Selasa, 11 Desember 2012

Perempuan Anumerta

Perempuan Anumerta


TAK mudah memang menjelaskan. Makanya selama ini ia hanya bercerita pada angin atau debu-debu yang menempel di jendela rumahnya. Termasuk pada lelaki itu, yang saban hari tak pernah alpa menyuguhkan senyum dan sepotong canda.

Sederhana, tetapi kadang-kadang membuat hatinya bergetar. Dan juga berdebar. Kadang-kadang pula, ia berharap pada hari berikutnya, lelaki itu tidak hanya menyuguhkannya sepotong, tetapi sepiring senyum yang selalu mengembang di bibirnya.

Semuanya menjadi semakin berat ketika ia tak lagi melihat wajah lelaki itu. Setelah ia memiliki banyak waktu untuk merenungi dirinya. Justru di saat ia berharap lelaki itu bisa muncul dalam imajinasinya. Ia selalu seperti terpental, melemparkan imajinasinya pada sesosok lelaki yang lain.

Dan seperti biasanya, malam itu ia kembali tidur dengan pikiran yang kosong tentang lelaki penyuguh senyum itu.

***

Seperti perempuan lainnya, ia juga senang menatap wajahnya di cermin. Seperti pagi itu, sekali dalam seumur hidupnya ia mendapati dirinya lain di wajah cermin. Pipinya yang putih kini menjadi merah dengan sapuan make up yang mencolok. Matanya dilaburi celak warna hitam pekat, ditambah dengan bulu mata palsu yang lentik.

Minggu, 02 Desember 2012

Mengintip Hawaii di Balik Pintu Rahasia Sumur Tiga

Mengintip Hawaii di Balik Pintu Rahasia Sumur Tiga

SABANG - Sangat pantas jika Sabang disebut-sebut sebagai the golden island. Setidaknya bagi para pecinta laut, gradasi warna airnya akan membuat siapa pun yang pernah menceburkan diri ke dalamnya jatuh cinta dan ingin kembali lagi.

Pukul 09.30 WIB Kapal Motor Pulo Rondo bergerak meninggalkan Pelabuhan Ulee Lheu Banda Aceh. Langit sedikit cerah, Sabtu 24 Maret 2012 . Nuansa biru diselingi bercak putih awan-awan terlihat hingga ke cakrawala. Dari balik jendela kapal, sebuah pulau tampak di tengah laut. Itu Sabang. Butuh sejam perjalanan dengan kapal motor hingga merapat di Pelabuhan Balohan Sabang.

Begitu kapal merapat, puluhan kuli angkut menyerbu dermaga. Mereka menawarkan jasa membawa barang-barang penumpang. Tapi saya menolak. Ransel kecil masih sanggup saya pikul tanpa perlu bantuan kuli.
Balohan tentu saja bukan tujuan utama. Untuk menuju ke kotanya Sabang dari sini bisa naik angkutan umum. Bentuknya mini bus L300. Sebagian sudah tua. Mobil-mobil angkutan umum di Sabang ini jago di tanjakan. Apalagi jalan-jalan di pulau ini rata-rata menanjak.

Rabu, 26 September 2012

Selamat Ulang Tahun, Cinta

Selamat Ulang Tahun, Cinta
Cinta,

Happy birthday ya, mestinya aku ada di dekatmu saat ini, agar aku bisa mengatakannya sambil memelukmu, sambil menatap matamu dan sambil menyentuhmu lembut.

Agar engkau tahu di usiamu yang bertambah ada seseorang yang selalu mengharapkanmu bertumbuh, tinggi dan besar, agar banyak yang bisa bernaung di bawahmu.

Cinta,
Sekalipun engkau telah bosan mendengarnya, tapi di hari jadimu ini aku ingin mengatakan lagi bahwa aku mencintaimu, karena hanya dengan itu aku bisa membuatmu berarti, ada dan selalu hidup.

Cinta,
Saat engkau membuka mata, semoga pesan ini yang pertama kau temukan, aku ingin engkau tersenyum, tersenyum...

Luv you much...


Permata Punie | Selasa | 26 September 2012 | 12: 46 am

Senin, 24 September 2012

Altar Takdir

Altar Takdir

Malam ini aku tak perlo lorong-lorong sembunyi itu, meski aku tahu menelusurinya akan membawaku pada pengalaman hidup yang tak terdefinisi. Malam ini aku hanya ingin menyusuri altar luas yang tak bertepi ini, mencoba menikmati bayangmu dalam temaram imajinasi.

Kata dan rasa telah melebur, mencari ruang dalam jalannya sendiri. Itulah mengapa untuk kali ini lorong sembunyi itu telah kehilangan fungsi. Di noktah merah catatan garis takdir kita, banyak tanda tebal yang mesti digaris bawahi, aku dan engkau adalah dua kisah, namun terpatri dalam satu sejarah yang tak pernah usang.

