Senin, 22 Maret 2010

Dialog Dua Hati

Dialog Dua Hati
Dialog Dua Hati

Oleh: Ihan Sunrise

Aku menyebutnya malaikat kecil. Matanya selalu bercahaya seperti lilin. Memberi kedamaian dan menenangkan. Senyumnya lepas. Mempesona siapapun yang melihatnya.

Malaikat kecilku, berdiri gagah berpenyangga kaki yang kokoh. Tangannya menjuntai mungil. Seolah ingin mentasbihkan bahwa ia adalah raja bagi pemilik hati. Pun kepadaku!

Itu adalah beberapa tahun yang lalu. Aku melihatnya pada selembar gambar yang diperlihatkan oleh seseorang. Tetapi ia begitu nyata dalam ingatanku. Ingatan yang terus tumbuh. Dan berkembang. Lalu menjadi dewasa.

Malaikat kecilku telah menjadi pangeran! Pangeran yang gagah. Bahu kekar serupa perisai yang siap melindungi siapapun. Dada bidang sebagai pertanda kelapangan hatinya yang penuh cinta kasih. Tangannya masih menjuntai. Matanya masih berbinar. Ia berdiri di hadapanku. Dengan senyum berderai memancarkan kedamaian.

“Tante Joana?”

Aku terhenyak. Tak menyangka ia mewarisi suara berat ayahnya. Aku berusaha tersenyum. Namun kekakuan dan kegamangan telah dulu menyublimku. Dan aku hanya bisa terpaku. Dengan mata menatapnya tanpa bisa berkedip lagi.

“Tante Joana?”

Ia mengulang. Kembali aku terhenyak. Aku gagap. Tak tahu mau menjawab apa.

“Tante, aku Saleem. Tante tidak lupa padaku kan?”

Saleem. Ya Saleem. Aku tak pernah melupakanmu. Tepatnya aku tak pernah mengingatmu untuk hadir di hadapanku. Aku hanya mengingatmu sebatas dalam ingatan saja. Aku telah merawatmu dalam ingatanku. Membesarkanmu dengan imajinasiku. Tetapi kau hadir dalam dunia nyataku.

“Bagaimana kamu tahu kalau aku Joana?”

Saleem tak langsung menjawab. Ia mengeluarkan sesuatu dalam saku celananya. Selembar foto lama yang telah buram.

“Ini tante.”

Aku hampir tak bisa berkata-kata. Mataku berkaca-kaca melihat gambar itu. kepalaku menggeleng-geleng sebagai wujud rasa tak percayaku pada apa yang tengah kurasakan.

Kembali aku menatap mata bening milik Saleem. Meminta penegasan atas apa yang ditunjukkannya kepadaku.

“Aku mencurinya dari dompet ayahku, belasan tahun yang lalu.”

“Saleem....” suaraku tercekat.

“Dan aku menyimpannya, dengan harapan suatu hari aku bisa bertemu dengan perempuan dalam foto ini. Tante Joana.”

“Saleem...”

“Ketika itu aku tidak mengerti mengapa ada dua foto di dalam dompet ayahku, yang jelas satu foto ini bukan foto ibuku.”

“Oh...Saleem, aku...aku...”

“Ya tante, aku tidak ingin menyalahkan tante. Tapi sejak itu aku terus menyimpan tante dalam ingatanku, aku merekamnya dan mencoba memperbaharuinya setiap saat.”

“Saleem....aku, aku sudah lama tidak bertemu dengan ayahmu.”

Aku mencoba tersenyum. Sekedar untuk menghilangkan kekagetan diriku.

“Aku tahu tante. Karena itu aku datang kemari. Untuk meminta maaf kepada tante.”

“Meminta maaf untuk apa Saleem?”

“Tante, boleh aku duduk?”

Oh Tuhan, bahkan aku sampai lupa mempersilahkan tamuku duduk. Aku jadi serba salah. Tak siap dengan kejutan sebesar ini. Kejadian yang sama sekali tak pernah terfikir olehku.

“Maaf Saleem, tante lupa. Silahkan duduk. Sebentar, tante buatkan minum dulu ya. Oh ya, apa kamu masih suka minum coklat panas tanpa gula?”

“Tante tahu minuman kesukaanku?”

Mata Saleem mengerjap-ngerjap. Ia tampak bersemangat. Bibirnya menyungging senyum.

Aku mengangguk. Lalu segera ke dapur.

“Ayahmu sering menceritakan tentangmu Saleem.” Kataku sekembali dari dapur. Dengan segelas coklat panas tanpa gula dalam nampan kecil.

Aku memandang wajahnya yang oval, alisnya tebal dan hitam. Matanya bening dengan bola yang berkilau. Ada yang aneh berdesir dalam diriku. Rasa ingin memeluknya yang begitu kuat. Sayang, ia tidak lahir dari rahimku.

“Tapi mengapa ayah tidak menjadikan tante sebagai ibu bagiku?” tanya Saleem tiba-tiba.

