiskan masa kecil dulu. Berada di sini rasanya jadi mendekatkan dengan kampung halaman, walaupun kampung saya bukan di pesisir.[]

Minggu, 05 Juli 2020

Kisah Orang-Orang (Tak) Biasa



Kami--saya dan Hayat--langsung antusias saat mendengar penjelasan Pak Mustafa Sabri—Kepala Biro Mahasiswa dan Alumni Unsyiah—tentang niatnya yang ingin membukukan kisah para mahasiswa penerima Bidikmisi di Unsyiah--setelah sebelumnya mendapat informasi melalui telepon oleh salah satu guru literasi kami Pak Sulaiman Tripa.

Ia menceritakan secuplik kisah tentang segelintir mahasiswa dari keluarga miskin dan kuliah di Unsyiah, membuat kami merinding dan nyaris tak bisa mengungkapkan kata-kata. Kisah-kisah yang mirip seperti di sinetron-sinetron. Penuh drama. Beraroma satire. Bergelimang air mata. Terbelenggu oleh kemiskinan. Nyaris tanpa harapan. Sayangnya, semua itu nyata. Bukan cerita mengada-ada.

Namun, apa yang membuat kisah mereka patut dibekukan menjadi karya yang abadi? Semangat! Ya, para mahasiswa itu memiliki semangat dan daya juang yang membuat mereka memiliki gelar paling prestisius yaitu menjadi mahasiswa. Dengan menyandang gelar itu, kelak insyaallah mereka bisa menyibak tirai kegelapan yang selama ini menyelubungi nasib keluarganya. Hingga akhirnya semburat cahaya akan menerangi hidup mereka.

Harapannya, siapa pun yang membaca kisah mereka nanti akan ikut terbakar semangatnya, membara keinginannya untuk bersekolah setinggi-tingginya, berkobar-kobar geloranya dalam mengejar impian hingga berhasil digenggamnya dengan erat. Dengan begitu, satu per satu, perlahan demi perlahan, pohon-pohon kemiskinan itu akan tercerabut hingga ke akar-akarnya. Jika pun tak sampai terberantas, setidaknya dapat meminimalisir angka kemiskinan di Indonesia, khususnya di Aceh.

Semangat itu seperti memiliki kekuatan magis yang membuat kami langsung mengatakan “iya” saat Pak Mustafa meminta agar kami menyunting kisah-kisah mereka. Berawal dengan menyeleksi lebih dari seribu cerita yang telah ditulis oleh mahasiswa penerima Bidikmisi angkatan 2016 – 2018 di Unsyiah. Lalu terpilih 50 cerita yang mewakili semangat, sikap pantang menyerah, dan konsistensi mereka untuk tetap melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.

Usai mendapatkan 50 cerita terbaik, kami juga mengadakan pertemuan khusus dengan penulisnya untuk membekali beberapa hal terkait kepenulisan. Dengan begitu, mereka bisa menyempurnakan kembali cerita yang sudah ditulis. Setelah itu, barulah kami menyunting naskah tersebut. Namun, dari 50 cerita terpilih, hanya 42 orang yang mau merevisi naskahnya sehingga layak untuk diterbitkan. Cerita-cerita terpilih itulah yang kami poles kembali hingga akhirnya menjadi karya seperti yang bisa Anda baca.

Kami selaku editor sangat bahagia karena sempat menatap wajah-wajah empunya kisah itu. Mereka orang-orang yang memiliki harapan. Rata-rata mereka telah duduk di semester akhir yang tak sabar ingin segera mengenakan toga, meskipun ada beberapa yang masih semester awal.

Saat proses penyuntingan berlangsung, terkadang kami harus berhenti sejenak, membayangkan kisah hidup mereka yang getir, bahkan sampai menetes air mata kami. Apa yang ditulis semua keluar dari lubuk hati mereka. Cerita yang apa adanya. Hampir semua tulisan membuat kami terenyuh saat membacanya.

Kisah mereka pun sangat beragam: ada yang sampai kini ayahnya tak kunjung kembali dari perantauan; meninggal ibunya ketika mereka masih bayi; menjadi korban konflik; korban tsunami; hingga yang berjuang menjadi pembantu walaupun tidak digaji asalkan ada tempat tinggal. Persamaan dari semua cerita itu adalah mereka merupakan anak-anak yang berprestasi dan tak ingin kalah oleh kemiskinan.  Semua cerita itu terangkum dalam buku ini.

Menariknya lagi, menurut pengakuan beberapa mahasiswa, di antara mereka ada yang merasa lega telah menuliskan kisah suramnya menjadi sebuah catatan. Mereka seperti telah melepaskan separuh masalah yang dipikul selama ini.

Kami yakin, kelak mereka akan mejadi orang yang berguna dan perjuangan mereka tak sia-sia. Mereka adalah lentera yang akan mengubah nasib keluarganya. Kisah-kisah mereka kami harapkan bisa memotivasi siapa pun yang memiliki keinginan untuk kuliah, tetapi tidak memiliki biaya. Kisah orang-orang (tak) biasa yang telah mengajarkan kita tentang arti pentingnya menggapai asa untuk mewujudkan impian.[]
Banda Aceh, April 2020
Editor
 
Ihan Nurdin
Hayatullah Pasee