Rabu, 18 Maret 2015

Senja Jatuh

ilustrasi

Senja baru saja jatuh dan waktu menelannya perlahan. Di muka jendela, aku duduk sambil menatap julurnya yang perlahan menghilang. Lautan di seberang pucuk cemara telah mengulumnya.

Tiba-tiba saja aku terjebak pada perasaan melankolia yang entah. Ingatanku melayang jauh, padamu tentu saja. Kita pernah menghabiskan senja bersama bukan? Walau tanpa diiringi bilur-bilur merah jingga yang membusungkan dada jelang waktu memeluknya.

Sedang apa kau Cinta?

Pasti di sana matahari masih begitu sombongnya memancarkan cahayanya yang tanpa ampun. Atau angin sedang bertiup pecicilan dan menerbangkan debu-debu yang kering. Membentuk badai gurun dan membuat wajahmu memerah atau matamu perih.

Aku masih ingin sendiri. Membiarkan badai di hatiku mereda dengan sendirinya.[] 

Selasa, 17 Maret 2015

Si Ratu Buah


BIBIT-bibit pohon manggis itu disemai di polybag. Jumlahnya ratusan batang dengan rentang usia enam sampai delapan bulan. Tinggi batang pohonnya berkisar antara dua puluh sampai tiga puluh sentimeter. Di tempat usaha pembibitan CV Prima Flora itu bibit pohon manggis siap dijual bersama ratusan jenis bibit tanaman lainnya.
Salah seorang pekerja, Rizki Satria, mengatakan peminat pohon manggis di Aceh mulai tinggi, tetapi pada umumnya ditanam dengan pola tumpang sari bersama tanaman lainnya.

Selain itu kata Rizki, pertumbuhan manggis sangat lamban. Saya memperhatikan ‘bayi’ manggis asuhan Rizki, meski usianya ada yang hampir setahun, ketinggiannya belum mencapai setengah meter. Tiap batang mempunyai daun tidak lebih dari sepuluh helai.

Buah tropik itu katanya memerlukan waktu minimal enam tahun untuk berbuah. Literatur lain menyebutkan sekitar 10-15 tahun. Di tempat itu budidaya manggis dilakukan secara generatif.

“Manggis susah dicangkok karena memiliki getah seperti nangka. Bibit-bibit manggis di sini kami peroleh dari para petani manggis di Aceh. Ada juga yang kami pasok dari Medan,” ujarnya, saat saya datang ke lokasi pembibitan di Gampông Santan, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar pertengahan Januari lalu. Namun bibit yang dipasok dari provinsi tetangga itu umumnya sudah berupa pohon.

Semerbak Seulanga


SORE masih bergayut mendung ketika saya mengunjungi Taman Hutan Kota awal Desember lalu. Hujan baru saja reda. Bercak-bercak air masih tersisa di jembatan kayu yang berfungsi sebagai jalan masuk utama. Kedatangan saya ke taman itu seolah disambut barisan aneka pepohonan dan bunga-bunga yang berwarna-warni.

Lima belas langkah menyusuri jembatan, pandangan saya tertuju pada tanaman perdu yang ditanam di sebelah kiri saya. Tingginya sekitar satu meter dan ditanam di drum minyak bekas. Dari jarak beberapa langkah semerbak aroma menguar dari perdu itu. Saya mendekat, lantas melekatkan hidung pada salah satu tangkai bunganya. Hm… semerbak.

Kenanga. Itulah nama yang disematkan kepada bunga yang mempesona ini. Dalam bahasa Aceh bunga bernama latin Cananga Odorata itu disebut Seulanga. Wanginya tak hanya semerbak, tapi juga eksotis. Barangkali inilah yang menginspirasi perusahaan multinasional asal negeri Napoleon Bonaparte Chanel No. 5 memilih Seulanga sebagai salah satu ingredient-nya.

Ada perbedaan mencolok antara Seulanga muda dan yang tua. Yang muda berwarna hijau, sama dengan warna daunnya, sementara Seulanga yang tua terlihat kekuningan.

Titik Balik Aida MA Jadi Penulis

Aida MA @istimewa

Kata ini memiliki arti yang besar bagi seorang Aida Maslamah, atau yang dikenal dengan nama pena Aida MA. Seperti kata Orhan Pamuk; I Write because I have never managed to be happy. I write to be happy. Aida pun menemukan momentum yang menjadi titik balik yang membuatnya terjun ke dunia menulis.

Sebagai seorang introvert, Aida sulit mengungkapkan banyak hal dengan lisannya. Terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan kesedihan. Tak kehabisan akal, ia menuangkan semua yang mengganjal hatinya menjadi tulisan-tulisan yang panjang. Begitulah caranya melepaskan energi negatif dari dalam dirinya.

“Momentum itu justru muncul, saat saya mengalami perubahan hormon yang sangat signifikan. Ketika saya melahirkan anak pertama, saya mengalami kondisi baby blues semacam post partus syndrome, kelelahan demi kelelahan itulah yang saya tuliskan dalam sebuah tulisan. Alhamdulillah dengan menuliskannya saya lebih tenang dan menikmati setiap prosesnya. Sejak itu saya memutuskan menjadi penulis,” ujarnya kepada The Atjeh Post.

