Hatiku diliputi kesenangan maha dahsyat. Untuk yang kedua kalinya. Pertama ketika aku mengenalmu sepuluh tahun silam. Saat umurku baru menjelang 20 tahun. Dan sekarang, ketika aku kembali menjumpaimu di tempat ini, di kotamu.
Tadinya kupikir itu bukan kamu. Skemata-ku hampir tak berfungsi sempurna. Itu gara-gara tubuhmu yang menyusut. Tidak gemuk seperti dulu. Dan rambutmu yang mulai terlihat memutih di beberapa bagian. Tapi kau masih gagah seperti dulu. Dari jauh aku memandangmu yang sedang khusyuk membaca sesuatu. Lalu kuputuskan untuk mendekat dan menyapa.
“Tidak menyangka kembali bertemu denganmu, di sini.”
Ah, harusnya aku tidak menyebutmu dengan “kamu”. Tapi menggantinya dengan “Bapak” atau “Om”. Tapi setahuku kau tidak pernah keberatan sekalipun aku memanggilmu dengan nama saja, Zal!
Kau menoleh. Dan aku menikmati keterkejutanmu. Mungkin kau tidak menduga Tuhan mempertemukan kita kembali di sini, di kotamu. Atau kau pura-pura terkejut untuk memancing emosiku.
“Inisial Terakhir-mu bagus. Aku suka.” Jawabmu pendek. Wajahmu masih tunjukkan ketidak mengertian dan kebingungan.
“Cerita itu adalah puncak prestasiku dalam dunia tulis menulis.” Jawabku seadanya. Tanpa perlu kukatakanpun sebenarnya kau telah tahu. Bahkan kau telah membaca cerita itu bertahun –tahun silam.
Kau tersenyum. Kaku. Mungkin kau merasa kikuk dengan apa yang kutuliskan. Mungkin juga kau merasa tersanjung. Aku mulai tak pintar menebak isi hatimu. Tidak seperti dulu, sekitar tiga atau empat tahun yang lalu.
“Oh ya, mengapa kau tidak memberitahuku bila kau menggelar pameran tulisan di kota ini?”
Aku terbahak. Beberapa pengunjung yang kebetulan berdekatan dengan kami sempat menoleh. Tapi aku tidak peduli. Toh aku adalah pemilik dari pameran tulisan tunggal ini. Selama lima belas hari Hotel ini adalah milikku, karena aku telah menyewanya. Jadi aku berhak melakukan apa saja. Apalagi cuma untuk terbahak.
Kedengarannya memang aneh. Pameran tulisan. Hal konyol yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun di dunia ini. Lazimnya adalah pameran buku, pameran lukisan, pameran foto dan lain sebagainya. Tetapi aku, malah memamerkan semua cerita-ceritaku sepanjang sepuluh tahun terakhir ini. Ini adalah impian terbesar dalam hidupku.
Aku berjalan meninggalkanmu. Kau menyusuri langkahku.
“Tanpa kuberitahupun kau tetap datang, lalu untuk apa aku merepotkan diri memberitahumu.” Jawabku ketus. Mungkin kau tersinggung. Tapi aku tak peduli.
Aku berhenti. Lalu berbalik. Memandangimu persis seperti aku memandangimu sepuluh tahun silam. Saat aku baru bertemu denganmu. Ketika usiaku baru saja menjelang 20 tahun. Tepat di manik matamu. Hatiku benar-benar diliputi kesenangan maha dahsyat saat ini. Tapi aku tak ingin gegabah dengan kesenangan ini.
Beberapa teman di kota ini datang untuk memberikan selamat. Mereka sebagian besar adalah pekerja media dan para sastrawan. Teman-teman yang telah membimbingku selama ini. Ada juga rekan-rekan jaringan bisnisku. Otomatis perhatianku tersedot pada mereka. Dan entah mengapa tiba-tiba aku meninggalkanmu begitu saja untuk menemani mereka melihat cerpen-cerpenku. Aku bahkan tidak sempat mengatakan sesuatu padamu. Sebenarnya aku sengaja melakukan itu.
