Rabu, 25 September 2013

25 September setahun yang lalu

Foto ilustrasi
Kurasakan wangi tubuhmu kembali menempel di hidungku. Mengingatkanku pada tatapan lekat ke manik matamu yang bercahaya. Membuatku berdebar, bergelora.

Menyadari hari ini 25 September sungguh sangat menyenangkan. Membuatku begitu gembira, berbunga-bunga, tapi juga rasa yang entah yang hinggap bertubi-tubih.

Pagi tadi aku baru saja mengecupmu mesra, berbisik di telingamu, mengucapkan sepotong kalimat yang kuyakin sangat kau sukai. Selamat ulang tahun Cinta.

Baru pagi tadi kurasakan nafasmu begitu dekat, hangat. Pagi tadi itu setahun yang lalu, saat Tuhan memberi kita kesempatan untuk bersama. Setahun rasanya seperti baru kemarin, teramat sangat singkat. Tapi menjadi sangat lama karena rindu yang terus menerus mendera. Ah, rindu... andai saja kita tahu bentuknya seperti apa. Pasti akan mudah sekali menaklukkannya. Sayangnya hingga akhir waktu ia hanya akan hadir sebagai abstraksi yang rumit. Tak berpenjelasan.

25 September adalah hari di mana aku mencuri start untuk memberimu ucapan selamat ulang tahun. Meskipun hanya sepotong ciuman basah, karena itu mestinya kuberikan esok hari. Tapi kadang-kadang kita mesti berbaik-baik dengan takdir. Meninabobokannya untuk sekali dua kali waktu, .......


Pemuda imajinatif itu namanya Hijrah "Piyoh" Saputra

Hijrah Saputra @facebook
SEBENARNYA aku sudah lama ingin menuliskan profil pemilik Piyoh Design, Hijrah Saputra, dalam sudut pandang kacamataku sendiri. Selama ini aku memang sering menuliskan kiprahnya sebagai salah satu pengusaha muda Aceh, tapi itu untuk kebutuhan lain. Tentu saja citarasanya juga berbeda.

Rencana menuliskan tentang Hijrah sudah bercokol di benakku sejak usai Idul Fitri pada bulan Agustus lalu. Tapi terulur-ulur terus sampai sekarang sudah mau lebaran Idul Adha. Hari ini kurasa momen yang tepat untuk menulisnya karena pria muda itu sedang merayakan hari ulang tahunnya yang ke twenty nine my age alias ke 29.

Nama Hijrah sebenarnya sudah kudengar sejak tahun 2007 atau 2008 lalu. Waktu itu Hijrah yang ada dalam benakku adalah Hijrah Saputra yang sealmamater denganku. Rupanya aku salah. Itu kusadari setelah suatu hari aku nyasar di blognya di piyoh.blogspot.com. Pertemuan pertama kali dengan pria hitam manis ini pada akhir 2011 lalu, tepatnya di event Festival Kopi yang dibuat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banda Aceh. Waktu itu aku bersama Ferhat dan Nurul Fajri lagi muter-muter di sana, dan karena si Ferhat ini kenal sama Hijrah, begitu berpapasan mereka langsung ngobrol. Aku, cuma bisa diam mengamati... oh ini toh si Hijrah itu... kelihatannya ramah juga ya (dari facenya). Tapi kok nggak nyapa aku yaaa...tuing tuing tuing...

Logo Piyoh @facebook
Pertemuan kedua di sebuah seminar yang dibuat oleh Saman UI di aula balai kota Banda Aceh. Waktu itu aku datang dengan seorang teman yang juga temannya Hijrah. Bukan bertemu sebenarnya karena kami hanya duduk di belakang dan menyaksikan Hijrah cuap-cuap ngasi motivasi untuk anak-anak SMA di Banda Aceh. Rupanya selain ngembangin usaha sendiri, si abang yang pernah jadi Raka Malang ini juga aktiv bagi-bagi informasi ke orang. Dia pernah bilang share ilmu ke orang ngga perlu takut, karena ngga bikin kita (dia) jadi bangkrut atau miskin.

Kalau orang-orang bilang hidup baru berawal di usia 40 tahun, aku justru baru memulai di tahun 2012. Maksudnya, aku baru mulai kenal Hijrah lebih dekat pada awal April 2012 lalu. Jadi praktisnya usia persahabatan dengan Hijrah itu baru seumur jagung. Tapi aku merasa sudah berteman lamaaaaaaaaaaaaa kali sama cowok yang pernah jadi Duta Wisata Sabang ini.

