Jumat, 09 Juli 2021

Love Me Like There's No Tomorrow


 

Cintai aku seperti tidak ada hari esok.

Kira-kira, seperti itulah terjemahan dari judul tulisan ini. Kalimat itu kutemukan di awal paragraf salah satu bab dalam Time of Your Life--Bagimu, masa muda hanya sekali-- yang ditulis Rando Kim, seorang profesor di Seuol National University. Kalimat itu terdengar romantis. Bagi penggemar Freddie Mercury, mungkin lagu ini sudah familier di telinga mereka. Namun, tidak denganku. Satu-satunya lagu Freddie-Queen yang akrab di telingaku cuma I want to break free. Yeah! Aku ingin bebas!

Kalimat itu membuatku gayang. Tentu bukan dalam arti sebenarnya. Setidaknya, membuatku tergerak untuk membuka laman ini dan terbersit ingin menuliskan sesuatu. Walaupun, walaupun setelah layar terbuka dan jari-jemari sudah bertengger di atas kibor, aku malah dilanda kebingungan. Apa yang harus kutulis? Pada akhirnya, aku cuma bisa menatapi layar ....

Dua tahun lalu, aku mewawancarai seorang pria paruh baya. Kami sepakat membuat janji temu di salah satu kafe premium di kota ini. Soal tempat, kubiarkan dia yang memutuskan. Walau bagaimana pun, kenyamanan orang yang akan diwawancarai tetaplah menjadi prioritasku. Selama, tempat itu mudah diakses, terbuka untuk publik, dan, tentu saja, ini yang paling penting: tidak berisik.

Kami janji ketemu sore hari setelah asar, tetapi pria itu datang agak terlambat. Itu tidak masalah buatku karena sepanjang sore hingga magrib memang sudah kusediakan waktu untuknya. Jadi, kalaupun dia datang terlambat, masih ada waktu untuk berbincang. 

Pria itu mengenakan setelah jin dan kemeja lengan pendek. Meskipun kepalanya tertutupi topi sejenis beret, jelas sekali kalau kepalanya sudah dipenuhi uban. Usia memang tak bisa menipu. Namun, ia masih terlihat gagah. Posturnya yang tinggi besar meneguhkan kesan itu. Jalannya masih tegak. Selera humornya juga bagus. Barangkali itu resep dia tampak lebih segar dan bersemangat meski usianya sudah setengah abad lebih. Sepanjang wawancara berlangsung, suasana terasa sangat cair. Lebih mirip obrolan dengan seorang kenalan baru. Dia juga tak canggung saat menceritakan tentang kehidupan pribadinya, tentang keluarganya, tentang siapa dirinya.

"Keluarga kami bukan orang berada," katanya di tengah perbincangan, "ayah saya meninggal dunia terlalu cepat," katanya lagi.

Itu sebabnya, sebagai anak lelaki tertua, dia mengambil peran dan tanggung jawab yang lebih besar menggantikan ayahnya. Adik-adiknya perlu sekolah, mereka juga perlu biaya hidup, dialah yang harus memenuhi biayanya. 

"... itu sebabnya anak saya masih kecil," dia menunjuk ke arah seorang remaja berusia sekolah menengah atas, menuntun seorang balita yang tak lain adalah adiknya. 

Keduanya adalah anak pria yang duduk di hadapan saya. Dia lantas menyuruh mereka menunggu di kursi lain.

Aku menyimak ceritanya. Pria itu, saat teman-teman sebayanya sibuk menjalin kisah asmara, bersekolah tanpa perlu dipusingkan dengan biaya SPP, dia malah mengabaikan segala kesenangan masa mudanya untuk mengurus adik-adiknya. Di akhir cerita, adiknya lulus sebagai sarjana, saat itu, dia merasa etape terberatnya sebagai seorang abang sedikit berkurang. Barulah kemudian dia memikirkan dirinya sendiri, menemukan belahan jiwa, menikah, dan... meniti kariernya yang memang telah dibangun sejak awal.