“Apa kau punya waktu nanti malam untuk minum kopi?”
Kau membuatku terkaget. Sejak kapan kau berdiri di sana? Apa diam-diam kau mengikutiku sejak tadi. Aku capek seharian ini. Dan sudah kurencanakan untuk beristirahat lebih awal malam ini. Tapi mendengar permintaanmu kebimbangan menghinggapiku. Antara tidur lebih awal dan memenuhi permintaanmu untuk minum kopi.
“Bukankah kau pernah bilang, jika mengenalku adalah anugerah, maka kau akan mengenangnya sepanjang hayat.” Kau kembali bicara.
Dan aku masih diam. Ingatanku melewati belantara waktu. Mengingat-ngingat kapan aku mengucapkan itu.
Aku ingat. Ketika itu kita sedang menghabiskan waktu di Coffe in the City. Setelah kita melewati faselita pertama hubungan kita. Di tempat itu kita pernah mentertawakan sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Menjelang senja. di tengah alunan musik klasik yang begitu syahdu.
Aku tersenyum. Datar. Itu sudah lama sekali. Kopi-kopi yang kuteguk setelah hari itu tak pernah kurasakan nikmatnya lagi. Seiring dengan komunikasi kita yang tak lagi intensif. Email yang mulai jarang. Pesan-pesan yang tak terbalaskan. Dan suaramu yang tak pernah hadir di akhir pekan untuk sekedar menanyakan “Apa kabar cinta?”
“Bagaimana kabar Kalandra?” aku tak ingin menjawab pertanyaanmu.
“Ia sudah duduk di Sekolah Menengah sekarang.”
“Pasti ia semakin cantik, seperti ibunya.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
Aku tersenyum geli. Ah, kau belum berubah rupanya. Sejak dulu kau memang selalu keberatan jika kutanyakan tentang anak dan istrimu. “Aku tak ingin menyakitimu.” Selalu begitu kilahmu. Tapi toh akhirnya aku sakit juga.
“Pertanyaan yang mana?”
“Apakah kau ada waktu nanti malam untuk menemaniku minum kopi?” ulangmu.
“Oh, bukankah di sini tidak ada Coffe in the City?” aku mengelak.
“Kita bisa minum kopi di mana saja kan? Tidak mesti di Coffe in the City bukan?”
“Tapi untuk mengulang sejarah bukankah harusnya dilakukan di tempat yang sama?”
“Kalau begitu mengapa kau menggelar pameran ini di kotaku? Mengapa bukan di kotamu saja?”
Ah! Aku benci pertanyaan itu.
Aku mengibaskan tangan. Pertanda aku tidak ingin meneruskan debat kusir ini. Dan kau sepertinya tau diri. Segera berubah air mukamu. Lalu dalam sekejap kurasakan dingin menyentuh tanganku. Aku terkesiap. Tanganmu telah menggamit lenganku.
“Maafkan aku, Fai.” Katamu
Aku tak menjawab. Tapi kubiarkan saja kau mengecup punggung tanganku. Hangat.
“Bagaimana nanti malam?” ulangmu sekali lagi.
“Aku fikirkan dulu. Sekarang aku lelah, aku mau istirahat dulu sekalian Sholat Ashar.”
Aku menarik tanganku. Lalu meninggalkanmu menuju kamar. Kaupun berlalu, ke luar dari hotel ini. Dari balkon aku melihatmu menaiki mobil. Seketika kenangan pagi itu membentang dalam memoriku. Sekitar empat atau tiga tahun yang lalu.
Aku telah berada di Coffe in the City. Warung kopi terbesar dan termahal di kotaku. Tempat minum kopi sekelas Starbucks. Di mana harga segelas kopi dan sepotong roti bisa mencapai puluhan ribu rupiah. Konon katanya orang-orang yang datang ke tempat ini adalah orang-orang ‘terpandang’ karena bisa menaikkan citra diri mereka.
