Selasa, 28 Oktober 2008

Catatan Rindu Jilid Pertama

Catatan Rindu Jilid Pertama
Mengapa Selalu Bulan??

mengapa selalu bulan, kata ku waktu itu, sabtu malam yang basah. mengalirkan air-air bening dari kelopak mata yang sembab. mengapa selalu bulan yang pertama kali ku pandang saat hati ini rindu? adakah bayang mu disana? adakah senyummu menggantung disana? adakah kehangatan mu kau titip kan disana? meski mata mengatup karena aliran air yang berat.

ku langkah kan kaki menuju ranjang kecil, ku bentangkan kembali catatan-catatan usang tentang kita. semuanya menceritakan tentang kemesraan dan sedikit air mata. air mata bahagia, kesedihan, dan juga air mata kemarahan.

bahwa malam itu, dengan kesadaran penuh, dengan susah payah ku katakan, bahwa semuanya harus berhenti sampai disini. waktu yang telah kusepakati dengan hati ku sendiri. waktu beberapa tahun silam, saat kita baru menanam benih dari pohon bernama cinta.

hanya berselang beberapa saat, bibir ini kembali tersenyum, menyenangkan hati bahwa tidak ada yang perlu ditangisi, waktunya telah tiba, semuanya sudah berakhir, hanya tinggal untaian tali tanpa warna gading saja sekarang.

tapi malam itu memang berbeda dengn malam-malam berikutnya, hati ini selalu bergetar setiap kali menyebut nama kecil mu, mata ini seperti dikomando untuk mengeluarkan air beningnya setiap kali membaca ulang cerita-cerita kita.

dan selanjutnya, engkau menjelma menjadi matahari dan bulan, matahari yang kembali memekarkan rindu ku, bulan yang selalu menemani ku berkisah ketika malam....
aku tak pernah berhenti merindui mu....
kekasih ku yang tak biasa...


04-21-2007, 06:38 PM

Sabda Cinta

Sabda Cinta
cinta,
ku tahu ia tak seputih kapas
tidak juga seperti noda
tapi kau bisa membuatnya lebih pekat dari noda
kau juga bisa membuatnya lebih putih dari kapas
suci, murni, bersih

cinta,
tak seindah yang kau bayangkan
tapi kau bisa membuatnya menjadi sangat indah
cinta juga tidak seburuk yang kau byangkan
tapi kamu sendiri yang menjadikannya lebih buruk

karena cinta alam ini ada
karena cinta aku terlahir
karena cinta kau dan aku bertemu
karena cinta pula kau dan aku berpisah


aku mau
kau tak persempit makna cinta
cinta itu seluas samudrasedalam lautan
setinggi awan
sekuat perasaan kita untuk saling memahami
setulus nurani kita


11-24-2006, 01:28 PM

Dialog Menjelang Malam

Dialog Menjelang Malam
dari jauh ia kembali bercerita
aku jatuh cinta tapi entah kepada siapa
aku rindu kepada anak dan istriku yang jauh
bahkan aku menangis sekarang
maafkan aku bila terlalu cengeng
tidak!
laki-laki bukan robot yang haram menangis
menangislah
dan berceritalah pada laut
walau tak bisa menjawab
ku yakin dia akan mendengar jeritan mu


11-19-2006, 10:20 AM

"Pohon, Perahu layar, Burung dan Tanah"

"Pohon, Perahu layar, Burung dan Tanah"
pohon

aku adalah pohon
yang sangat tergantung pada bibit, tanah, air, dan matahari juga pupuk
kadang aku kurus,
tatkala aku kekurangan nutrisi dan kurang perawatan
kekuranan air juga bisa membuatku layu
aku menjadi tidak sanggup melawan kencangnya angin karena tubuhku yang lemas
aku
adalah pohon
yang ingin tumbuh subur dan besar
hijau
berbuah lebat sehingga menjadi peristirahatan burung-burung
berkicau dan mereka bahagia


perahu layar

aku juga sebuah perahu yang tengah berlayar dilautan luas
aku bisa menyaksikan matahari terbit
indah
tapi tak urung aku berhadapan dengan badai
ombak yang besar
dan karang yang menjulang
yang kadang kadang tidak terlihat oleh mata
hampir saja aku menabraknya
lalu orang orang menjerit dan aku tersadar
aku sedang melamun



burung

aku burung kecil
yang selau ingin terbang dengan keterbatasan sayapku
dengan keterbatasan daya jangkau ku
mencari satu dua biji bijian
sebagi bekal kubawa pulang nanti
kadang aku harus berebut dengan elang besar atau rajawali yang buas
lalu aku mengepakkan sayapku kembali
mencari dahan kecil dengan buah yang lebat
aku beristirahat sebentar
lalu terbang lagi
mencari peristirahatan hati


tanah

sejujurnya
aku ingin menjadi tanah saja
tanah becek atau tanah kering sama saja
biar yang lain memangdang ku hina
asalkan aku terus humus
agar pohon pohon tumbuh subur diatasku
manusia manusia bisa menanam padi dan sayur
sungai sungai mengalir diatasku
sungguh,
aku tidak ingin menjadi matahari yang menatapnya saja harus dari kejauhan
biarlah aku seprti air yang sejuk mengalir
dan seperti tanah yang selalu dipijak
tetapi semua membutuhkanku


09-07-2006, 04:05 PM

Terjemahan Kehidupan

Terjemahan Kehidupan
apa yang kurasakan saat ini
adakah yang bisa melukiskannya
pertautan demi pertautan yang melahirkan gejolak dan rasa
membuatku membumbung tinggi
sejenak mengarungi nirwana dan keindahan mega mega
mengantar ku pada rasa yang tidak terperi
mengantar ku pada kesempuranaan rasa

memeluk rindu dan cinta
dalam bayang bayang diri yang
tak pernah sempurna
tapi cinta menjadikanku begitu sempurna
menjadikanku begitu berarti
menjadikan setiap debaran debaran menjadi sangat bermakna
dan langkah langkah kaki adalah gumpalan gumpalan kebahagiaan


entahlah
aku tidak ingin menterjemahkan semuanya
biar waktu pelan pelan yang mengabarkannya padaku
dia akan menceritakan mulai dari A
hingga Z
setiap kata
setiap bait
setiap teriakan
dan setia tangisan
karena dari sanalah semua kelengkapan itu bermuara


biarlah terulang ulang kembali
karena warna kehidupan memang tidak selalu sama
ada hitam dan putih
ada merah dan hijau
ada warna warna yang kadang melahirkan seribu tanya
serahkan pada waktu
karena waktu tidak pernah salah menterjemahkan warna kehidupan


09-07-2006, 04:03 PM

Rindukah itu?