Senin, 23 September 2013

Presiden, PKA dan Bupati yang gagal datang ke kampungku

Presiden SBY saat seremonial pembukaan PKA VI
@ATJEHPOSTcom/Heri Juanda
NGGAK terasa Pekan Kebudayaan Aceh udah masuk hari keempat. Itu artinya masih tersisa sepekan lagi dari waktu yang ditetapkan sejak 20-29 September 2013. Meski belum setengahnya berlangsung namun event yang dihelat lima tahun sekali ini mulai menorehkan sejumlah persoalan. Tapi soal itu aku ngga mau cerita di sini.

Aku justru mau cerita soal prosesi pembukaan seremonial tersebut yang kabarnya agak berlebihan. Aku memang ngga datang langsung waktu hari H pembukaannya Jumat, 20 September lalu. Tapi berita tentang itu  (harus) terus kupantau sejak beberapa hari sebelumnya. Baik dari media mainstream maupun dari jejaring sosial, terutama Facebook.

Dari Facebook aku tahu sehari sebelum Presiden SBY tiba di Banda Aceh, daerah Kopelma Darussalam sudah "hijau". Ini bukan karena reboisasi daerah kampus oleh anak mapala, tetapi oleh seliweran tentara Angkatan Darat yang bertugas untuk mengamankan Presiden. Oh ya, ngomong-ngomong sebelum membuka PKA pada pagi Jumat, pada Kamis malam Presiden SBY menerima gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Syiah Kuala. Jadi mengertikan mengapa wilayah kampus itu harus disterilkan. Kabarnya lapak-lapak jualan di sekitar itu juga turut dibersihkan untuk sementara.

Dari sebuah status Facebook yang sempat terbaca olehku, seorang mahasiswa tingkat akhir di Unsyiah merasa kurang nyaman ketika sebuah helikopter terbang dari jarak rendah di kawasan itu. Tentu saja ini sangat beralasan mengingat Aceh sebelumnya pernah dilanda konflik. Meski para tentara itu bukan dikerahkan untuk berperang tapi mayoritas mahasiswa risih, begitu juga dengan masyarakat. Pasukan keamanan yang disiagakan selama Presiden berada di Banda Aceh cukup fantastis sekitar 2.500 personil. Anda boleh bilang wow! untuk jumlah ini. Pasalnya Aceh kini bukan lagi daerah konflik sodara-sodara.

Minggu, 22 September 2013

Menemukan Kopi Sulthan di Festival Kopi

TADI sore sembari menunggu magrib aku sempatkan membaca kumpulan cerpen pilihan Kompas. Dari beberapa belas judul, setelah kubolak-balik aku berhenti pada satu judul yang menurutku cukup menarik, Bunga Kopi. Namun setelah membaca keseluruhan isinya, cerpen itu  tidak seperti yang kubayangkan. Tapi tetap ada yang menarik, beberapa kalimat menceritakan tentang harumnya bunga kopi yang menyemerbak.

Buah kopi masak @bumn.go.id
Aku jadi ingat obrolan beberapa bulan lalu dengan bang Joe dan bang Sada, bang Joe ini budayawan kelahiran Samalanga namun besar di Gayo. Ia sendiri lebih suka disebut sebagai orang Gayo, dan sangat aktiv mengangkat isu-isu Gayo, terutama di bidang budaya. Sedangkan bang Sada waktu itu masih bekerja di sebuah kafe sebagai peracik kopi. Pemahamannya tentang kopi tentu saja patut diacungi jempol. Itung-itung sebagai riset, mengobrol dengan bang Joe dan bang Sada sangat menyenangkan.

Bicarain kopi dengan mereka seperti ngga ada habis-habisnya. Ceritanya detil dan bikin aku berkali-kali oo... gitu ya, oo... gitu yaa.... wow...kerennn!! Kemaruk ya J Dulu waktu masih SD pernah sempet punya kebun kopi, ceritanya waktu itu ayahku baru beli kebun. Isinya macam-macam, ada pohon kopi, lamtoro yang berfungsi sebagai pohon pelindung dan pisang. Ada juga beberapa jenis pohon lainnya. Nah sebelum pohon kopi itu ditebang, aku dan ibu sempet manen buahnya. Sambil mendengar saluran FM di radio, aku dan ibu memetik kopi. Sesekali aku juga memakan buah kopi, selaputnya manis, enak kalau diemut. Aku punya trik sendiri waktu itu, buah kopi yang kumakan kupilih yang berwarna hitam tua dan tunggal, rasanya lebih manis dan nggak langu. Satu lagi yang kusuka dari kopi adalah bunganya, wangi. Dulu waktu kecil kami suka merangkai bunganya. Entah dibikin kalung atau gelang.

