Sabtu, 26 November 2011

Di Namamu Rinduku Bersujud

Di Namamu Rinduku Bersujud
Ini adalah malam ke sekian, sejak aku mengenalmu di bulan april. Malam-malam sesudahnya yang membuat tidurku tidak pernah sempurna. Malam yang selalu membuatku terjaga di ketiak malam. Malam yang selalu memunculkan sketsa wajahmu di langit-langit kamarku. Sekalipun telah kupadamkan lampu, bayang wajahmu tetap hadir sebagai mimpi.

Di malam-malam senyapnya telingaku menangkap derap-derap suara yang kuterjemahkan sebagai suara langkah kakimu menuju padaku. Rindu ini demikian parahnya, hingga tak sadar sering membuatku kepayahan.

Ah, bagaimana bisa aku jatuh cinta padamu? Dan bagaimana bisa cinta ini bertahan. Sedang engkau hanya jelmaan angin di hidupku. Yang pernah kurasakan desaunya, yang pernah kurasakan desirnya, yang pernah kurasakan sejuknya. Tetapi tidak pernah aku melihat wujudmu. Tidak pernah aku menyentuh wajahmu. Tidak pernah aku memelukmu. Tidak pernah aku menatap matamu. Kecuali dalam imajinasiku.

Ini adalah malam ke sekian aku mengingat namamu. Nama yang telah menjadi ayah bagi beberapa anak narasiku. Nama sederhana yang telah begitu istimewa di telingaku. Nama yang telah menjadi warna baru di meja tulisku. Juga di dinding hatiku.

Ah, Engkau! Berdosakah aku yang jatuh cinta padamu? Dan untuk alasan itu kah engkau sengaja hilang dari hidupku? Salahkah aku yang menaruh rasa untukmu? Padahal aku tidak pernah memintamu menjadi sesuatu untuk hidupku.

Kukatakan di sini (walau engkau tidak pernah membacanya) malamku selalu dikepung rindu yang parah untukmu. Siangku diserbu kemarau rasa yang telah pecah. Dan aku selalu menjadikan air mataku sebagai keringat yang jatuh di bawah kelopak mata. Sebab aku tak ingin mengaduh, apalagi mengeluh.

Kukatakan, bahwa mengenalmu adalah anugerah. Pernah mendengar tawamu adalah oase. Bagi hati yang kadangkala berubah menjadi gurun. Kukatakan! Bahwa di namamu rinduku bersujud.




Serambi Masjid
25 November 2011
08.56 pm

Jumat, 25 November 2011

Lukisan Merah (*)

Lukisan Merah (*)
Tak pernah lupa aku pada puisi-puisi pendek yang kerap datang ketika matahari telah dhuha, atau ketika petang mulai menjelang. Bagaimana mungkin aku bisa lupa, puisi-puisi itu telah mengembalikan seluruh imajinasiku yang sempat karam oleh trauma masa lalu.

Puisi-puisi yang kuyakini sebagai penggerak ke dua tanganku untuk kembali mengangkat kuas, memadukan berbagai variasi warna, dan menggoresnya sebagai lukisan abstrak di kanvas berwarna putih. Puisi-puisi itu telah mengembalikan diriku. Ya, tak mungkin aku melupakannya. Lebih tepatnya tak sanggup.

Ketika aku tak tahu harus melukis apa, maka puisi-puisi itu menjelma menjadi penunjuk jalan bagi imajinasiku. Antara sadar dan tidak  aku mengayunkan langkah, memasang kanvas, menyiapkan kuas-kuas dan cat, lalu tanganku membentuk guratan-guratan garis di atas kain kanvas, dan entah bagaimana tiba-tiba hasilnya menjadi sketsa wajah seorang perempuan.

Perempuan yang hanya kutemui sekali dalam hidupku, yang datang ketika petang akan menjelang. Ketika itu ia memakai kaos oblong warna merah dan celana jeans warna hitam. Rambutnya ikal se bahu dan ia biarkan tergerai. Baru kusadari kini, betapa sebagian besar lukisanku didominasi oleh wajah perempuan penyair itu.
Aku kembali teringat pada puisi-puisi pendek itu. Sudah setahun lebih tidak kuterima lagi sebagai pesan pendek di handphoneku, atau juga di e-mail-ku. Setiap kali terbit rinduku pada perempuan penyair itu maka aku hanya bisa membuka arsip lama di folder e-mail-ku. Membaca ulang kiriman puisi-puisinya yang singkat, namun sangat indah. Beberapa membuatku melayang dan menahan napas. Setidaknya begitulah yang kupahami, sebab aku sama sekali tidak mengerti puisi.