Bagaimana imajinasi tumbuh tanpa henti, perlahan tapi eksponensial, sekali waktu ia menjelma menjadi teman tidur pengganti mimpi. Ia menggantikan kabut yang hinggap di punggung pagi selepas hujan. Ia mengubah sekat malam menjadi misteri yang mengagumkan.

Itulah mengapa bosan tak pernah hinggap, mesti lelah mendera membuat hati lebam, meski kadang jenuh, jemu datang pada saat yang bersamaan. Meski kadang terasa seperti hampir menyerah. Tapi imajinasi tak pernah menemui akhir.

Aku menunggumu di altar ini, di bawah temaram dunia dengan udara yang tak bersahabat, aku hampir menggigil, tapi aku tetap akan bersabar, altar ini memberiku kepastian tentang engkau.[]

Hotel Aceh | Sabtu | 15 September 2012 | 19; 29 pm

Kamis, 23 Agustus 2012

Surat Cinta untuk Kekasihku

Surat Cinta untuk Kekasihku

Dear my beloved,

Cinta, maafkan aku, setelah bertahun-tahun melalui waktu bersama aku masih sering dihinggapi berbagai pertanyaan tentangmu. Aku menyadari sekarang bukan lagi seperti masa itu, saat kita baru pertama kali jatuh cinta, saat-saat di mana kita sangat mudah mengatakan cinta, mengungkapkan rindu dan menyatakan perasaan.

Memang bukan waktu yang sebentar untuk menjalankan semua skenario takdir ini, walau aku kerap merasa seolah-olah kita baru berkenalan kemarin dan berteman hari ini. Memang, entah sudah berapa banyak cerita yang lahir dari rahim kebersamaan kita, tetapi aku seperti tak pernah kehabisan kata untuk menuliskannya. Semua cerita tentangmu seperti tak pernah kering.

Aku seperti baru bangun tidur, lalu merasakan kehadiranmu yang jauh tiba-tiba menjadi dekat, tetapi dekatnya engkau terselubung oleh tabir yang tipis, aku bisa menyaksikanmu dengan leluasa, begitu juga engkau, tapi kita terhalang oleh tabir yang tipis itu; orang-orang di sekitar kita.

Cinta, jika saja aku tidak bertumbuh, aku akan merasa sakit hati dengan semua ini, menyaksikanmu besar dari bibir orang-orang yang kukenal, merasakan engkau hadir di setiap lorong-lorong hidupku, tapi setiap itu pula kita mesti melambaikan tangan dari jauh.

Kadang-kadang aku berfikir apakah engkau tidak mencintaiku seperti aku mencintaimu? Apakah cintamu kurang besar seperti cintaku untukmu, apakah rindumu untukku tidak menggebu-gebu? Apakah...engkau tidak punya gejolak untuk mendobrak semua ini seperti yang ingin kulakukan?

Ah Cinta, setiap kali memikirkan itu dadaku terasa sesak, nafasku seperti tersengal karena menahan emosi dan perasaan. Aku kembali terlompat dalam malam sesudah pertemuan kita, masih ingatkah engkau saat kita harus berpura-pura?

Aku ingat, sebab itu bukan sekali dua kali kita melakukannya. Semuanya menjadi sempurna saat aku melewati lorong-lorong sembunyi untuk menyaksikan pelangi yang akan hadir di bening matamu. Aku tahu di senyum bibirmu ada kata yang tak perlu dijelaskan; bahwa apa yang kita rasakan sama!

Kau tahu Cinta, pertanyaan itu kadangkala menghantuiku, menyerbuku dan memaksaku untuk mengacuhkanmu. Bukankah kita memiliki dunia masing-masing? Lalu mengapa kita masih menerima peran ini, tapi aku selalu teringat pada ucapanmu bahwa tidak ada yang tidak mungkin terjadi di dunia ini.

Setiap kali pula aku mencari-cari alasan mengapa aku harus mencintaimu, mengapa aku harus menggadaikan perasaanku padamu, setiap kali pula aku tidak menemukan jawabannya. Karena yang kutahu aku harus menghormatimu, menghargaimu dan memperlakukanmu dengan baik. Ah, sesederhana itukah perasaanku terhadapmu? Tidak Cinta, aku tak ingin menyanjungmu terlalu berlebihan, tapi biarkan aku menganggapmu sebagai anugerah dalam hidupku, sebagai lelaki terindah yang pernah ada di hidupku.

Kadangkala aku juga menggugatmu, menganggapmu jahat, karena telah membiarkan aku tenggelam dalam rindu yang parah. Tapi aku juga bukan seseorang yang terlalu baik untukmu, aku pernah menyakiti perasaanmu, aku pernah berbuat salah, dan engkau memaafkanku, kupikir begitulah caramu menunjukkan rasa sayangmu, dengan tidak terlalu cepat menghukum, dengan memberiku kesempatan untuk berfikir dan bersikap.

