Selasa, 04 Juli 2023

Agar Rumoh Geudong Tak Jadi Dongeng


 

RUMOH  GEUDONG adalah rumah milik seorang uleebalang (hulubalang) yang berdiri sejak tahun 1818 di Gampong Bili Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Pidie. Rumah ini kemudian menjadi begitu lekat di ingatan masyarakat Aceh karena fungsinya di masa Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah.  

Dalam rentang operasi tersebut sejak ‘89—‘98, rumoh geudong yang telah lama kosong dijadikan pos militer tanpa sepengetahuan pemiliknya. Dari sinilah semua bermula. Rumah yang menjadi salah satu Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) di Aceh itu akhirnya berubah menjadi “sarang maut”.  

Seperempat abad kemudian, negara melalui pernyataan Presiden Jokowi pada Rabu, 11 Januari 2023, mengakui bahwa peristiwa rumoh geudong merupakan satu dari tiga peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh yang masuk 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia. Dua lainnya, yakni peristiwa Simpang KKA (1999) di Aceh Utara dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh Selatan (2003).    

Enam bulan setelah pengakuan tersebut, nama rumoh geudong kembali menjadi “buah bibir”. Kali ini bukan karena fungsinya, melainkan karena dia akan “diantar” ke peristirahatan terakhirnya nun di negeri dongeng. Sebagai gantinya, di atas tanah itu nantinya akan dibangun masjid. Sebuah bangunan yang ketika kita berada di dalamnya, maka kita akan lupa pada semua dendam dan beban hidup. Seiring dengan itu, perlahan-lahan ingatan kita tentang rumoh geudong pun memudar dengan sendirinya.  

Saya di depan prasasti rumoh geudong di Gampong Bili Aroen, Kec. Geulumpang Tiga, Kab. Pidie pada 20 Agustus 2020.


Sejarah kelam rumoh geudong sebagian besar sudah lama menjadi abu sejak masyarakat membakar rumah tersebut pada tahun ‘98. Namun, mereka punya alasan. Yarmen Dinamika—Wartawan Serambi Indonesia—sebagai saksi hidup yang sempat menyaksikan bara api terakhir di rumoh geudong bersama rekannya, Risman A. Rachman, mengatakan, pembakaran tersebut merupakan usaha masyarakat untuk mencegah kembali terjadinya penyiksaan di rumoh geudong.    

Dalam diskusi Nestapa Duka Rumoh Geudong yang diselenggarakan Forum Komunikasi Generasi Muda Pidie (Fokusgampi) pada Sabtu malam (24/6/2023), Yarmen memutar ulang ingatannya 25 tahun silam. Suatu hari di bulan Agustus 1998, Biro Serambi Indonesia di Sigli mendapat telepon dari seorang pria. Telepon itu dijawab oleh Yarmen yang ketika itu baru tiba di biro tersebut karena ketinggalan rombongan Baharuddin Lopa yang hendak melakukan investigasi ke rumoh geudong.   

Penelepon itu sebenarnya  mencari Nona, wartawati  Serambi di Sigli, tetapi Nona sudah berangkat dengan rombongan Baharuddin Lopa. Yarmen pun memperkenalkan dirinya sebagai wartawan Serambi. Kemudian si penelepon memberi tahu kalau  mereka akan  membakar rumoh geudong. “Kalau Abang mau melihat, datang sekarang! Kalau tidak, tetap akan kami bakar,” cerita Yarmen di hadapan puluhan anak muda yang mengikuti diskusi malam itu.    

Yarmen sejenak ragu dengan informasi tersebut. Namun, setelah diskusi singkat dengan Risman, mereka memutuskan untuk menyewa labi-labi (angkot) dan segera pergi ke Bili Aron. “Begitu kami sampai di simpang itu, sudah terlihat api yang membara. Ketika tiba di lokasi, yang tersisa hanya beranda depan dan langsung saya potret dengan kamera poket,” ujar Yarmen.  

Sebulan sebelum  Baharuddin Lopa ke sana, sudah lebih dulu berkunjung Hari Sabarno yang pada tahun ‘97—’99 menjadi Ketua Fraksi ABRI MPR/DPR RI. Sebelum kunjungan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) itu, semua tahanan di rumoh geudong diungsikan sementara dan rumah tersebut dipoles sedemikian rupa untuk menghilangkan jejak kejahatan HAM. Namun, setelah kunjungan usai, para tahanan kembali dibawa ke rumoh geudong dan penyiksaan pun kembali berlanjut.    

“Jadi, ketika Hari Sabarno datang ke sana, tidak ada tahanan di rumoh geudong sehingga terkesan apa yang disampaikan pegiat HAM atau jurnalis itu bohong. Masyarakat di situ sudah tahu, kalau pejabat datang, maka tahanan diungsikan. Atas dasar itulah  masyarakat  melakukan tindakan yang di luar perkiraan semua orang. Maka setelah kunjungan Baharuddin Lopa ke rumoh geudong, rumah itu dibakar supaya para tahanan tidak dibawa kembali ke rumoh geudong. Mereka sudah belajar dari pengalaman kunjungan Hari Sabarno,” kata salah satu penulis buku Aceh Bersimbah Darah  itu.  

Selain Yarmen, diskusi itu juga mendaulat Munawar Liza Zainal (juru runding GAM), Cut Asmaul  Husna (aktivis perempuan asal Pidie), Masthur Yahya (Ketua KKR Aceh), dan Azharul Husna (Koordinator KontraS Aceh) sebagai pembicara. Semua pembicara sepakat bahwa peristiwa rumoh geudong merupakan peristiwa sejarah yang tak boleh dilupakan, apalagi dimusnahkan. Kalaupun ingin dibangun sesuatu di atasnya, maka yang tepat adalah museum untuk merawat seluruh ingatan tentang apa yang pernah terjadi di sana. “Situs inilah yang kelak menjadi bukti bagi generasi selanjutnya bahwa ini bukan dongeng,” kata Cut Asmaul Husna.  

Munawar Liza Zainal yang pernah menjadi wali Kota Sabang mengatakan, menghilangkan situs-situs konflik dengan dalih menghilangkan dendam merupakan penghinaan terhadap nalar manusia. 

“Bisa tidak seseorang yang diperkosa atau dibunuh ayahnya disuruh lupakan saja, tidak boleh itu dalam kemanusiaan!” imbuhnya. 

Dalam  hal ini, menurutnya, pemerintah perlu belajar dari negara-negara lain bagaimana cara merawat ingatan mereka tentang sejarah kelam, seperti Jerman atau Kamboja. Melalui situs-situs yang masih terpelihara sampai sekarang, negara-negara itu telah mengajarkan kepada dunia tentang peristiwa dan model-model kekerasan/penyiksaan terhadap manusia yang pernah ada dengan tujuan tidak terulang lagi, baik di negara mereka atau di tempat lain.  

Demikian juga harapannya dengan rumoh geudong. Apalagi, meskipun rumoh geudong secara administratif berada di Kabupaten Pidie, tetapi sejatinya “kenangan” itu adalah milik rakyat Aceh, Indonesia, bahkan masyarakat dunia.  

“Rumoh geudong ini bisa jadi tempat bagi dunia untuk belajar bahwa di Aceh pernah terjadi kekerasan yang tidak masuk akal. Kekerasan yang tidak boleh dilakukan oleh negara dan itu melanggar hukum negara. Tetapi mengapa ada yang ingin menutup ini, padahal negara sudah mengakui itu?” kata Munawar Liza.  

Tampak sisa-sisa bangunan rumoh geudong di lahan yang kini sudah dibersihkan dan nantinya akan dibangun masjid. Foto diambil pada 20 Agustus 2020.


