Jumat, 02 Juli 2021

Kapan Terakhir Kali Kita Berdua?

Sumber foto: pixabay


Kapan terakhir kali kita berdua? Duduk, untuk saling sekadar menautkan jari jemari di atas meja. Saling menatap dalam diam. Membiarkan perasaan melanglang buana. Seperti elang yang mengepakkan sayap di cakrawala.

Kau, mungkin, sambil menikmati secangkir cokelat panas. Yang dihidangkan dalam cangkir porselen bergambar abstrak. Aku? Mungkin hanya memesan secangkir kopi. Mungkin. Karena akhir-akhir ini kami mulai tak bersahabat. 

Setiap minum kopi, malamnya aku selalu terjaga, bahkan hingga menjelang pagi. Itu menyiksa. Bukan, bukan karena tak bisa tidur. Tetapi karena insomnia selalu melahirkan konspirasi. Menghadirkanmu dalam berbagai fragmen kebersamaan kita. Itu sangat menyiksa.

To the Bone-nya Pamungkas mengalun lembut. Aku suka bait-baitnya. Merepresentasikan apa yang kurasa saat ini. Matahari mulai tinggi. Tetapi aku masih di sini, menikmati hangat yang bercampur semilir angin. Duduk di tepi sungai. Memandangi permukaannya yang bergelombang dipermainkan angin. Ikan-ikan kecil sesekali tampak bergerombol. Mereka sedang bercanda atau ada pemangsa yang sedang mengejar?

Beberapa perahu tertambat di pinggir sungai. Aku memperhatikannya satu-satu. Berwarna-warni. Ada merah, hijau, kuning, putih. Tapi itu bukan pelangi. Meskipun itu pelangi, aku bukanlah pengagum pelangi. 

Perahu itu... apa bedanya dengan manusia. Kita, dilahirkan untuk kemudian berkelana di laut lepas. Kehidupan ini adalah lautan mahaluas, kan? Pada saatnya, kita tetap perlu menepi dan berlabuh. Perlu dermaga untuk melempar sauh. Atau jangkar. 

Saat itu, mungkin kita akan memulai kehidupan baru. Mungkin juga karena terlampau lelah. Perlu waktu sejenak untuk beristirahat. Atau karena sudah terlampau rapuh dan tak berdaya? Siapa yang sanggup terus-terusan digumul gelombang? Siapa yang sanggup terus-terusan dipanggang matahari. Yang, ketika di samudra ukurannya terasa lebih besar dan cahayanya terasa seperti besi yang meleleh.

Berlabuh artinya berhenti seumur hidup? Berlabuh, artinya, pergi untuk selama-lamanya? Entahlah ....

***

Kapan terakhir kali kita berdua. Pertanyaan itu sangat klise. Aku pun mulai enggan bertanya. Di tepi sungai, aku masih duduk sambil memandangi rumput sebagai alas duduk. Ujung-ujungnya lancip, serupa pensil yang diraut dengan pisau lipat. Dengannya seseorang bisa menuliskan apa saja tentang kisah hidupnya; di atas lembar daun sewarna cengkih kering, atau di atas papan lusuh sewarna sabut kelapa. 

Angin masih bertiup. Matahari makin meninggi. Cahayanya menyilaukan. Di seberang sana jejak-jejak masa lalu kembali muncul. Dan kau muncul sebagai seorang musafir.[]


Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)