Jumat, 28 Desember 2018

I Need You, Not Google

@ihansunrise


Di era kecanggihan teknologi seperti sekarang, mudah sekali sebenarnya mencari informasi. Kita tinggal buka mesin pencari, memasukkan kata kunci, lalu bisa berselancar sepuasnya.

Saking mudahnya, kadang-kadang kalau kita bertanya pada seseorang dengan topik tertentu tak jarang dijawab: coba cari di Google. Jawaban ini menurut hemat saya ada dua kemungkinan, pertama yang ditanya benar-benar nggak tahu jawabannya. Kedua, dia malas menjawab. Syukur dia nggak berpikir 'ya ampun, gitu aja pake nanya' atau 'ni orang pasti malas googling deh'. 

Kadang kita kerap lupa bahwa kita adalah manusia yang selalu berharap ada umpan balik dari setiap interaksi. Ciri makhluk sosial. Seintrovert dan seindividualis apapun orang tersebut, dia tetap membutuhkan manusia lain.

Selengkap dan sebanyak apapun 'jawaban' yang bisa diberikan oleh teknologi, tetap saja dia tidak bisa merespons, misalnya dengan mengucapkan kalimat 'gimana, jawabannya memuaskan, nggak?' atau saat dia melihat kening kita berkerut karena kebingungan atau sedang menganalisis sesuatu, tiba-tiba dia berceletuk: gitu aja bingung, sini aku jelasin lagi.

Itulah bedanya kita sebagai manusia, yang dianugerahi kecerdasan untuk saling memahami emosi dan pikiran. Bila ada orang yang bertanya kepada kita, jangan buru-buru dicap bahwa dia malas mencari informasi. Bisa jadi, dengan pertanyaannya itu justru menstimulasi kita untuk ikut berpikir, mencari jawaban, belajar menelaah, saling mengemukakan pendapat/ide dan argumentasi, hingga menemukan jawaban yang saling memuaskan.

Atau bisa jadi, seseorang itu menaruh kepercayaan lebih kepada kita. Kita tahu, orang tidak akan sembarangan bertanya pada orang yang tidak dia kenal/dekat/percayai kecuali untuk urusan tertentu. Orang juga tidak akan sembarangan mengeluarkan pikiran-pikirannya pada orang yang tidak membuat mereka nyaman.

Jadi, bila ada yang bertanya pada kita janganlah buru-buru memutuskan 'silaturahmi kata' dengan jawaban seperti di atas. Kecuali memang sudah benar-benar mentok. Akan ada saatnya di mana kita membutuhkan orang lain untuk sekadar didengar.[]

Selasa, 25 Desember 2018

Dianggap Ada dan Penting

Ilustrasi reuters


Di tengah obrolan santai kami melalui Whatsapp, tiba-tiba Zenja memintaku untuk membuatkan sebuah tulisan yang menurutnya cukup representatif untuk memperingati gempa dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 silam. Aku yang langsung ngeh dengan permintaannya segera merespons.

"Status di mana?"

"WA."

Berselang menit kukirimkan sebuah kalimat beraroma kontemplasi. 

"Thanks, Say," balasnya.

"Iya, Cinta."

"Kenapa kamu memintaku yang membuatnya. Padahal kamu bisa bikin sendiri, kan?"

"Kamu jagonya," jawabnya.

Seketika hatiku jadi mekar.

"He he he. Aku jadi tersanjung."

"Hmmm..."

"Makasih atas pujiannya. Aku senang kalau itu kamu yang bilang."

"Benar kok."

Lalu kami jadi sibuk bernostalgia. Membicarakan kembali percakapan-percakapan indah yang pernah kami bincangkan.

Memang bukan sekali ini saja Zenja memintaku membuatkan kalimat-kalimat yang ingin ia bagikan kepada publik. Barangkali karena ia tahu aku menggeluti dunia literasi, sehingga hal-hal penting seperti itu ia percayakan padaku.

Lebih dari itu, buatku pribadi ini merupakan hal terindah, ketika orang yang kita sayangi dan cintai menganggap kita ada dan penting. Kami memang sering berdiskusi berbagai hal, mulai dari yang ringan-ringan seperti kegemarannya memasak dan kegemaranku menyantap makanan, hingga yang berat-berat seperti isu-isu politik menjelang pemilu 2019. Aku bersyukur, secara politik kami memiliki pandangan yang sama. Kalau pun tidak, ya enggak masalah, justru karena perbedaanlah kami bisa saling mencintai dan melengkapi.

Dianggap ada dan penting oleh orang-orang terdekat kita menurutku sangatlah penting. Sebab, dengan orang-orang di 'ring 1' inilah kita sering berinteraksi dan berkomunikasi. Disadari atau tidak, hasil interaksi tersebut akan menghasilkan dua energi yang saling bertolak belakang, yaitu energi positif dan negatif. Dua energi ini otomatis akan menjadi roda penggerak bagi kehidupan seseorang. Nah, bergerak seperti apa, ya tergantung dominannya energi apa yang mereka terima.

