Kamis, 28 Januari 2016

Menepi di Ujung Senja

Menepi di Ujung Senja
Menepi di ujung senja, 
Menantimu pulang ke hatiku, 
Tempat semua cinta untukmu bermuara...

Aku suka sekali menanti senja datang, walau hanya kulakukan di balik meja kerjaku hingga hari berubah gelap. Senja mendekatkan aku denganmu, membuat kita bisa bertukar cerita tanpa perlu tersekat, membuat perasaanku terasa hangat dan meletup-letup. Seperti yang kukatakan semalam, tak ada sedetikpun waktu yang terlalui tanpa percikan rindu untukmu.

Senja melahirkan gelap yang abstrak. Bersamaan dengannya muncul rembulan yang menawarkan sepotong cahaya, membuat dunia menjadi temaran dan eksotis. Diringi bintang-bintang yang tak bosan berkerlipan, semuanya menjadi indah tanpa perlu kita jelaskan seperti apa definisinya.

Senja mengantarku pada keriuhan menuju pintu hening yang penuh imaji. Tempat di mana aku bebas bertukar rasa denganmu tanpa perlu canggung. Kau yang matematis dan aku yang penuh perasaan. Kita bertengkar kemudian saling tertawa. Mentertawakan kebersamaan kita. Menghitung hari-hari yang sepi dan berkelindan rindu.

Aku menyukai senja seperti aku yang menyukaimu yang tak pernah kutemukan alasannya.

Rabu, 27 Januari 2016

Menciptakan Kenangan Masa Kecil

INI adalah foto yang kujepret saat keponakanku Ulis -memakai singlet-, asyik bermain hujan bersama teman-temannya pada Minggu, 17 Januari 2016 lalu.

Biar kuurutkan siapa saja dari mereka. Yang paling pojok kiri itu adalah Nadir. Dia sepupuku dan pamannya Ulis. Berikutnya adalah keponakanku Ulis dengan posisi berjongkok. Yang duduk berselonjor kaki itu adalah Mirza, temannya Nadir. Sedangkan yang bugil menggemaskan itu adalah Kevin, anak tetangga kami.

Mereka terlihat sangat asyik menikmati genangan air di halaman rumah nenekku di Gampong Teupien Raya, Kecamatan Geulumpang Minyeuk, Pidie. Di bawah guyuran hujan, bocah-bocah itu mengabaikan rasa dingin demi mendapatkan kesenangan masa kecil.

Sejak pertengahan November lalu, seminggu sekali aku rutin pulang ke tempat nenek untuk menjenguk ibu. Setelah keluar dari rumah sakit pada awal November lalu, dan sempat beberapa waktu di Banda Aceh, kami memutuskan membawa ibu pulang ke rumah orang tuanya untuk proses pemulihan. Kami memang tidak membawanya pulang ke rumah di Idi Rayek, Aceh Timur karena terlalu jauh kalau aku harus pulang seminggu sekali.

Setelah ibu di Teupien Raya, Rizal adikku turut membawa istri dan anaknya ke tempat nenek. Rumah nenek yang tadinya sepi kini jadi ramai. Apalagi ada Ulis yang selalu riuh dengan berbagai tingkahnya yang menggemaskan. Ulis cepat beradaptasi. Ia punya banyak teman. Dan acara mandi hujan bersama sore itu adalah 'buah' dari proses adaptasinya dalam berteman.

Rabu, 20 Januari 2016

Happy 10 th Anniversary Senarai Cinta


BEBERAPA teman di LinkedIn mengirimkan pesan. Isinya sederhana saja; selamat atas anniversary kerja Anda.

Hm... sejenak saya bingung. Pekerjaan mana yang sedang 'berulang tahun'? Selidik punya selidik rupanya 'pekerjaan' di www.ihansunrise.blogspot.com yang saya cantumkan di LinkedIn. Ya, Januari 2016 ini memang genap berusia 10 tahun sejak saya mulai mengenal dan membuat blog tersebut pada Januari 2006 silam.

Di zaman modern ini, kita cukup perlu banyak akun di media sosial untuk mengingatkan kita tentang ini dan itu. Misalnya tentang tanggal ulang tahun teman, atau ulang tahun pekerjaan. Mari lupakan sebentar tentang fenomena sosial media, sekarang mari kita bicarakan tentang blog saya saja :-D.

Ihan Sunrise adalah nama pena yang saya pilih sejak saya memutuskan 'serius' di dunia narasi belasan tahun silam. Awalnya saya sempat menggunakan nama 'Ihan Salsabila' yang sering saya tulis dengan lafal Arab. Salsabila berarti 'mata air surga', dan seperti itulah saya ingin menjadi. Tapi karena nama itu terlalu feminim sayapun akhirnya memilih nama pena baru yaitu Ihan Sunrise.  Saya tidak ingin orang bisa menebak saya dengan mudah. Seperti nama itu, saya ingin menjadi seperti mentari pagi yang kaya vitamin D yang menghangatkan lagi menyehatkan. Juga menjadi sumber semangat dan kehidupan bagi orang lain.

Selain saya pakai untuk kebutuhan 'jualan' dalam dunia tulis menulis, nama Ihan Sunrise juga saya gunakan untuk mendaftar di berbagai akun yang berhubungan dengan dunia internet. Mulai dari email, sosial media, hingga akun di blogspot. Itulah cerita lahirnya www.ihansunrise.blogspot.com.