Seolah-olah, baru sekarang aku menemukan satu persatu makna dari setiap puisi-puisi itu, semacam kerinduan yang tertahankan, atau seperti keinginan yang tidak berani diungkapkan. Atau semacam penjelasan yang tersirat. 

Dulu pernah sekali kutanyakan itu padanya tetapi ia tak pernah menjelaskan.

“Itu hanya puisi biasa.” Begitu kilahnya selalu setiap kali kutanya apa maksud dari puisi itu. Atau “Jangan tanya macam-macam!” jawabnya ketus bila kutanya lagi.

Dan juga pada petang kali ini, lebih dari setahun yang lalu aku selalu menunggu-nunggu kalau-kalau ada pesan pendek yang masuk ke handphone-ku sebagai puisi dari seseorang. Atau juga ke e-mail-ku. Tetapi hingga malam menjadi isya, dan waktu berganti menjadi fajar yang kutunggu tak kerap datang. Dan seperti biasa, aku hanya bisa tersenyum untuk mengobati kekecewaan dan kehampaan hatiku. Pagiku seringkali disapa murung yang pekat.

“Sampai kapan kau akan melukis?” tanya perempuan penyair itu, sekitar dua tahun yang lalu.

Rabu, 23 November 2011

Ephoria Olahraga dan Semangat Mencibir Masyarakat Kita

Ephoria Olahraga dan Semangat Mencibir Masyarakat Kita

saya bukan penggemar olah raga, bahkan tidak ada satu jenis olah ragapun yang saya taruh perhatian khusus. Makanya ketika musim olah raga tiba reaksi saya biasa-biasa saja, sebut saja misalkan ketika musim piala dunia beberapa tahun lalu, atau ketika musim piala FIF, dan yang paling anyar adalah pertandingan pra piala dunia dan sea games yang sedang berlangsung saat ini.

Lazimnya, ketika pesta olah raga tiba masyarakat melalui kesepakatan tidak tertulis telah mempersiapkan dirinya. Di warung-warung kopi mereka menyediakan layar yang lebar-lebar agar para pengunjung leluasa ketika menonton tim kesebelasanya bertanding. Di warung-warung kampung pemandangannya juga tak jauh berbeda, di rumah-rumah, mereka seolah larut dalam ephoria sepak bola.

Saya bukannya tidak setuju dengan ephoria tersebut, di lain sisi saya melihat itu justru bagus untuk memunculkan semangat sportifitas dan memunculkan semangat dalam berolahraga, kecuali untuk saya barangkali.

Namun saya miris ketika melihat semangat yang meledak-ledak itu tiba-tiba berubah menjadi teriakan makian dan umpatan, ketika tim kesebelasannya kalah. Atau, katakanlah ketika timnas Indonesia sedang bertanding dengan timnas negara lain betapa kita sangat kompak untuk mendukung tim kesebelasan tanah air, status di facebook pun tidak jauh-jauh dari ekspresi tersebut, tentunya harapan untuk menang.

Tetapi apa yang terjadi ketika tim jagoannya tidak menang? Harapan-harapan tadi berubah menjadi ungkapan kekecewaan yang mendalam, letupan-letupan kemarahan bernuansa sumpah serapah dengan tudingan seperti para pemain tidak kompak, pelatih yang jelek, si A yang ingin menonjol sendiri, dan lain-lain.

Sekali lagi, saya bukan pecinta olah raga, jadi, menang atau kalah tidak mempengaruhi saya. Hanya saja saya jengah melihat ekspresi orang-orang di sekitar saya. Maksud saya begini, olah raga mengajarkan sportifitas tinggi, tetapi mengapa semangat sporitifitas itu tidak menular ke pendukungnya? Atau memang inilah potret masyarakat kita yang sesungguhnya? Di mana budaya mencemooh dan menghujat masih menjadi karakter utama bangsa kita?

