Senin, 21 Maret 2011

Pengingat Imajinasi

Pengingat Imajinasi

sehari sebelum purnama,

19-03-11

ini adalah pagi dimana aku melihat mata kekasihku dengan panca indera

hati mengetuk hati

jiwa mengetuk jiwa

pagi yang mengetuk mentari untuk segera bangkit

seperti angin yang menyapu lembut wajah alam

seperti salju yang singgah di wajahmu; sejuk, damai dan memabukkan

seperti aku yang memabukimu pagi ini

(Lambhuk, sebelum matahari setinggi dhuha)

hari yang sama senja menjelang malam

purnama mulat kelihatan,

bulat penuh seperti wajahmu yang selalu berbinar

wajah yang selalu membuat rindu dan kangen

06:52 pm

tengah malam

purnama ada di atas kepalaku, katamu

di bibir pantai, di pelukan malam

----

Bukan sekali ini saja aku bahagia denganmu, tapi sesuatu yang dapat kucium dari dirimu adalah penyelesaian dari puzzle yang tercipta sejak beberapa tahun yang lalu. Garis senyummu adalah magnit, menarik ruas senyumku untuk terus menyenyumi dunia, pandangan matamu adalah arus yang dapat menjalari seluruh kornea mataku agar dunia selalu indah dalam pandanganku, dan sentuhanmu...adalah sentuhan hebat yang mampu menembus hati dan melegakan jiwa.

Aku percaya, Tuhan tidak pernah menciptakan kebetulan di dunia ini, ingat ketika pertama sekali kita bertemu? sesuatu yang selalu aku ingat adalah aku bersyukur untuk itu, ingat juga kapan pertama sekali kita saling berkirim surat dengan cerita-cerita yang panjang, dengan kosa kata yang aneh dan kadang sulit dimengerti, ingat juga kapan kita mulai melepas tirai pandangan dan alam pikir kita; untuk sesuatu yang kita harapkan.

Sesuatu yang bukan kebetulan itu berawal dari Maret, maret banyak mengajarkan kisah untukku, kisah yang kemudian ditulis sebagai sejarah, sebagai catatan waktu, yang, jika kelak kita kembali ke dunia masing-masing catatan sejarah itu akan berfungsi sebagai pengingat imajinasi.

11.19 am

21.03.11

Cinta, ini ucapan selamat untukmu

Cinta, ini ucapan selamat untukmu
selamat ya cinta, atas prestasi besar dan perjuanganmu, aku yakin dan percaya engkau bisa memberikan yang terbaik untuk dunia, dunia tanpamu adalah kesepian maha panjang, seperti aku tanpamu; kesepian maha dahsyat.
mungkin, ini adalah penyampaian paling kurang ajar, seyogyanya aku ingin mengucapkannya sambil mencium takzim tanganmu, dan sambil mengecup mesra pipimu yang lembut, selembut salju yang turun di tepi kutub, bersih, sejuk, mendamaikan. Lalu, aku katakan seperti ini di telingamu; Selamat ya cinta, atas prestasi besar dan perjuanganmu, aku yakin dan percaya engkau bisa berikan yang terbaik untuk dunia.
Tapi, lagi-lagi kali inipun kita harus berdamai dengan keadaan, berjuang menahan ego diri; untuk harapan yang lebih lama dan panjang, sebab mencintaimu bukan untuk usai.
Di kota ini, aku berharap terjadi keajaiban, entah apa, tapi seperti aku tiba-tiba terlempar di hadapanmu, untuk melihatmu berjalan, melintasi rerumun manusia, menerobos kebisingan, menghalau pikuk, untuk berdiri tegak dan gagah. Kusenyumi engkau seperti senyum yang selalu engkau beri untukku.
Aku memang tersenyum, untukmu yang sedang berbunga hatinya, untukku yang tak mendapati keajaiban itu, aku masih di kota di mana kita pernah memiliki ruang dan waktu secara bersamaan, keadaan adalah milik kita ketika itu.
Selamat ya cinta, karena untuk bisa melihat wajah bahagiamu ketika itu bisa di mana saja, Tuhan memberiku cara terindah untuk menikmatinya, bahkan aku...bisa mencium wajah lembutmu selama yang aku inginkan, menatapmu dalam diam yang menakjubkan.
Cinta, selalu saja kau bisa membuatku jatuh cinta, dengan cara paling sederhana sekalipun. Kelak, jika aku mati dan Tuhan menanyaiku siapa orang yang paling penting dalam hidupku aku akan jawab; Kamu. Bukan karena aku mencintaimu tetapi karena kamu pantas untuk dipentingkan. (I&Z)

Takdir yang Tak Perlu di Beri Nama

Takdir yang Tak Perlu di Beri Nama

Ini adalah hari di mana kekasih datang seperti anai-anai, terbang melayang-layang, melintasi lelangit Tuhan, menjemput keadaan, di mana jarak dan waktu adalah milik kita, tetapi bukan milik cinta.