Kick off penyelesaian nonyudisial terhadap 12 pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia sudah dilakukan oleh Presiden Jokowi di lokasi rumoh geudong, Selasa, 27 Juni 2023. Ketua KKR Aceh, Masthur  Yahya, dalam diskusi Fokusgampi itu mengatakan sudah ada komitmen dengan tim PP HAM bahwa tangga rumoh geudong tidak dirobohkan setelah kick off. “Itu harus kita kawal bersama, kita percaya tim Presiden mengedepankan kearifan lokal. KKR bersama mereka untuk memberikan sumbang saran,” katanya.  

Namun, sebagaimana disampaikan Koordinator KontraS, Azharul Husna, kick off yang dilakukan di tengah  kesibukan orang Aceh  menyambut Iduladha (sibuk mak meugang), jangan sampai melengahkan perhatian publik terhadap upaya “mendongengkan” rumoh geudong. Sedikit saja lalai, bukan tidak mungkin tangga itu pun akan raib ditelan ambisi dengan dalih melenyapkan dendam masa lalu. 

Kata Yarmen, jika tangga yang menjadi satu-satunya sisa dari rumoh geudong itu pun turut dihancurkan, maka itulah “bab penutup” ingatan tentang kamp konsentrasi penyiksaan paling parah di Aceh.[]

Tulisan ini telah tayang di Serambi Indonesia edisi Jumat, 30 Juni 2023.   

Selasa, 28 Maret 2023

Memoar Matahari Terbit #3: Tentang Sebuah Langgar



Konon manusia itu selalu terikat dengan masa lalu. Istilah kerennya kenangan. Saya barangkali termasuk salah satu manusia yang seperti itu. Sulit melupakan momen-momen tertentu di dalam hidup saya. Khususnya masa-masa kecil yang membahagiakan dan menyenangkan.

Keluarga kami seperti keluarga kebanyakan di negeri ini, hidup dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan. Tetapi, mengapa saya merasa masa kecil saya sangat bahagia dan menyenangkan? Tak lain karena kehangatan keluarga, lingkungan tempat tinggal yang nyaman, dan karena saya masih bocah: belum tahu kalau hidup itu berat dan banyak persoalan.

Kehangatan itu tidak hanya ada di keluarga, tetapi juga dengan para penghuni kampung lainnya. Sesama anak-anak sangat kompak dan kami selalu bermain bersama. Mulai dari main karet gelang sampai main serimbang; pergi sekolah dan mengaji bersama; hingga mencari kayu bakar di kebun-kebun sambil mengangon ternak bagi yang punya ternak.

Para ibu sering saling berbagi makanan, bahkan terkadang memasak bersama, terutama saat bikin kue untuk hari raya. Padahal jarak satu rumah dengan rumah yang lain jauh-jauh.

Kampung saya dulu, seperti yang pernah saya tulis di cerita-cerita sebelumnya, berada di pelosok Aceh Timur. Dulu bagian dari Kecamatan Idi Rayek, setelah dimekarkan menjadi wilayah Kecamatan Darul Ihsan. Terusan dari kampung kami tembus ke PT Bumi Flora.

Jalannya belum beraspal (mungkin juga sampai sekarang ). Tidak ada listrik. Rumah-rumah penduduk berada di antara kebun-kebun, umumnya kelapa dan kakao. Tetapi kampungnya bersih. Rumah-rumah warga berpagar alami dari daun teh-tehan. Halamannya selalu bersih. Yang suka bebungaan seperti ibu saya, maka dipastikan halaman rumahnya penuh dengan bunga. Jenis bunga yang ditanam macam-macam, beberapa di antaranya pernah saya lihat saat ke Takengon. Termasuk juga aneka jenis keladi dan karena ini pula suatu malam pekarangan rumah kami menjadi serbuan babi.

Meski di kampung kami air bersih sesuatu yang langka, tetapi setiap harinya sebelum pukul lima sore kami sudah rapi jali. Mandi dan mencuci semuanya dilakukan di parit-parit yang jaraknya jauh sekali dari rumah. Karena itulah kami selalu mandi lebih awal karena kalau sudah sore pasti tak berani lagi pergi mandi.
Kalau malam, selain hanya mengandalkan terang dari lampu teplok, juga dari sinar bulan kalau sedang terang. Bertolak belakang dengan namanya Lorong Pelita.

Di kampung kami tidak ada masjid. Yang ada hanya langgar. Bentuknya panggung. Konstruksinya dari kayu beratapkan seng, tapi kokoh dan cukup memadai untuk menampung ibu-ibu wirid atau untuk salat Tarawih bagi warga Lorong Pelita yang bisa dihitung jari KK-nya. Dari jumlah yang minim itu pun tak semuanya rajin datang ke langgar.

Langgar itu terletak di sebidang tanah di tengah-tengah kebun warga. Semuanya kelapa dan kakao. Di sisi kanannya yang agak berbukit adalah kebun milik keluarga saya. Di sisi kiri langgar adalah kebun milik Keuchik Usman. Di tengah-tengah kawasan kebun ini terbentang parit kecil yang airnya hanya ada di musim hujan.

Tak ada satu rumah pun di sekitar langgar. Rumah-rumah warga bertumpuk-tumpuk: tumpuk CWC (eks kantor pertanian), tumpuk Wak Raban, tumpuk Wak Said, tumpuk Wak Pardi, dan tumpuk rumah kami. Hanya tumpuk rumah kami yang jaraknya paling dekat dengan langgar. Paling jauh tumpuk Wak Said dan tumpuk CWC dan tumpuk Wak Raban.

Oya, ada sebuah bak besar di depan langgar untuk menampung air hujan. Tak ada sumur atau sejenisnya di sana. Bak itu hanya terisi air, ya, ketika hujan turun. Dan jika air bak penuh, beberapa ibu datang untuk mencuci pakaian di sana.

Di malam hari, dengan kondisi tak ada penerangan apa pun, entah mengapa langgar ini jadi terkesan menyeramkan. Apalagi dengan adanya sebuah keranda yang digantung di bawah langgar. Maklum, letaknya di bawah bukit. Belum lagi kalau harus membayangkan pucuk-pucuk pohon yang bergoyang di kegelapan. Dalam gelap imajinasi kita memang sering di luar jangkauan.

Namun, suasananya berubah ketika bulan puasa tiba. Itu karena selepas magrib--sebagian--warga Lorong Pelita pasti datang ke langgar untuk salat Tarawih. Yang jadi imamnya Wak Min. Satu lampu petromax cukup untuk menerangi seluruh langgar. Yang sebentar-sebentar harus dipompa untuk menjaga nyalanya tetap stabil.

Laki-laki di baris depan paling banyak cuma dua saf itu pun sudah inklud para bocah. Di belakang, jamaah perempuan yang dibatasi dengan tabir kain merah juga tak lebih banyak. Bagi kami para bocah, yang memotivasi untuk pergi ke langgar sebetulnya karena tak ada pilihan untuk tetap tinggal di rumah. Tak ada listrik, tak ada televisi, tak ada gadget atau lato-lato, siapa yang mau dikurung dalam gelap untuk disantap nyamuk?

Selain itu, kue-kue dan teh atau kopi yang dibawa untuk dinikmati usai Tarawih sangatlah menggiurkan. Selama bulan puasa setiap warga mendapat jatah membawa kue untuk jamaah Tarawih.
Maka, bagi para bocah, semakin sedikit jamaah yang hadir semakin bagus karena jatah kue bisa dapat lebih.

Setelah Tarawih selesai sekitar pukul sembilan, langgar kembali mencekam. Praktisnya langgar ini hanya berfungsi di waktu-waktu tertentu saja.