Dianggap ada dan penting oleh orang-orang terdekat akan membuat seseorang merasa lebih semangat, produktif, dan optimis. Bikin hidup jadi terasa lebih hidup. Membuat kita selalu berupaya melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Begitulah.[]

Rabu, 05 Desember 2018

Menggenapkan Postingan Ke-1.000



"Blogku postingannya sudah 999 lo. Satu lagi genap seribu," kataku pada Zenja dengan hati mekar.
"Mantap."
"Sebagian besar isinya terinspirasi dari kamu."
"Good."
"Menemani perjalanan cinta kita."
"Hmmm..."

Lalu kami tertawa bersama. Membicarakan hal remeh-temeh dengan Zenja selalu menyenangkan. Termasuk berbagi kesenangan mengenai jumlah postingan di blogku. Buatku itu jadi pencapaian tersendiri. Sebagai tanda bahwa aku cukup konsisten menulis di blog.

Tak berlebihan juga bila aku memilih berbagi kebahagian kecil ini dengannya. Blog ini tumbuh sejalan dengan usia pertemanan kami. Dia yang selalu mendukung langkahku yang memilih berkarier di dunia kepenulisan. 

Aku masih ingat saat dulu masih kuliah, saat masih aktif di pers kampus. Melalui Zenja aku mendapatkan narasumber pertamaku. Zenja pula yang membuatku terhubung dengan salah satu pejabat humas di sebuah perusahaan terbesar di Aceh. Dan dari pejabat humas itu kami banyak berdiskusi mengenai ilmu-ilmu kehumasan. Namun aku sudah lupa semuanya ha ha ha. Love you forever, Zenja...

Sekadar flash back, aku mulai aktif mengelola blog ini sejak 2006, setelah sebelumnya sempat aktif di Multiply, Friendster, dan berbagai platform blog yang aku sudah tak ingat lagi namanya. Sebagai mantan operator warnet yang nyaris saban hari terkoneksi dengan internet, berselancar di dunia maya telah menjadi sesuatu yang dicandu sejak belasan tahun silam. Utak-atik blog selalu menjadi aktivitas yang menyenangkan dan bikin penasaran. 

Kondisi itu pula yang membuatku bertekad agar di kemudian hari bisa bekerja di "ladang" yang ada sangkut pautnya dengan internet. Semata-mata agar bisa internetan gratis hahaha. Kala itu tak terbayang bila perkembangan teknologi informasi bakal secepat ini. Murah pula. Sekarang, siapa sih yang tak tergantung pada internet? Bahkan yang belum paham apa itu email pun tak bisa lepas dari aktivitas berinternet.

Selama belasan tahun pula konten-konten di blog ini masih senada. Beraroma kembang sakura yang merah jambu. Sesuai dengan tagline blog yang kuusung: memotret kehidupan dalam perspektif perempuan, rasa, dan cinta.

Terlepas apakah aku seorang perempuan atau bukan, dunia perempuan selalu menarik untuk kuselami. Aku menemui banyak perempuan dengan kehidupan yang sangat kompleks. Menemukan keunikan-keunikan pada setiap individu. Aku berusaha belajar setiap kali berinteraksi dengan mereka. Bagaimana mereka membangun kekuatan diri, menahan perasaan yang terpendam, melawan ketakutan, menghadapi ketidakberdayaan, kepasrahan, pergolakan cinta, bangkit setelah terpuruk, ketidakadilan, menghadapi ketidakpastian, hingga kenyatan yang tak sesuai harapan.

Berbagai kenyataan itu, menginspirasiku untuk menghasilkan puluhan cerita pendek, puisi, dan prosa-prosa yang semata-mata kutulis untuk mengobati kegelisahanku. Dalam kondisi tertentu aku merasa menjadi perempuan tidaklah mudah. Perempuan ibarat seorang pelakon di atas panggung, dipapari lampu sorot, dipandangi berpasang-pasang mata, menjadi objek gumaman, objek bisik-bisik, objek kritikan, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, bahkan oleh perempuan itu sendiri. Mirisnya, bahkan untuk kesalahan yang tidak ia lakukan sendiri. 

Ada kebahagiaan tersendiri ketika ada perempuan-perempuan yang membaca cerita-cerita di blog ini kemudian mengatakan: terima kasih sudah menuliskannya untukku.

Ah, padahal cerita itu ditulis untuk perempuan yang lain. Begitulah, ada banyak kesamaan kisah, cerita, dan kejadian yang dialami oleh satu perempuan dengan perempuan lainnya.  Hanya saja banyak di antara mereka tidak berani berterus terang dengan apa yang dialaminya. Walaupun hanya menuliskannya di atas kertas atau di halaman-halaman blog. 

Lihatlah, betapa kuatnya mereka menyimpan kisah hidupnya di dalam hati mereka yang sangat rapat. Tak mereka biarkan seorang pun untuk tahu. Bahkan diri mereka sendiri. Adakah penjara perasaan yang lebih kejam dari itu?

Beruntunglah para perempuan yang bisa menentukan pilihan dan arah hidupnya sendiri, bisa memilih untuk mencintai dan dicintai oleh siapa, memilih merindui dan ingin dirindui oleh siapa, memilih ingin memimpikan apa dan siapa. Beruntunglah. Beruntunglah para perempuan yang seperti itu. 

Aku berharap kehadiran blog ini bisa melengkapi itu semua.[]