Bunga kopi. Sumber foto @titisharyani
Ngomong-ngomong soal kopi, kopi Aceh memang terkenal. Terutama kopi yang tumbuh di dataran tinggi Gayo. Kopi jenis Arabica tersebut termasuk yang terbaik di dunia dan sangat laku di Amerika. Di kedai kopi Starbuck yang dijual juga kopi Arabica dari Gayo. Kopi-kopi itu juga mempunyai gradenya sendiri, ada specialty, long berry, pie berry, dll. Soal jenis-jenis kopi ini aku mengetahui setelah mengobrol banyak dengan pengusaha kopi dari Takengon. Dari dia juga aku jadi tahu kalau kopi itu aromanya macam-macam, ada aroma rumput, peanut/kacang, tanah, bunga, dan beberapa lainnya. Aroma-aroma ini rupanya dipengaruhi oleh jenis biji kopi dan tingkat pengendapannya. Aku juga baru tahu kalau kopi saring yang dijual di warung-warung kopi di Banda Aceh adalah jenis robusta.

Saking spesialnya kopi Aceh, banyak teman-teman di luar Aceh yang suka minta dikirimkan kopi dari sini. Bahkan ada yang iseng minta dikirimkan kopi campur ganja, di Gayo Lues tepatnya di Pining kopi campur ganja ini memang ada. Namanya kopi dangdut. Soal kopi dangdut ini bukan cerita belaka, mantan istri Gubernur Aceh Bu Darwati A Gani pernah meminumnya waktu berkunjung ke sana. Aku sendiri? Belum pernah, dan sangat penasaran gimana rasanya.

Maka begitu ada Festival Kopi yang digagas oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banda Aceh, aku pribadi sangat senang sekali. Ajang ini bukan cuma jadi ajang untuk promosi potensi kopi Aceh. Tapi juga kesempatan buat belajar lebih banyak mengenai seluk beluk kopi. Jadi ingat waktu Festival Kopi yang pertama kali, akhir tahun 2011 lalu. Waktu itu sempat beli beberapa kotak kopi, kebetulan pas mau keluar kota, sekalian buat oleh-oleh. Setelah keliling-keliling stan akhirnya nyangkutlah di salah satu stan. Kubeli beberapa bungkus kopi merk Kopi Sultan. Kemasannya menarik dan ekslusif yang ditulis dalam alfabeth mirip tulisan India. Acha acha kopiheee... hahahah

 Kerenkan? sumber foto @kopiaceh
Saat ke luar kota kopi-kopi itu kuberikan sebagai oleh-oleh kepada beberapa teman yang kukunjungi. Mereka bilang rasanya enak, aromanya kuat. Ada juga yang minta dikirimkan lagi, merknya harus yang sama. Kubilang kali ini ngga gratis lho heheheheheh. Kopi Sulthan memang spesial soalnya yang dijual jenis premium. Kualitasnya benar-benar terjamin. Biji kopinya berasal dari dataran tinggi Gayo. Meski harganya agak lumayan, tapi kualitas selalu berbanding dengan harga bukan?

Minum kopi ini juga ada triknya sendiri, waktu diseduh jangan diaduk tapi biarkan sampai bubuk kopinya mengendap sendiri. Dengan cara ini kita jadi tahu kopi itu asli atau tidak. Kalau bubuk kopinya campuran, entah dengan jagung misalnya, campurannya jadi ngambang. Selamat menikmati!




Selasa, 17 September 2013

Rumput Liar

Ilustrasi
Akhirnya hujan yang turun sejak siang tadi reda juga. Bau tanah basah menyeruak. Segar. Di pegunungan yang tak jauh dari tempatku tinggal, kabut mulai muncul. Putih. Bagai bunga-bunga es di lemari pendingin. Aku bergegas ke kamar. Mengambil syal berbahan wol motif garis putih biru dan langsung kucantolkan ke leher. Hawa dingin menusuk-nusuk. Masuk hingga ke sum-sum tulang. Setelahnya aku segera pergi.