Karena letaknya yang tidak strategis, dalam artian tidak berada di jalan utama desa, langgar ini memang lebih banyak sepi sendiri. Belakangan warga sepakat memindahkan langgar ke pinggir jalan utama desa di tengah tengah antara tumpuk rumah kami dengan tumpuk CWC. Sejak saat itu langgar di kampung kami mulai ada rohnya.... Namun, ketika konflik memorakporandakan kampung kami, langgar kami kembali kehilangan rohnya...[]


Ilustrasi foto dari Pixabay



Rabu, 02 Februari 2022

Lingkungan Rusak Perempuan Binasa

Rubama @Ihan



Cerita-cerita tentang dampak kerusakan lingkungan hidup selama ini masih dipotret sebatas "peristiwa" bencana alam semata. Seolah-olah terjadi begitu saja karena faktor alam tanpa terlibat "campur tangan" manusia. Kenyataannya, bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, atau kekeringan tidak akan terjadi secara masif jika manusia bisa menjalin harmonisasi dengan alam. Tidak menjadikan lingkungan sebagai objek komoditas yang dieksploitasi terus-menerus. Lebih dari itu, masih minim yang memotret bagaimana relevansi antara lingkungan dengan keberlangsungan hidup dan kualitas perempuan. 


Hal ini menjadi perbincangan serius dalam focus group discussion yang diselenggarakan Perempuan Peduli Leuser (PPL) dan bekerja sama dengan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh pada Selasa, 1 Februari 2022. Diskusi ini berlangsung di Gampong Nusa. Sebuah desa yang apik dengan lanskap berupa gugusan perbukitan, persawahan, dan sungai yang terhubung ke laut. Desa yang berhasil disulap sehingga menjadi desa wisata dan baru-baru ini mendapatkan Anugerah Desa Wisata Kategori Homestay dalam Anugerah Pesona Indonesia 2022. 


Dengan berkunjung ke desa ini, peserta menjadi semakin terbuka wawasannya, bahwa ketika alam dijaga dan dirawat dengan baik, maka keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat setempat bisa lebih besar dan bersifat jangka panjang. Perempuan di desa setempat juga menjadi terberdayakan.


Adalah Rubama dan Refa, dua tokoh utama yang didapuk sebagai narasumber dalam FGD tersebut. Meski sama-sama bergiat di lingkungan, keduanya memiliki latar belakang aktivitas yang berbeda. Rubama bekerja untuk Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Kerja-kerjanya di lapangan lebih menitikberatkan pada pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat, khususnya perempuan sebagai upaya penyelamatan lingkungan atau konservasi. Rubama juga tercatat sebagai warga asli di Gampong Nusa dan perubahan desa tersebut tak terlepas dari kerja kerasnya belasan tahun silam.


Sedangkan Refa, pengurus FJL Aceh dan sehari-hari berprofesi sebagai jurnalis. FJL sebagai salah satu komunitas tempat para wartawan di Aceh berkumpul, fokus mengangkat dan mengawal pemberitaan terkait dengan isu-isu lingkungan seperti perdagangan satwa, kematian gajah sumatra, konservasi laut, dan lain-lain. Adapun para peserta FGD ini terdiri atas anggota PPL dan FJL. Mereka duduk di bawah teratak yang didirikan di pinggir sungai. Silir angin yang bebas berlalu-lalang menghalau hawa panas di tengah cuaca terik. Peserta dan narasumber berdiskusi sambil mengudap kacang rebus dan buah-buahan potong.


Sebagaimana disampaikan oleh Koordinator PPL, Ayu 'Ulya, kegiatan ini diharapkan bisa menjadi ruang kritis perempuan untuk saling bertukar pengetahuan, dan yang paling penting adalah seluruh peserta bisa mendapatkan persepsi yang sama bahwa memiliki korelasi yang erat antara (kerusakan) lingkungan dengan perempuan. Kolaborasi antara jurnalis dan warga diharapkan bisa semakin menggaungkan berbagai problem perempuan akar rumput yang muncul akibat kerusakan lingkungan.


Rubama yang sebagian besar waktunya dihabiskan dengan masyarakat, memaparkan lebih banyak potret buram kehidupan perempuan yang berhasil ia tangkap di lapangan. Kerusakan lingkungan maupun berkurangnya lahan sebagai sumber penghidupan karena terjadinya homogenisasi atau penyeragaman jenis tanaman, telah menimbulkan kemiskinan yang berdampak sangat besar terhadap perempuan. Perempuan mengalami beban ganda (double burden) karena harus bekerja mencari nafkah dengan tetap melakukan pekerjaan domestik.


Homogenisasi lahan kata Rubama, hanya mampu dilakukan oleh individu-individu dengan modal yang besar. Hal ini membuat tutupan hutan yang selama ini menjadi tempat bagi masyarakat untuk bergantung hidup, berubah menjadi areal perkebunan milik segelintir orang. Alhasil, masyarakat semakin kekurangan ruang sebagai tempat mencari nafkah. Efeknya tidak bisa dianggap sederhana, karena dengan berkurangnya sumber penghasilan bisa memicu tekanan psikologis yang berdampak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.


"Ada banyak hal yang kami capture di lapangan ketika bicara lingkungan hidup dan perempuan," kata Rubama mengawali pembicaraanya, "ada banyak yang bikin sesak dada," katanya lagi.


Di antara yang sukar lekang dari ingatan Rubama adalah tentang seorang ibu muda di pedalaman Kabupaten Bener Meriah, Gayo, yang kini berusia 21 tahun dan memiliki seorang anak berusia tiga tahun. Kisah hidup ibu muda ini bisa dibilang memilukan. Menikah di usia yang sangat dini, usia yang seharusnya masih dihabiskan di bangku sekolah. Di hari dia melahirkan anak pertamanya, suami yang seharusnya mendampingi entah ada di mana. Di hari ketiga suaminya pulang ke rumah.


"Tapi dengan membawa perempuan lain dan menalak istrinya. Bayinya masih sangat merah. Itu salah satu kasus yang ada hubungannya antara kemiskinan (akibat berkurangnya ketersediaan ruang untuk hidup) dengan kemiskinan yang menghancurkan perempuan," ujarnya.


Di antara persoalan yang terjadi terkait pengelolaan SDA



Contoh lain kerasnya hidup dialami perempuan di Aceh Singkil. Banyak perempuan di sana yang bekerja sebagai penjala ikan air tawar di sungai-sungai. Mereka mengayuh perahu menyusuri sungai, lalu melempar jala untuk menangkap ikan. Ikan-ikan itu kemudian disalai dan dijual untuk menopang ekonomi keluarga. Pekerjaan yang sangat berisiko tinggi.


Tutupan-tutupan hutan yang berkurang pun menjangkau wilayah-wilayah "haram" yang seharusnya dilindungi. Contohnya kata perempuan yang akrab disapa Ru ini, Kawasan Ekosistem Leuser yang terbentang di dua provinsi, Aceh dan Sumatera Utara, dan 98 persennya berada di Aceh. Kawasan ini terus mengalami deforestasi yang jika dilihat setiap waktu maka ada saja pohon yang tumbang dan kawasan yang semakin plontos. Kawasan hutan yang harusnya cenderung gelap ketika dilihat dengan GIS, justru menjadi putih. Ilustrasi sederhananya mungkin seperti kita melihat hasil rontgent paru-paru yang sudah tidak sehat lagi. Penyebabnya tentu saja macam-macam. Ada yang untuk kepentingan warga hingga pembangunan.


Dampak dari terjadinya kerusakan di hulu tidak hanya mengancam perempuan-perempuan yang ada di wilayah sekitar hutan saja. Namun, juga mengancam hajat hidup orang banyak di daerah hilir. Misalnya, kerusakan wilayah hutan yang menjadi kantong-kantong sumber mata air telah memicu terjadinya kekeringan. Masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih. Lagi-lagi, perempuan selaku ibu rumah tangga yang notabenenya menghabiskan waktu lebih banyak di rumah akan kesulitan mendapatkan air bersih untuk memasak atau mencuci. Sejauh apa kita berpikir, bahwa kerusakan sumber mata air di hulu membuat orang-orang kota akan bergadang di malam hari? Atau tidak mandi saat pergi bekerja di pagi hari? Bahkan mungkin harus bertayamum untuk bisa melaksanakan kewajiban salat lima waktu?