Rindukah itu?
hei, rindukah itu yang mencabik-cabik perasaan?
yang mengoyak-ngoyak logika
yang menyeret-nyeret hati

hei, rindukah itu
yang mengerat-ngerat jasad
yang mencincang-cincang batin

hei, rindukah itu
yang mampu mengalahkan logika
yang bisa membutakan mata
yang mampu mengelabui akal

apakah itu rindu?
yang menyerupai Scylla*
yang tumpah berserakan tak tentu arah
yang mengalir dan terus mengalir tak mau berhenti

ah, itulah rindu rupanya

*Scylla: dewi yang berubah wujud menjadi monster dalam mitologi yunani, yang meneror pelaut diselat messina


09-02-2006, 09:18 AM

Dua Jiwa Yang Bertarung

Dua Jiwa Yang Bertarung
Aku perhatikan kau dalam diam
Ada yang bertarung disebalik ke-kekaranmu
Tak juga ingin kau tunjukkan kelemahanmu
Kecuali kecil-kecil selingan katamu

Akalmu hampir saja lepuh
Naluriku berhasil menjeling itu

Bukan aku senang
Sebab aku juga rasakan gejolak itu
Tapi betullah dugaku
Semua bisa saja terbalik
Kepala dan kaki
Kaki dan kepala

28/10/08
19:17 pm

Jumat, 24 Oktober 2008

Ketika AKu Berani Bilang, Aku Mencintai Mu

Ketika AKu Berani Bilang, Aku Mencintai Mu
Bertrand Russel dalam sebuah pepatahnya mengatakan "Orang yang takut jatuh cinta berarti takut hidup, sedangkan orang yang takut hidup berarti sudah mati sepertiganya". Bukan karena ingin menuruti kata Bertrand, tapi aku memang harus meneruskan hidup agar aku dapat mengerti hakikat hidup yang sebenarnya; untuk mencintai dan dicintai.

Untuk itulah aku belajar mencintai, dengan cara yang dewasa tentu saja, agar aku bisa menerima segala keadaan dan kondisi. Termasuk ketika harus menyaksikan hatiku patah berkeping-keping lalu kubangun lagi menjadi cinta. Belajar untuk tidak terlalu senang ketika cinta itu datang seperti yang diinginkan oleh hati dan perasaanku. Karena, dari caraku mencintai-lah aku belajar tentang kenyataan hidup yang harus dijalani.

Ketika aku berani bilang, bahwa Aku mencintai Mu. Pada saat itulah aku telah mengetahui sesuatu, sesuatu yang akan berakhir jika waktunya tiba. Tetapi bukankah bagi yang selalu mencintai dan mengasihi waktu adalah keabadian? Itulah sebabnya namamu selalu terpatri, dan kini menjadi prasasti dalam ingat dan hatiku. Tetapi aku tak menjadikanmu Tuhan.

Aku mencintaimu dengan pikiran, karena itu aku bisa benar-benar mencintaimu dengan utuh sekalipun jasadmu sering entah dimana. Karena aku tidak ingin dikalahkan oleh pikiranku sendiri. Karena itulah aku sering mengatakan bahwa cinta itu tak ubahnya seperti purnama, yang meski hujan, badai, dan salju menutupnya, ia tetap ada ditempatnya. Ia tetap hadir sebagai wujud konsistensinya terhadap alam. Sebab ia tak bisa berpaling dari waktu.

Dan keterpautan hati adalah hal utama dalam mencintai dengan cara seperti ini, walaupun sesekali jasad tetap saling merindui untuk sekedar mendengar detak jantung. Atau mengukur suhu nafas kerinduan, atau sekedar merasai keringat yang menetes di pelipismu. Semua itu adalah pengorbanan, penundaan untuk sesuatu yang dinanti-nantikan, hingga kita benar-benar siap bila waktunya tiba.

Ketika Aku mengatakan bahwa aku mencintai Mu, aku melakukannya dengan sadar. Sehingga aku tahu bahwa aku mempunyai tujuan yang jelas dengan mencintaimu. Aku tidak ingin membuat sebagian hidupku menjadi neraka dengan kehadiranmu, karena itu aku mengolahnya menjadi puisi dan cerita. Lalu kuterbangkan kelangit biru dengan istilah yang ragam rupa.

Bila akhirnya kita sama-sama merasa nyeri dan sakit, sama-sama menelan kekecewaan, percayalah, ini hanya satu tangga proses diri menuju kedewasaan yang sebenarnya. Bahwa sebenarnya diri kita telah sama-sama berpunya.


Selasa, 21 Oktober 2008

Sebab Kata Adalah Doa

Sebab Kata Adalah Doa
Meski kesal dan sakit hati saya mencoba menahannya untuk tidak menggerutu, karena sadar bahwa sepenuhnya ini adalah kesalahan saya. Dengan mencoba bersikap tenang saya berusaha untuk tidak menuruti apa yang diminta oleh petugas Polisi Lalulintas yang pagi itu sedang mengadakan sweeping. Tetapi karena kesalahan ini begitu telak sayapun tidak dapat mengelak, Akibatnya saya harus mengeluarkan uang seratus lima puluh ribu rupiah untuk kesalahan saya itu. Dan juga kekonyolan, karena berani mengendarai sepeda motor tanpa SIM dan STNK.

Ini pelajaran penting buat saya, bahkan jauh lebih penting dari nominal yang saya keluarkan tanpa kerelaan untuk sebuah keteledoran seperti itu. Saya merasa ini adalah teguran dari Allah kepada saya, karena pagi tadi saya sudah membohongi seseorang. Tentu saja ketika berbohong pagi tadi saya tidak sempat berfikir akan secepat ini 'hukuman' yang saya terima.

Pagi tadi ketika saya akan berangkat kerja seorang teman datang ke rumah, karena kamar saya ada di lantai dua dia hanya duduk di tangga saja. kondisinya yang sedang hamil membuatnya kelelahan untuk naik ke atas. dia tampak kepayahan, tapi memang begitulah orang hamil lazimnya.

setelah berbasa basi sebentar dia mengatakan maksud kedatangannya, ia bermaksud untuk meminjam uang sebesar dua ratus ribu rupiah pada saya. Dia tidak berani mengatakan kepada suaminya yang baru datang dari luar kota kemarin bahwa dia sudah tidak punya uang. Dia juga sudah mencoba meminjam kepada tetangga sebelah tetapi ia tidak memperoleh pinjaman karena tetangga tersebut tidak mempunyai uang.

