Sabtu, 26 Maret 2022

Antara Mbak Rara dan Mbah Lasimun



JAUH sebelum saya tahu ada daerah yang namanya Mandalika. Yang belakangan telah melambungkan nama Mbak Rara si Pawang Hujan. Saya sudah begitu akrab dengan istilah pawang hujan. Sejak kanak-kanak. Dan itu sekitar tiga puluh tahun yang lalu. 😁 

Ada pawang hujan yang terkenal di kampung kami dulu. Omong-omong, kampung saya sangat jauh dari Mandalika. Berada di timur Aceh. Namanya Mbah Lasimun. Tinggal di Lorong Binjai. Kenapa namanya Lorong Binjai? Karena warganya banyak yang berasal dari Sumatera (termasuk Binjai) aka pujakesuma. 

Namun, saya hanya ingin cerita tentang Mbah Lasimun. Saya terkesan dengan sosoknya dan begitu memorable di alam ingat saya. Karena setiap ulang tahunnya selalu dimeriahkan dengan pertunjukan jaran kepang. Dulu, tinggal di kampung yang akses dengan kota sangat jauh, bisa menonton jaran kepang sudah sangat luar biasa terhibur. Syaratnya cuma satu: jangan pakai baju merah.

Secara fisik Mbah Lasimun ini perawakannya kecil. Pendek. Sebelas dua belas dengan Mbah Maridjan--kuncen Gunung Merapi yang meninggal terpanggang ketika Merapi meletus. Kebalikan dengan istri Mbah Lasimun yang tinggi besar dan gembrot sehingga dipanggil Mbah Robot. Mbah Robot memang sekuat namanya. Di usianya yang sudah tua pun dia masih kuat menyunggi ember berisi hasil panen biji kakao di kebunnya. 

Meski Mbah Lasimun ini mungil, orang-orang menaruh respek yang luar biasa padanya. Bahkan bagi beberapa orang dijadikan sebagai "guru" karena dianggap memiliki "kebisaan" tertentu.

Salah satu keahliannya adalah sebagai pawang hujan. Karena ini pula jasanya sering dipakai ketika ada warga yang mau buat hajatan pesta. Ketika sedang membahas soal Mbak Rara yang konon katanya bisa menghentikan hujan di langit Mandalika, ibu saya berceletuk: itu bahan-bahan sesajian yang dipakai Mbak Rara ya persis seperti yang dipakai Mbah Lasimun dulu. 

Tapi, ada satu yang saya ingat dari cerita ini. Suatu ketika ada tetangga yang bikin hajatan di bulan 12 yang identik dengan musim penghujan. Untuk mencegah hujan dimintalah jasa Si Mbah, tetapi hujan tetap turun dengan lebatnya. Lalu bisik-bisik muncul, coba buat acaranya di musim kemarau. Nggak perlu pawang pawang hujan. Kesimpulan saya, ending dari kisah Mbak Rara ini sudah "dibuktikan" oleh Mbah Lasimun puluhan tahun silam.

Masih soal Mbah Lasimun. Suatu ketika ayah saya kehilangan ayahmnya. Dicuri orang di kandang. Lalu ada tetangga yang menyarankan agar ayah pergi ke Mbah Lasimun untuk jak keumalon alias minta diterawang. 

Si Mbah bilang supaya ditunggu saja saat magrib, ayamnya pasti dikembalikan. Tetapi setelah ditunggu-tunggu si ayam tak kunjung kembali. Rupa-rupanya, gimana ayam itu mau kembali, dia sudah jadi gulai dan dagingnya sudah masuk ke perut kami. 

Jadi ceritanya, setelah dicuri, ayam itu dipotong dan dimasak di rumah kami pula. Hal ini terungkap belakangan. Bertahun-tahun kemudian.

Semoga Allah mengampuni kita dari hal-hal bodoh yang pernah dilakukan karena ketidaktahuan. Saya "bersyukur" dulu tinggal di kampung yang ternyata sangat kaya akan kearifan lokal. Suatu istilah yang belakangan ini semakin sering populer. Tetapi, searif-arifnya nilai-nilai lokal, tetaplah yang paling arif itu yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama (Islam).[]