Aku tercengang. Tak menyangka ia akan melontarkan pertanyaan itu padaku. Dan kali ini aku benar-benar tak bisa menahan air mataku.

Pelan kusentuh wajah bersihnya. Saleem hanya diam menunggu jawabanku. Kuberi senyum padanya sebagai tanda bahwa aku baik-baik saja.

“Maaf tante, aku tak bermaksud melukai perasaan tante.”

“Tidak Saleem, tante baik-baik saja.”

“Tante....kenapa? apa tante tidak pernah menanyakan itu pada ayah?”

Saleem! Bagaimana aku harus menjelaskannya. Apa yang harus kukatakan padanya? Semua itu cerita belasan tahun lalu. Untuk apa dihadirkan kembali. ah....

“Karena tante tidak sehebat ibumu sayang, tante tidak seluar biasa ibumu.”

“Tante bohong.”

“Saleem.”

Aku menatapnya. Ia membalas menatapku. Beringsut ia dari duduknya lalu meraih jemariku yang sedikit bergetar.

“Tante mencintai ayahku kan?” tanyanya pelan. Aku menunduk, tak ingin kembali bersitatap dengannya. “Mungkin tidak untuk sekarang, tapi ketika itu tante sangat mencintai ayahku kan? Begitu juga sebaliknya. Benar kan tante?”

Bahkan sampai sekarang Saleem. Lirihku dalam hati.

“Saleem. Jangan paksa tante. Tante tak ingin mengingat itu lagi.”

“Tante, bila iya mengapa tante menolak ketika ayah mengajak tante untuk menikah?”

“Oh...Saleem...jangan paksa tante.”

Saleem memegang tanganku kuat.

“Tante....jawab dengan jujur.”

Suara Saleem memelas. Matanya memerah.

“Karena tante tidak ingin menyakitimu sayang.” Tangisku pecah. Air mataku berhamburan. “Setiap kali melihat fotomu tante merasa kamu adalah anak tante sendiri, yang harus tante jaga, tante rawat, kamu tidak boleh tersakiti, oleh siapapun Saleem. Juga oleh tante. Tante juga tidak tahu mengapa tante merasa sangat dekat denganmu. Padahal kita tidak pernah bertemu sebelumnya.”

“Tapi mengapa tante mau menyakiti diri tante sendiri?” cecar Saleem.

“Kamu tidak mengerti sayang.” Aku kehabisan kata untuk menjelaskannya.

“Aku mengerti tante.”

“Kamu tidak mengerti apa-apa. Kamu masih terlalu muda untuk bisa mengerti persoalan ini.”

“Lalu mengapa tante tidak menikah dengan orang lain?”

“Saleem?!”

Aku benar-benar tak menduga dengan pertanyaan itu. Dan aku tak punya jawaban untuk itu. Mengapa? Aku sendiri tak pernah tahu mengapa itu bisa terjadi. Aku juga tidak pernah tahu apa aku masih mempunyai cinta untuk orang lain.

“Hidup ini rumit Saleem, tidak semua hal kita harus mengetahuinya. Cinta itu sukar untuk dimengerti dan tidak bisa diprediksi. Tetapi, ketika kita telah menikahkan jiwa kita dengan jiwa seseorang, dan ketika kita telah mentasbihkan seseorang dalam ingatan kita, ketika itulah kita tak lagi bisa memaknai kesakitan.”

“Tante?”

“Ya sayang.”

“Sekarang aku tahu mengapa ayah tak pernah berhenti mencintai tante.”

Aku memeluk Saleem dengan erat. Sejak belasan tahun yang lalu aku telah kehilangan jiwaku. Tetapi hari ini Tuhan mengirimkan jiwa yang lain kepadaku. Jiwa yang aku tahu tak akan pernah meninggalkanku. Dan jiwa yang senantiasa memancarkan cahaya dalam hidupku.

23:23 pm

16 Juli 2009

Inspired by M

Selasa, 09 Maret 2010

Nyak!

Nyak!

“Nyak!”

Aku rindu panggilan itu. Lama tak lagi mengiang ditelingaku. Dulu, paling tidak seminggu sekali kau pasti meneriakkannya di telingaku. Lalu bertukar cerita di antara kita. Walau hanya tiga atau lima menit. Tapi dari tutur kata itu aku menyadari bahwa kau mencintaiku. Kau menyayangiku dengan tulus. Kau ingin melindungiku sepenuh hati. Maka sering kau tanyakan “Nyak peu haba?” melalui telepon genggammu.

Aku begitu senang ketika kau memanggilku dengan nama itu. Bahagia. Mengharu biru rasanya. Sebab hanya aku yang dipanggil dengan sebutan itu. Nyak! Aku merasa disayangi, dicintai sepenuh hati.

