Rabu, 27 Februari 2013

Musim yang memekarkan hati


Februari tinggal sehari lagi terhitung sejak hari ini. Lusa Maret akan bertandang di musim yang belum beranjak dari basah. Jika aku tak salah mengingat, Maret ini akan membawa kita pada kisah sewindu yang semakin rumit.

Apapun itu, mencintaimu adalah anugerah, karena inspirasi bisa lahir tanpa kantung rahim yang sempurna. Ya, apapun itu asalkan tentangmu adalah kisah yang menarik, karena engkau adalah musim yang mampu memekarkan hati sepanjang tahun.

Terimakasih telah mencintaiku, memberi warna dalam hidupku, mengajarkan arti dewasa, bersabar, berbesar hati, dan juga keikhlasan, dengan cara berbeda; tanpa pengungkapan, tanpa perintah, hanya dengan keadaan. Ya, keadaan!

Selamat pagi cinta

Yours

Jumat, 08 Februari 2013

Rindu Senyummu

Rindu Senyummu

"Semalam aku memimpikanmu," kataku tadi pagi. Saat itu aku belum lama sampai di tempat bekerja. Sambil mengedit pekerjaan aku menyempatkan diri mengirimkan pesan pendek untukmu. Memberitahumu perihal mimpi semalam.

"Mimpi apa?" balasmu beberapa saat kemudian.

"Mimpi bersamamu. Rindu melihat matamu," kataku.

"Oh,"

"Cuma bisa bilang oh?" balasku dengan nada bertanya.

"Ah ah ah lagi,"

"Ih,"

"Cuma bisa bilang ih?" tanyamu.

"I miss you honey," kataku.

"I miss you too say," jawabmu.

Setelah itu kabar-kabari pagi hari tadi pun selesai begitu saja. Kamu kembali sibuk dengan pekerjaanmu. Pun juga aku. Mimpi semalam bukanlah yang pertama kalinya aku alami. Sejak kita bersama entah sudah berapa puluh kali aku memimpikanmu.

Meski tak terjadi apa-apa dan tak menyelesaikan apa-apa, aku senang karena bisa menghadirkanmu di alam bawah sadarku. Tapi ada satu yang tak berbeda antara mimpi dan kenyataan; senyummu.

Kau tahu, senyummu itu indah sekali. Meluluhkan hatiku. Apalagi ketika kamu sengaja mengulum senyum itu. Rasanya ingin kucomot senyum itu dengan bibirku. Lalu kutelan bulat-bulat. Dan setelah itu kukembalikan lagi ke tempatnya, di bibirmu.

Beberapa hari terakhir ini aku dilesak rindu yang parah. Kuingat-ingat kapan terakhir kali kita bertemu. Dan, ah sudah berganti tahun rupanya. Pertemuan sehari sebelum hari jadimu rasanya terlalu singkat. Terlalu tergesa-gesa, dan sepertinya kita belum menyampaikan apa-apa. Tapi aku perlu berterimakasih pada kesibukan ini. Membuatku tak terlalu tersiksa karena rindu yang menggoda hati.

Aku juga teringat pada pertemuan kita sebelumnya, sambil menyesap teh kita bercerita tentang banyak hal. Pekerjaan, keluarga, peluang-peluang, kapan kita bisa melakukannya lagi? Secangkir teh itu menjadi lebih nikmat karena aku bisa meneguknya sambil menyentuhmu.

Aku juga teringat pada suaramu yang lembut, yang selalu tak pernah bosan membujukku jika aku merajuk. Hahahah...kadang-kadang juga marah sampai tak mempedulikanmu. Tapi senyummu, seperti panas yang mencairkan beku salju. Atau sebeliknya dingin yang membekukan panas hatiku.

Cinta...

Aku rindu menatap matamu, karena di sana aku menemukan keteguhan, di sana aku melihat harapan; meski wujudnya entah seperti apa. Di matamu aku menemukan lega. Di matamu aku menemukan getar yang mampu menghadirkan debar di hatiku. Berkali-kali meski telah sering kulakukan. Aku ingin tenggelam di sana.

Cinta...

Aku ingin kau tahu, ada rindu dan cinta yang banyak untukmu hari ini.

Luv you Z


00:38 am | 8 Februari 2013

Selasa, 05 Februari 2013

Life of Pi; Novel yang membuat kita percaya pada Tuhan


“DENGAN cepat hari menjadi siang. Perasaan lemah lunglai yang fatal merayapi tubuhku. Aku pasti mati tengah hari nanti. Agar kematianku lebih nyaman, kuputuskan untuk memuaskan sedikit rasa haus tak tertahankan yang telah begitu lama kuderita. Kuteguk sebanyak mungkin air. Kalau saja ada yang bisa kumakan untuk terakhir kali. Tapi sepertinya tidak ada apa-apa. Aku duduk bersandar pada tepi gulungan terpal yang berada di tengah-tengah sekoci. Kupejamkan mata, menunggu nyawaku meninggalkan raga.”

--------------------------------------
Itulah adalah salah satu paragraf yang menceritakan saat-saat di mana seorang pemuda berusia 16 tahun merasa sangat putus asa. Pemuda itu adalah Piscine Molitor Patel. Namanya yang susah disebut membuatnya menyingkat nama panggilannya menjadi Pi. Pi Patel. Pemuda itu berasal dari keluarga India; ia memiliki seorang kakak lelaki bernama Ravi.

Situasi di atas menggambarkan kondisi Pi Patel yang sedang terkatung-katung di tengah Samudera Pasifik. Kondisinya sangat menyedihkan. Dua matanya bernanah dan menyebabkan kebutaan sementara. Tubuhnya kurus kerempeng. Perut lapar dan dibelit rasa dahaga yang luar biasa. Belum lagi kulit yang semakin melegam karena terus menerus terpanggang sinar matahari. Saat hujan atau badai turun Pi Patel hanya bisa meringkuk di atas rakit yang terbuat dari pendayung perahu. Saat itu Pi Patel sudah berbulan-bulan berada di Samudera Pasifik. Pemuda itu sedang menunggu ajal.

Kisah Pi Patel yang terombang-ambing di Samudera Pasifik ini berawal ketika keluarganya pindah dari India ke Kanada. Pi Patel, ayah, ibu dan kakaknya Ravi naik kapal barang Tsimtsum milik Jepang yang berbendera Panama. Ketika di India ayah Pi punya kebun binatang. Saat pindah beberapa binatang yang tidak habis terjual ikut dibawa.