Begitu juga saat terjadinya bencana alam. Penanganan yang berperspektif gender tampaknya masih jauh panggang dari api. Misalnya, bantuan yang disalurkan belum menjangkau kebutuhan perempuan seperti perlunya memasukkan tampon atau pembalut dalam daftar bantuan. Begitu juga tenda-tenda pengungsian yang tidak aman dan nyaman bagi perempuan dan anak, juga berpotensi munculnya kekerasan berbasis gender di lokasi bencana. 


Rubama menjelaskan, perempuan perlu terlibat lebih jauh dalam upaya penyelamatan lingkungan. Keterlibatan mereka tidak cukup pada sebatas partisipasi, tetapi sudah saatnya beraksi dan melakukan kontrol terhadap eksploitasi lingkungan atau sumber daya alam. Praktik baik ini sudah dilakukan oleh sekelompok perempuan di Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Mereka pada akhirnya secara sukarela menjadi ranger demi menyelamatkan hutan yang akan diwariskan untuk anak cucu mereka ke depan. Namun, apa yang sebelumnya terjadi di desa ini sehingga para perempuan mengambil kendali?


"Pada tahun 2015 menjadi catatan sejarah bagi mereka, saat itu terjadi banjir bandang di Damaran Baru. Mereka sadar ada yang rusak di hulu, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Kemudian muncul keinginan dan kebutuhan untuk mengelola kawasan hutan agar tidak rusak," kata Ru lagi.


Di sinilah HAkA sebagai sebuah lembaga berbasis swadaya masyarakat memainkan perannya untuk menguatkan kapasitas perempuan di level akar rumput. Hasilnya memang tidak instan, tetapi berkat kegigihan dan keikhlasan para perempuan tersebut, "Damaran Baru kini menjadi referensi baik di Aceh maupun nasional dalam hal keterlibatan perempuan dalam pengelolaan lingkungan," ujarnya.


Di sisi lain kata Ru, hal ini juga perlu menjadi renungan bagi banyak pihak, ketika peluang dan akses kepada perempuan dibuka, ternyata mereka bisa menunjukkan kecakapannya. Terbukti perempuan mampu bekerja dengan otak, alih-alih mengedepankan otot. Masyarakat di tingkat tapak, khususnya perempuan, perlu terus diberi penguatan karena ketika terjadi kerusakan lingkungan hidup, mereka berada pada level pertama dari kelompok yang terkena dampak.  


"Partisipasi perempuan tidak hanya sebatas hadir, duduk, dan mendengarkan, tetapi harus ada aksi. Sekarang bukan lagi saatnya berpartisipasi, tetapi sudah saatnya merebut," ujar Ru.





Refa mengamini apa yang disampaikan oleh Ru. Ia tak menampik jika isu-isu lingkungan, apalagi yang berkaitan dengan perempuan memang belum mendapat porsi yang sesuai di media arus utama. Hal ini, selain karena jurnalis umumnya mengawal banyak isu sekaligus, juga karena minimnya jurnalis yang berperspektif lingkungan. Di sinilah kata Refa, FJL hadir sebagai jembatan untuk peningkatan kapasitas jurnalis agar lebih peka terhadap isu-isu lingkungan.


Produk-produk yang lahir dari tangan-tangan cekatan para jurnalis tidak saja akan meningkatkan perhatian publik terhadap suatu isu, tetapi juga akan memengaruhi kebijakan pemerintah. Saat ini para jurnalis yang terhimpun di FJL sedang fokus mengawal kasus hukum terhadap perdagangan satwa yang dilindungi di Aceh.


"Di FJL ada beberapa isu yang menjadi fokus saat ini, di antaranya marine, perdagangan dan perburuan satwa dilindungi," kata Refa. 


Menarik juga menyimak pengalaman Cut Nouval, anggota FJL yang saat masih kuliah dulu pernah melakukan KKN di sebuah desa yang bisa dikatakan kesadaran warganya untuk kebersihan masih sangat rendah. Sumur-sumur warga berada tidak jauh dari lokasi tumpukan sampah sehingga mencemari kualitas air sumur. Mengonsumsi air yang tercemar bertahun-tahun telah berdampak pada lahirnya anak-anak dengan kualitas kesehatan yang rendah. Hal ini tentunya membutuhkan keterlibatan semua pihak untuk mengedukasi masyarakat.  Persoalan lingkungan kata Cut Noval, juga menjadi masalah serius bagi masyarakat urban. Tidak hanya berdampak pada ekonomi, lingkungan juga berpengaruh pada kesehatan individu.

 

Hal-hal semacam inilah yang menurut Refa perlu banyak dipotret. Dalam perjalanannya bersama rekan-rekan jurnalis beberapa waktu lalu, Refa melihat ada masyarakat yang terpaksa membabat hutan di area-area "terlarang" demi bertahan hidup. Di sisi lain ia juga melihat ada ranger yang sedang berupaya merestorasi lahan untuk menyelamatkan lingkungan. Kehidupan yang ideal tampaknya memang hanya sebuah utopia.[]

Minggu, 25 April 2021

Edukasi Bencana di Produk Kerupuk Teripang Raja Gubang

Kerupuk Teripang Raja Gubang @Bukalapak


KERUPUK teripang? Bagi sebagian orang mungkin masih asing dengan nama olahan kerupuk yang satu ini. Tetapi bagi masyarakat Kabupaten Simeulue, ini menjadi salah satu produk UMKM andalan yang telah mengangkat nama kabupaten itu. Teripang merupakan jenis hewan laut dengan tekstur tubuh yang lunak (avertebrata) dan menyukai dasar laut. 

Di tangan kreatif warga Simeulue, hewan ini mampu disulap menjadi kudapan yang gurih dan bergizi tinggi. Produk ini turut menghiasi stan Kabupaten Simeulue dalam UMKM Expo 2019 yang dihelat oleh Dinas Koperasi dan UKM Aceh pada 22-26 November 2019 lalu di Banda Aceh.

Usaha kerupuk teripang ini dirintis oleh seorang pria bernama Zulfikar Zaintisa dengan istrinya yang dimulai antara tahun 2006-2007 silam. Kini telah lebih dari sepuluh tahun, produk yang dipasarkan dengan jenama Kerupuk Teripang Raja Gubang ini masih mampu bertahan. 

Saat berbincang-bincang dengan Sukma pada 23 November 2019 lalu, Zulfikar mengakui bila dalam merintis usaha ini ada tantangan tersendiri. Terutama dalam mendapatkan bahan baku, ia harus menyelam hingga kedalaman 30 meter di bawah permukaan laut. Apalagi saat cuaca buruk, tak jarang nyawa menjadi taruhannya. Itu pula yang membuatnya kadang-kadang juga membeli teripang dari nelayan yang harganya sangat mahal untuk kualitas terbaik, mencapai Rp3 juta per kilogram.

“Untuk produk ini kita menggunakan teripang kualitas terbaik,” ujarnya kepada Tabloid Sukma.

Selain teripang, bahan baku lain yang digunakan untuk mengolah produk ini adalah tepung sagu dan rumput laut. Diracik dengan rempah-rempah lain seperti bawang putih, sedikit gula dan garam untuk menambah cita rasa. Selain memiliki rasa original, Zulfikar juga membuat varian lain di antaranya kerupuk teripang rasa jengkol. 

“Kami tidak menggunakan penyedap, pengawet, maupun pewarna buatan, jadi ini sangat alami, sehat dan aman dikonsumsi,” ujarnya.