Tetapi anehnya ketika kita berhadapan aku menjadi begitu kaku. Tak tahu harus berbicara apa. Seperti gugup dan rasa enggan untuk bertatap muka. Kita memang dekat tetapi jarang sekali bercengkerama. Dan anehnya, bila fisik kita bertemu seolah kita tak membutuhkan kata. Kita dua orang berbeda dengan sifat dan karakter yang sama. Untuk itu kita tak pernah saling protes.

Lalu aku tiba-tiba merasa sangat dekat denganmu. Yah, sangat dekat. Kedekatan tanpa sekat yang pernah kurasakan seumur hidupku bersamamu. Kita bercengkerama. Kita berbicara. Kau menemaniku. Tapi aku tak lagi pernah mendengarmu memanggilku “Nyak”

Bahkan aku tak menyangka akhirnya kau menyuruhku menulis. Hal yang sama sekali tak pernah kau ketahui selama ini. Dan aku tak pernah menceritakannya kepadamu. Bagaimana mungkin, bagaimana bisa, bagaimana kau tahu kalau aku suka menulis. Bahkan aku tak pernah membuat surat cinta kepadamu. Selain surat-surat usang dengan isi yang singkat ......”Aku butuh uang”. Tapi dalam mimpi-mimpiku semuanya terjadi dengan begitu indah.

Aku mengingat-ngingat. Kedekatan kita dimulai sehari setelah kau jauh dariku, dari kami semua. Yah...sehari setelah itu. Saat aku hanya bisa melihat bayang-bayangmu berdiri di pintu dekat dapur rumah kita. Lalu aku berlari ke kamarmu, aku menangis tersedu di sana. Aku melihatmu, tapi aku tak bisa menyentuhmu.

Tak mampu aku mengingat semua kejadian yang memisahkan kita. Semuanya berlalu begitu cepat. Tanpa terduga. Bahkan tanpa salam perpisahan. Hanya kilatan matamu untuk terakhir kalinya yang hingga sekarang bermain dalam ingatanku. Tapi caraku mencintaimu memang begitu. Bukan aku tak ingin menangis ketika itu. Bukan karena aku takut kehilanganmu ketika itu. Tapi karena aku selalu berharap kau pulang dengan kilatan mata yang berbeda.

Aku terhenyak. Kau pulang dengan mata mengatup. Pun begitu aku tak menangis begitu keras. Aku menahan untuk tak meraung-raung. Aku tak lupa ingatan. Kain kafan itu...selamanya aku tak pernah lupa seperti apa bentuknya. Yang terfikirkan ketika itu adalah kita telah terpisah. Jarak yang jauh. Lintasan waktu yang tak bisa diprediksi. Tapi pelan-pelan kedekatan di antara kita mulai menghinggapi.

Juga pada mimpi di malam berikutnya. Kita begitu mesra. Kau mengajariku mengemudi dan kuartikan itu sebagai kerja keras yang harus kulakukan. Dan aku merasa lebih mencintaimu dari sebelumnya. Aku jadi mengerti betapa kau begitu luarbiasanya dalam kehidupanku. Kau adalah pahlawan yang tak pernah memintaku menjadi pahlawan berikutnya. Kau tak pernah memaksaku untuk menjadi orang hebat. Kau tak pernah memintaku menjadi sesuatu. Kau hanya bilang di bulan-bulan sebelumnya; aku mulai tak kuat lagi.

Padahal saat itu aku tahu kau masih gagah. Rupamu tak tunjukkan kau orang yang lemah. Kau tersenyum. Kau masih memanggilku Nyak. Aku masih ingat ketika kita duduk berdua di kursi bambu di teras rumah kita. Kau tanya kenapa cepat sekali pulang? Padahal aku tahu kau menginginkan aku segera datang. Tapi kau masih berpura-pura seolah-olah kau baik-baik saja ketika itu. aku tak bilang...kalau sepanjang perjalanan semalam aku menangis hingga subuh. Sebab bila kita telah berjumpa maka kata seolah tak berlaku lagi di antara kita.

Dan pada lebaran sebelum itu. Pertama kali aku mencium kakimu sepanjang sejarah kehidupanku. Dengan niat ketika itu akan kulakukan di tahun-tahun berikutnya. Tapi tahun-tahun berikutnya adalah kekosongan. Kehampaan tanpa sujud syukur kepadamu. Cara meminta ampun yang berbeda. Lebaran tahun-tahun setelah itu adalah kesepian sepanjang hari tanpa ada yang pernah menyuruhku menaruhkan sup untukmu.

Di saat-saat seperti ini aku begitu merindukanmu. Kau adalah penyelesai dari semua masalahku. Kau adalah pemberi rasa aman dalam kehidupanku. Kau adalah pahlawan yang telah menciptakan dunia untukku.

Ayah, panggil Nyak lagi untukku walaupun dalam mimpi.