Simpang Tiga, 09-03-11

10:08 am

-------------------

Tengah hari,

Hari ini, aku menjalani takdirku sebagai perempuan, yang memandangi wajah kekasihnya dalam diam, tanpa suara dan tanpa permintaan, hanya dengan diam, aku berbicara dengan tatapan mata yang tak mampu memberikan penjelasan, dan jawaban yang hanya mampu diberikan oleh isyarat tubuh, yah, ini takdir tidak perlu diberi nama.

Dalam setiap pertanyaan, dalam setiap gundah, dalam setiap ketakutan, dalam setiap penantian panjang bertahun-tahun, aku seperti terkurung dalam kumparan nikmat dengan sensasi yang berbeda-beda, kumparan sensasi yang telah kita ciptakan, mungkin seperti rasa syukur yang tak pernah habis untuk dipanjatkan. Aku ingin selamanya terjebak dalam kumparan rasa ini.

Dan, hari ini, aku benar-benar menjadi perempuan yang belajar tentang sesuatu yang bernama ‘rasa’. Gugup yang hilang bersamaan dengan angin yang abstrak, kebekuan yang mencair bersamaan dengan melelehnya keringat di ujung hati, dan senyum yang berat, yang terseret-seret oleh deretan kursi yang usang.

Tuhan, takdir ini benar-benar tak perlu diberi nama, sebab hari ini aku telah melihat apa yang ingin aku lihat, dengan diam, tanpa suara, dengan napas yang agak tersendat. Yang melintasi panca indera. Terimakasih untuk energi luarbiasa yang tiba-tiba datang merayapi hingga ke ujung-ujung syaraf, pusarannya ada pada diri lelaki bernama kekasih, yang memakai baju bermotif kotak, bercelana jeans biru. Di suatu siang, saat terang dan mendung sedang saling bertukar ‘rasa’.

Menjelang tengah malam, di hari yang sama

Bahkan dalam ingatan sekalipun, engkau terlihat gagah dan mempesona, cinta untukmu adalah yang untuk dan tidak terlihat.

Situasi bukan milik kita, tapi milik keadaan, maka Tuhan mentakdirkanku untuk menjemput takdir yang lain, untuk kali ini kita akan berlawanan arah, saling menelikung arah mata angin, karena Tuhan tahu di sana aku bisa lebih melihatmu, karena di sana kita pernah benar-benar memiliki waktu, menaklukkan keadaan dan tak tersekat oleh ruang. Seperti baru kemarin saja.

Aku sedang menyiapkan sesuatu, seperti doa-doa panjang yang akan kusampaikan untukmu, untuk lelaki terkasih yang tadi siang kupandangi dalam diam, tanpa suara, tanpa permintaan, yang setiap pertanyaan dan jawaban memerlukan isyaratnya sendiri, untuk lelaki yang pernah memberiku keadaan, ruang dan waktu pada saat yang bersamaan. Kau tahu, aku tak pernah menyesal mengatakan cinta padamu.

11.08 pm

Bilik hati

Note: terimakasih untuk seorang sahabat yang telah mau menyisakan sedikit waktunya untukku siang tadi

Sabtu, 05 Maret 2011

Maret Remaja

Maret Remaja

08.49 pm

Ini Maret yang hampir remaja, ingatanku tentang ini masih sangat baik, karena menjelang remajanya maret kita bertemu untuk pertama sekali, melintasi ruang dan waktu. Maret membantuku menemukan diri sendiri, membantuku mengambil keputusan, dalam keterbatasan jarak, keterbatasan ruang dan waktu, akhirnya maret memilihmu untuk menjadi bagian penting dalam hidupku.

Mungkin masih di maret yang hampir dewasa, aku belajar tentang sesuatu keterkoyakan selubung keingintahuan, merobek selaput ingat, yang menembusi sekat penasaran. Dan kamu adalah pisau yang tajam itu, gunting yang mampu membelah hingga ke ujung-ujung syaraf rasa, dan juga pedang.

09.00

Aku berterimakasih pada takdir, Tuhan mengirimmu dalam bentuk yang indah, yang berputar-putar dalam ingat, yang menendang-nendang katup jantung, yang mengalir dalam arteri, yang menjelma menjadi tulisan-tulisan pendek yang indah. Kau mendikte dengan bahasa tubuh, dan aku menulis dengan kata-kata; cerita yang lahir dari rahim rindu.

09.05

Aku berada di jaman di mana perasaan bisa dieksplorasi, melalui kata, melalui sikap, melalui ingatan. Aku hidup untuk cinta yang dieksplorasi, dengan gejolak, dengan hasrat, dengan adrenalin.

Punie

On Friday, March 04, 2011