Teripang ini kata Zulfikar, tidak hanya nikmat di lidah, tetapi juga memiliki manfaat kesehatan seperti kandungan kolagen yang dipercayai mampu memperbaiki sel-sel tulang rawan dengan cepat, membantu percepatan penyembuhan luka, reumatik, encok, asam urat, diabetes, maaf, dan hepatitis. 

Saat ekspo digelar, Zulfikar tidak hanya menyajikan kerupuk untuk pengunjung, tetapi juga sup teripang yang disajikan dengan campuran mi hun. Produknya juga sudah lulus uji LPPOM Majelis Ulama Aceh. Sehingga dari segi kehalalan tak perlu diragukan lagi.

 Saat ini, usaha yang dikelola Zulfikar mampu mempekerjakan enam pegawai yang sebagian besarnya adalah keluarganya sendiri. Pria itu mengaku memiliki ketertarikan khusus pada semangat berwirausaha, oleh karena itu setelah menikah ia fokus mengembangkan usaha berbasis bahan baku lokal.

“Walaupun untuk saat ini produk kami masih dipasarkan di Aceh dan sesuai dengan permintaan konsumen saja, apalagi ini produk baru bukan seperti kopi yang memang sudah dikenal luas, membuat produk ini memiliki tingkat kesulitannya sendiri,” ujarnya. 

Namun, yang disyukuri oleh Zulfikar, pemerintah telah turun tangan dalam membantu usahanya melalui dukungan peralatan dan melibatkannya dalam pameran-pameran UMKM seperti itu.

Dengan distribusi produk yang masih terbatas, omzet yang didapatnya masih berkisar di angka Rp3-5 juta per bulan. Soal distribusi ini kata Zulfikar, turut dipengaruhi oleh letak Simeulue yang masih sulit dijangkau. Memerlukan waktu lama untuk sampai ke sana. Ia mencontohkan, kalau dari Banda Aceh bisa sampai dua harian baru sampai ke Simeulue, itu pun tergantung cuaca.

“Jadi kalau ingin berkunjung ke Simeulu itu harus mempunyai mental baja,” kata Zulfikar lagi sambil tertawa ramah.

Namun sebagai pengusaha ia mengaku harus siap dengan segala kondisi. Oleh karenanya, meskipun jarak yang cukup jauh, tetapi ia bertekad bisa berpartisipasi dalam event yang digelar Pemerintah Aceh ini. Dengan begitu produknya bisa semakin dikenal luas oleh masyarakat.

“Saya berharap pasar-pasar UMKM diperbanyak, ini bukan saja untuk memperkenalkan produk lokal, tapi juga membuat usaha masyarakat hidup,” katanya.

Menariknya, Zulfikar juga menyelipkan pesan-pesan edukasi mitigasi bencana dalam produknya. Ini merupakan terobosan baru dalam pengemasan produk UMKM. Melalui inovasi ini Zulfikar setidaknya telah mengajarkan kepada kita bahwa kearifan lokal yang mengangkat nilai-nilai maupun pesan-pesan tradisi bisa disandingkan di mana saja.

Berikut syair yang terdapat di kemasan produk Kerupuk Teripang Raja Gubang:

Smong dumek-dumekmo

Linon uwak-uwakmo

Elai kedang-kedangmi

Kilek sulu-sulumo

 

Tsunami mandi-mandimu

Gempa buaian-buaianmu

Gemuruh gendang-gendangmu

Petir cahaya-cahayamu


Tibo nelinon fesang

Uwek asen suruik

Mahea kumuding mek delong

Saat gempa datang

Air laut surut

Segera lari ke gunung



Kamis, 22 Februari 2018

Memoar Matahari Terbit #2; Gadis Kecil di Keranjang Rotan

Memoar Matahari Terbit #2; Gadis Kecil di Keranjang Rotan
motor@bukalapak.jpg
Keranjanganya bukan model seperti ini, tapi cukuplah untuk mengilustrasikannya. Foto diambil dari bukalapak.com
Tahun 1990
Usiaku belum genap lima tahun ketika itu. Tidak banyak yang bisa kuingat pada masa-masa sebelum itu. Kecuali beberapa potong fragmen saja. Misalnya, di suatu sore yang cerah, Ibu memakaikan aku baju terusan kembang selutut. Berwarna putih dengan kombinasi hijau. Rambut panjangku dikucir dua. Aku menonton permainan voli di halaman rumah Wak Baren yang luas.
Namun ada satu fragmen yang tidak mungkin kulupakan. Kenangan itu telah berubah menjadi piringan hitam, kapan pun aku ingin memutarnya, tinggal kutekan tombol on di memori ingatanku. Lalu muncullah gambar-gambar bergerak tentang sepasang gadis kecil di dalam keranjang rotan di jok sepeda motor Ayah. Kepala mereka menjulur-julur. Mirip kepala kura-kura yang melongok-longok keluar dari cangkang untuk melihat situasi. Gadis kecil di dalam keranjang itu adalah aku dan sepupuku, Rina.
Keranjang itu biasa digunakan Ayah untuk menggalas. Biasanya yang diisi di sana cabai atau biji kakao. Tapi hari itu digunakan untuk mengangkut manusia-manusia mungil. Sementara yang lainnya keluar dari kampung sambil berjalan kaki.
+++
ilustrasi liputan6.jpeg
Ilustrasi diambil dari liputan6.com
Pagi menjelang siang hari itu, aku sedang asyik bermain ayunan di samping rumah. Tiba-tiba datang Kak Isah dan Bang Pudin, lari terbirit-birit dengan keringat jagung membulir di wajah mereka. Melihat kondisi mereka aku jadi ketakutan. Panik. Pun Ibu, yang sedang memegang pisau mengupas mancang untuk kami. Kak Isah adalah sepupuku, anak kedua dari kakak Ayah. Sedang Bang Pudin adalah anaknya Wak Ren. Masih kerabat jauh kami juga.
"Rumah sekolah dibakar!"
Kata Kak Isah masih terngiang-ngiang di telingaku sampai hari ini. Aku berusaha mengingat-ingat, beberapa malam terakhir rumah kami selalu ramai. Ada topik-topik tertentu yang dibicarakan sambil berbisik-bisik. Orang tua kami sepertinya memang sudah menduga-duga sesuatu. Dan kabar rumah sekolah yang dibakar itu adalah puncak dari desas-desus itu.
Siapa pun yang pernah tinggal di Aceh pasti tahu, tahun 1989 adalah awal dari pemberlakuan Darurat Operasi Militer di Aceh. Operasi ini dibentuk untuk memburu gerakan sipil yang ketika itu disebut Gerakan Pengacau Keamanan oleh pemerintah. Hari-hari setelah itu menjadi hari-hari yang gelap bagi rakyat Aceh. Di setiap pelosok terdapat pos tentara. Bahkan sudah dimulai jauh dari sebelum itu.
Ibu segera menyuruh Kak Isah dan Bang Pudin ke Lhok Jeuruweng. Di sanalah ladang-ladang warga Lorong Pelita ketika itu digarap. Mereka membuka kebun, menanam cabai, kacang kuning, sayuran. Ayah, Wawak, dan beberapa warga bertani di sana. Aku menduga Kak Isah dan Bang Pudin pastilah menggunakan jurus terbangnya hari itu. Karena jarak dari desa ke Lhok Jeuruweng lumayan jauh.
Ibu segera mengemasi barang-barang. Cuma baju, karena tidak ada aset penting lainnya yang bisa diselamatkan.
Itulah pengalaman pertamaku menjadi pengungsi. Di usia yang belum genap lima tahun. Di usia yang seharusnya aku masih mengorek-ngorek tanah mencari binatang undur-undur dengan tenang tanpa waswas. Kami mengungsi ke kampung nenek di Keude Dua.
Dari dalam keranjang, dengan perasaan senang --karena bisa naik motor-- bercampur takut, aku berusaha melihat ke sekeliling. Setelah melewati turunan bukit kecil di depan rumah Yahwa Leman, sampailah kami di depan SD N Padang Peutua Ali di Lorong Pelita. Saat itulah mulut kecilku terganga. Ketakutanku menjadi-jadi. Jantungku berdegup-degup. Aku ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Aku melihat gumpalan asap hitam menebal seperti melesak-lesak mencari jalan keluar dari dalam gedung sekolah. Lidah api menjulur-julur. Merah!
Kampung Keude Dua, yang menjadi tujuan kami untuk menyelamatkan diri ketika itu, pun tak jauh lebih aman. Kondisinya mencekam. Sangat mencekam. Rasa-rasanya dunia tempat kami berdiri ketika itu diselimuti monster besar berjubah hitam.
Kondisi itu tak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian suasana kampung berangsur normal. Ayah dan Ibu, dan sejumlah warga lainnya kembali pulang ke Padang Peutua Ali. Tapi setelah itu kusadari ada yang berubah dari desa itu. Separuh warganya yang berasal dari suku Jawa memilih tak kembali lagi.
Kematian Lek Momo yang tragis setelah ditembak orang tak dikenal menjadi trauma bagi mereka. Rumah-rumah mereka ditinggalkan begitu saja dalam keadaan kosong. Belakangan, beberapa di antara mereka memberanikan diri untuk pulang. Dengan harapan kondisi yang sama takkan terulang lagi.[]
Cerita sebelumnya:

Sabtu, 17 Februari 2018

Memoar Matahari Terbit #1; Padang Peutua Ali

Memoar Matahari Terbit #1; Padang Peutua Ali
Village @bbc.jpg
Lanskap yang menunjukkan kondisi alam pedesaan. Foto dari bbc.com
Desa itu, Padang Peutua Ali namanya, dalam ingatanku adalah sebuah surga. Sulit sekali melepasnya dalam ingatan meskipun nyaris dua puluh tahun tak lagi tinggal di sana. Sejak beberapa tahun terakhir malah tak pernah lagi menginjakkan kaki ke sana. Inilah punca kerinduan bertubi-tubi, sehingga kerap hadir di dalam mimpi.
Ya, mimpi menjadi semacam medium tertentu buatku. Ketika aku memikirkan sesuatu, ketika aku mengingat seseorang yang jauh, yang kupikir dan kuingat itu kerap hadir di alam mimpi. Bunga-bunga tidur. Begitulah rindu menyelesaikan persoalannya di dalam hidupku.
Tak terkecuali Padang Peutua Ali, sebuah desa nun di pedalaman Aceh Timur sana. Masih kerap mampir di mimpi-mimpi indahku hingga hari ini. Mimpi-mimpi itulah yang menggerakkan aku untuk melahirkan catatan ini. Hm, tidak, pedalaman itu dulu, ketika jalan masih berlubang, ketika listrik belum ada, ketika moda transportasi belum massal seperti sekarang. Tapi kabarnya, jalan menuju Padang Peutua Ali sampai sekarang masih bopeng-bopeng. Namun jaringan listrik sudah tersedia (kembali).
Secara administrasi, Padang Peutua Ali masuk ke Kemukiman (kelurahan) Lhok Leumak di Kecamatan Darul Ihsan (setelah dimekarkan dari Kecamatan Idi Rayek), Aceh Timur. Desa ini terdiri dari beberapa lorong, di antaranya Lorong Mampre, Lorong Binjai, dan Lorong Pelita. Di lorong yang terakhir inilah kenangan masa kecilku banyak terserak. Dan aku sedang berusaha mengumpulkan kembali kenangan yang terserak itu.
Ayah dan ibuku berdarah Pidie, walaupun keduanya sama-sama lahir dan besar di Aceh Tamiang. Orang tua mereka sama-sama berasal dari Teupin Raya sebelum merantau ke timur Aceh. Tempat aku menumpang dilahirkan, sebelum dibawa pulang ke Idi Rayek, dan dibesarkan di Padang Petua Ali. Di sanalah Ayah dan Ibu menguji kemandirian mereka dalam berumah tangga.
Ingatanku akan desa itu tak pernah pupus. Konturnya berbukit-bukit. Yang sejauh mata memandang dibungkus pemandangan hijau berupa kebun-kebun penduduk. Umumnya kelapa dan kebun kakao. Jalannya berlapiskan tanah dan dipenuhi rerumputan. Nyaris tak ada beda antara jalan utama dengan jalan menuju kebun. Kalau hujan sudah pasti becek dan licin. Padang Petua Ali adalah desa transmigrasi yang heterogen. Belakangan kusadari, keheterogenan ini memberikan dua dampak sekaligus; positif dan negatif.
Di tahun 90-an, saat aku masih duduk di sekolah dasar. Saban pagi aku bangun karena kicauan Ibu dan kicauan burung-burung. Uap hangat mentari pagi merambati rumah kami yang kecil. Paru-paruku yang kerap dibelit asma selalu berlimpah udara segar. Pengalaman bangun tidur paling indah adalah ketika hidungku menangkap aroma dari kuah Indomie yang sedang mendidih.
Rupa rumah kami itu tak lebih dari sebuah kotak dengan sebilah ruang tamu, dua bilah kamar tidur yang sempit, dan sebilah ruangan berlantai tanah sebagai dapur. Ruang tamu dan kamar tidur, sudah beralaskan semen namun kondisinya mengenaskan. Pecahan-pecahannya mirip cermin retak. Rumah itu dipayungi atap dari daun rumbia, yang di sudutnya kerap bolong karena tertimpa buah kelapa yang pohonnya tumbuh persis di sudut dapur.
Rumah itu adalah rumah pertama yang ditempati Ayah dan Ibu. Aku masih ingat detailnya sampai sekarang. Di ruang tamu, cuma ada satu perkakas, yaitu lemari (hias) warna kuning pucat dengan kombinasi hijau di sudut-sudutnya. Sebuah tempat tidur berangka besi dipasangkan Ayah di kamar untuk aku dan adikku yang nomor dua. Itulah istana kami. Sebelum tidur kami kerap bermain rumah-rumahan. Kadang Ibu ikut bergabung bersama kami dan menceritakan cerita zaman. Tempat tidur rangka besi itu menjadi saksi bagi perkembangan imajinasi kanak-kanakku.
Belakangan lemari hias di ruang tamu itu menjadi tempat bertenggernya sebuah televisi hitam putih second ukuran 14 inci merk Fuji Electric yang dibeli Ayah. Di tumpuk kami, Ayah adalah orang pertama yang membeli televisi ketika itu. Televisi bertenaga aki itu menjadi saksi bagi sejumlah warga untuk menonton acara hiburan seperti Kamera Ria, Safari, Irama Masa Kini. Dan yang paling sukar dilupakan adalah acara film G30 SPKI yang diputar saban 30 September setiap tahunnya.
fuji elektrik.jpg
Seperti inilah rupanya televisi Fuji Elektrik di rumah kami dulu. Foto dari jayaserviselektronik.blogspot.co.id
Terkikik-kikik aku jika mengenang akan hal ini. Pernah suatu kali, saat sedang asyik menonton film G30 SPKI, tiba-tiba baterai aki itu habis pula dayanya. Televisi yang besarnya tak lebih dari laptop yang kita pakai sekarang itu akhirnya seperti tersuruk-suruk sebelum padam. Lalu muncullah inisiatif jitu, aki di rumah Wak Sabar yang baterainya sedang habis, diambil dan digandengkan dengan aki di rumah kami. Inilah makna sebenarnya dari rumus minus (-) tambah (+) minus (-) sama dengan (=) plus (+). Televisi ini juga menjadi saksi dari serial kartun Jepang seperti Doraemon, Ultraman, Satria Baja Hitam, dan lainnya.
Nyaris seratus persen warga Padang Peutua Ali adalah petani. Rumah-rumah warga memiliki bentuk yang serupa walau tak sama. Penghuni desa ini hanya berkisar puluhan KK saja yang tersebar secara berkelompok di beberapa titik. Di tahun 90-an itu, Padang Petua Ali masih gelap gulita. Sumber energi untuk menerangkan rumah-rumah penduduk masih mengandalkan lampu sumbu dan minyak tanah. Harganya masih Rp300 perliter. Harga sebungkus Indomie waktu itu masih Rp250. Ayo... siapa yang masih ingat? Harga emas satu mayamnya masih berkisar seratusan ribu. Tapi tak juga sanggup membelinya.
bunga.jpg
Di Lorong Pelita tempat kami tinggal inilah berdiri sebuah rumah sekolah. Pada tulisan berikutnya akan aku tulis dengan detail bagaimana kisah mula berdirinya sekolah ini. Di sekolah ini aku belajar tulis baca. Itu di era kejayaan black board. Era di mana kapur tulis masih berdiri tegak di papan tulis hitam. Lalu sisa puntungnya menjadi rebutan bocah-bocah SD kemaruk belajar. Modal belajar kembali di rumah. Daun pintu, dinding, atau daun jendela adalah papan tulis kami di rumah.
Kesulitan utama warga desa adalah kebutuhan akan air bersih. Memang susah mendapatkan mata air dengan kondisi desa yang berada di dataran tinggi. Parit-parit menjadi andalan utama setiap warga. Jika musim kemarau tiba, tak jarang jarak berkilo-kilometer harus ditempuh demi satu ember atau satu dua jeriken air bersih. Sumur-sumur kecil digali di pinggir-pinggir parit di dekat pohon pisang untuk menampung air.
Tapi warga di sana tetap hidup bahagia. Aku, pun sering kutanyakan pada Ibu, mengapa kadar kebahagiaan kami terasa berbeda ketika tinggal di Padang Peutua Ali dulu dengan di kampung yang sekarang? Kata Ibu, karena silaturrahmi antarwarga di sana terjalin dengan akrab. Sesama warga saling membudayakan tradisi memberi satu sama lainnya. Entah itu makanan, sayuran, hasil panen, atau apa pun. Setiap lebaran tiba, nyaris tak ada rumah yang terlewati untuk dikunjungi. Kue-kue disajikan, minuman dihidangkan. Meriah!
Laiknya bayi, Padang Petua Ali tumbuh menjadi balita yang sehat dan menggemaskan. Perlahan tapi pasti, ia mulai bertumbuh. Kebun-kebun yang ditanami tanaman tua mulai memasuki masa panen, sehingga berdampak langsung pada perekonomian warga yang membaik. Sembilan tahun kemudian Lorong Pelita tiba-tiba berubah gelap gulita. Kehidupan berhenti berdenyut. Nadinya terputus. Meninggalkan trauma dan luka di hati kecil kami.[]