Uang di dompet saya tinggal tiga ratus ribu rupiah, kalau saya berikan untuknya dua ratus ribu berarti tinggal seratus ribu, dan itu hanya cukup untuk beberapa hari saja. Lalu bagaimana dengan hari-hari berikutnya, karena dia tidak bisa memberikan kepastian kapan akan membayar pinjaman tersebut. Pun demikian, ia berjanji akan langsung membayar uang tersebut bila tetangga yang meminjam uang padanya sudah melunasi hutanganya. Masalahnya, dia sendiri tidak tahu kapan tetangganya akan membayar hutang tersebut walaupun sudah pernah ditagih. Saya berfikir, alasan apa yang akan saya katakan untuk tidak mengabulkan permintaannya.

Tiba-tiba sesuatu terbersit di pikiran saya dan mengatakan kepadanya bahwa uang saya tinggal seratus ribu rupiah karena sudah habis dipakai untuk membayar biaya balik nama mobil sekaligus dengan pajaknya. Dan uang itu akan dipakai untuk membayar listrik dan air. Tentang pajak mobil itu memang benar tetapi uangnya bukanlah dari saya. Melainkan dari ibu. Tapi entah mengapa harus alasan itu yang saya berikan waktu itu.

Ternyata kata-kata saya menjadi mukjizat, setelah saya menyerahkan uang tilang kepada Petugas saya baru teringat kalau uang saya benar-benar tinggal seratus ribu rupiah di dompet. Dan uang yang sudah saya keluarkan itu memang tidak akan pernah kembali. Ketika itu saya teringat, kalau saja uang itu saya pinjamkan kepada teman saya, tentu uang saya tidak hangus begitu saja. Lebih dari itu pasti Allah akan memberikan pahala kepada saya karena sudah meringankan beban teman. Tapi penyesalan memang selalu datang terlambat Dan saya sadar kalau Allah telah menegur saya melalui alasan yang sama.

Minggu, 19 Oktober 2008

Lelaki Lelaki Tikus*


Sore yang memikat, langit-langit merah menggiring senja, diikuti rintik-rintik hujan gerimis setengah basah. Keduanya terlihat begitu kompak dan akur. Tak ada tanda-tanda saling berebut, baik matahari maupun hujan. Dari kekompakan keduanya lahirlah segaris pelangi yang melengkung indah dilangit sebelah barat sana. Melengkapi kesyahduan senja itu. Memuat siapapun yang melihat pasti berdecak kagum atas maha karya Tuhan yang dahsyat ini.

Namun tidak begitu halnya dengan Sheila, gadis itu justru ingin segera menyudahi sore itu agar bisa lekas pulang. Bukan karena dia tidak suka hujan gerimis, bukan juga karena dia membenci pelangi. Musik yang mengalun lembut pun sama sekali tidak bisa memaksanya untuk duduk lebih lama lagi ditempat itu. Camellia-nya Ebiet G. Ade yang menjadi lagu favorite nya sejak dulu terdengar biasa-biasa saja.

Kopi ginseng yang ia pesan tadi sudah dingin, masih tersisa setengahnya tapi ia tak berniat menghabiskan minumannya. Ia menjadi tak berselera. Kehangatan yang sempat ia bayangkan justru menjadi dingin dan beku, lebih dingin dari sore ini. Yang ada dalam hatinya adalah bagaimana ia bisa segera sampai kerumah lalu tidur sepuasnya. Sesekali ia melirik si tikus yang duduk disebelahnya, membuatnya semakin jengah dan ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Menembus hujan matahari. Tapi yang dilihat sepertinya tidak merasakan apa-apa, ia seperti tidak sadar kalau dirinya telah menjadi gunjingan hati Sheila. Justru ia duduk santai sambil menikmati kopinya dan pisang goreng keju yang mereka pesan tadi dengan nyaman. Ia tidak risih atau kikuk dengan Sheila yang jelas-jelas tidak bersahabat. Dia memang laki-laki yang tidak memiliki sensitifitas.

“Kalau ngga ada yang dibicarain lagi aku mau pulang.” Suara Sheila memecah kebisuan mereka.

Eben menyeruput lagi kopinya hingga habis.

“Bahkan kita belum membicarakan soal kerjaan, kok mau pulang?” jawab Eben enteng.

Sheila meradang. Plin-plan sekali laki-laki itu, padahal tadi dia sendiri yang bilang urusan kantor ya dikantor bukan disini tempatnya. Dan sekarang dia bilang begitu. Dua hari yang lalu dia mengundangnya ke café ini untuk membicarakan soal pekerjaan, katanya bosan kalau melulu diruangan. Sekali-kali cari suasana santai.

“Mau kamu apa sih Ben?” Sheila menatapnya dingin. Eben tersenyum.

“Kita duduk dan ngobrol, ngga usah buru-buru pulang. Dirumah pun mau ngapain.”

Eben berusaha memegang tangan Sheila tapi dengan cepat Sheila menarik tangannya. Ia tak menyerah dan mencoba sekali lagi namun kalah cepat dengan gerakan Sheila. Ia pun berhenti.

“Dasar laki-laki tikus.” Pekik Sheila dalam hati.

Dalam hati ia menyesal telah menerima tawaran Eben untuk bertemu di café ini. Bukan itu saja, dia juga menyesal telah bekerjasama dengan lembaga yang dipegang oleh Eben. Tapi sekali-kali membicarakan urusan kantor diluar tidak masalah. Ia pun jarang sekali punya waktu untuk bersantai-santai. Jadi tak ada salahnya menerima tawaran Eben dua hari yang lalu. Tapi ia tentu saja tidak menduga kalau reaksi Eben akan seperti ini, walaupun sedikit banyak dia sudah dengar tentang Eben. Apalagi dia sebagai mitra harusnya Eben bisa bersikap professional. Tapi dasar tikus! Lagi-lagi Sheila mengerang dalam hati.

Tapi tikus yang satu ini bukanlah tikus biasa. Kalau yang lain diibaratkan dengan tikus rumah maka Eben adalah tikus cerurut, tikus hutan yang liar dan rakus yang bisa saja memakan tikus-tikus rumah.

Sheila tidak habis pikir bagaimana mungkin semakin lama semakin bertambah saja laki-laki yang harus ia masukkan dalam kelompok tikus. Bukan Cuma menyebalkan tapi juga menjijikkan. Begitulah Eben, genit, liar dan serakah. Rasanya tak cukup dengan itu menggambarkannya sebagai tikus, dia suka memanipulasi anggaran proyek, suka mark-up dan suka main dengan staff nya, beruntung ia punya tampang lumayan. Tapi kali ini Sheila benar-benar membuatnya tidak berkutik.

Ah, tiba-tiba saja ia jadi teringat Fikar, laki-laki santun yang dengan berat hati harus ia jadikan tikus juga.