Sudah beberapa belas menit aku menunggu taksi. Tapi belum ada satupun yang nongol. Aku khawatir sementara aku masih di pinggir jalan seperti ini, hujan kembali turun. Butir-butir air yang jatuh dari pucuk pohon angsana menetes di tubuhku. Menambah gigil kala angin bertiup agak kencang. Aku merapatkan jaket sambil mataku tertumbuk pada sebatang rumput liar yang tengah meliuk-liuk. Bunganya kuning pucat dengan beberapa kelopak yang masih utuh.

Segaris senyum melengkung di bibirku. Bersamaan dengan butir air yang tepat jatuh di di hidungku. Rumput liar itu. Kamu! Seolah telah mengirimkan energi untuk mengeluarkanku dari kemalasan akibat cuaca yang tak bersahabat. Kau tahu, aku hampir saja membatalkan janji untuk ketemu denganmu sore ini. Rasa-rasanya meringkuk dalam balutan selimut tebal sambil memeluk guling lebih menyenangkan. Tapi entah mengapa, akhirnya aku bergegas dan sekarang berada di tepi jalan. Menunggu taksi yang tak kunjung datang.

“Nanti setelah bertemu denganku kau akan merasa hangat,” godamu dalam pesan pendek yang tak sanggup kutolak.

Aha! Taksi yang kutunggu-tunggu akhirnya melintas juga. Begitu taksi itu menepi segera aku masuk. Sebelum kembali melesat di jalan raya sempat kutoleh pada rumput liar berwarna pucat itu.

Senin, 16 September 2013

Beulidi!

Google
INI bermula ketika seorang teman bertanya, apa artinya "Glap". Lalu dengan yakin kujawab "Glap" adalah "Seupot", alias "Gelap" yang berasal dari bahasa Indonesia kemudian "diserap" ke dalam bahasa Aceh. Jawabanku ini bukan asal jawab saja, dulu waktu masih kecil sering kudengar nenekku mengatakan "Glap" sebagai pengganti kata "Gelap". Ternyata jawabanku salah. "Glap" adalah "Penjara" kata temanku. Hah? Aku salah dong!

Semua kukira sudah tahu kalau Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia ini memiliki berbagai suku yang majemuk. Di Aceh saja, tempat lahir beta, bahasanya macam-macam. Katakanlah yang umum-umum saja ada bahasa "Aceh" yang umumnya dipakai oleh masyarakat pesisir, bahasa "Gayo" yang umumnya dipakai oleh masyarakat di dataran tinggi Aceh, bahasa "Jamee" yang umumnya terdapat di wilayah barat selatan Aceh. Ada juga bahasa Alas, Tamiang, Simeulue, dan lainnya yang kalau disebutkan satu persatu pasti sangat banyak.

Di pesisir saja, yang sama-sama menggunakan bahasa Aceh, dialeknya juga sangat beragam. Sebagai contoh dialek Aceh Timur tempat saya berasal dengan dialek Pidie. Waktu saya kecil ibu selalu mewanti-wanti agar saya tidak menjawab dengan "Peu" ketika beliau memanggil saya. Tetapi selalu dibiasakan dengan jawaban "Tuwan" yang akhirnya disingkat menjadi "Wan" saja. Dalam tataran keluarga kami "Wan" atau "Tuwan" merupakan jawaban yang sopan. Jika kami menjawab dengan "Peu" maka ibu mengatakan, "Lage ureueng Pidie" alias seperti orang Pidie.

Minggu, 15 September 2013

Penantian

Ilustrasi
INI kali ketiga aku melihatmu. Engkau datang dengan sepotong senyum tertahan. Juga langkah yang sedikit tergopoh-gopoh. Tak jauh dari tempatku duduk engkau menarik sebuah kursi, melepas ransel yang menggantung di pundakmu lalu mengempaskan pantatmu di kursi berlapis busa.

Sebelum membelakangiku kau sempat melempar senyum yang datar. Tapi aku sempat menangkap ribuan kata yang tersembunyi di balik retina matamu. Ada kegembiraan yang kau tahan di sana, juga semedi ketakutan yang coba kau sembunyikan. Dugaanku bisa jadi benar, tak lama setelah kau duduk seorang pria datang mengampirimu.