22:51 pm

06 Mar. 10

Asyiknya curhat pada Lelaki Bukan Suamiku

Asyiknya curhat pada Lelaki Bukan Suamiku

Listrik padam. Tepat ketika azan magrib berkumandang. Suara takbir yang suci terputus. Selanjutnya hanya kesenyapan yang menyambut malam. Ciri khas Indonesia bagian barat selama beberapa minggu terakhir. Sebal bercampur kesal kadang-kadang datang silih berganti. Bagaimana tidak pekerjaan harus tertunda karenanya, belum lagi aktivitas-aktivitas remeh temeh yang tidak bisa dikerjakan karena terkendala dengan listrik. Rasanya ingin berteriak keras-keras Indonesia banget!!! Sering mati lampu!!!

Malas sendirian di rumah aku bertandang ke rumah tetangga. Aku mengetuk pintu. Tak ada sahutan. Kuuluk salam juga tak ada jawaban. Namun karena aku mengenal baik yang punya rumah ini aku langsung masuk. Kebetulan pintu depan juga tidak dikunci. Kupanggil sekali lagi, masih tak ada sahutan. Samar-samar terdengar orang berbicara dari dalam kamar. Ternyata ibu muda tersebut sedang berbicara dengan temannya melalui telepon. Akupun tak lagi memanggilnya.

Aku duduk di depan tv, tapi sayangnya listrik padam dan benda itu jadi tidak berfungsi. Sambil tiduran iseng kumainkan piano kecil milik anak si empunya rumah yang baru berumur setahun lebih tiga bulan. Ting tong ting...dentingnya begitu nyaring di tengah keremangan cahaya lilin. Lama aku sendiri. Sementara si pemilik rumah tidak keluar-keluar dari dalam kamarnya. Tetapi karena suaranya cukup besar, nyaris semua obrolannya dapat kudengar. Aku tak bermaksud menguping. Karena rumahnya terbilang sempit aku tak dapat menghindar untuk tidak mendengar percakapan selepas mangrib itu. dan aku yakin iapun tidak berniat menyembunyikannya dariku.

Dari caranya berbicara aku tahu kalau ia bukan berbicara dengan suaminya. Tuturnya lembut, suaranya riang dan tawanya lepas. Hal yang jarang sekali kudengar ketika ia berbicara dengan suaminya melalui media yang sama. Sebaliknya, setiap kali suami istri itu berbicara melalui telepon hanya sumpah serapah yang sering ke luar. Semua penghuni kebun binatang satu persatu ke luar dari mulut mereka. Kadang kata-kata yang lebih parah lagi dari itu juga kerap meluncur. Bila sudah begitu aku pura-pura tuli saja.

Namun di hati terbersit kemirisan dan tanda tanya besar mengenai sikap mereka yang tak saling menghargai. Kadang-kadang aku jadi aneh sendiri dengan pasangan suami isteri itu. tak pernah akur. Padahal usia pernikahan mereka baru seumur jagung. Anak juga baru satu.

“Di sini listrik mati.” Katanya pada lelaki di seberang sana. Manja. Aku tersenyum, dalam hati menjawab “iya di sini listrik mati. Ke luar dong, biar aku ada temennya. Nggak enak nih gelap-gelapan sendiri. Cuma ditemani lilin kecil.”

Entah apa yang dijawab lelaki itu. suaranya samar sekali. Tak jelas. “Mas...di sini tuh mati lampu...jangan ngomong yang macem-macem deh...udah tahu aku jablai.”

Glek! Aku kaget dengan jawaban yang diberikan oleh tetanggaku itu. dia tertawa nyaring. Seolah tak ada beban dengan kata ‘jablai’ yang barusaja diucapkannya. Padahal ‘jablai’ itu sendiri bukan hanya sekedar berarti ‘jarang dibelai’ tetapi juga bisa berarti perempuan nggak bener yang suka menjajakan diri kepada laki-laki hidung belang. Jablai sama dengan kesepian. Hm...aku tersenyum geli, persis seperti kucing yang kepedasan.

“Aku kan jablai...menunggu kedatangan suamiku yang nggak datang-datang.” Lanjutnya memberi penjelasan.

Hm...lagi-lagi aku ingin tertawa. Yang jelas bukan tawa senang, tapi tawa penuh kemirisan. Miris menyaksikan keadaannya yang seperti itu. miris melihatnya yang dapat bermanis-manis kata berbicara dengan laki-laki yang bukan suaminya. Tetapi ketika berbicara dengan suaminya justru sering marah-marah dan bertengkar.

Lelaki yang dipanggil ‘mas’ olehnya bernama Anang. Yang jelas bukan Anang mantan suaminya Krisdayanti. Anang berteman dengan suaminya juga. Mereka saling kenal. Tetapi pastilah suaminya tidak tahu kalau Lia banyak bercerita di belakang mereka.

Aku tak sepenuhnya menyalahkan Lia. Sebagai seorang istri ia menginginkan suaminya selalu ada 24 jam bersamanya. Mengasuh anak bersama. Menjalani hari-hari bersama. Melewati suka duka bersama. Semuanya.