***

Sheila hampir saja tertidur ketika mendengar suara pintu depan diketuk. Ia bangun dan memakai kimononya, sekilas ia melirik jam, pukul sepuluh kurang. Ia menebak-nebak siapa yang datang kerumahnya malam-malam begini.

“Fikar, kok tumben malam-malam datang kerumah?” Sheila membetulkan kerah bajunya yang berantakan.

“Ada yang harus aku ambil dari mu.”

“Apa?”

“Boleh aku masuk dulu?”

“Oh pasti. Masuk dan duduklah dulu.”

Sheila meninggalkan Fikar dan segera masuk kekamarnya untuk mengambil sesuatu setelah Fikar menjelaskan maksud dari kedatangannya. Note book nya Fikar ketinggalan dirumah ibunya karena itu dia harus mengambil data di komputernya . karena laporan triwulanan proyek pengadaan perahu untuk nelayan harus diselesaikan malam ini dan dikirim ke Jakarta besok pagi-pagi. Tidak banyak, hanya tinggal beberapa lembar lagi karena 90% nya sudah seelsai dan sudah di print out oleh Fikar.

“Nih, cari sendiri.” Sheila menyerahkan lap top nya kepada Fikar. Tanpa dikomando Fikar langsung mencari-cari file yang dimaksudnya. Sedangkan Sheila membaca majalah, sebenarnya ia mengantuk sekali tapi meninggalkan Fikar sendirian tidak enak.

Sedang diluar sana langit mulai tampak tidak bersahabat, gumpalan-gumpalan hitam mulai memadati arus lalu lintas dicakrawala. Sebentar lagi gumpalan itu pasti akan berubah menjadi rintik-rintik hujan yang lebat dan deras. Bintang-bintang mulai tinggal satu-satu sedang bulan sejak tadi sudah meredup.

Angin bertiup tidak mau kalahnya, ia sepertinya juga ingin menunjukkan kekuatannya pada langit. Bahwa ia bisa meniup daun-daun, bahwa ia bisa menerbangkan sampah-sampah, bahwa ia bisa menggoyangkan nyiur-nyiur, bahwa ia bisa meluruhkan putik-putik jambu dan menjatuhkannya keatap rumah. Dan membuat bising serta memekakkan telinga. Tidak lama berselang hujan pun turun dan akhirnya tumpah menggasak bumi. Tanah-tanah menjadi becek, binatang-binatang malam menjadi kalang kabut.

Namun Sheila yang tengah terlelap sama sekali tidak mendengar suara klotek-klotek yang dituimbulkan oleh putik-putik jambu tadi. Apalagi suara angin dan hujan, ia benar-benar lelap dan terkapar.

Tapi tidak dengan Fikar, dalam ketakutannya ia tampak makin takut ketika ia sadar telah terkurung dirumah Sheila. Mau pulang menerobos hujan itu tidak mungkin, sebab hujan terlalu lebat dan angin kencang, sebab malam terlalu pekat untuk ditembus begitu saja. Dia pun tidak bawa mantel hujan. Jantungnya berdetak tidak karuan. Cemas, takut, dan entah apalagi. Dalam keresahan itu terpaksa ia telan sendiri mana kala Sheila masih terbuai dengan alam tidurnya.

Detak jantungnya semakin tak berirama, mana kala ia melihat kerah baju Sheila tersingkap. Dia tidak memakai pakaian dalam. Darahnya berdesir hebat, adrenalinnya melonjak-lonjak tak mampu ia kendalikan.

Diam-diam ia mencoba memperhatikan Sheila, tampak anggun dan mempesona, bahkan dalam tidurnya pikir Fikar. Sheila tidaklah begitu cantik, wajanya biasa-biasa saja, kulitnya berwarna agak sedikit coklat. Tingginya hanya sekitar 158 cm. Tapi ia punya sepasang mata yang hitam dan tajam, alisnya lebat dan rapi. Pembawaannya selalu tenang dan berwibawa, pengetahuannya luas, Sheila cerdas dan romantis. Yang terakhir ini tentu saja Fikar tahu dari puisi-puisi dan tulisan Sheila yang sering ia baca di site nya.

Dalam hati kecilnya sesungguhnya ia mengagumi Sheila, dan berharap Sheila mau menjadi istrinya. Tapi ia tahu diri, pokoknya jangan macam-macam kalau tidak mau dipecat tanpa alasan oleh Sheila.

Lama Fikar memandangi Sheila, sejenak ia termangu. Angannya melayang begitu jauh, terbang mengitari langit-langit yang berserakan hujan, mandi bersama, basah berdua, lalu duduk diatas bulan dengan kaki bergelantungan kebawah. Menjuntai-juntai…

“Maafkan aku Sheila…” Fikar menunduk dalam-dalam. Dia tak berani menatap wajah perempuan disampingnya. Hatinya semakin risau dan takut. Perasaan bersalah, berdosa, menyesal berbaur dalam relung hatinya. Semuanya terjadi begitu cepat, tanpa ia maupun Sheila sadari bagaiman semua itu bisa terjadi hingga akhirnya mereka tak berdaya.

Sheila memandang Fikar tak berkedip. Hatinya berkecamuk. Kepalanya semakin terasa pening. Mengapa harus Fikar teriaknya berkali-kali. Laki-laki yang ia kagumi sekaligus hormati. Ia kagum akrena pembawannya yang matang dan bijaksana, dalam bekerjapun Fikar selalu sungguh-sungguh dan tekun, karena itu dia selalu mempercayakan setiap ada proyek baru kepada Fikar.

Fikar tidaklah seperti Eben atau Lindan, yang suka menggerogot sana menggerogot sini. Seperti tikus-tikus busuk yang ada dirumahnya dahulu. Yang suka menggigit spreinya, menggigit buku-buknya, mencuri makanan dan terkahir melarikan dua buah celana dalam kesayangannya. Itulah puncak kemarahannya kepada hewan itu yang tidak bisa ia maafkan. Dan akhirnya ia memutuskan untuk pindah. Itulah yang mendasari mengapa laki-laki yang dibencinya disamakan dengan tikus, tapi apakah Fikar harus juga?

Ia memang mengagumi Fikar, sesekali ia merinduinya. Tapi tidak lebih dari itu. Bukan untuk semua ini. Karenanya dengan berat hati ia harus menyebutnya sebagai tikus.

“Sheila?” Fikar terdengar memelas. “aku tidak bermaksud menyakitimu.”

Lalu apa? Jawab Sheila dalam hati. Ia pun meninggalkan laki-laki itu sendiri dan masuk ke kamar mandi. Ia menangis disana.