Pria itu, tentu saja aku kenal. Tapi bukan itu yang membuatku tertegun, melainkan caramu merengkuh dan mencium tangannya dengan takzim. Sekali lagi, meski engkau membelakangiku seolah aku bisa membaca geliat bahasa badanmu. Bahwa engkau menaruh rindu yang teramat pada pria yang kau cium tangannya itu. Dan wajah pria itu, tentu aku bisa melihatnya dengan jelas karena ia menghadap ke arahku. Bahagia!

Aku masih ingat namamu. Mirah. Nama yang sederhana namun terkesan kuat dan tangguh. Nama itu kukira cocok disandingkan dengan keteguhan dan kesungguhanmu dalam mencintai pria itu. Kesungguhan yang membuatku iri, maksudku, aku juga ingin ada seseorang yang bisa mencintaiku seperti itu.

Rabu, 11 September 2013

Meranti dan sintrong, dua jenis sayuran hutan paling membekas di ingatanku

Pucuk Meranti
SAAT menuliskan ini aku sedang dalam kondisi tak "baik", entah kenapa sejak siang tadi aku kurang begitu semangat. Mungkin juga karena sudah beberapa hari ini badanku ngga begitu fit, semalam malah sempat homesick dan rasanya pengen pulang ke kampung. Sampai-sampai menetes air mata dan rindu begitu kuat sama almarhum ayah.

Saat-saat rasa "galau" itu melanda, tiba-tiba Mbak Adel yang di Bandung posting gambar eceng gondok yang akan disayur. Jujur saja seumur hidup aku belum pernah makan daun itu. Di Aceh daun eceng gondok biasanya dijadikan pakan bebek. Tapi aku -dan juga keluarga- suka sekali dengan daun genjer, yang habitatnya sama seperti eceng gondok. Sama-sama hidup di air. Yang oleh kebanyakan masyarakat Aceh lainnya juga dijadikan pakan bebek. Melihat postingan Mbak Adel ini teringat saat masih anak-anak, ibuku sering memasak daun-daunan liar.

Aku akan memutar ulang beberapa cerita masa kecilku tentang jenis sayur-sayuran, yang aku yakin hanya orang-orang "tertentu" yang pernah memakannya. Maksudnya hanya orang-orang ladang seperti kami yang dasarnya adalah petani. Sebagai petani, otomatis lebih dekat dengan alam. Dan pada prinsipnya asal ngga membahayakan semua bisa dimakan.

Di beberapa tulisanku lainnya sudah pernah kuceritakan kalau kedua orang tuaku petani tulen. Aku hidup dan besar di ladang, belakangan di kebun, ketika ayahku mulai beralih menanam tanaman tua seperti kakao dan kelapa.

Di daerah tempat kami tinggal dulu ada kawasan perbukitan yang diberinama Lhok Jeuruweng. Sampai sekarang aku tidak tahu apa arti nama Jeuruweng itu. Kondisi geografisnya berupa perbukitan yang di lembahnya terdapat parit-parit kecil dengan air yang sangat jernih. Lokasinya sangat jauh dari perkampungan penduduk. Jarak dari rumahku mungkin lebih dari lima kilometer dan itu harus ditempuh sambil jalan kaki. Dengan kondisi jalan berupa jalan tikus di antara lereng bukit dan kebun-kebun penduduk. Bukit ini sangat luas, mempunyai beberapa pucak bukit dan bisa tembus ke beberapa desa sekaligus. Bahkan beberapa ruas jalannya terpaksa harus melewati padang ilalang yang tinggi.

Kamis, 05 September 2013

Doa kecil untuk sahabatku

Aku (kanan) dan sahabatku (kiri)
KEMARIN seorang sahabatku ulang tahun, 4 September. Aku tak berniat menyebutkan berapa usianya sekarang, karena nanti usiaku jadi ketahuan juga berapa hahahah. Khusus untukku pribadi, aku merasa perlu berterimakasih pada Facebook yang diciptakan oleh Mark Zuckerberg. Kalau tidak, aku pasti bakalan lupa tanggal berapa sahabatku itu ulang tahu. Soalnya aku selalu kebalik-balik antara 4 September atau 14 September. Yang pasti bukan 44 September hehehe.

Sejak pagi aku sudah lihat peringatan yang termpampang di wall facebookku. Antara ingin menuliskan ucapan selamat dengan tidak. Kalau kutulis di situ, terlalu biasa, orang-orang (mungkin) akan melihat ucapanku untuknya. Kemungkinan lainnya adalah temanku itu tidak akan melihatnya, asumsinya pasti banyak yang menulis selamat ultah di wallnya, dan ia pasti akan meleatkan "kiriman"ku tanpa menyadarinya.