Rabu, 07 Februari 2018

Aku Makhluk Kesunyian


Petang tadi aku mengunjungi Taman Wisata Krueng Aceh di sisi Jalan Cut Meutia, Banda Aceh. Taman ini selalu saja menarik perhatianku, tapi baru petang tadi niatku untuk bersantai di sini kesampaian. Beberapa bulan lalu aku pernah merapatkan tapak sepatuku dengan batu-batu alam yang melapisi trotoar di bantaran sungai. Numpang lewat menuju jalan pulang. Sambil berkejaran dengan waktu yang hampir sempurna gelap, dibantu Yelli, terekamlah beberapa gambar di ruang memori ponselku.
Tak lewat dari pukul setengah enam aku tiba di taman itu. Menaiki beberapa anak tangga, memijak kaki di trotoar, kemudian menuruni beberapa anak tangga lagi. Lalu berjalan menyusuri lorong setapak di antara taman bunga menuju salah satu kursi yang menghadap ke Krueng Aceh. Kursi-kursi yang dirancang khusus dan muat hanya untuk sepasang manusia berbadan ideal.
Dengan rancangan kursi seperti itu, tentunya menjadi pilihan paling nyaman bagi muda-mudi kasmaran untuk menghabiskan sore jingga mereka di taman ini. Sambil bercengkerama, tertawa malu-malu kala salah satunya menggoda, untuk menghabiskan sebungkus dua bungkus camilan sebagai bekal. Dalam diamku tadi, terlintas di benak, alangkah tak adilnya jika kemudian ada polisi khusus yang di waktu-waktu tertentu datang menghalau muda-mudi yang duduk di sini. Harusnya yang merancang kursi-kursi itu yang dihalau.

Aku memilih salah satu kursi. Mungkin karena bukan akhir pekan, sehingga taman ini tampak lengang. Dari tempatku duduk, di kursi sebelah kanan terlihat seorang pria duduk di sana, hanya ditemani ranselnya yang tergolek masai di sebelahnya. Pria ini bergerak meninggalkan taman pada pukul setengah enam lebih tujuh menit.
Di kursi di sebelah pria dengan ransel tergolek tadi, duduk seorang pria berkaus hijau berkerah, celananya bermotif tentara, dia juga sendiri. Duduk dengan kaki ditegakkan sebelah, dan jari-jari tangan kanan menjepit sebatang rokok. Di kursi di sebelah lelaki bercelana motif tentara itu, ada sepasang manusia di sana, lalu di kursi berikutnya hanya tampak seorang manusia teronggok di sana.
Di sini, di tempatku duduk, aku juga sendirian, tapi bertemankan sebuah buku karangan penulis berambut kriwil Andrea Hirata. Antara aku dan Andrea punya satu kesamaan; punya setitik tahi lalat di dekat bibir. Aku suka cerita-cerita yang ia tulis di dalam bukunya yang berjudul Sirkus Pohon. Aku pernah mengikuti kelas menulis dengannya pada 2007 silam. Di balik untaian kalimat yang jenaka, terselip pesan moral dan intisari cerita yang bikin mata batin terbuka. Andrea oh Andrea, bilakah aku mampu menulis sebohai itu?

Membaca bab demi bab dalam Sirkus Pohon seperti menghisap candu tak berkesudahan. Benar-benar terbuai kita (aku) dibuatnya. Cobalah sejenak kawan-kawan bayangkan, duduk di tepi Krueng Aceh ini saja sudah membuat senang hati luar biasa. Aku merasakan berulang-ulang kesiur angin lembut hinggap di kulitku. Di seberang sungai, punggung-punggung rumah toko terhalang pandang dengan tanggul, rerumputan, dan pohon di dekat bantaran sungai.
Saat aku membuang pandang ke bilah kanan, tampak jembatan Pante Pirak yang ramai oleh kendaraan. Sementara di sisi sebelah kiri, di kejauhan sana menjulang menara masjid di Peunayong yang hijau. Berada di sini membuatku teringat pada sepotong cerpen berjudul Di Tepi Sungai Pidra, karya pengarang terkenal Paolo Coelho. Aku pun teringat pada sungai Rhein yang membelah kota-kota di Benua Biru nun jauh dari tempatku berada. Juga potongan imajinasi pada Selat Bosphoros yang memisahkan Turki dengan dua benua sekaligus.
Ditambah dengan teman dalam wujud sebuah buku yang renyah dan berbobot seperti ini, bukankah berkali-kali lipat senangnya? Sesekali, saat mata lelah, aku menyantap buah langsat yang kubeli di Pasar Kampung Baru. Sore tadi, sebelum ke sungai, aku mampir ke warung Asahi untuk menikmati hidangan berupa nasi putih dengan sayur pakis, dan semur ayam. Plus tiga keping jengkol rendang yang dalam pandanganku dengan perut lapar, tampak seperti kepingan-kepingan mata uang digital Bitcoin yang sedang heboh itu.
Dalam suap demi suap itulah karangan buah langsat yang warna kulitnya menjadi dambaan banyak perempuan terlihat oleh mataku. Mungkin tanpa bantuan kacamata, buah-buah langsat itu takkan tampak. Aku menukar selembar dua puluh ribuan untuk sekilo langsat.
Ratusan burung-burung hitam bersayap kecil sempat mengusik kekusyukanku. Aku menoleh ke udara. Decit berdecit suaranya tembus ke telingaku. Burung-burung ini seketika mengingatkanku pada bungkus bubuk agar-agar merk Sriti. Maka kusebut saja dia burung sriti. Nama latinnya Collacalia esculenta.
Jika sedang tak hujan di hulu, air sungai ini biasanya berwarna kehijauan. Tidak keruh seperti tadi. Beberapa tumpuk sampah mengapung di permukaan. Permukaannya yang biasanya tampak berkilau-kilau, sore tadi hanya tampak beriak-riak kecil tanpa kilau cahaya. Sebab langit Banda Aceh memang agak dikulum mendong sore tadi. Tapi itu justru menambah kenyamanan duduk di tepi sungai.