***

Sheila memandang Eben tajam, kali ini kesabarannya ada di titik kritis. Ia benar-benar tidak bisa mentolerir sikap Eben yang suka menjawil seenaknya, memegang tangannya, bahkan kalau ia tidak hati-hati pahanya pun bisa jadi sasarannya.

“Minggir! Aku mau pulang.”

“Sebentar lagi dong…”

“Kita udah satu jam lebih disini dan tidak ada yang penting yang kita bicarain, waktu ku ngga banyak apalagi untuk duduk seperti tikus macam kamu.” Akhirnya keluar juga kata-kata itu.

“Apa maksud mu?” Eben kelihatannya tersinggung.

“Pertanyaan bodoh! Harusnya sebelum kau Tanya mengapa kau fikir dulu.” Sheila pun pergi setelah meletakkan uang lima puluhan ribu diatas meja. Dalam ketersinggungannya Eben melirik uang itu. Pupil matanya melebar, bibirnya tersungging.

Tapi ia masih terheran-heran dengan keberingasan dan kekasaran Sheila yang mendadak. Padahal selama ini ia tahu Sheila sebagai perempuan yang lembut dan bersahaja. Eben termangu-mangu sambil menatap punggung Sheila yang makin menjauh.

Bilik hati

29/11/06

21:19


Tulisan ini sudah pernah dimuat di Aceh Independen, edisi Ahad, 19 Oktober 2008

Sabtu, 18 Oktober 2008

Tentang Mimpi

Tentang Mimpi
Mimpi....kerap kali mengundang senang, gembira tapi tak urung juga gelisah, senang bila mimpi itu seperti bunga yang memberi harum dan segar, gembira bila mimpi hadir seperti yang diharapkan, tapi...menjadi gelisah ketika mimpi yang datang bertolak belakang dengan keinginan si pengingin mimpi. apalagi bila adegan dalam mimpi itu terlihat jelas hingga terbayang terus menerus sampai besok pagi, bahkan sampai ia akan menceritakan mimpinya pada seseorang, ataupun sesuatu...

Seperti saya...si pemimpi yang menjadi gelisah sampai hari ini....betapa tidak, mimpi yang indah menjadi tidak menyenangkan ketika orang yang hadir dalam mimpi itu adalah orang yang tidak saya inginkan, alhasil saya menjadi geli sendiri hahaha...kadang sampai merinding hihihih....


beberapa minggu yang lalu, saat pulang kampung Ibu sempat memberi aba-aba, "Jangan terlalu sibuk bekerja..." katanya ketika itu, "Umur sudah cukup...". lanjutnya. walaupun tidak langsung mengatakan atau bertanya "kapan mau menikah" tapi itu cukuplah sebagai signal. soal umur? ah, saya merasa masih terlalu muda, masih belum pantas menjadi ibu rumah tangga, mengurus suami dan anak, diri sendiri saja jarang diurus. konon lagi harus mengurus orang lain yang dalam segala hal bertolak belakang dari saya, ya jenis kelamin, fisik, hobby, keinginan...etc. bukan...bukan itu, yang benar, saya masih ingin menikmati kesendirian ini tanpa ada yang memerintah dan mengomandoi, tanpa ada yang melarang apa yang saya kerjakan, dan tanpa ada yang protes ketika saya tidak pulang ke rumah sama sekali hahaha...dasar edan.

Sore kemarin, seorang teman mengirimkan sms yang intinya dia mendoakan saya agar cepat punya pasangan, yang baik, yang good looking, yang bisa memberi keturunan, yang kaya, yang setia, seiman, dan rajin sholat....oh teman...lengkap sekali doanya, iseng saya balik bertanya apakah semua kriteria itu ada pada dirinya? dia tak menjawab. malamnya pukul 11.16 dia memperjelas lagi doanya, meminta kepada Tuhan agar Ia senantiasa melindungiku, mempertemukanku dengan pasangan hidup yang dipilihkan Tuhan, menyenyakkan tidurku... oh... teman...

Saya tidur lagi setelah membaca pesan dari nya. tak lama berselang saya terbangun lagi, tapi bukan kerena bip sms melainkan karena saya terisak-isak. oh...ternyata saya bermimpi, mimpi menikah, tetapi bukan dengan orang yang saya cintai melainkan dengan teman satu kerja...itulah yang membuat saya sedih dan menangis, saya terisak-isak karena merasa hidup saya menjadi gelap dengan dinikahi olehnya. menjadi risih harus berdekatan dengan sangat dekat dengan lelaki itu....ah...dasar mimpi...lebih menyebalkan lagi karena perkawinan itu bukan atas dasar kemauan saya melainkan perjodohan orang tua...huh! tak berhenti saya menggerutu ketika sedang bermimpi, bahkan tangisan itu terjadi ketika saya curhat pada seorang teman perempuan saya tentang perkawinan yang tidak saya ingini ini. tetapi...dalam mimpi saya bersykur karena tiba-tiba ada anak kecil yang menjadi penghalang saya dengan suami bayangan itu.

Mimpi ini memang tidak ada kaitannya dengan dua cerita di atas, tapi Mimpi ini benar-benar membuat saya gelisah hingga pagi, tapi juga takut, karena kata orang tua kalau mimpi menikah itu pertanda akan meninggal dunia...hohohoh...semoga tidak ya Allah.







Jumat, 17 Oktober 2008

Angin Yang Memberi Kehangatan dan kesejukan

Angin Yang Memberi Kehangatan dan kesejukan
Kamukah yang datang bersama angin itu, ?

Desisnya membangunkanku dari tidur, desaunya membuatku beranjak untuk segera melihatmu ke luar sana. menyibak selimut, menguatkan ikat pinggang dan segera membuka pintu. desaunya terdengar seperti bisikan, menyebut namaku berkali-kali.

Ah, kamukah itu sayang? tapi dimana, dimana rupamu kau sembunyikan ketika angin menjemputku tengah malam tadi. dimana tanganmu agar aku bisa menyambut pelukan tanganmu, dan aku rebah dibahumu yang kokoh. hanya angin, dingin menyergap, memeluk dan menenangkanku, ia hanya jadi perantara, hati yang terlalu rindu ingin memeluk bayang jiwanya.

Aku tahu, engkau selalu datang, meninabobokanku hingga aku benar-benar lelap. angin itu menjadi pertanda, ia berbisik, bergemerisik, berdesau, dan kau terus ninabobokanku. hingga aku benar-benar lelap. aku menandaimu yang hangat, lahir bersama keringat yang keluar dalam pori tubuhku. kau hadir menjadi penyejuk, ketika tangan ini dengan sendirinya menarik selimut untuk menutup sebagian tubuh yang terbuka.