Kau tahu Cinta, saat aku menuliskan ini aku seperti menemukan sesuatu yang hilang dari kebiasaan kita. Aku mulai jarang, bahkan hampir tak pernah mengirimkanmu lagi sura-surat cinta yang panjang, dan membuatmu membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyelesaikan membacanya.

Aku hampir tak pernah mengirimkanmu puisi-puisi tentang perasaanku terhadapmu, aku mulai jarang melakukan semua itu, hanya karena sesuatu yang disebut rutinitas, aku menemukan itu karena engkau tak pernah meminta, engkau tak pernah mengeluh tentang itu, engkau tak pernah protes.

Maafkan aku, karena selama ini terlalu banyak meminta, menuntut waktumu yang terbatas, meminta peran yang seharusnya bukan untukku. Tapi sekali dalam hidupku, aku merasa sangat bahagia, aku seolah menjadi perempuan paling sempurna karena bisa menyambutmu, dan merengkuh tanganmu untuk kucium dengan takzim. Terimakasih telah mengabulkan semua itu untukku, aku mengerti engkau juga tak mudah melakukan semua itu.

Cinta, masih ingatkah engkau pada permintaanku bertahun-tahun lalu? Untuk bisa tua bersamamu, memotong kuku-kukumu, menciummu selalu dengan takzim, dan sujud rukuk di belakangmu? Aku selalu ingat tentang itu, meski hanya sekedar melekat dalam ingatan, tapi engkau selalu berusaha mewujudkannya satu persatu untukku.

Mungkin terlalu sederhana, tapi saat kita melakukan semua itu dengan bantuan kamuflase, semua menjadi begitu bermakna dan bernilai. Kau tahu Cinta, tak mudah menjelaskan semuanya pada tatap penuh tanda tanya orang-orang di sekitar kita. Mereka tidak akan mengerti, dan mereka tidak akan menerima. Juga pada kisah yang baru terjadi, kita perlu berterimakasih pada fatamorgana.

Mungkin engkau tidak terlalu mengerti maksudku, karena begitulah cara kita saling memahami, dengan mengurai sedikit demi sedikit kebingungan, tapi Tuhan telah begitu baik padaku, menghadirkan dua pangeran pada saat yang bersamaan di hadapanku, kalian yang telah menjadi bagian dari hidupku.

Mungkin juga terkesan naif, karena kebahagiaan itu hanya berasal dari menatapmu dalam diam, menyaksikan engkau mengirim isyarat melalui gerak panca indera di antara keramaian. Yah...semuanya menjadi tak beralasan, karena cinta itu tak perlu penjelasan.

Cinta, aku tak pernah bosan mengatakan, dan menegaskan, bahwa aku berterimakasih Tuhan telah kirimkan engkau di hidupku. Aku mencintaimu, tak ada yang berubah dari perasaanku, meski aku tahu, aku tak bisa mencintaimu dengan terlalu sempurna. Aku ingin tua denganmu....


Yours!

23:14 pm | 22 Agustus 2012

Senin, 09 Juli 2012

Tak Kunjung Kering

Sekali lagi Tuhan, aku ingin tersungging, sekedar untuk mentertawakan kebodohan demi kebodohan ini. Tetapi pada saat yang bersamaan setitik embun mengalir, bercampur bersama keringat asin yang tak kunjung kering.

Permainan ini tampaknya tak akan segera usai, sementara aku tak lagi punya suara bahkan sekedar untuk sekedar berdesis. Teriakanku semakin perlahan, nafasku lebih sering terpenggal, hingga kadang aku bertepi untuk mencari jeda, akankah semuanya berjalan demikian cepat hingga aku tak sempat menanggalkan semua takdir ini.

Di ambang petang, aku demikian sering melihat wajah Mu hadir dalam keriuhan. Kadang aku harus bertepi, sekedar untuk menyesapi aroma perih yang tiba-tiba hinggap. Ah, semuanya terlalu rumit untuk dijabarkan, sementara keping demi keping teka-teki ini sepertinya belum menunjukkan muara.

Sekali lagi Tuhan, aku terbahak, tetapi kemudian luruh dalam asin air mata yang bercampur keringat. Tak kunjung kering!

Tuhan, selamat malam, aku berdosa!


Ini bukan tentang bagaimana mempertahankan. Tetapi tentang bagaimana memutuskan rantai agar perceraian itu terwujud. Pagi kini tak lagi berembun sebab malam terlalu kering oleh rindu. Dan senja selalu saja basah oleh kecamuk amarah. Pergantian waktu hanya berupa bait-bait puisi yang pendek, dan juga dangkal. Tuhan, semua kisah telah usai kupersembahkan kepada Mu. Maka biarkan aku lenyap dalam kisah berikutnya.