Fathun; Aktivis Muda Visioner

Muhammad Fathun @istimewa

DI TENGAH kesibukannya mempersiapkan skripsi, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala ini mendapatkan kesempatan yang luar biasa. Pada 28-30 Agustus 2014 mendatang, Fathun akan mewakili Indonesia di Global Forum of the United Nations Alliance of Civilization (UNAOC) di Bali. Ini merupakan kali pertama forum tersebut dibuat di Asia Pasifik, dan Indonesia mendapat kesempatan sebagai tuan rumah.

“Dari dulu sudah punya keinginan untuk mengikuti sebuah konferensi yang dibuat oleh PBB, dan Alhamdulillah ini kesempatan yang luar biasa,” kata Fathun saat berbincang-bincang dengan The Atjeh Times, Sabtu pekan lalu.
Untuk lolos ke forum ini Fathun harus bersaing dengan tiga ribuan aplikasi yang dikirimkan anak muda dari seluruh dunia. Ia mengaku menghabiskan waktu sampai sebulan untuk mempersiapkan aplikasinya sebelum dikirim. Hasilnya tak sia-sia, bersama dua pemuda Aceh lainnya Fathun dinyatakan lolos bersama seratus pemuda di seluruh dunia untuk mengikuti acara itu.

Acara itu sendiri langsung dihadiri oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon, Presiden SBY dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Bukan hanya istimewa, dengan mengikuti pertemuan ini Fathun berharap bisa menyerap banyak informasi yang bisa diterapkan dalam membangun Aceh sesuai dengan kapasitasnya sebagai anak muda.

Cerita Mantan Teller yang Sukses Jadi 'Teler'

Ferhat Muchtar @facebook


Pernah bekerja sebagai teller bank selama tiga tahun, cukup membuat Ferhat Muchtar punya ‘modal’ untuk menghasilkan karya. Dalam kurun waktu tersebut ia berhasil menelurkan 17 cerita berdasarkan pengalamannya bekerja di bank.

Cerita-cerita itu bisa dibaca di buku Teller Sampai Teler (TST) yang diterbitkan Elexmedia belum lama ini. Awalnya catatan-catatan itu ditulis untuk seru-seruan saja di blog pribadinya. Sekaligus untuk rekam jejak sebelum akhirnya memutuskan resign pada 2013 lalu.

Di luar dugaan, sambutan pembaca blognya sangat bagus. Selain banyak yang suka dengan cerita-cerita lucu dan konyolnya, banyak juga yang mengusulkan agar kumpulan tulisan itu diterbitkan saja.

“Jadi semangatlah aku lengkapi semua sampai beberapa cerita, ketika sudah cukup kuberanikan diri untuk kirim ke penerbit,” kata  Ferhat kepada ATJEHPOST.co kemarin, Senin 13 Oktober 2014.

Jalannya untuk menelurkan buku tak mulus seperti yang diharapkannya. Meski seluruh naskah sudah terkumpul, dua penerbit pernah menolak hasil kreatifitasnya. Tak putus asa, ia kembali mengirim ke penerbit ketiga dan akhirnya lolos.
“Aku yakin setiap naskah selalu punya jodoh dengan penerbit. Alhamdulillah keyakinan itu betul-betul terwujud. Allah ganti dengan yang lebih baik, penerbit yang ketiga ini termasuk jaringan penerbit terbesar di Indonesia. Awalnya sama sekali enggak kusangka akan menerima naskahku,” kata alumni Fakultas Ekonomi Unsyiah ini.

Rabu, 11 Maret 2015

Era dan Fathur; Duta Wisata Banda Aceh 2014

Zahratul Fajri dan Fathur Maulana @Heri Juanda

SENYUMNYA mengembang. Dari ja-rak beberapa meter saya melihat sorot matanya yang berbinar. Berbalut longdress ungu motif bunga-bunga, dipadu kerudung polos warna senada, kesan feminim begitu kental dalam dirinya.

Gadis yang ada di depan saya itu adalah Inong Banda Aceh 2014. Namanya Zahratul Fajri, akrab disapa Era. Orangnya supel dan mudah bergaul, itulah kesan yang saya dapatkan setelah dua kali bertatap muka dengannya. Petang Senin, 31 Maret lalu saya dan Era berjanji bertemu di tempat wisata favoritnya, Kapal Apung.

Sesaat kemudian kami segera memasuki pintu gerbang dan menyusuri jembatan tajuk di sisi sebelah kiri, berdekatan dengan lokasi Taman Edukasi. Bagi gadis yang dinobatkan sebagai Inong Banda Aceh (Duta Wisata) pada 22 Maret 2014 lalu ini, objek wisata tsunami Kapal Apung sangatlah istimewa.

“Ini salah satu bukti bahwa bencana tsunami yang pernah melanda Aceh, khususnya Banda Aceh sangat dahsyat,” katanya.