Kaulah angin yang tak kenal waktu, selalu hadir tanpa permisi dan pergi tanpa salam. hadir dengan kejutan dan pergi dengan kejutan.

Kamis, 16 Oktober 2008

Seperti Purnama

Seperti Purnama
Kau tahu, purnama selalu saja memberi inspirasi
Memberi harapan
dan menjadi teman yang baik
Selalu datang tepat waktu dengan janji yang pasti
Jadilah purnama untuk hidupku
--------------------------------------

Purnama tidak selalu untuk dilihat dengan mata, Sayang
Tetapi untuk dirasakan
Kau tahu purnama tanpa harus menengadahkan matamu ke langit
Begitulah cinta
Bisa dirasa meski kita tak pernah tahu rupanya seperti apa

Rabu, 15 Oktober 2008

Menikah

Menikah
laki-laki dan perempuan tentu saja merindukan yang namanya pernikahan, karena dengan menikahlah proses regenerasi anak manusia berlanjut. tapi membicarakan pernikahan tentu saja tidak berhenti pada proses regenerasi yang harus terus diperbaharui tetapi juga pada tahapan-tahapan lain yang harus dilalui hingga akhirnya sampai pada prosesi ijab qabul. menilik dari berbagai diskusi dan pengalaman, setidaknya ada beberapa hal penting yang harus dimengerti sebelum kita memasuki jenjang pernikahan.

perencanaan

bukan hanya di dunia bisnis, dalam membangun keluarga juga diperlukan sebuah perencanaan yang baik, seperti pepatah gantunglah cita-cita setinggi langit, paling tidak kita tidak akan menyentuh lumpur. begitu juga dengan menikah, bila kita sudah merencanakannya dengan baik paling tidak kita dapat menjalankannya dengan ritme yang lebih teratur. walaupun pada prinsipnya lelaki lebih mengutamakan perencanaan ini, tetapi tidak ada salahnya bila perempuan juga melakukannya. yang paling penting untuk direncanakan adalah pada usia berapa kita akan menikah, dengan adanya perkiraan semacam ini tentu akan memudahkan kita untuk menyusun rencana selanjutnya seperti misalnya kalau sudah menikah akan tinggal dimana, akan membangun usaha apa, akan punya berapa anak, akan membuat rumah tipe berapa. kalau kita sudah mempunyai gambaran umum seperti di atas akan memudahkan kita untuk membuat perencanaan keuangan yang baik. yah, paling tidak kita sudah mulai bisa bermanuver untuk mencari sumber keuangan yang lain diluar pekerjaan utama saat ini.

perencanaan ini sebaiknya dibicarakan dengan pasangan (bagi yang sudah mempunyai pasangan serius), karena kalau tidak akan menimbulkan kesenjangan bila sudah menikah kelak. hal ini penting untuk saling mengerti sikap dan keinginan masing-masing. bayangkan bila dalam sebuah keluarga antara suami dan istri memiliki keinginan dan sikap yang saling bertolak belakang, repotkan? contoh kecil saja misalnya, istri ingin punya anak dua, sedangkan suami ingin punya empat orang anak, suami ingin punya rumah sederhana, istri ingin punya rumah mewah. apajadinya bila ini baru dibicarakan sesudah anda menikah? pada saat dimana anda sudah mulai bisa menentukan seperti apa arah perkawinan pada usia satu tahun, dua tahun dan seterusnya, eh....ini masih ributin mau tinggal sama mertua atau ngontrak.

bagi para perempuan, bila punya pemikiran bagus sebaiknya jangan simpan sendiri, dan bagi para lelaki sebaiknya jangan terlalu mempertahankan ego untuk tidak menerima masukan dari calon istri. kebanyakan perencanaan seperti ini dimiliki oleh para perempuan, ini wajar karena perempuan biasanya lebih teratur hidupnya. tetapi juga banyak diantara mereka yang enggan menyampaikan rencana masa depannya dengan calon suami, apalagi bila sudah menyangkut dengan masalah keuangan. padahal, kalau masalah ini bisa cepat diatasi tentu nanti setelah menikah tidak ada lagi masalah serupa bukan?

Kesiapan Mental

banyak orang menikah tanpa persiapan , mereka menjalaninya seperti laluan air, yang tenang, mengalir kemana arus tapi tanpa mereka sadari air itu bisa bergolak kapan saja. sampai pada akhirnya kebosanan itu hadir karena ritme yang begitu datar, tidak ada improvisasi sama sekali. memasuki dunia pernikahan berarti memasuki dunia "lain" yang baru, budaya baru, komunikasi baru, adat istiadat baru, kebiasaan baru, dan religiusitas yang berbeda pula. tantangan inilah apabila tidak bisa dihadapi dengan mental yang kuat akan melahirkan penyakit mental yang berbahaya, stress, depresi hingga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.


dunia perkawinan adalah dunia multi kompleks, ragam kehidupan pra menikah bisa menjadi contoh mengapa kesiapan mental lebih penting dibandingkan kesiapan materi. dan, tentu saja godaan sesudah menikah lebih kompleks lagi dibandingkan sebelum itu. apakah kita sudah siap bila pasangan kita harus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja daripada untuk kita? apakah kita sudah siap untuk mengasuh anak sendiri tanpa bantuan baby sitter? tanpa pembantu rumah tangga? dan apakah kita sudah siap hidup menderita bersama pasangan, sementara selama ini barangkali hidup bersama orang tua berlimpah materi? kalau belum, berarti harus ada perencanaan yang lebih matang lagi.


financial

uang memang bukan segalanya, tapi untuk mendapatkan segalanya kita membutuhkan uang. untuk biaya persalinan istri, untuk biaya sewa rumah, untuk biaya sehari-hari, untuk cicilan kendaraan, semua itu harus dipikirkan. jauh sebelum itu bagi yang akan menikah juga harus memikirkan mahar, hantaran, isi kamar, dan segala tek tek bengek lainnya. yang ini tentu saja untuk laki-laki, tapi apakah perempuan tidak boleh memikirkannya? harus! kalau laki-laki bisa menikah dengan biayanya sendiri mengapa perempuan tidak? inilah yang masih jarang dipikirkan oleh sebagian besar perempuan.

apabila masalah keuangan ini sudah dibicarakan sejak awal, tentu saja soal mahar juga bisa dibicarakan dengan pasangan. sehingga ketika waktunya tiba tidak ada pihak yang dirugikan. (Ihan)

Bulan yang Tak Setia*





Ngik…ngik…ngik…suara radio butut dari kamar Rosihan, bukan malah membuat telinganya enak tapi malah seperti akan tuli karena terlalu sering mendengar suara kresek-kreseknya. Belum lagi suara jeritan Alman dari halaman rumah yang menangis minta dibelikan es krim, padahal pedagang es krimnya sudah pergi sejak tadi.