Tapi dia...senang milik ia dan suaminya. Tetapi duka sering kali miliknya sendiri. Sah-sah saja bila ia kerap mencurahkan isi hatinya pada orang lain yang mau mengerti kondisinya. Ia ingin berbagi bukan hanya kesenangan tetapi juga tentang rasa sakit hati yang sering dipendamnya sendirian.

Walaupun tindakannya tidak dapat dibenarkan, setidaknya ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua. Seperti kata bang Napi, kejahatan terjadi bukan saja karena ada niat tetapi juga karena adanya kesempatan. Nah, kesempatan inilah yang tampaknya tidak ingin disia-siakan oleh Lia. Beberapa kali ia pernah ketahuan berselingkuh dengan lelaki lain tetapi Lia sepertinya belum jera. Ia masih senang bermain petak umpet dengan suaminya yang ada di luar kota.

“Kalau sudah tengah malam saya jarang bisa tidur...kenapa ya Mas?” katanya lagi dengan mimik serius. “Dulu tidak pernah begitu...saya sudah baca doa-doa dan surat pendek tetapi masih juga tidak bisa tidur.”

“Saya masak enak malam ini, kalau Mas Anang ada di sini pasti saya akan suruh mas untuk makan banyak. Nantilah kalau Mas Anang ke mari akan saya masakkan kepiting, tiram, ayam...”

Lia terus berbicara. Memang itu salah satu kelebihannya. Banyak bicara. Karena kelebihannya inilah aku sering merasa tak nyaman bila berlama-lama dengannya. Ia ingin semua pendapatnya dibenarkan, dan ini yang aku tidak sukai. Karena seringkali argumentasinya berseberangan dengan pendapatku. Tapi sebagai orang yang lebih tua dariku aku berusaha untuk menghormatinya dengan hanya mengangguk-ngangguk saja. Aku tahu ia sebal. Tapi itulah caraku menyelamatkan diri dari cerita panjang lebarnya. Terlepas dari itu, ia memang baik, tidak pelit dan baik hati.

Sembari berbicara ia kadang-kadang ia menjerit dari dalam kamarnya. Menyuruhku makan. Dengan agak malas kujawab “Iya”. Perutku masih kenyang. Di tambah listrik yang belum menyala sudah sejam lebih tentu saja selera makan jadi hilang.

“Terimakasih ya Mas, karena Mas sudah banyak membantu saya selama ini.” Lia menutup pembicaraan. Aku mulai ngantuk. Tapi untunglah lia segera ke luar. Ia kembali melanjutkan ceritanya. Dan aku hanya mengangguk-ngangguk.