Aku belajar tersenyum dari bentuk bulan yang sabit melengkung. Sesungguhnya ia tak pernah sempurna, sebab banyak rahasia yang tersembunyi di balik lengkungan itu. Maka hadirlah purnama untuk menjelaskan sebulan sekali. Dan jika kali itu terlewat, maka aku ingin terlempar ke wajahmu yang bulat penuh. Karena di sanalah rahasia itu terakumulasi.

Wangi tubuhmu di wajahku pelan-pelan menyusut. Tapi juga pada kali ini aku harus berpura-pura untuk tak peduli. Kadang-kadang aku terlupa untuk menyembunyikanmu, kadang pula aku merasa engkau tak perlu kusembunyikan. Kadang pula aku merasa biar semua tahu, angin, embun, matahari dan kegelapan.

Kadang aku merasa, akulah gelap itu sendiri, juga matahari, juga embun dan angin. Itulah yang membawaku berani menyusuri lorong sembunyi dan membiarkan rintik-rintik air jatuh di wajahku. Sebab aku tak mampu lagi menafsirkan air mata, maka kubiarkan hujan menangis sejadinya, sementara aku cukup berdiam dari semua takdir yang tak ingin kutentang ini.

Tuhan, selamat malam, aku berdosa!

 22 Juni 2012 pukul 22:20

Sabtu, 02 Juni 2012

Pelukis Kisah

Juni masih terlalu belia. Masih ingatkah engkau pada skenario tak tertulis itu? Peran yang kemudian membuat kita menjadi sepasang pelukis kisah. Yang selalu membawa kanvas dan kuas. Meski untuk itu, kita selalu berlumur warna dari cat yang berantakan.

Juni masih sangat belia. Tetapi ia mampu mengajarkan kita makna cinta yang sesungguhnya. Untuk menghormati perbedaan, menghargai rasa. Juni mengajarkan kita untuk lebih egaliter. Lukisan itu, hampir sempurna bentuknya, semua berawal dari Juni.

Malam ini, aku kembali mendapati sebagian tubuhku berlumur wangi tubuhmu yang menggoda. Melekat bagai atsiri dan membuat berdesir ketika angin berhembus. Memacu detak hingga jantung terengah-engah. Ah, Cinta. Rahasia ini memang nikmat, tapi kerap membuat lelah.

Aku hampir sempurna melukis rupa wajahmu, tapi di sisi yang lain harus ada yang tak pernah selesai. Sebab kita tak inginkan semuanya menjadi entah. Aku Cinta, aku yang selalu mengerang gelisah. Bagai bulan yang samar oleh pucuk daun. Maka kadang aku menepi untuk berdamai dengan takdir.[]

Sabtu, 26 Mei 2012

Perjanjian

Perjanjian
Aku rindu bau tanah selepas hujan di kota itu. Sebab kita pernah menikmati rasa dengan cara yang tak biasa, seperti romansa yang dibalut kenangan, maka debar selalu saja memberi makna dengan sangat peka.

Seperti apa rupa lorong-lorong yang pernah kita lalui waktu itu? Masihkah bergelantung senyum di kolopak bibirnya? Dan seperti apa matahari yang terbit di ufuk itu? Masihkah selalu merona dengan jingga yang memeluk wujudnya?

Tak pernah habis, kata akan selalu ada untuk menjabarkan keadaan. Juga tentang lekuk-lekuk kota ini, di mana kita pernah bertemu dalam diam dengan mata mengerling. Sekedar untuk mengisyaratkan sesuatu, bahwa beginilah aplikasi dari perjanjian yang tak pernah tertulis itu.

Ah, perjanjian itu, hingga kapan akan terus kita patuhi. Mengapa tidak ada yang berani untuk melanggar, bukankah tidak ada materai yang memaksa kita untuk saling mematuhi?

Cinta, inilah debar, dan inilah warna, jingga yang selalu memberi hangat, dan degub yang selalu menterjemahkan rasa.


Jumat, 04 Mei 2012

Foto; Mengingat Joseph Dalam Gambar

Tahun 2005 silam saya berkenalan dengan pak Joseph, saya biasa memanggil beliau pak Josh, usia tidak lagi muda, tetapi beliau memiliki pribadi yang menarik dan bersahabat, ramah dan suka bercanda. Ia sering sering mengirimkan saya foto-foto, seperti foto bunga tulip ketika ada pameran bunga Keukenhof.

Beberapa tahun terakhir kami kehilangan kontak, id ym nya tidak pernah lagi terlihat online, entah apa yang terjadi dengan beliau, semoga keadannya selalu sehat dan baik.

Berikut beberapa foto kiriman dari pak Josh yang masih tersimpan di blog saya
Pak Josh pernah mengirimkan saya post card bergambar seperti ini
Pelabuhan Nijmegen yang terlihat dari atas jembatan Waalburg tampak terlihat sangat anggung dan menawan. Nijmegen sangat terkenal dengan Vierdagse Lopen atau jalan empat hari hingga ke manca negara. Nijmegen Waalkade ini terletak sekitar 122 km dari Dam Plein.
Foto bunga Tulip ini diambil pak Josh ketika ia sedang mengunjungi pameran bunga Keukenhoff yang digelar setiap tahun di negara kincir angin tersebut.