Padahal, secara moril seharusnya kita memberikan dukungan ekstra kepada para pemain yang kalah, agar performa mereka bisa lebih meningkat lagi di lain waktu. Karena secara sederhana, memberikan pujian atas suatu prestasi itu sangat gampang, seseorang yang berhasil dalam suatu pencapaian lebih gampang dielu-elukan, namun, mampukah kita menunjukkan sikap berjiwa besar dalam menerima kekalahan?

Menurut hemat saya, jikapun mereka (tim sepakbola) kalah sebelum bertanding itu jauh lebih terhormat daripada penonton yang hanya mampu menyoraki, meneriaki, bahkan terkesan dipaksakan namun tidak mengerti apa-apa tentang teknik dalam bermain. (Ihan)

Kota Ingatan

Kota Ingatan
Di mataku, kota ini bukan lagi sekedar kota untuk mencari makan, tetapi telah menjadi nafas kehidupanku sendiri. Itu karena beberapa lekuknya pernah kita nikmati bersama. Melintasi tempat-tempat yang pernah kita datangi seperti memberikan semangat mengapa aku harus terus bertahan di kota ini.

Memandangi bekas tempat engkau berdiri, atau duduk, entah mengapa tak bisa kubendung sesak yang tiba-tiba menyergap. Ah, kita telah sering kali mengalah, untuk takdir yang tidak bisa kita ciptakan. Untuk itulah, mengapa aku selalu ingin berlama-lama di tempat itu, sekedar untuk menikmati senja atau menghabiskan malam bersama diam yang telah menelan keadaan.

Dan pagi ini, kudapati diriku seperti hendak mengeluarkan air mata, namun aku seperti telah lupa bagaimana caranya menangis,  ya, aku telah hampir lupa sebab telah terlalu sering aku menangis, kadang dengan diam sambil menatap manik matamu, atau kadang sambil terpekur di pelukanmu, atau kadang sambil tersenyum saat membalas ciumanmu.

Betapa tidak, ketika mengatakan cinta untukmu, saat itu kita harus menangis dengan cara tidak biasa, ketika melalui hari-hari sebagai kekasih terlalu banyak perkara yang membuat kita hampir tidak bisa tertawa. Kekasih, inikah perjuangan? Yang pada akhirnya tetap tidak menjadi sebagai pemenang? Pun begitu kekalahan bukanlah milik kita.

Maka, bagaimana mungkin aku ingin pergi dari kota ini. Kota yang bisa kulihat engkau dalam imajinasiku. Kota yang menyemerbakkan harum tubuhmu, kota yang membuatku meriang dan akan sembuh bila berhasil kau dekap. Kota yang telah membuatku menjadi ada.

Kekasih, sesungguhnya tidak ada yang tiba-tiba dari kisah kita, apa yang terjadi hari ini adalah perkiraan tujuh tahun yang lalu. Saat kita masih bercerita tentang emansipasi dan adat istiadat. Saat leguh kita masih bercampur bersama angin malam. Saat teriakan kita tertahan desau pasir di tepi pantai. Pada purnama di lautan itu aku pernah menaruh harap untuk dapat bercinta denganmu.

Saat rinduku terbit untukmu, saat itulah aku teringat akan hutang-hutangmu yang belum sepenuhnya kau tunaikan padaku; tentang lukisan yang belum sepenuhnya kau selesaikan.

Permata punie, 23 November 2011
09:03 am

Terimakasih Tuhan

Terimakasih Tuhan
terimakasih tuhan, untuk kehidupan luar biasa yang kau anugerahi untukku. 

aku adalah ulat, yang menggeliat menjijikkan dan menimbulkan kegelian. 

tetapi dengan cintamu aku belajar bermetamorfosis, untuk tumbuh perlahan-lahan, kelak aku akan menjadi kupu-kupu yang cantik. 

yang memiliki sepasang sayap untuk mengepak mengelilingi dunia, yang memiliki sepasang mata tajam untuk mengagumi keindahan ciptaanmu. 

yang memiliki orkestra rasa untuk dapat menikmati setiap cinta dari makhlukmu. 

terimakasih untuk lelaki istimewa yang telah kau kirimkan ke hidupku, yang mematangkan naluriku, yang mendewasakan pikiranku, yang membesarkan jiwaku; untuk garis takdir yang tidak sesuai kehendak. 

resahku hanya sebatas embun sebelum matahari terbit, galauku hanya seusia kilau bulan, sementara bahagiaku sepanjang rotasi yang tak pernah menemui ujungnya. 

terimakasih tuhan, takdir yang tak pernah kusesali adalah terlahir sebagai diriku, menaruh hatiku untuknya,dan memastikan bahwa aku berhenti mencintainya ketika aku menikahinya

Sabtu, 19 November 2011

Puisi Penghilang Nyeri II

Puisi Penghilang Nyeri II
Puisi bagi saya seperti pil kecil yang menghilangkan nyeri di kepala, maka kalau tak nyeri tidak dibutuhkan pil, seperti saya yang membutuhkan puisi untuk menghilangkan nyeri, oleh apa saja.