Dawai Biola Menyayat Emperan Dewan

Icha, Jamal dan Donny @dok ATJEHPOST.co


MENENTENG biola, gadis kecil itu melangkah percaya diri menuju fondasi tiang bendera di tengah halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Banda Aceh. Dua pria dewasa mengiringi: Jamal Abdullah ayah gadis kecil itu dan Donny Arief musisi Aceh.

Mereka membentuk formasi di atas fondasi. Laksana berada di atas panggung berhias bunga asoka yang memang sudah tumbuh di sana, si kecil Aisyah Suha Nabilah berdiri menyandarkan biola di bahunya. Di kirinya, Jamal duduk berdampingan dengan Donny yang memegang gitar.

Tak lama kemudian, gadis kecil yang biasa disapa Icha itu mulai menggesek dawai biolanya. Perlahan-lahan lengkingannya seakan menyayat hati. Ditingkahi petikan gitar Donny serta suara merdu Jamal yang syahdu menyanyikan lagu “Nazam”, lalu bersambut tepukan tangan penonton.

“Deungon bismillah awai lôn peuphôn, lôn lakèe ampôn seugala desya, lôn lakèe ampôn bak Tuhan sidroe, yang peujeut asoe langèt ngon dônya, neupeujeut uroe lawan ngon malam, neupeujeut Adam ngon Siti Hawa…” Jamal terus berdendang.

Citra Rahman; Backpacker yang Doyan Camping Sendirian

Citra Rahman @ihansunrise.blogspot.com

Memakai sweater lengan panjang dipadu celana jeans biru, pria muda itu duduk di antara pembicara dan peserta Bincang Blogger yang dibuat oleh salah satu komunitas blogger di Aceh beberapa pekan lalu.

Namanya Citra Rahman. Di kalangan teman-teman dekatnya pria berkulit cokelat ini biasa dipanggil Citra. Perawakannya kecil, namun memiliki postur atletis karena ia gemar berolahraga.

Begitu namanya dipanggil, microphone lantas berpindah tangan. Ya, Sabtu, 29 Maret lalu Citra Rahman menjadi salah satu pembicara di acara itu. Ia sengaja diundang untuk menginspirasi sejumlah anak muda mengenai ketertarikannya di dunia traveling dan literasi.

Backpacker Cilet Cilet. Itulah julukan yang ditabalkan untuk dirinya. Nama backpacker merujuk pada hobi jalan-jalannya. Sedangkan cilet-cilet yang berarti ‘asal-asalan’, menurutnya karena ia bukan termasuk seorang backpacker 'sejati'.

Obsesi Gadis Pemetik Biola

Nada Zaiyyana Haula @dok ATJEHPOST/Heri Juanda

“Nada ingin sekali bisa tampil di depan Gubernur Aceh,” kata Nada Zaiyyana Haula, gadis remaja berusia 14 tahun yang pandai memainkan biola itu. Keinginan itu adalah hal yang memungkinkan bagi Nada.

Bukan tak mungkin suatu saat ia bisa memainkan biolanya di depan Gubernur Aceh sebab beberapa waktu lalu gesekan biolanya telah menarik perhatian Wakil Wali Kota Banda Aceh, Illiza. Saat itu Nada dan teman-temannya di El Hakim Band sedang tampil. Illiza yang menghadiri kegiatan itu tiba-tiba meminta mikrofon dan langsung naik ke panggung untuk bernyanyi bersama mereka. “Rasanya senang sekali bisa satu panggung dengan Bu Illiza. Kami sangat senang dan bersemangat waktu itu,” kata Nada, kepada The Atjeh Times, Senin pekan lalu.

Gesekan biola Nada ketika mengiringi lagu When I See Your Smile di acara seni lintas kebudayaan Thirsty Mic beberapa waktu lalu, juga mampu menarik perhatian penonton. Tak hanya pandai memainkan senar biolanya, Nada juga mampu menyatu dengan alunan musik yang diciptakannya. Setiap usai tampil, remaja kelahiran Banda Aceh, 29 Maret 1999 ini selalu menemukan semangat baru untuk mempelajari alat musik itu.

Minggu, 01 Maret 2015

Wahai Mendung

Ilustrasi cahaya yang muncul di balik mendung @panoramio

Wahai mendung, 
Tidakkah kau punya keinginan, sekali saja dalam hidupmu untuk menanyaiku; apakah aku berharap hujan turun?
Selama ini aku hanya mengenal embun, yang selalu hadir di ujung malam
Mengapa kau begitu sombong, dan selalu angkuh dengan dada membusung, bahwa di dalamnya kau simpan berjuta-juta benih yang kau sebut bayi hujan
Kau mengenalkan aku pada suara gemuruhmu yang menakutkan, dan perlahan aku belajar mengikuti harmoninya
Kau mengajarkan aku pada badai, yang kau sebut sebagai satu-satunya cara untuk melahirkan hujan
Kau mengenalkan aku pada petir, yang kau sebut sebagai puncak rasa
Lalu di mana hujan yang kau ceritakan itu?
Jika kaupun tak pernah yakin kalau hujan itu ada, mengapa tidak kau kirim terik yang membuatku mati seketika

Minggu dini hari, 1 Maret 2015