Rosihan mengaduk-ngaduk nasinya yang tengah mendidih, lalu meniup apinya agar lebih besar supaya nasinya tidak mentah. Matanya memerah dan berair karena perih oleh asap dan bajunya sedikit agak kotor dihinggapi abu yang beterbangan oleh tiupannya tadi.

Setelah nasinya kering dan mengecilkan apinya Rosihan tergopoh-gopoh ke halaman rumah, dilihatnya Alman sudah berguling-guling di tanah, rambutnya sudah putih bercampur dengan tanah. Di bawah hidungnya cairan kental berlendir agak kehijauan membentuk angka sebelas.

Rosihan menghela napas berat sambil mengurut dada melihat ulah bungsunya, marah dan kasihan berkecamuk dalam jiwanya. Mengaduk-ngaduk perasaannya sebagai ayah dan sebagai lelaki yang terkadang sukar sekali mengendalikan emosi.

Manoe yak Neuk…” Rosihan mengepit lengan Alman, setengah menyeret ia membawanya ke belakang rumah karena Alman sama sekali tidak mau berjalan.

Dengan telaten Rosihan menyabuni seluruh tubuh Alman, memberi shampoo di rambutnya, menyikati kuku-kukunya dengan sikat gigi bekas dan sepuluh menit kemudian ritual mandi sore itu pun usai sudah.

Bocah mungil yang baru berusia lima tahun itu kini merasa badannya lebih enakan dan segar, tidak ada lagi angka sebelas dan abu yang menempel di badannya.

“Masuk sana pakai baju sendiri ya…”

“Iya ayah…”

“Jangan lupa bangunkan abang…”

Alman berlari kecil menuruti perintah ayahnya, suara sandalnya berkecipak-kecipak beradu dengan tanah. Mulut kecilnya bersenandung mendendangkan lagu Bintang Kecil. Rosihan termangu menatap punggung anaknya hingga hilang di balik dinding rumah. Batinnya berteriak-teriak menuntut keadilan bagi dua buah hatinya, tapi kepada siapa? Yang pergi takkan pernah kembali.

@@@

Suara binatang-binatang malam terdengar sama jeleknya seperti radio butut milik Rosihan, kadang suara kodok, suara jangkrik dan suara cacing tanah. Semuanya berkolaborasi menjadi nyanyian alam yang gratis namun sangat jauh dari kategori memuaskan. Tapi suara-suara itu tidaklah lebih menjengkelkan ketimbang suara nyamuk yang terus mengengeng di telinga Rosihan. Bahkan menggigiti telinganya, tangan dan wajahnya, sampai kejari kakinya. Dengan menggunakan kipas pandan yang sudah usang Rosihan menghalau nyamuk-nyamuk nakal itu dengan harapan segera menjauh.

Dengan kaki kirinya Rosihan menggaruk kaki kanannya yang gatal digigit nyamuk, sedangkan matanya jauh memandang ke langit lepas, menerobos sekat-sekat malam dan belantara awan yang sedikit terang oleh pantulan cahaya bulan. Banyak bintang gemintang bertaburan di sana. Ah, tiba-tiba ia jadi terkenang pada waktu beberapa tahun silam, saat malam-malam seperti ini dilalui dengan keberadaan Salma di sampingnya. Mengapa pula ia menjadi ingat kepada mantan istrinya. Tapi…apa pantas disebut mantan istri sebab dirinya tak pernah menceraikannya tapi disebut istri rasanya lebih tidak pantas lagi.

Dulu, ia sering duduk hingga larut malam dengan Salma di panteu trieng tua ini, membicarakan tentang masa depan mereka, tentang anak-anak, tentang apa saja yang bisa membuat mereka senang. Kadang di saat-saat seperti itu Rosihan belajar mempraktekkan ilmu merayunya yang sangat sedikit. Agar istrinya tidak terlalu menderita pikirnya, setidaknya hatinya menjadi terhibur walaupun hidup mereka susah, lebih tepatnya dikatakan melarat.

“Melihat wajahmu selalu membuat hatiku senang Salma.”

Pakoen?”

“Karena ada bulan menggantung di sana.”

Salma tertawa sambil mencubit pinggang Rosihan, dalam gelap bisa dipastikan wajahnya yang putih itu akan kemerahan karena menahan malu.

“Abang bisa saja…”

“Iya Salma, abang nggak bohong. Hh…seharusnya abang bisa sedikit menyenangkanmu, tapi beginilah…sudah punya dua anak kita masih melarat juga.”

“Hanya belum kaya barangkali.”

Salma dan Rosihan tertawa bersama, beban hidup yang berat seakan hilang larut dalam tawa canda mereka. Rosihan mengulang kembali kata-kata Salma barusan, “semoga…” tambahnya.

Tapi semua itu adalah kenangan lama yang kebetulan singgah dalam kehidupan Rosihan. Dan sekarang, kenangan indah itu telah berubah menjadi mimpi buruk yang terus mengapung dalam ingatannya.

Ia menyesal telah menyamakan Salma dengan bulan. Bulan adalah makhluk yang selalu setia kepada malam, sampai kapan pun hingga dunia dan isinya terbelah kelak. Dan selama itu ia tak peduli pada pergantian musim, hujan atau panas, semi atau gugur. Sedangkan Salma? Dia adalah bulan yang tak setia pada penderitaan hidup, bulan yang tak sanggup mendengar rengekan dan tangis anak-anaknya. Apa dia pantas disebut bulan? Semua itu hanyalah ketelanjuran bagi Rosihan yang pernah sangat mencintainya.

Hingga akhirnya Salma meninggalkan dirinya dan kedua anaknya yang masih kecil, yang membuat Rosihan sangat marah dan merasakan sakit yang tidak terperi adalah Salma kabur bersama Samidan yang memang masih menyimpan cinta kepada dirinya. Yah…Samidan yang dulu sama-sama bermain cang keucubet dengannya.

“Ayah…ayah…”

Suara Alman memanggilnya dari dalam rumah, Rosihan menyeruput kopi bikinannya sendiri sebelum masuk menemui anaknya.

“Ada apa? Kok bangun?”

“Alman mau pipis.”

“Oh…ya udah sini.” Rosihan menggendong anaknya keluar

“Ayah, punya ibu itu enak ya?” Tanya Alman tiba-tiba setelah selesai buang air kecil.