Ketika malam ini aku membaca Time of Your Life dan menemukan judul tembang lagu yang menjadi judul tulisan ini, entah mengapa ingatanku malah melayang pada pria paruh baya itu. Aku menemukan makna dari kalimat itu. Makna yang sangat dalam. Itulah ekspresi cinta yang sebenarnya. Yang membuat kita selalu tak sabaran, bahkan terpikir bahwa tak ada lagi hari esok untuk mengekspresikan cinta. Cinta yang besar, yang tak bisa menunggu waktu, selalu berbarengan dengan pengorbanan, kan? Meskipun pria itu tak pernah mengatakan "i love you", tetapi bukti cintanya pada keluarga tentulah sangat besar.

Sebagai individu yang pernah merasakan jatuh cinta. Aku pun kerap begitu. Cinta selalu membuatku tak pernah bisa bersabar. Misalnya, aku selalu merasa malam selalu panjang; hanya agar aku bisa mengucapkan selamat pagi pada kekasihku. Atau, aku merasa waktu dua belas bulan di Bumi seperti di Pluto, karena aku ingin selalu menjadi yang pertama memberi ucapan ketika kekasihku berulang tahun. 

Namun, ternyata ketidaksabaranku itu masih tidak ada apa-apanya dibandingkan ketidaksabaranku jika menyangkut dengan ibu. Satu-satunya orang tua yang kupunya sekarang. 

Aku masih ingat betapa jarak Banda Aceh--Idi Rayek terasa sangat jauh saat pulang untuk menengok ibu yang telah dibawa ke rumah sakit. Begitu juga jarak Idi Rayek--Banda Aceh, yang rasanya seperti tak sampai-sampai saat mendampingi ibu di dalam ambulans yang membawanya ke rumah sakit terbesar di Banda Aceh. Menyaksikannya termegap-megap seperti ikan menggelepar di daratan, aku bahkan tak sempat berpikir jika hari esok masih ada. Saat berbulan-bulan ibu dirawat di ruang intensif, aku tak pernah bisa tidur dengan nyenyak. Dan karena terlalu banyak berdiri, betisku sudah seperti balok kerasnya. Aku bahkan tak lagi bisa merasakan seperti apa rasanya lelah. Begitulah, aku selalu merasa bahwa esok adalah misteri, waktu yang kupunya untuk menunjukkan bahwa aku sangat mencintai ibuku hanya hari itu. Saat itu. Jadi aku tak ingin melewatkan sedikit pun kesempatan. Jangan ada sedetik pun yang sia-sia. Ibu harus tahu kalau aku mencintainya. 

Itulah, itulah yang selalu kulakukan pada orang-orang yang kucintai; aku tak pernah sungkan menyatakan perasaanku. Entah dengan sikap, perlakuan, emosi, atau dengan sesuatu. Selalu berusaha mendahulukan selama memungkinkan. Walaupun, kadang-kadang, ego juga melunjak. 

Sekali waktu di Hari Ibu. Sambil memeluk dan menciumnya, kuselipkan sepotong kertas bertuliskan perasaan cinta yang dalamku padanya. Di waktu yang lain, ketika aku sudah punya uang lebih, kubelikan sepotong kue tar dan selembar baju gamis untuk ibu di Hari Ibu. Tangisnya pecah. Kata terima kasih disertai doa panjang terucap di bibirnya. Itulah, itulah cinta yang seolah seperti tak ada hari esok.

Begitu juga pada kekasihku. Sekali waktu, aku memberikan lukisan sebagai kado hari ulang tahunnya. Di lain waktu, aku hanya bisa menuliskan pesan pendek yang kukirim ke ponselnya. Tentang hari esok... aku tidak tahu, apakah aku masih mencintainya, ataukah dia masih mencintaiku. Esok, entah dia masih mau bertemu denganku, atau justru aku yang sudah enggan bertemu dengannya. Karena esok, aku tidak pernah tahu, cinta yang dalam dan besar entah masih perlu disampaikan dengan pesan dan lisan, atau cukup dikirimkan lewat doa-doa yang pendek saja; semoga selalu bahagia, selalu hidup dalam cinta, selalu ... selalu... selalu....