Sebuah blog yang saya beri title "Senarai Cinta". Senarai berasal dari bahasa Malaysia artinya daftar. Saya mengambil nama itu karena enak didengar dan sepertinya serasi ketika dipadukan dengan "cinta" yang menjadi "ruh" dari muatan blog saya.

Saya juga membubuhkan beberapa kalimat sebagai sub title yaitu "Bacalah tanpa harus menerima begitu saja, berfikirlah tanpa harus bersikap sombong, yakinlah tanpa harus bersikap fanatik. Dan jika Anda memiliki pendapat, kuasai dunia dengan kata-kata". Beberapa baris kalimat itu saya temukan dalam sebuah tulisan dan membuat saya sangat terkesan.

Blog tersebut, sebagaimana fungsinya sudah menjadi teman akrab yang menemani saya selama sepuluh tahun terakhir ini. Banyak kisah hidup yang saya bebankan padanya. Selain catatan pribadi, blog tersebut adalah rumah untuk menampung berbagai karya fiksi saya seperti cerpen dan puisi. Baik yang sudah dimuat di media maupun tidak.

Lebih dari itu, blog ini sudah 'mengantarkan' saya menjadi seorang jurnalis. Ya, siapa sangka saya yang awalnya hanya blogger, dengan spesifikasi tulisan yang lebih banyak mengeksplor soal 'rasa' dan 'cinta' akhirnya menjadi wartawan. Kini saya berkhidmad di www.portalsatu.com, sebuah media online yang saya dirikan bersama teman-teman.

Kenapa saya katakan kalau blog ini yang 'mengantarkan'? Karena memang melalui blog inilah awalnya saya belajar menulis, menceritakan apa yang saya lihat, dengar dan rasakan menjadi sebuah kumpulan narasi yang bisa dipahami orang lain (pembaca). Di samping saya juga sering mengikuti pelatihan/diskusi jurnalistik. Minimal, ketika mulai terjun ke dunia pers, saya tidak lagi buta tentang poin dasar 5 W + 1 H. Tapi sedikit sekali tulisan jurnalistik yang saya postingkan (baca: simpan) ke blog ini.

"Saya tahu betul perjalanan Senarai Cinta sampai akhirnya terjun ke dunia jurnalistik," kelakar Bang Halim, seorang teman yang tanpa sengaja bertemu di L-300 dalam perjalanan ke Banda Aceh beberapa hari lalu.

Kami sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Mungkin lebih dari lima tahun. Bang Halim ini jago IT, dulu saya sering berdiskusi tentang blog dengannya. Dia pernah mengantarkan sendiri honor saya untuk opini yang dimuat di media milik sebuah NGO tempat ia bekerja dulu. Jadi, wajar kalau ia cukup tahu bagaimana proses saya bertransformasi.

Secara spesifik, ada seseorang yang bisa saya sebut sebagai guru blog saya. Namanya Bang Mamad, saya sudah lupa nama lengkapnya siapa. Dia ini dulu bekerja di Yayasan Air Putih, sebuah yayasan yang kalau tidak salah ingat memang fokusnya pada bidang IT. Dialah yang pertama kali mengenalkan saya pada blog. Selanjutnya saya learning by doing. Entah di mana dia sekarang, semoga ilmu yang sudah ia berikan pada saya menjadi amal jariyah baginya.

Dan, one more. Blog ini adalah peti untuk menyimpan puluhan surat cinta saya untuk Z. Seseorang yang sampai sekarang tidak saya ketahui di mana istimewanya. Tetapi dialah pijar matahari dalam hidup saya. Dia dengan segala kelebihan dan kekurangannya seolah mengajarkan saya bahwa menulis adalah merekam jejak cinta kami.[]

Rabu, 13 Januari 2016

Saat Harus Kehilangan


KEHILANGAN. Sekalipun ia tidak bernama tetap saja menyisakan sepotong perih. Terlepas kita rela atau tidak pada sesuatu yang hilang itu. Mungkin, kemuraman akan menghinggapi setengah atau seluruh wajah kita. Melahirkan sembab di sepasang mata kita atau keletihan otak yang teramat sangat.

Apakah kehilangan perlu ditangisi, diratapi atau mungkin membuat kita frustasi? Jawabannya tentu saja tergantung. Tergantung pada sekuat apa bola mata kita menahan laju air agar tak berubah menjadi deras. Tergantung pada sekuat apa jiwa kita menyikapi beban dan memahami semua yang terjadi.

Setiap orang pernah mengalaminya. Seperti yang kutulis di atas, rela atau tidak kehilangan tetap menyisakan sepotong rasa yang tak nyaman.

Anggap saja sesuatu yang hilang itu seperti buih-buih ombak di tepi pantai. Ia akan terus datang silih berganti dengan bentuk dan rupa yang berbeda-beda. Atau seperti pucuk gunung yang tertutup kabut atau awan pekat. Hilang, tetapi bukan berarti kita tidak bisa melihatnya kembali. Hilang, mungkin saja ia datang dalam wujud embun di pagi hari. Kemudian kering ketika sang mentari datang. Apakah kita harus bersedih karenanya? Bukankah mentari juga menjanjikan harapan?[]