Tulip Orange
 










































Tulip Hitam
Jalan lintasan Tram atau kereta api listrik di Belanda



Festival Keukenhof; Sepenggal Kenangan Tentang Pak Josh


Sejak tanggal 21 Maret 2012 kemarin pameran taman bunga Keukenhof  kembali digelar di Belanda, awalnya tidak ada yang istimewa dari perhelatan akbar di negeri kincir angin tersebut. Namun tiba-tiba saya terkenang pada seorang sahabat maya saya yang sudah kehilangan kontak.
Namanya Joseph. Saya biasa memanggil beliau dengan sebutan pak Josh, kami berkenalan melalui program Yahoo! Messenger sekitar tahun 2005 silam, dan menjalin persahabatan yang cukup asyik dan menyenangkan.
Pak Josh adalah seorang Belanda yang punya darah Indonesia, ayahnya dulu adalah seorang ‘penjajah’ yang menikahi gadis Maluku, pak Josh pernah beberapa kali ke Maluku, dan ia mengerti bahasa Indonesia. Selama pertemanan kami interaksi yang kami lakukan melalui percakapan bahasa Indonesia.

Sabtu, 28 April 2012

Sepi Yang Menganiaya


Aku hampir tua dalam kembaraku, warna-warna langit kulihat berubah dari satu warna ke warna yang lain, begitu juga dengan cara angin menyentuh kulitku, kadang perlahan, kadang bergerak liar menjelajahi ari-ari kulit.

Tapi cinta masih terus mengambang dalam makna yang sesungguhnya, betapa definisi tidak mampu menjelaskan tentang getaran yang hinggap, apalagi tentang rasa yang sering pecah tertabrak cahaya.

Selasa, 10 April 2012

Menanti Purnama Usai

MALAM beranjak renta. Bungkuknya hampir serupa perempuan penikmat purnama itu. Dengan kaki yang dijulurkan ke tangga rumahnya, mata berselaput abu-abu milik perempuan itu tak sedetik pun melepaskan pandangannya dari langit.
Angin berhembus kuat, menusuk hingga ke tulangnya yang telah berpuluh-puluh tahun diserang reumatik. Tapi ia tak peduli, sebab pendar purnama itu telah demikian mujarabnya menyembuhkan semua luka di hidupnya.
Perempuan itu bersandar ke pintu, duduknya serupa patung yang tertancap dalam liang tanah yang padat. Sesekali ia meraba wajahnya yang keriput, merasakan serat-serat kulit tangannya yang kasar melekat di sana.
Wajah kaku dan dingin yang telah menyaksikan banyak luka, air mata dan juga amis darah, juga kesepian maha panjang yang telah mendera hingga ke dasar ulu hatinya.
“Akan tiba suatu malam di mana engkau menginginkan purnama segera berakhir,” kata lelaki suaminya berpuluh-puluh tahun lalu.
Perempuan itu tidak segera menjawab. Di bawah perak bulan ia meraih cangkir kopinya dan menyesapnya perlahan. Di bawah bayang-bayang pohon dikunyahnya ubi rebus secara perlahan. Di tengah kepungan belantara tak ada lagi yang membuatnya bahagia kecuali bisa bersama suaminya.
“Purnama tidak akan pernah berakhir,” ucapnya sepotong.
Lelaki itu tersenyum simpul.

Minggu, 08 April 2012

Perempuan Almarhum

Perempuan Almarhum
AKU baru berumur sepuluh tahun saat pertama kali bertemu dengannya. Perempuan itu mengenakan kebaya berbahan katun berwarna ungu yang telah pudar. Di beberapa tempat dipenuhi bercak tahi lalat berwarna hitam. Binatang jahil, tega sekali ia memberaki baju usang seorang perempuan tua sepertinya.
Perempuan itu menyapaku. Memamerkan giginya yang hitam dipenuhi karat getah sirih bercampur pinang yang telah dikunyahnya sepanjang umurnya. Aku agak takut. Dalam pikiran kanak-kanakku seringainya tak lebih seperti senyum mak lampir. Menghadirkan hawa kengerian.

Rambutnya kelabu, dengan gumpalan warna putih di sana-sini menjulur dari balik songkoknya. Songkok rajut dari bahan wol yang telah cokelat dimakan usia. Di sisi sebelah kirinya terlihat sobek dan dijahit dengan benang warna hitam ala kadarnya.


Aku mencium canggung tangan keriputnya. Aroma terasi dan bawang menyengat halus ke syaraf hidungku. Menghadirkan sensasi mual yang naik hingga ke ubun-ubun. Sejak saat itu aku telah sah menjadi murid Mak Itam, sebutan bagi perempuan tersohor yang berprofesi sebagai guru ngaji di kampung itu.