Jadi, kupikir, berusaha datang lebih awal dalam setiap janji temu, adalah ekspresi dari cinta. Berusaha memberi meskipun tak pernah dipinta, juga ekspresi cinta. Tetapi kadang-kadang, merelakan juga bagian dari ekspresi cinta... sebab, jika hari ini kita tak pernah bisa merelakan, besok pun mungkin tak pernah bisa...[]

Jumat, 02 Juli 2021

Kapan Terakhir Kali Kita Berdua?

Sumber foto: pixabay


Kapan terakhir kali kita berdua? Duduk, untuk saling sekadar menautkan jari jemari di atas meja. Saling menatap dalam diam. Membiarkan perasaan melanglang buana. Seperti elang yang mengepakkan sayap di cakrawala.

Kau, mungkin, sambil menikmati secangkir cokelat panas. Yang dihidangkan dalam cangkir porselen bergambar abstrak. Aku? Mungkin hanya memesan secangkir kopi. Mungkin. Karena akhir-akhir ini kami mulai tak bersahabat. 

Setiap minum kopi, malamnya aku selalu terjaga, bahkan hingga menjelang pagi. Itu menyiksa. Bukan, bukan karena tak bisa tidur. Tetapi karena insomnia selalu melahirkan konspirasi. Menghadirkanmu dalam berbagai fragmen kebersamaan kita. Itu sangat menyiksa.

To the Bone-nya Pamungkas mengalun lembut. Aku suka bait-baitnya. Merepresentasikan apa yang kurasa saat ini. Matahari mulai tinggi. Tetapi aku masih di sini, menikmati hangat yang bercampur semilir angin. Duduk di tepi sungai. Memandangi permukaannya yang bergelombang dipermainkan angin. Ikan-ikan kecil sesekali tampak bergerombol. Mereka sedang bercanda atau ada pemangsa yang sedang mengejar?

Beberapa perahu tertambat di pinggir sungai. Aku memperhatikannya satu-satu. Berwarna-warni. Ada merah, hijau, kuning, putih. Tapi itu bukan pelangi. Meskipun itu pelangi, aku bukanlah pengagum pelangi. 

Perahu itu... apa bedanya dengan manusia. Kita, dilahirkan untuk kemudian berkelana di laut lepas. Kehidupan ini adalah lautan mahaluas, kan? Pada saatnya, kita tetap perlu menepi dan berlabuh. Perlu dermaga untuk melempar sauh. Atau jangkar. 

Saat itu, mungkin kita akan memulai kehidupan baru. Mungkin juga karena terlampau lelah. Perlu waktu sejenak untuk beristirahat. Atau karena sudah terlampau rapuh dan tak berdaya? Siapa yang sanggup terus-terusan digumul gelombang? Siapa yang sanggup terus-terusan dipanggang matahari. Yang, ketika di samudra ukurannya terasa lebih besar dan cahayanya terasa seperti besi yang meleleh.

Berlabuh artinya berhenti seumur hidup? Berlabuh, artinya, pergi untuk selama-lamanya? Entahlah ....

***

Kapan terakhir kali kita berdua. Pertanyaan itu sangat klise. Aku pun mulai enggan bertanya. Di tepi sungai, aku masih duduk sambil memandangi rumput sebagai alas duduk. Ujung-ujungnya lancip, serupa pensil yang diraut dengan pisau lipat. Dengannya seseorang bisa menuliskan apa saja tentang kisah hidupnya; di atas lembar daun sewarna cengkih kering, atau di atas papan lusuh sewarna sabut kelapa. 

Angin masih bertiup. Matahari makin meninggi. Cahayanya menyilaukan. Di seberang sana jejak-jejak masa lalu kembali muncul. Dan kau muncul sebagai seorang musafir.[]