Rosihan terperanjat mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu. Selama ini baik Alman maupun Alam tidak pernah bertanya perihal ibu mereka atau yang menyangkut dengan ibu. Atau barangkali mereka berpikir terlahir sendiri ke dunia ini tanpa perantara ibunya.

“Ayah, kok diam?” Alman menjawil lengan ayahnya.

“Eh…tanya apa barusan?” Rosihan pura-pura tidak mendengar.

“Kata Dori punya ibu itu enak, benar Yah?”

“Mm…iya enak…” jawab Rosihan sekenanya.

“Lalu kenapa Alman nggak punya ibu?”

Rosihan benar-benar kelabakan dibuatnya. Untuk malam selarut ini pertanyaan seperti itu sangatlah mengusik ketenangan hatinya. Bukan apa-apa, mengingat Salma kadang ia ingin marah atau memakinya, menyumpahinya, tapi ia tidak bisa. Sebab dia tidak pernah diajarkan untuk menyerapahi orang lain apalagi bekas istrinya sendiri. Yang ia tahu hanyalah bagaimana mengikhlaskan sesuatu yang memang ditakdirkan bukan untuknya, termasuk istrinya yang dibawa kabur oleh temannya sendiri kah?

“Ayah…?”

“Tuh kan bengong lagi.” Alman protes.

Apa yang bisa ia jelaskan pada anak sekecil itu? Mengatakan kalau ibu mereka kabur dengan laki-laki lain karena tidak tahan hidup menderita. Haruskah hal sepahit itu diceritakan kepada mereka? Dalam kegamangan seperti itu entah mengapa ia jadi ingin melihat bulan.

“Coba Alman lihat ke langit.”

“Ada bulan kan, Yah?”

“Itulah ibu kita…”

Ibunya malam, lanjut Rosihan dalam hati.

@@@

19 Tahun kemudian

Rosihan yang tengah makan siang bersama kedua anaknya terpaksa menghentikan suapannya begitu melihat seseorang muncul di ambang pintu. Lelaki itu memicingkan matanya karena silau, siapa dia? Pikirnya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Alman dan Alam, mereka saling bertatapan. Seorang perempuan setengah baya berdiri mematung di depan pintu, wajahnya kelihatan lelah, bibirnya pucat dan kering. Mulutnya bergerak-gerak seperti ingin mengatakan sesuatu tapi dia tidak bisa dan tampak agak kepayahan. Alhasil ia hanya bisa berdiam diri sambil memilin-milin kerudungnya. Dalam hati ia berteriak “Kalian, sapalah perempuan ini jangan diam saja.” “Suruhlah aku masuk”

Piring yang tadi dipegang Rosihan tiba-tiba terjatuh ke lantai dan dalam sekejap menjadi kepingan-kepingan beling, ia mulai mengenali siapa perempuan itu. Rasa tidak percaya dan kaget bercampur mengaduk-ngaduk perasaannya. Tak ada tanda-tanda pernah ada bulan menggantung di wajah perempuan itu, tak lagi bercahaya. Penuh keriput…

“Masuklah…” ucapnya sepatah, masih belum hilang kagetnya. 

Ia amat bingung menghadapi situasi seperti saat ini. Tak pernah sekalipun ia berpikir jika suatu saat Salma akan kembali, kalaupun sepeninggal Salma ia memilih tidak menikah lagi bukan berarti ia setia kepada Salma, tapi ia hanya ingin hidup untuk kedua buah hati terkasihnya. Itu saja.
Dan sekarang, Salma benar-benar ada di hadapannya, apa yang harus ia lakukan?

“Alam, suruh ibumu masuk,” ucap Rosihan kepada Alam, melihat Salma bergeming.

Kali ini Alman yang terperanjat bukan kepalang.

“Ibu?!” Ia menatap dengan seribu tanda tanya pada ayah dan abangnya. “Ibu?” ucapnya nyaris berdesis. “Ibu…” selama ini saat ia bertanya ibu ayahnya hanya menunjuk bulan lalu bagaimana mungkin sekarang tiba-tiba muncul perempuan sebagai ibunya. Air muka Alman berubah seketika.

“Ayah, katakan dia bukan ibu kami,” ucap Alman tegas. Rosihan mendongak, begitu juga dengan Alam.

“Nak, itu ibu kalian.”

“Bukan!”

“Nak! Aku ibumu, yang telah melahirkan kalian!” Salma setengah berteriak dari depan pintu. Kedua tangannya mengembang. Air matanya menetes. Ia sangat terpukul mendengar ucapan Alman barusan.
Alman menggeleng, jiwanya terguncang.

“Ibuku bulan yang selalu setia pada malam,” entah darimana ia mendapatkan kata-kata itu.

“Aku ibumu, Nak!”

“Aku ibumu! Bulan yang selalu setia pada malam!”

“Aku ibu kalian!”

Teriak Salma berulang-ulang sambil menyusuri jalan. Ia menjadi gila sejak saat itu.

Bilik Hati, 10:04 pm
21/02/07


*cerpen ini pernah dimuat di Harian Aceh

Cinta

Cinta
Cinta I

begini saja,
daripada ribut-ribut
lebih baik kita berdamain kan?
dan matahari akan kembali tersenyum
melihat kemesraan dan kehangatan kita...

begini saja,
kalaupun kau tetap marah
biar aku yang mengalah
mungkin kita perlu waktu lebih
untuk saling memperbiki diri
sesekali biar saja kita menjadi anak-anak
menimati kecemberutan dan rajukan tanpa paksaan
toh kita sama-sama manusia biasa kok
yang bisa marah, bisa melakukan apa saja yang kita maui
apalagi cuma sekedar merajuk
itu mudah saja kan?

biarlah air sesekali mengalir dengan ritme yang tidak biasa
dan awan saling bergemuruh berunjuk rasa
mungkin juga debu yang diterbangkan angin
bisa menjadi perumpamaan


cinta II

kekasih-kekasih yang pergi ingin dijemput kembali
tapi kujawab begini, juga minta ditunggu dengan setia
jangan membunuh siang dan melupakan malam katanya lagi
tidak !!! jawabku lagi
aku tidak akan melupakan siapa diriku
aku ingin seperti layang-layang yang terbang bebas di cakrawala
aku ingin seperti burung yang terbang bebas di langit terang
yang tahu kemana tempatnya berpulang


cinta III

aku sungguh sudah bingung
tidak tahu harus mengatakannya seperti apa
seperti ini saja ya?
dengan sangat apa adanya
dengan sangat sederhana sekali
karena sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini
berawal dari kesederhanaan itu sendiri
aku mengerti maksud perkataan itu
jangan hari ini....
lain kali saja ya....


08-27-2006, 01:11 PM

Selasa, 14 Oktober 2008