23:42 pm

08 Mar. 10

Senin, 01 Maret 2010

My Dear

My Dear
Bilik hati
My dear...
Terimakasihku kepada Tuhan karena telah mengirimkan seseorang sepertimu dalam kehidupanku. Aku tahu kau bukanlah sosok yang sempurna, tapi kau telah menjadikanku begitu sempurna. Sempurna mencintaimu, sempurna menyangimu, sempurna mengasihimu, sempurna merinduimu. Seperti sesempurnanya malam dengan atau tanpa gemintang.
Seperti sempurnanya suaramu yang mampu leburkan emosi dan amarahku. Sama sempurnanya seperti kuatnya pelukanmu yang mampu halaukan semua gelisah dan resah dalam jiwaku. Di sanalah aku menemukan oase. Dalam sentuhanmu, dalam sapuan lembut jemarimu, dalam pelukanmu yang mendamaikan.
Aku merasa caramu menepis cemburuku adalah tawamu yang khas. Yang telah menjerat hati ini sejak bertahun-tahun yang lalu. Kau begitu berderai-derai, kau begitu sederhana, tapi kau tak mudah. Kau teka-teki bagi kehidupanku. Kau permainan catur yang memeras tenaga dan pikiran. Tapi kau juga puisi-puisi indah yang memabukkan dan membuatku melayang. Kau adalah bait-bait sakral yang penuh makna. Bagi kehidupanku, bagi keberlangsunganku. Namun begitu, aku tak mendewakanmu, sebab seperti katamu, yang pantas kita agungkan adalah Tuhan dan Rasul Nya. Untuk yang kesekian kalinya, kali inipun aku menyetujui perkataanmu.
Kau kekasih yang mengerti betul tentang arti persahabatan. Maka kita berdua adalah sahabat yang tak pernah terpisahkan sampai kapanpun. Sampai kulitku dan kulitmu mengeriput, sampai rambutku dan rambutmu memutih, sampai mataku dan matamu tak mampu lagi melihat. Tapi hati kita, selamanya akan mampu melihat, merasakan, dan mendengar perasaan jiwa kita.
Tuhan hanya menciptakan yang sepertimu satu di dunia ini. Begitu juga ketika hatiku memilih. Tak pernah terfikir lebih dari itu. karena aku hanya menginginkan senyummu, karena hanya senyummu yang mampu sembuhkan luka, karena hanya luka yang mampu membuatku mengerti betapa senyummu begitu berarti dalam hidupku.
Sebab cinta tak pernah memilih dan memilah. Perbedaan kebudayaan, latar belakang yang tak sama, warna kulit yang berbeda, bahasa, usia... semuanya melintasi ruang dan waktu. Dan itu, bukan alasan untuk menggugat. Sebab cinta adalah cinta. Yang tak pernah lahir kebecian setelahnya, yang tak pernah tumbuhkan dendam setelahnya, yang tak pernah telurkan permusuhan. Sebab cinta adalah keikhlasan, penerimaan tanpa syarat, ketulusan tanpa cacat.
Maka cukuplah Tuhan yang tahu seperti apa gemuruhnya, setinggi apa gelombangnya, dan sekuat apa geletarnya. Hatiku tak akan pecah karenanya, jantungku tak akan berhenti karenanya. Sebab hakikat cinta adalah memberi kehidupan, bukan kematian. Dan aku, tak ingin mati atas nama cinta. Aku ingin hidup untuk cinta. Untukmu...
Lalu adalah kamu setelah itu. tak ada kebohongan tentang suatu apapun. Sejak bertahun-tahun yang lalu, bahkan sejak pertama kali mengatakan aku mencintaimu. Sejak pertama kali aku memintamu menjadi kekasihku. Adalah untuk selamanya kekasih. Sejak pertama kali aku mencemburuimu. Di hadapanmu, aku ingin menjadi istimewa dengan keterus-terangan.
Kesalahan dalam hidup adalah hal yang biasa. Tapi hati dan jiwa yang tulus tak pernah melakukannya. Sekalipun di saat dan waktu yang tidak tepat. Sekalipun ingin menjadikannya berbeda. Dan itu artinya tak pernah ada penyesalan. Karena telah memilihmu. Aku hanya ingin memberi tahu untuk yang kesekian kalinya bahwa aku benar-benar bahagia denganmu.
Bertengkar denganmu, adalah saat-saat mendebarkan sekaligus menyenangkan, karena di sanalah kita mendapatkan bentuk lain kepedulian. Saling mengingatkan, saling memberi tahu dengan bahasa yang berbeda. Bahwa sebenarnya kita saling menginginkan yang terbaik untuk sesuatu yang tak ingin kita akhiri.
Pertengkaran kita pertengkaran istimewa, tak ada sumpah serapah, tak ada suara melengking, tak ada yang saling mendominasi. Pertengkaran kita adalah pembelajaran untuk saling menghormati, saling menghargai, saling memberi hak dan kewajiban. Pertengkaran kita jalan menuju dewasa. Dan orang dewasa, seperti katamu selalu melihat kebaikan dari hal-hal buruk sekalipun. Pertengkaran kita mengajarkan kita menjadi bijaksana, tepatnya aku.
Dan, terima saja bila aku sering-sering bilang terimakasih karena kau telah mencintaiku dengan cara sederhana tapi tak mudah. Rumit, namun begitu aplikatif. Karena beginilah caraku mencintaimu; mengedipkan sebelah mata untukmu.
Yours
Ihan
00:00
01 Mar. 10

Dendam *

Dendam *

Dendam

Oleh: Ihan Sunrise

Ini tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku begitu tak bersemangat untuk pulang ke kampung halaman. Mobil L-300 yang kutumpangi terasa terbang seperti angin. Melesat dengan kecepatan di luar batas maksimal. Aku berharap mobil ini berjalan layaknya seperti siput, supaya aku tak pernah sampai ke kampung. Tapi tiap kali aku membuka mata yang ada hanya jarak yang semakin dekat dengan kampung halamanku.

Jalan-jalannya begitu kukenal. Tak asing. Masih seperti dulu. Kota-kota yang terlewati tak banyak perubahan yang berarti. Toko-toko yang berdiri masih dengan cat yang sama seperti dua tahun yang lalu. Saat aku terakhir kali pulang ke kampung. Pohon-pohon besar di pinggir jalan tak ada yang bertambah.

Semakin dekat dengan kampung halaman hatiku semakin resah. Pikiranku dirundung kemarahan yang luar biasa. Benci dan rindu saling berkelindan dalam benak.

Dua tahun bukanlah waktu yang lama. Tapi juga bukan waktu yang pendek bagi seorang ibu yang tak melihat anak gadisnya. Tentu ada rasa khawatir dan cemas meski berkali-kali aku bilang bahwa aku baik-baik saja. Dan Mak sepertinya tak pernah percaya kepadaku.

Tapi kali ini, aku benar-benar tak bisa mengelak lagi untuk tak pulang ke rumah. Alasanku sudah habis. Sebenarnya, aku tak tega mendengar tangisan Mak ketika meneleponku minggu kemarin.