Aku menikmati betul kesendirianku ini. Aku bisa menenggelamkan diriku sedalam-dalamnya ke berlembar-lembar buku yang sedang kubaca. Sesekali berbalas pesan dengan teman-teman di Whatsapp. Aku adalah makhluk kesunyian. Makhluk yang sangat mencintai suasana lengang dan sunyi. Perihal istilah 'kesunyian' ini, adalah kosakata baru yang kudapat siang kemarin dalam kelas Forum Aceh Menulis yang diampu seorang penyair muda Ricky Syah R.
Ricky mengatakan, seorang penulis umumnya dalah makhluk kesunyian. Karena mereka senang menyendiri untuk mengeksekusi ide-ide liarnya. Tak masalah mereka berada di mana saja, entah itu di warung kopi yang riuhnya bikin kita mengucap berkali-kali, mereka selalu bisa menghadirkan ruang sunyi itu untuk dirinya sendiri. Aku terinspirasi dengan kata kesunyian, dan lahirlah catatan ini; aku makhluk kesunyian.[]
Ditulis pada 25 Januari 2018. Telah dipublikasikan di Steemit

Minggu, 05 November 2017

Menjaga Leuser, Menjaga Sumber Air


Terpilih sebagai salah satu penerima beasiswa Perempuan Peduli Leuser merupakan satu hal yang sangat saya syukuri. Walaupun workshopnya baru berlangsung sekali, namun banyak pengetahuan baru yang saya dapat sehingga membuka lebar-lebar cakrawala berpikir saya. Khususnya mengenai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang menjadi wilayah sentral kerja USAID Lestari di Aceh.
Menyebut Leuser, tentu bukan nama yang asing bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh. Wujudnya sebagai gunung dengan ketinggian 3.404 mdpl menjadikannya sebagai gunung tertinggi di Aceh dan tentunya menjadi primadona. "Digunjingkan" semua orang terkhusus para pecinta alam dan aktivis lingkungan. Bagi seorang pendaki gunung, bisa menapakkan kakinya di puncak Leuser yang misterius adalah kebahagiaan tak terdefinisi. Nyatanya menaklukkan Leuser memang tak mudah.
Leuser kian masyur ketika pemerintah pada 1980 menabalkan namanya sebagai Taman Nasional Gunung Leuser yang mencakup Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Aceh Tamiang. Termasuk sebagian wilayah Sumatera Utara meliputi Kabupaten Dairi, Karo, dan Langkat. (wikipedia)
Kita, masyarakat di Provinsi Aceh, patut berbangga akan hal ini. Leuser, khususnya Kawasan Ekosistem Leuser adalah milik seluruh umat yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia. Tak hanya sebagai penyedia oksigen yang kita hirup setiap kali menarik nafas, Leuser adalah cembung air bagi kita.

Maka menjaga Leuser adalah tugas dan tanggung jawab semua orang, bukan hanya masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan saja. Itulah pesan tersurat yang disampaikan Bang Ivan Krisna, Koordinator USAID Lestari Aceh, dalam serial workshop pertama pada pertengahan Oktober 2017 di Blangkejeren, Gayo Lues.
Secara gamblang Bang Ivan menjelaskan, Gayo Lues misalnya, sebagai salah satu kabupaten yang menjadi inti dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) saja memiliki lima Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang menjadi pemasok air bagi 13 kabupaten. Kelima DAS itu adalah DAS Alas, Tamiang, Perlak, Jambo Aye, dan Kuala Tripa. Begitu juga dengan Aceh Tenggara yang memiliki DAS besar pemasok sumber air ke wilayah tetangganya. Bisa dibayangkan jika kawasan ini rusak? 
Sayangnya, sungai-sungai itu debit airnya terus menyusut. Sejalan dengan perusakan hutan yang membabi buta. Namun tidak dibarengi dengan peremajaan hutan atau reboisasi. 
Apakah memang sama sekali tidak ada yang berusaha menyelamatkan hutan? Ada, tentu saja ada. Tetapi jumlah mereka tentu bisa dihitung dengan jari. Itupun dengan imbalan yang hanya bisa diharapkan kepada Tuhan saja sebagai pemilik semesta. 
Dengan luas mencapai 2,6 juta hektar, KEL juga memiliki fungsi lain sebagai sumber mataha pencarian warga, perlindungan bencana, jasa lingkungan, hingga penyerap karbon.
Dihuni Lima Spesies Kunci
Keistimewaan lainnya Leuser adalah kaya akan flora dan fauna yang selalu mengundang rasa penasaran bagi peneliti. Berdasarkan lembar informasi yang saya dapatkan dari USAID Lestari, lebih dari 4.500 spesies tanaman tumbuh di kawasan ini, ada 382 jenis burung, 350 spesies serangga, 92 spesies melata, dan 81 spesies ikan.
Angka ini sama dengan 45% dari estimasi spesies tanaman di Indo - Malaya Barat, 85 % estimasi total spesies burung sumatera dan 54% estimasi hewan darat di Pulau Sumatera, ada di Leuser. Sungguh, kita akan kekurangan kosa kata untuk menggambarkan betapa luar biasanya karunia Allah yang dititipkan di bumi Aceh ini.
Leuser juga menjadi rumah bagi lima spesies kunci yaitu gajah, orangutan, harimau, beruang, dan badak. Sayangnya hewan-hewan ini semuanya terancam punah. Hewan-hewan itu dijadikan komoditas bernilai tinggi. 
Padahal, seperti kata Bang Ivan, keberadaan hewan-hewan ini adalah pelengkap siklus kehidupan itu sendiri. Gajah misalnya, berperan penting dalam proses penyebaran biji-biji tumbuhan. Meminjam istilah Bang Ivan, disebut dengan suksesi di alam.
Sayangnya manusia --yang diutus sebagai khalifah di bumi-- justru tak bisa mengaplikasikan perannya dengan baik. Manusia sering salah dalam melakukan perencanaan ekonomi, sehingga tidak bijak dalam mengelola hutan sesuai fungsi dan keberadaannya. 
Tetapi tidak ada kata terlambat untuk memulai sebuah niat baik bukan?[]
Ket foto: 
1. Aliran air dari pegunungan di Kecamatan Dabun Gelang, menuju ke Kecamatan Pining, Gayo Lues. @ihansunrise
2. Kami beberapa peserta Perempuan Peduli Leuser main-main ke objek wisata Genting di Kecamatan Pining, Gayo Lues @ihansunrise