Minggu, 01 April 2012

Hikayat Hati (Dua)

ilustrasi
Juga pada kali itu, mestinya takdir adalah milik kita Cinta. Tapi aku hanya bisa menyentuh rumput kering itu serupa menyentuh wajahmu dalam ketinggian imajiku, di kota itu, malam itu aku berjanji bahwa aku akan kembali untuk mencium jejakmu.

Di dinding langit aku mencari sketsa wajahmu, di antara baluran mendung dan kerlip bintang yang hanya satu-satu, di sudut kota itu kau pernah menceritakan tentang purnama kepadaku.

Dan, seolah-olah pendarnya kurasakan malam itu meski aku tahu bahwa bulan sabit pun tidak, bau rumput itu Cinta sungguh semerbak, seperti serbuan wangi tubuhmu ketika kurapatkan hidungku ke dahimu. Seolah sama hinggapnya seperti ketika kau labuhkan bekas ciumanmu ditubuhku.

Minggu, 25 Maret 2012

Hikayat Hati (satu)

Bahkan, sebelum aku menyentuh pasir dan merasakan asinnya air laut pulau ini, aku sudah terlebih dahulu mencium bau kota ini. Melalui wangi tubuhmu Cinta, wangi yang selalu melekat dalam panca inderaku.

Maka ketika aku benar-benar hadir di sini, kota ini bukan lagi kota asing yang membutakan imajinasiku, kau sering menceritakan gradasinya, tentang pantai itu yang pernah diteduhi purnama yang berpendar terang.

Jumat, 16 Maret 2012

Tirai Hati

Tirai Hati
Sesungguhnya di jendela hatiku memiliki penutup serupa kain yang terjurai menyentuh tanah, ketika angin bertiup semilir kain itu bergoyang perlahan mengikuti ritme yang indah.

Di balik kain yang menjuntai indah itulah engkau tersembunyi, dari katup-katup mata di luar sana yang sering menyimpan rasa penasarannya. Mereka bertanya-tanya akan sosokmu, bagaimana rupamu, bagaimana suaramu, dan apa makna dari balik inisial namamu.

Kukatakan, bahwa rahasia tentangmu hanya setipis kain yang menjuntai itu, bahwa engkau adalah sosok yang tak terlalu asing bagi mereka, suaramu sering hinggap di pucuk-pucuk pohon, dan gelagatmu sering muncul bersama angin yang bertiup setelah hujan.Hanya saja, mencintaimu dengan cara itu mampu memberikan nikmat lebih, seperti nikmat para pecinta batu dalam mengasah batu-batu temuan mereka hingga membentuk suatu sketsa atau warna.

Yah, dari balik kain penutup itu biarkan mereka menebak-nebak tentang engkau.


12 Maret 2012 pukul 18:56

Puisi dan Kopi

Memulai maret dengan memimpikanmu, seperti mengawali dan mengakhiri februari dengan bertemu engkau.

gerak-gerak itu semakin mistis dalam ritmik imajinasi. meski kita telah mampu menterjemahkannya dengan sempurna.

hasrat, gejolak, lubrikasi rindu, telah bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. meski berkali-kali pula mengganti wajahnya.

Kamis, 09 Februari 2012

Workhsop Menulis Tiga Hati

Workhsop Menulis Tiga Hati
Dua puluhan anak muda dari berbagai komunitas di Banda Aceh mengikuti workshop menulis di Kafe A Plus, Batoh, Banda Aceh, Rabu, 1 februari 2012.

Pendiri TigaHati Community, Ihan Sunrise mengatakan mayoritas peserta berasal dari berbagai komunitas seperti Komunitas Pecinta Linux Indonesia (KPLI) Aceh, Komunitas Kamera Lubang Jarum (KLJ), Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh, Convis Aceh, dan juga dari rekan-rekan jurnalis muda serta masyarakat umum.

Dalam workhsop berdurasi tiga jam tersebut TigaHati Community menghadirkan Salma Indria Rahman sebagai pembicara. Salma Indria Rahman adalah anggota Aliansi Jurnalis Independen (Aji) Jakarta dan pendiri RumahPohon Activity Jakarta.

Dengan mengambil tema "Menuai Profit Dengan Menulis" Salma mengarahkan para peserta agar membuat tulisan yang memiliki informasi cukup dengan selalu memunculkan ide-ide atau hal-hal baru pada setiap tulisan yang belum pernah disajikan oleh penulis lainnya. "Dengan cara seperti ini tulisan akan memiliki nilai jual sehingga layak untuk dipublikasikan di media massa." demikian tegas Salma.

Salma juga menegaskan bahwa aktivitas menulis adalah pekerjaan paling mudah yang tidak terikat dengan waktu, dapat dilakukan di mana saja dan memiliki orientasi profit yang menjajikan.