Akhirnya kuputuskan untuk tidak mengucapkan selamat di wallnya. Aku berniat membuatkan sepotong dua potong puisi dan kukirim ke inbox saja. Rasaku, dia pasti akan merasa lebih istimewa dan tersanjung hehehehe. Ntah iya pun... hahahahaha.

Tentu bukan salahku sepenuhnya jika sampai malam tak ada puisi yang kukirim untuknya. Dengan menerapkan standar prioritas, kufokuskan untuk menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu. Nanti saja bikinnya kalau sudah di rumah, begitu kilahku ketika masih di kantor. Aku ngga mau bikin puisi setengah jadi untuknya. Ngga mau asal! Pokoknya harus berkesan. Sampai di rumah, aku malah kecapean. Sampai rumah sekitar pukul lapan malam lebih. Istirahat sebentar terus beres-beres rumah, baru luang sekitar jam sepuluh lebih. Menjelang jam sebelas malam aku tidur dan sempatkan buka laptop sejenak, hahahaha... kulihat sahabatku online, maka selamat ulang tahun kuucapkan saja melalui inbox di facebook.

Meski hanya melalui tulisan, aku mengucapkannya dengan niat dan hati yang tulus. Seperti biasa, entah itu aku, entah itu dia, tetap saja momen milad itu tanpa makan-makan, atau perayaan apapun. Sahabatku ini istimewa, teramat sangat, meski sudah dua tahun nggak pernah ketemu tapi komunikasi kami ngga pernah putus. Itulah mengapa aku mesti berterimakasih pada Zukerberg.

Selasa, 03 September 2013

Sekeping kenangan tentang sekolah Kampung Pelita

foto by ATJEHPOSTcom
PERNAHKAH kau merasa rindu? Bukan rindu pada seseorang, tapi rindu kepada tempat asalmu. Di tanah tempat kau dilahirkan, tempat kau dibesarkan dan tempat kau belajar a be ce dan de, juga huruf hijaiyah alif ba ta dan tsa...Di tanah itu kau belajar artinya memiliki tanah air, tempat lahir beta.

Rindu serupa itulah yang terus kurasakan. Sejak siang tadi, kemarin, dan kemarinnya lagi. Aku terkenang pada sebuah desa yang sering kusebut sebagai Kampung Surga. Di desa itu berdiri sebuah bangunan yang amat sangat "istimewa". Bangunan tempat aku belajar membaca dan menulis. Ya, rumah sekolah kami.

Bangunan sederhana yang berdiri di kaki bukit, berada di tengah-tengah kebun warga, berdampingan dengan jalan utama di kampung itu. Kau mau tahu apa nama perkampungan itu? Namanya Lorong Pelita, berada di pedalaman Aceh Timur (Pelita yang Tak Padam Dihempas Konflik). Ah, sungguh indah bukan? Tapi kegelapan adalah hal pertama yang kulihat di kampung itu. Dulu, sekitar seperempat abad lalu, ketika aku sudah tahu apa artinya kegelapan. Kegelapan adalah malam tanpa cahaya bulan atau bintang. Di kampung kami, kegelapan berarti adalah hidup tanpa listrik. Ya, kala itu masyarakat sudah puas dengan lampu teplok, atau paling wah dengan petromak.

Oh ya, soal kampung Pelita itu biar kuceritakan lain kali saja ya. Kali ini aku ingin cerita tentang sekolahku dulu. Tempat aku belajar mengenal huruf. Oh ya, bukan tanpa alasan aku menceritakan sekolah pertamaku itu, selain karena aku tak mengenal sekolah Taman Kanak-Kanak, juga karena sangat banyak kenangan di sekolah itu. Dan dibandingkan saat aku SMP atau SMA, masa-masa SD adalah masa paling menyenangkan buatku.

Aku terus mengingat-ngingat. Jika ditanya apa yang pertama paling kuingat dari sekolah itu, adalah bumbungan asap hitam yang mengepul dari ruangan kelasnya. Awal tahun 1990-an, dari dalam keranjang di jok belakang sepeda motor tua milik ayahku, aku melihat api menyala-nyala dari sekolah itu. Itu juga hari pertama aku memahami istilah "mengungsi".