Jelaskan padaku, tentang pelangi dua warna, yang satu menyerupai warna hati, yang satu menyerupai warna nafsu. Tunjukkan padaku di mana lentera yag tidak memiliki sumbu, tidak memerlukan bahan bakar, tetapi memiliki cahaya seterang matahari.
24.10.11
06.46 pm

Enyahlah seperti batu yang tergelincir ke lautan, agar rupamu tidak lagi kutemui di cakrawala sebagai pelangi. Hadirmu memang sesekali, tetapi mengapa mesti dengan ritual hujan engkau datang, tak lelah kah kau mengundang nestapa di rasaku?
31.10.11
06.16 pm

Matahari muncul untuk menyesap duka yang tercipta ketika malam mulai lengang, sepi sering kali menelurkan gundah. Sedang bulan hadir untuk menghibur jiwa resah di siang hari.01.11.11
08.37 am

Bilakah puisi menemui takdirnya sebagai hati yang bebas menjatuhkan hati pada selaksa?

07.11.11
01.30 pm


Kematiannya!Sesungguhnya baru sekarang memekarkan luka.Untuk sebuah takdir yang entah
09.11.11
07.16 pm


Hujan ini sejatinya adalah untuk menumbuhkan segala rasa di hatiku. Untukmu telah kusediakan satu tempat, datanglah kapan saja kau sempat. Apa kabarmu? semoga sisa purnama semalam masih menggayut di wajahmu.
11.11.11
11.49 am

Kamis, 17 November 2011

Puisi Penghilang Nyeri I

Puisi Penghilang Nyeri I

Puisi bagi saya seperti pil kecil yang menghilangkan nyeri di kepala, maka kalau tak nyeri tidak dibutuhkan pil, seperti saya yang membutuhkan puisi untuk menghilangkan nyeri, oleh apa saja.

Untuk malam selarut ini, mengingatmu masih membuatku berdebar, sungguh, meski entah siapa aku telah begitu mabuk denganmu

~Candu~ 
07/10/2011
10:35 pm

Menikmati malam dengan segelah cahaya dari bulan, semoga terangnya sampai ke wajahmu, agar binarnya terlihat hingga ke malam berikutnya

~Kagum~

09/10/2011
08:15 pm

Malam menemui lengangnya, menyergap sepi dari empat penjuru takdir, seperti kumparan aku terkurung di antara semuanya, adakah engkau di salah satu penjurunya?

~Takdir~

17/10/2011
06:30 pm

Sebelum hujan tadi pagi kukirimkan seikat bunga rumpur untuk engkau, warnanya kuning gading, tetapi ia tidak memiliki wangi yang membuatmu sadar bahwa aku telah meletakkannya di bawah bantal tidurmu, nanti ketika kau mencium wangi kasturi janganlah berfikir bahwa itu berasal dari bunga rumput yang kukirim, tetapi wangi yang berasal dari hatimu sendiri.

~Wangi~

19/10/2011
08:48 AM

Aku adalah lentera, tetapi engkau adalah bahan bakar yang membuatku menyala
Aku adalah pulau, tetapi engkau adalah teropong yang membuatku dapat dilihat dari jarak jauhAku adalah air pelepas dahaga, tetapi engkau adalah kopi pembangkit selera
Aku tanpa engkau, hambar, tawar, seperti sayur tanpa garam

~Aku~ 

22/10/2011
07:02 pm

Hujan
Tak ada pelangi setelahnya
Sebab malam telah menggulita
Ijinkan aku menatap matamu
Sebab pelangi yang sesungguhnya ada di sana

~Pelangi~

23/10/2011
09:54 pm

Maafkan

Maafkan
Jalan ini begitu lengang dengan lalu lalang manusia yang membuat mabuk pikiran, sepi yang panjang atas kegelisahan yang menguras energi, hingga senyum pun terasa hambar, ah, aku melamun di keramaian.