Muhammad Hamzah Hasbalah, salah seorang peserta yang juga jurnalis di Aceh Kita mengatakan bahwa kegiatan ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan tentang cara dan teknik-teknik menulis. "Apalagi dengan praktik dan koreksi langsung dari pembicara, membuat kita langsung tahu di mana kekurangan dan kelebihan tulisan kita." katanya.

TigaHati Community adalah komunitas yang digagas oleh tiga sahabat Ihan, John dan Martha, sebagai wadah untuk berkreativitas.

Persembunyian Takdir



“Bersiap-siaplah.” Katamu

Ketika itu Aku baru saja selesai menyisir rambutku, lalu menguncirnya dengan pengikat rambut warna merah hati. Kuletakkan handphoneku di kasur, kemudian menyelesaikan riasan wajah berupa polesan celak di mataku.  Aku mematung sebentar di depan cermin, sekedar memastikan bahwa bedakku rata, dan lipstick di bibirku tidak ada yang keluar garis. Saat itu handphoneku kembali berbunyi. “waktu kita terbatas.” Katamu.

Aku meleguh. Menarik napas panjang sebagai bentuk keberatan dari ketergesa-gesaan yang kau tawarkan. Tapi itu hanyalah luapan emosi sesaat manakala aku harus menempuh jarak yang tidak sebentar untuk bisa segera sampai di hadapanmu. Dan memang, waktu selalu terasa singkat bagi kita; aku dan engkau.

Sehari Setelah Purnama

Sehari Setelah Purnama

Selalu ada cerita yang membuat kisah kita tak pernah selesai. Sehari setelah purnama, matahari begitu lantang dan mengirimkan denyut di atas ubun-ubun. Melewati lorong-lorong sembunyi sehari setelah purnama, di pucak siang yang begitu gagah, memiliki nikmat berbeda daripada menyusurinya ketika langit baru saja basah, dan langit mulai temaram.
Debarannya terasa lebih kencang, sebab lorong-lorong yang kulalui sepi dari lalu lalang manusia, kesepian yang membuat mereka menaruh perhatian lebih kepada siapa saja yang melintasi mereka. Gemericik air terdengar lebih jelas, sebab mereka mendominasi suasana ketimbang beberapa manusia yang memilih untuk diam, berdialog dengan diri sendiri atau sekedar membolak-balikkan Koran, mengamati perkembangan politik terkini.
Dan suara ketukan sepatuku di lantai terasa semakin nyaring saja, seiring dengan berakhirnya lorong sembunyi, hingga akhirnya sampai di muara yang membawaku menuju dunia lain. Dunia di mana alasnya terbuat dari karpet tebal yang mewah dan lembut. Yang mampu menyirap suara gesekan sepatuku sehingga mampu meredam debar yang semakin kencang di dalam hati. Dunia yang jauh lebih sepi namun memberikan nuansa temaram yang nyaman.
Dunia yang ketika kulihat sosokmu, bagai memasuki pusaran air di samudera biru yang liar, segera aku tersedot ke dalamnya, dan ketika aku menyadari, aku telah terdampar di pelukanmu yang datar. Wangi kulitmu menyelusup ke rongga hidungku, bagai aroma lotus yang mampu memejamkan mata, sekaligus mengendurkan syaraf-syaraf.
Ya, sehari setelah purnama kali ini kita memiliki waktu lebih untuk sekedar bercakap-cakap. Memang masih bagai ombak yang terus dikejar gulungan berikutnya, kita pun terpaksa menyelingi antara menuntaskan rindu dengan pembicaraan politik mengenai kandidat gubernur. Simulasi pencoblosan menjadi semacam pertautan jari, jemariku yang tampak kecil bergelung di jari-jarimu yang besar dan agak kasar.
Kita bagai berlari dikejar dering-dering telepon penting dari orang-orang seberang, bibir kita menarik segaris senyum, sebagai bentuk persetujuan bahwa kita merasa terganggu. Tetapi kondisi itu hanya masalah peran yang telah biasa kita tuntaskan.
Kita pernah berlari sambil menautkan bibir, kita pernah berjalan sambil bersulang, masing-masing membawa cawan rindu berwarna ungu. Kita pernah melakukan semuanya, menyudahi ketergesaan dengan tenang, berjalan dan bersikap santai dengan hati yang dilanda amuk gemuruh. Apalagi hanya melewatkan sedetik waktu untuk menjawab telepon, lalu kita memiliki waktu yang panjang untuk menyelesaikan gelisah.
Ini dunia yang aku dapat melihat air bergemericik biru di bawahnya, dengan hanya menyingkap sedikit tabirnya aku mampu melihat matahari dengan utuh, berwarna jingga dan beranjak untuk lebih condong. Dan selebihnya adalah warnamu yang menyelubungi seluruh inderaku.
Rabu, 8 februari 2012