“Pulanglah sebentar saja.” Kata Mak dengan suara pelan.

Aku lama tak menjawab. Sibuk dengan pikiranku sendiri. Pulang. Memang aku ingin sekali pulang. Rindu pada rumah yang sudah dibuatkan almarhum ayah kepada kami semua. Tapi...hatiku masih berat sekarang.

“Aku tidak mau pulang selama lelaki itu masih ada di rumah” Jawabku dingin.

Tangis Mak pecah. Ia terisak-isak. Aku juga. Tapi kutahan agar tangisanku tidak terdengar oleh Mak. Aku tak berniat menyakiti hatinya. Tapi luka hatiku tak pernah ada yang mau peduli.

“Karena kamu anak Mak, Makanya Mak selalu memintamu untuk pulang. Kalaupun kamu tidak mau pulang ke rumah, tapi pulanglah untuk ayahmu. Ziarahi kuburannya. Doakan dia.”

“Mak, aku selalu mendoakan ayah. Setiap malam jumat aku selalu membaca yasin untuknya. Bukan berarti kalau aku tak pernah pulang aku melupakan ayah. Ayah selalu di hatiku, Mak.” Potongku cepat. “Yang melupakan ayah Mak, bukan aku.” Sergahku lagi.

Setelah itu tak ada lagi percakapan. Mak memutuskan teleponnya. Dan aku meneruskan tangisku yang tertahan. Aku takut menjadi anak durhaka. Tapi aku juga punya hak untuk menyatakan keberatanku. Namun aku kepayahan mengutarakannya dengan sikap yang benar.

Maka, bila hari ini aku memutuskan untuk pulang bukan karena aku telah berdamai dengan keadaan. Tapi semata-mata hanya untuk memenuhi permintaan Mak untuk berziarah ke kuburan almarhum ayah.

***

Kota kecil ini belum berubah. Keramaiannya masih sama seperti dua tahun yang lalu. Hanya kesemrawutan saja yang tampaknya kian bertambah. Tukang ojeg yang mangkal di setiap persimpangan dengan berbagai jurusan. Kios buah yang bertebaran di pinggir jalan. Dan pedagang-pedagang Makanan lainnya yang menyesaki lorong-lorong bahkan hingga ke badan jalan. Pemandangan khas kota kecil.

Aku mengamati sekeliling. Terbayang ketika terakhir kali ayah mengantarku di terminal kota ini. Beberapa tahun yang lalu. Ia tampak begitu gagah dengan celana kain dan jaket kulit hitamnya. Walaupun ketika itu beliau sedang sakit. Air mataku menitik dan cepat-cepat kuhapus. “Desa Matang Sarah” kataku pada seorang tukang ojeg.

Aku tak langsung masuk begitu sampai di rumah. Pandanganku mengitari seluruh bangunan rumah. Banyak yang telah berubah dari rumah peninggalan ayah selama dua tahun terakhir ini. Rumah ini sudah berteras sekarang. Depannya sudah di plester dan seluruh bangunan rumah sudah di cat warna abu-abu. Begitu juga dengan pagar sekelilingnya. Walaupun hanya terbuat dari kayu tapi tampak rapi dan terartur.

Namun hati kecilku menolak semua perubahan ini. Bagiku ini sama saja dengan menghapus semua kenangan tentang ayah. Dan tiba-tiba saja amarah menguap dalam rongga dadaku. Napasku naik turun mengingat semua itu. Bersamaan dengan itu Mak muncul dari dalam. Ia tampak rapi dengan blus warna krem dan rok coklatya.

Tak seperti biasanya memang. Aku tak langsung memeluk Mak. Sebaliknya aku malah diam mematung menatapnya dengan perasaan yang sukar kuterjemahkan. Mak menyapaku dan tampak sangat terkejut dengan kedatanganku. Serta merta ia merengkuhku dalam pelukannya dan menangis tersedu-sedu. Aku memang tak bilang kalau akan pulang.

Mak mengajakku masuk ke dalam. Tasku diambil dan dimasukkan ke kamar tengah. Aku masih diam. Larut dalam percampuran perasaan yang aneh. Aku merasa asing dengan rumahku sendiri. Namun tiba-tiba aku tertohok pada sebuah pandangan mengejutkan. Foto ayah sudah tidak ada lagi di dinding ruang keluarga.

“Siapa yang berani memindahkan foto ayah di situ.” Tanyaku dingin begitu Mak keluar.

Mak tampak gelagapan dengan pertanyaanku yang tiba-tiba.

“Ada. Mak simpan.” Jawab Mak pelan.

Entah mengapa seperti ada jarak antara aku dan Mak. Hal yang tidak pernah terjadi dalam hidup kami. Seperti ada rasa enggan untuk memulai percakapan dengannya. Beku.

“Begitu cepatnya Mak melupakan ayah.” Tukasku.