Bunga rumput ini telah kering, padahal hujan senantiasa menyiramnya sebelum subuh, dalam gigil tidur yang mengilukan tulang belulang, dan aku basah dalam takdirku, untuk ke sekian kalinya, tak dapat kucegah semua ini, nokturia malam yang parah.

Inikah metamorfosis?

Ketika diamku menemui puncak amarahnya, dan tidak seorangpun kuharap mengerti, maafkan, aku tak dapat menjelaskan semuanya di hadapanmu, karena ku takut hujan turun di mataku, dan aku khawatir basahnya membuat sembab mata, hingga aku tak dapat menyaksikan mentari pagi yang hangat.

Maafkan, maafkan aku, aku adalah perempuan pencinta diam dan minim ekspresi, tetapi sesungguhnya di mataku tersimpan semua cerita.

16 November 2011 jam 14:31

Hanya Sekali

Hanya Sekali
malam telah sangat tua ketika aku mengingatmu, bahkan beberapa kali kokok ayam kudengar begitu jelas di antara lengang.

aku mengingatmu, karena kita pernah melalui malam-malam panjang yang enggan dihinggapi lelah.

aku mengingatmu, sebab ini sabtu malam, sebab kau kekasihku, karena semestinya di akhir pekan kita bertemu untuk membarter cerita, dan juga energi.

malam sudah bungkuk ketika kau mulai meringkuk di ingatanku, setengah dekade lebih bersama kita hanya pernah sekali bertemu di malam minggu.

bagaimana aku tidak mengingatmu malam ini? selama 6 x 360 hari kita cuma pernah malam mingguan sekali, tok sekali, dan itu terjadi bulan maret lalu, setelah lima tahun kita saling jatuh cinta.

mencintaimu sungguh istimewa, untung aku perempuanmu, dan untung kau lelakiku, jika tidak sudah tak terhitung serapah yang keluar karena kita tidak pernah bermalam minggu.

kelak, yang kuingat darimu hanya yang terjadi di malam yang sekali itu.

luv you Z

13 November 2011 jam 2:43

26 tahun lalu

26 tahun lalu
hari ini 5 november, tepat 26 tahun lalu seorang bayi perempuan dilahirkan dengan prosesi sekarat seorang perempuan dewasa, kelak dipanggil sebagai ibu.

mengalami kontraksi berhari-hari tetapi si bayi tidak juga mau ke luar, mungkin ia tahu bila kelak dunia mengubahnya menjadi perempuan mawar hitam yang langka karena nista.

setelah hampir merenggut nyawa ibunya, si bayi akhirnya lahir juga, ia menangis, karena dua hal, pertama terbayang tangan dukun beranak yang sampai ke ulu hati ibunya, ke dua karena ia sedih akan hinanya dunia.

ia tumbuh, tetapi tidak seperti anak perempuan pada umumnya, ia tak punya mainan boneka meski ia suka main pasar-pasaran, bajunya singlet putih tanpa lengan, celananya pendek se dengkul.

ia anak yang pendiam, tetapi imajinasinya liar. ia tak suka melawan tetapi memiliki jiwa pemberontak, ia tak suka bercanda tapi ia suka mengamati.

ia besar, hidup dengan masalahnya sendiri, ia tak ingin jadi apa-selain menjadi aku bagi dirinya.

bayi itu aku!
happy anniversery for me

 5 November 2011 jam 1:49

Enyahlah

Enyahlah
wahai lelaki yang selalu hadir dalam mimpi, enyahlah.

jangan usik ruang bawah sadarku dengan hadirmu yang tiba-tiba.

engkau bukan hanya melelahkan fisikku, tetapi juga batinku, perasaanku robek, hatiku tersayat oleh perilakumu.

pasal takwil mimpi ini, entah apa yang membuatmu begitu lekat di ingatan.

tapi mengingatmu bagai menyelinapkan pisau lipat di genggamanku, mengiris-ngiris menitikkan darah tanpa terasa.

tolong, sekali ini saja, aku tidak memohon untuk pentakbulan rindu, tetapi meminta agar engkau menjauh dari pikiranku.



31 Oktober 2011 jam 18:58