Rabu, 08 Februari 2012

Raja Tuan Namamu

Raja Tuan Namamu

“Aku menyayangimu. Aku rindu saat-saat kita menghabiskan waktu bersama, mungkin sampai kita tua. Memotong kuku-kukumu. Mencabuti ubanmu. Menikmati senyummu yang manis. Merasakan nyaman dipeluk olehmu.” Kataku menerobos sunyi.
Memang telah benar-benar sunyi, bahkan dengung nyamuk pun tak lagi terdengar, kecuali sesekali senggukanku terdengar mengiba. Mengiris-ngiris hati yang telah penuh sesak oleh beban rindu yang kusimpan untukmu. Dan juga kemarahan yang tak pernah terlampiaskan.
“Meski tak pernah terjadi, tetapi engkau telah lebih dari sekedar seseorang yang mampu menghibur laraku. Yang harus aku hormati, aku sayangi, aku banggakan di hadapan semua orang.” Lanjutku.
Aku menyeka air mata yang meleleh di pipiku. Tetapi semakin kusapu semakin lancar saja ia keluar, seolah tak peduli pada buku-buku jariku yang telah menyeka butir-butirnya. Hingga akhirnya kubiarkan saja ia tumpah, biarlah esok pagi muncul sebagai sembab di mataku yang bulat telur.
“Aku merasa waktu kita semakin singkat, terbatas. Sementara engkau belum sepenuhnya tahu tentang isi hatiku.”
Aku terus saja berbicara, perkataan yang sudah sering kukatakan sebenarnya. Mungkin kau telah bosan mendengarnya, atau memang kau menginginkan agar aku terus mengatakannya hingga aku tak punya lagi kata yang tepat untuk mengeksplorasi perasaanku.
“Ya, aku tahu.” Jawabmu. Sangat singkat.
Sunyi semakin saja senyap. Hanya desah nafas yang sesekali terdengar menyerobot pembicaraan. Semacam leguh panjang dari akumulasi beban yang memuncak.
“Kadangkala kupikir aku tak lagi mencintaimu. Aku mengurangi rengekan dan mengeluhkan rindu. Aku membatasi melukis wajahmu dengan imajinasiku. Aku menghalaumu setiap kali kesepian menderaku. Aku menyesali air mata yang tumpah karena menangisimu. Kupikir aku telah benar-benar tidak mencintaimu lagi.”
Kataku mengawali pembicaraan tadi. Entah mengapa, kadangkala aku dirasuki keraguan tentangmu. Keraguan serupa momok yang membentang dan menghalangiku untuk melihat bahwa engkau benar-benar mencintaiku.
Lalu kutepis bayangan-bayangan mengerikan itu dengan menghadirkan sosokmu yang bijaksana, kata-katamu yang pendek namun terasa menggelitik syaraf. Dan juga kesabaranmu yang begitu santun. Tawamu yang tak pernah berubah. Permintaan manjamu akan puisi-puisi rinduku. “Aku senang membaca puisi-puisimu, membuatku bahagia dan merasa dicintai, walaupun aku tak begitu mengerti.” Katamu suatu hari, beberapa bulan yang lalu.
“Tapi kau membuatku terdiam setiap kali kita berbicara, kau menuntun perasaanku. Mengukuhkannya. Membuatku menangis dengan kabar kepindahanmu dari satu tempat ke tempat lain. Aku takut. Takut kehilanganmu dan juga cintamu. Aku selalu khawatir dengan hubungan ini sebab aku masih dan akan selalu mencintaimu.”
“Sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan kota ini, ada seseorang yang harus kutemui di sana, maafkan aku belum bisa menemuimu, aku mohon engkau mengerti dengan kondisiku Sayang.”
Kadangkala kita harus mengalah pada hening. Yang mampu menerobos hingga ke relung jiwa dan pita suara kita. Membungkam indera pengecap kita. Menulikan telinga dari riuh protes.
Ini adalah rasa khawatir yang telah terjadi sejak beberapa hari yang lalu. Ketika kau mengatakan bahwa kau akan meninggalkan kota ini. Aku diam, dibungkus hening hingga akhirnya percakapan kita terputus begitu saja.
Lalu aku dengan perasaan sedih bercampur lara berjalan menerobos mendung pekat yang telah satu persatu menetaskan hujan. Air mataku menitik, kerongkonganku terasa sakit, bagai tersekat, mungkin lebih tepat bagai tercekik karena menahan sesak yang hebat.
“Bukan kah seharusnya engkau berangkat esok lusa?”
“Sekarang atau lusa sama saja, sebab engkau akan memberikan pengertianmu yang banyak untukku.”
“Aku akan selalu memberikan doa terbaikku untukmu.”
“Terimakasih Cinta.”
Dan hening menjadi pemilik sunyi yang maha dahsyat. Mengatupkan mata menjadi rapat hingga tak ada kesempatan bagi cahaya untuk membuatnya kembali nganga. Bahkan untuk berkedip. Di sini, di hatiku, hening akan menjadi raja bagi tuan namamu.
                                                                               
Minggu, 05 Februari 12