Sabtu, 30 Agustus 2025

Setelah Kau Pergi, Negeri Ini Makin Tak Baik-Baik Saja



Setelah kau pergi, keadaan di negeri ini semakin tak baik-baik saja. Malam kemarin, seorang anak di ibu kota negara, bernama Affan Kurniawan, yang baru berusia 21 tahun, seorang tulang punggung keluarga, akhirnya meninggal dunia setelah ... dilindas oleh mobil berlapis baja dan antipeluru pada Kamis malam, 28 Agustus 2025. 

Ya, dilindas oleh mobil barracuda milik Satuan Brimob Polda Metro Jaya. Mengerikan, ya. Sungguh tragis. Ini bukan kematian biasa. Ini tragedi. Pertanda bahwa negeri ini semakin tak baik-baik saja. Semakin tersuruk dalam lubang yang dalam.

Jika kaumasih ada, mungkin kamu akan melihat sendiri betapa semakin frustrasinya menjadi rakyat akhir-akhir ini. Atau, mungkin kaujustru frustrasi karena (mungkin) aku misuh-misuh kepadamu sebagai pelampiasan atas segala kedongkolan di hati.

Saat pemilu lalu, berbagai janji dilarungkan sebagai sesaji politik dan hinggap dalam sanubari rakyat. Tapi semua itu hanya fatamorgana. Kamuflase belaka. Rakyat terlalu serius menanggapi dongeng politik. Sementara politisi semakin lihai membual. Mereka semakin tak malu-malu menunjukkan "sisi lain" mereka yang nirempati dan nirakhlak.

Ini bulan Agustus. Bulan kemerdekaan. Tepat pada tahun ini, gempita perayaan 80 tahun Indonesia baru saja berlangsung di seluruh antero negeri. Dengan episentrumnya, tentu saja, di suatu tempat di mana para pejabat berkumpul untuk bersenang-senang. Dengan cara ... berjoget-joget gemoy.

Gemoy. Sebuah kata yang mulai diperdengingkan kepada kita menjelang musim pemilu lalu. Dan kini telinga kita semakin akrab, bahkan mesra, dengan istilah itu. Gemoy, entah kenapa, aku merasa kata-kata itu lebih dari sekadar kata. Ia mengandung, mungkin senyawa, mungkin pula sihir, atau semacam zat bius, yang mampu menghipnotis atau menyihir atau melenakan kita agar tunduk-patuh pada ketololan penguasa. Tak bisa berkutik karena sudah disajenkan dengan makanan bergizi gratis, sekolah rakyat, atau sejenisnya.

Usia delapan puluh tahun negara ini, yang disimbolkan dengan angka delapan (8) dan nol (0). Gabungan dua angka yang teramat istimewa. Angka delapan terbalik, bukankan itu simbol infinity atau ketertakhinggaan? Sedangkan nol, jangan anggap ia hanya sebuah bilangan yang kosong. Justru, karena nol-lah sebuah bilangan akan berubah nilainya. Kita tentu bisa membedakan nilai sebuah angka dengan tambahan 0, 00, atau 000. 

Ah, ironinya, karena nol pula kita kerap kesulitan menghitung jumlah uang rakyat yang dikorupsi para tikus busuk itu. Karena korupsi mereka, rakyat semakin akrab dengan istilah triliunan, tapi bingung ada berapa banyak nolnya.

Yang tak terhingga, ditambah sebagai penambah nilai bilangan, mestinya itu simbol untuk sebuah usia negeri yang bernilai dan tak terhingga. Kita berharap, yang tak terhingga itu adalah kebahagiaan yang kita rasakan karena pejabatnya berakhlak baik, tak jago mencuri, dan amanah. Namun, kenyataannya? Akhlak menjadi jargon: ber-AKHLAK!

Agustus belum pun berakhir. Euforia bulan kemerdekaan masih tersisa pada dinding-dinding gapura yang dicat merah-putih, atau umbul-umbul merah-putih yang masih berkibar--meski sudah robek karena terus dipapar angin. Namun, kita sudah harus menyaksikan seorang anak bernama Affan Kurniawan harus pergi dengan cara seperti itu. 

Di sisa-sisa bulan kemerdekaan ini, yang kita rasakan justru perasaan terjajah oleh bangsa sendiri. Melalui kebijakan-kebijakan semacam kenaikan pungutan pajak, kenaikan tunjangan anggota DPR RI, meninggalnya seorang anak karena di otaknya sudah menjadi sarang cacing. Atau ... tanah-tanah menganggur kita yang akan dirampas oleh negara. Juga perihal rekening kita yang bakal dibekukan sekiranya dalam tiga bulan tak ada transaksi. Yang rajin bertransaksi pun akan diawasi. 

Tiba-tiba aku menjadi khawatir pada dua rekeningku. Dua-duanya hanya tersisa beberapa puluh ribu lagi. Kemarin sore, aku mentransfer setengah dari beberapa puluh ribu itu ke rekening yang lain supaya bisa ditarik beberapa puluh ribu. Kaubingung, ya? Sama, aku lebih bingung. Bingung bagaimana caranya agar rekening itu jangan sampai dibekukan--mengingat jika saldonya tak bertambah, aku tak bisa bertransaksi, kan?

Tak cukup di situ, rakyat pun masih dikatakan tolol. Anehnya, beberapa orang yang kita enggak tahu apa kontribusinya untuk bangsa ini justru diganjari penghargaan oleh Presiden. Bukan cuma fisik kita yang dihajar, emosi kita dikuras, mental kita pun dirusak. 

Kau, yang sudah di sana, semoga selalu berbahagia. Tenanglah karena tak perlu lagi menyaksikan dan merisaukan berbagai "dagelan" buruk yang dipertontonkan oleh orang-orang yang mengaku pemimpin kita. Ah, di dunia fana ini, kata pemimpin semakin kehilangan makna, bahkan tak bermakna lagi.

Seperti yang dulu-dulu sering kita bincangkan. Pemimpin, mestinya mengayomi, kan? Mestinya lebih mau mendengar, kan? Harus punya bahu yang kuat dan dada yang lega untuk mendengar keluh kesah rakyatnya, kan? Tapi semua itu tidak ada pada mereka yang mengaku pemimpin, entah itu di eksekutif, lebih-lebih di legislatif. Mereka ini seperti dua penyamun yang berkomplot untuk mencuri harta rakyat. Harta kita. Mereka sebenarnya badut. Cuma bisa ngibeng sana ngibeng sini.

Itu saja yang ingin kukabarkan kepadamu hari ini. Semoga sepenggal doa yang kukirim semalam bisa menjadi "jaminan" untukmu mendengar ceritaku hari ini. Allahumma firlahu warhamhu wa 'afihi wa 'fu 'anhu




Latest
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)