Aku duduk di sudut ruangan. Menikmati suguhan musik klasik yang mempesona. Petang menjelang senja. Dengan segelas kopi espresso kesukaanku. Gelationya yang mengambang merupakan perpaduan kenikmatan dan kemewahan yang sukar kujelaskan. Sambil sesekali mataku menuju ke arah pintu masuk. Menunggu kau datang.
“Fai!” panggilmu dari jarak beberapa meter.
Aku bangkit. Akhirnya kau datang juga. Segera aku menyodorkan pipiku untuk kau cium. Tapi dering telepon genggamku mengacaukan acara kita. Suara yang terus berdering-dering meski aku telah mengangkatnya berkali-kali.
Oh Tuhan, aku bermimpi! Kususun ingatanku. Kelelahan yang terakumulasi. Kombinasi antara kurang tidur dan melayani tamu-tamu. Begitu ada waktu seolah tak ingin menyiakan kesempatan, aku langsung pulas begitu selesai sholat Ashar. Ranjang yang empuk seperti menyedot tulang belakangku bagai magnit. Bunyi dering itu ternyata berasal dari hand phone-ku.
“Halo”
“Fai?”
“Zal?” nada suaramu masih sama. Aku bahkan tak ingat lagi kapan terakhir menjawab telepon darimu.
“Kamu tidur?”
“Tidak” sergaku cepat.
Ah, aku menjadi gugup. Kamu tertawa.
“Suaramu tidak bisa berbohong, Fai.” Kau menggodaku. Aku semakin kikuk. Mukaku bersemu. Padahal kamu tidak melihatku.
“Aku mau minum kopi denganmu.” Kataku lagi sebelum sempat kamu mengatakan apa-apa. Entahlah, keinginanku untuk kembali bersamamu begitu kuat. Aku ingin menikmati saat-saat bersamamu seperti di Coffe in the City.
“Kalau begitu bukalah pintu kamarmu.”
***
Kita berjalan beriringan. Menyusuri jalan setelah memarkir mobilmu di area parkir sebuah hotel besar di kotamu. Jalanan begitu ramai dan padat, khas kota besar. Langitpun tampak begitu cerah dengan bintang yang begitu ramai. Bulan tak terlihat utuh, tapi cukup jelas untuk bisa dinikmati pendar peraknya.
Dalam keremangan malam aku mencoba mengamatimu. Sepuasku. Bahkan imajinasiku kuajak serta. Kau masih menarik, setidaknya belum banyak yang berubah darimu. Selain berat badanmu saja yang tampaknya menurun. Dan rambutmu yang mulai memutih.
Masih saling beriringan. Aku menjejaki langkahmu. Tanpa bertanya ke mana kau akan mengajakku. Aku percaya saja. Di tikungan jalan kita berbelok ke kanan. Memasuki lorong kecil beraspal lembab. Sisa hujan sore tadi masih membekas.
Kau menyentuh tanganku. Aku menoleh melihatmu. Dalam remang kita saling pandang. Ada senyum yang saling terlempar. Kau gamit lenganku hingga ke ujung lorong.
Tepat di depan sebuah rumah kita berdiri. Dengan tenang kau mengeluarkan sesuatu dari dalam sakumu. Lalu beberapa detik kemudia pintu terbuka.
“Silahkan masuk, Fai.” Katamu mempersilahkan.
Aku menurut. Sambil celingak-celinguk menatap sekeliling.
“Rumah siapa ini?” tanyaku akhirnya.
Kau tidak menjawab. Tetapi malah menarik tanganku meninggalkan ruang tamu dan menuju ke ruangan lain.
“Apa kau sudah menikah, Fai?”
Tanyamu begitu kita sampai di depan pintu sebuah kamar. Kedua tanganmu menyentuh pundakku. Aku diam. Bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba ini.