“Mak tidak melupakan ayahmu Nak...” Mak mulai menangis. Aku jadi serba salah. Mataku mencari-cari di mana gerangan sosok lelaki yang telah bergelar menjadi suami kedua bagi Mak.

“Tidak meluapakan bagaimana?”

“Nak...”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan Mak. Saya pulang bukan untuk meminta penjelasan Mak tentang laki-laki itu. Itu hak Mak untuk menikah lagi. Tapi saya kecewa dengan Mak, seperti tidak ada laki-laki lain saja yang lebih terhormat dari dia.”

Aku melangkah masuk ke kamar. Kukunci pintu dan bersandar di belakangnya. Terbayang kejadian dua tahun lalu. Ketika Mak meneleponku dan meminta ijin untuk menikah lagi. Aku tak pernah bilang iya tidak juga pernah mengatakan tidak. Aku hanya diam sepanjang Mak berbicara. Namun hatiku sebagai anak ketika itu seperti dirobek-robek.

“Mak sudah berusaha menghindari dia, tapi dia terus menerus meminta Mak. Sudah tiga kali Mak tolak. Bila Mak tolak lagi Mak takut terjadi apa-apa nanti.” Kata Mak siang itu.

Aku masih diam.

“Kamu masih terlalu muda untuk bisa mengerti perasaan Mak. Dengan Mak menikah lagi bukan berarti Mak mengkhianati ayah kalian. Cinta Mak tetap untuk dia, dan sampai kapanpun tidak akan tergantikan di hati Mak.”

“Ya, aku memang tidak mengerti apa-apa” jawabku dalam hati.

“Mak hanya minta restu dari anak-anak Mak, karena nantinya dia akan jadi ayah bagi kalian semua.”

Setelah itu aku tak mendengar apa-apa lagi. Duniaku benar-benar menjadi gelap seketika. Tulang-belulangku melemas bahkan untuk menjawab tidak sekalipun aku tak berkuasa.

Minggu depannya aku mendengar kabar Mak telah menikah dengan lelaki itu. Dan sejak itu aku memutuskan untuk enggan pulang ke rumah.

***

Sayup-sayup kudengar suara lelaki. Suaranya begitu khas. Ia sedang berbicara dengan Mak. Dan kudengar namaku disebut-sebut. Kusapu airmataku. Aku mengintip dari lubang pintu.

Lelaki itu terlihat begitu gagah dengan seragam dinasnya yang coklat tua. Tepatnya terlihat arogan. Di lengan sebelah kirinya ada simbol-simbol pangkat yang tidak kupahami. Dipinggangnya terselip sepucuk senjata mungil dengan beberapa butir peluru. Sepatunya mengkilat. Rambutnya tersisir rapi. Ia terlihat muda. Dengan posturnya yang seperti itu aku yakin banyak perempuan yang menyukainya. Dan ia bisa memilih siapa saja asal bukan Makku.

Masih banyak perempuan muda lainnya yang menyukainya dan lebih pantas dengannya. Tetapi mengapa Makku yang dipilih lelaki keparat itu. Aku tak sudi memanggilnya ayah. Jangankan ayah, pakcik, paman atau abang pun aku tak sudi memanggilnya. Ia tak pantas jadi ayahku.

Air mataku kembali jatuh. Pikiranku dipenuhi oleh bayang-bayang ayahku. Senyumannya, tatapan matanya, kata-katanya memenuhi benakku. Pandanganku mengabur. Aku tak kuat lagi menahan kebencianku pada lelaki itu. Melihatnya berbicara dengan Makku seperti duduk di atas bara rasanya. Memaksaku untuk berontak dan bangkit.

Berdirilah aku di hadapannya. Dengan wajah penuh amarah dan tatap mata penuh kebencian. Aku ingin mengenyahkannya jauh-jauh dari rumah ini. Gara-gara kehadirannya ayah tak lagi pernah muncul dalam mimpi-mimpiku selama dua tahun ini. Gara-gara dia adik-adikku tak lagi mau pulang ke rumah ini dan kami tak pernah lagi bertemu sejak itu. Gara-gara dia Mak jadi terkucil di keluarga. Gara-gara dia...aku tak dapat menziarahi kubur ayahku karena aku enggan pulang ke kampung halaman. Gara-gara dia aku jadi membenci Mak. Gara-gara dia...

Brakk!!! Aku mendorongnya. Bersamaan dengan suara letusan yang membuatnya tersungkur. Ada genangan darah yang mengalir di lantai. Ia terlihat mengejang sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mak menjerit ketakutan.

***

Aku tak pernah membunuhnya. Ia mati dengan senjatanya sendiri. Bagiku itu adalah hukuman atas sikapnya yang telah berani mencintai Makku. Walaupun untuk itu aku harus mendekam di penjara sebagai tebusannya. Aku bahagia. Aku bahagia!(*)

24 februari 2010


* Cerpen ini sudah pernah dimuat di Koran Harian Aceh, edisi Ahad, 28 Februari 2010