“Fai, jawablah. Ini penting untukku.” Kau mengguncang pundakku. Perlahan. Aku terkesiap. Tak pernah melihat wajahmu seserius ini.
“Inisial Terakhir hanya kubuat sekali dalam hidupku.” Jawabku pelan.
“Ya, aku sudah membacanya berulang-ulang. Tapi aku masih belum yakin dengan jawabanmu, Fai. Jawablah sekali lagi.”
Aku menggeleng. Dan kau tiba-tiba memelukku. Aku bingung.
“Akan kutunjukkan sesuatu untukmu, Fai.”
Kau membukakan pintu kamar. Lalu kita bersama-sama masuk ke dalam ruangan yang lebar dan bersih.
“Tunggu sebentar.” Katamu
Aku menurut. Menunggu seperti yang kau perintahkan. Sedangkan kau menuju dinding dan menarik semua tirai yang menyelubunginya. Terlihatlah semua pigura-pigura besar yang menempel di dinding. Aku mendekat. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati seluruh judul tulisanku ada dalam setiap pigura tersebut. Tak ada yang terlewatkan satupun. Mulutku nganga dalam diam. Memandangmu dalam ketakjuban yang tak terperi. Nyatakah semua ini?
“Aku membuat galeri ini untuk mengenangmu, Fai. Sebab bagiku mengenalmu adalah anugerah, maka aku akan mengenangmu sepanjang hayat. Dan mencintaimu adalah karunia, maka aku tak ingin kehilangan cintaku walau sedetikpun.”
“Kau...”
“Aku mengumpulkan semua tulisan tentangmu, Fai. Dari tulisan-tulisanmu aku tahu bahwa sebenarnya kau masih seperti Fai yang dulu. Saat pertama kali kita bertemu, pada saat usiamu baru menjelang dua puluh. Dan usiaku hampir kepala empat. Ketika pertama kali kau bilang ‘Aku mencintaimu, Zal’ kau masih ingat kan, Fai?”
Aku tak punya kata untuk menjawab. Larut dalam kebermainan perasaan yang aneh. Gelombang maha dahsyat seperti sedang berputar dalam jiwaku.
“Kau tentu tidak lupa pada Al kan Fai? Al yang sering kau jadikan teman untuk membicarakan apa saja tentangku. Tentang hubungan kita. Tentang sikap tidak adilku terhadapmu. Tentang kerinduanmu yang seringkali tertahan hingga berbulan-bulan. Tentang kecemburuanmu pada Anya dan Kalandra. Dia yang memberitahuku bahwa kau akan membuat pameran tunggal tulisanmu di kota ini, Fai.
Dan kau tahu, Fai. Aku adalah orang paling sibuk menjelang pameranmu itu. Sibuk mempersiapkan semua koran yang pernah memuat ceritamu. Aku mengguntingnya, lalu membingkainya, semuanya kulakukan seorang diri, di sini, Fai. Di rumah ini. Yang kubelikan khusus untuk menyimpan kenangan bersamamu.”
Kau bahkan tak memberiku kesempatan untuk berbicara. Jikapun kau memberiku kesempatan aku tidak tahu harus berkata apa. Senangkah. Miriskah. Atau apa? Aku tidak tahu. Lidahku kelu. Hatiku gugu. Jiwaku gagap.
“Bagaimana kabarnya Kalandra? Pasti ia tumbuh besar dan cantik seperti ibunya.” Ucapku nyaris tak terdengar.
Hatiku dihinggapi sakit yang maha dahsyat. Untuk kedua kalinya. Pertama setelah kita menikmati kopi di Coffe in the City empat atau tiga tahun yang lalu. Dan sekarang, setelah aku melihat Inisial Terakhirku di sini. (*)
02:31 am
17 November 2009
tulisan ini sudah pernah dipublish di http://ababil.org/index.php/2010/01/inisial-terakhir/