Kamis, 09 Februari 2012

Workhsop Menulis Tiga Hati

Workhsop Menulis Tiga Hati
Dua puluhan anak muda dari berbagai komunitas di Banda Aceh mengikuti workshop menulis di Kafe A Plus, Batoh, Banda Aceh, Rabu, 1 februari 2012.

Pendiri TigaHati Community, Ihan Sunrise mengatakan mayoritas peserta berasal dari berbagai komunitas seperti Komunitas Pecinta Linux Indonesia (KPLI) Aceh, Komunitas Kamera Lubang Jarum (KLJ), Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh, Convis Aceh, dan juga dari rekan-rekan jurnalis muda serta masyarakat umum.

Dalam workhsop berdurasi tiga jam tersebut TigaHati Community menghadirkan Salma Indria Rahman sebagai pembicara. Salma Indria Rahman adalah anggota Aliansi Jurnalis Independen (Aji) Jakarta dan pendiri RumahPohon Activity Jakarta.

Dengan mengambil tema "Menuai Profit Dengan Menulis" Salma mengarahkan para peserta agar membuat tulisan yang memiliki informasi cukup dengan selalu memunculkan ide-ide atau hal-hal baru pada setiap tulisan yang belum pernah disajikan oleh penulis lainnya. "Dengan cara seperti ini tulisan akan memiliki nilai jual sehingga layak untuk dipublikasikan di media massa." demikian tegas Salma.

Salma juga menegaskan bahwa aktivitas menulis adalah pekerjaan paling mudah yang tidak terikat dengan waktu, dapat dilakukan di mana saja dan memiliki orientasi profit yang menjajikan.

Muhammad Hamzah Hasbalah, salah seorang peserta yang juga jurnalis di Aceh Kita mengatakan bahwa kegiatan ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan tentang cara dan teknik-teknik menulis. "Apalagi dengan praktik dan koreksi langsung dari pembicara, membuat kita langsung tahu di mana kekurangan dan kelebihan tulisan kita." katanya.

TigaHati Community adalah komunitas yang digagas oleh tiga sahabat Ihan, John dan Martha, sebagai wadah untuk berkreativitas.

Persembunyian Takdir



“Bersiap-siaplah.” Katamu

Ketika itu Aku baru saja selesai menyisir rambutku, lalu menguncirnya dengan pengikat rambut warna merah hati. Kuletakkan handphoneku di kasur, kemudian menyelesaikan riasan wajah berupa polesan celak di mataku.  Aku mematung sebentar di depan cermin, sekedar memastikan bahwa bedakku rata, dan lipstick di bibirku tidak ada yang keluar garis. Saat itu handphoneku kembali berbunyi. “waktu kita terbatas.” Katamu.

Aku meleguh. Menarik napas panjang sebagai bentuk keberatan dari ketergesa-gesaan yang kau tawarkan. Tapi itu hanyalah luapan emosi sesaat manakala aku harus menempuh jarak yang tidak sebentar untuk bisa segera sampai di hadapanmu. Dan memang, waktu selalu terasa singkat bagi kita; aku dan engkau.

Sehari Setelah Purnama

Sehari Setelah Purnama

Selalu ada cerita yang membuat kisah kita tak pernah selesai. Sehari setelah purnama, matahari begitu lantang dan mengirimkan denyut di atas ubun-ubun. Melewati lorong-lorong sembunyi sehari setelah purnama, di pucak siang yang begitu gagah, memiliki nikmat berbeda daripada menyusurinya ketika langit baru saja basah, dan langit mulai temaram.
Debarannya terasa lebih kencang, sebab lorong-lorong yang kulalui sepi dari lalu lalang manusia, kesepian yang membuat mereka menaruh perhatian lebih kepada siapa saja yang melintasi mereka. Gemericik air terdengar lebih jelas, sebab mereka mendominasi suasana ketimbang beberapa manusia yang memilih untuk diam, berdialog dengan diri sendiri atau sekedar membolak-balikkan Koran, mengamati perkembangan politik terkini.
Dan suara ketukan sepatuku di lantai terasa semakin nyaring saja, seiring dengan berakhirnya lorong sembunyi, hingga akhirnya sampai di muara yang membawaku menuju dunia lain. Dunia di mana alasnya terbuat dari karpet tebal yang mewah dan lembut. Yang mampu menyirap suara gesekan sepatuku sehingga mampu meredam debar yang semakin kencang di dalam hati. Dunia yang jauh lebih sepi namun memberikan nuansa temaram yang nyaman.
Dunia yang ketika kulihat sosokmu, bagai memasuki pusaran air di samudera biru yang liar, segera aku tersedot ke dalamnya, dan ketika aku menyadari, aku telah terdampar di pelukanmu yang datar. Wangi kulitmu menyelusup ke rongga hidungku, bagai aroma lotus yang mampu memejamkan mata, sekaligus mengendurkan syaraf-syaraf.
Ya, sehari setelah purnama kali ini kita memiliki waktu lebih untuk sekedar bercakap-cakap. Memang masih bagai ombak yang terus dikejar gulungan berikutnya, kita pun terpaksa menyelingi antara menuntaskan rindu dengan pembicaraan politik mengenai kandidat gubernur. Simulasi pencoblosan menjadi semacam pertautan jari, jemariku yang tampak kecil bergelung di jari-jarimu yang besar dan agak kasar.
Kita bagai berlari dikejar dering-dering telepon penting dari orang-orang seberang, bibir kita menarik segaris senyum, sebagai bentuk persetujuan bahwa kita merasa terganggu. Tetapi kondisi itu hanya masalah peran yang telah biasa kita tuntaskan.
Kita pernah berlari sambil menautkan bibir, kita pernah berjalan sambil bersulang, masing-masing membawa cawan rindu berwarna ungu. Kita pernah melakukan semuanya, menyudahi ketergesaan dengan tenang, berjalan dan bersikap santai dengan hati yang dilanda amuk gemuruh. Apalagi hanya melewatkan sedetik waktu untuk menjawab telepon, lalu kita memiliki waktu yang panjang untuk menyelesaikan gelisah.
Ini dunia yang aku dapat melihat air bergemericik biru di bawahnya, dengan hanya menyingkap sedikit tabirnya aku mampu melihat matahari dengan utuh, berwarna jingga dan beranjak untuk lebih condong. Dan selebihnya adalah warnamu yang menyelubungi seluruh inderaku.
Rabu, 8 februari 2012

Rabu, 08 Februari 2012

Raja Tuan Namamu

Raja Tuan Namamu

“Aku menyayangimu. Aku rindu saat-saat kita menghabiskan waktu bersama, mungkin sampai kita tua. Memotong kuku-kukumu. Mencabuti ubanmu. Menikmati senyummu yang manis. Merasakan nyaman dipeluk olehmu.” Kataku menerobos sunyi.
Memang telah benar-benar sunyi, bahkan dengung nyamuk pun tak lagi terdengar, kecuali sesekali senggukanku terdengar mengiba. Mengiris-ngiris hati yang telah penuh sesak oleh beban rindu yang kusimpan untukmu. Dan juga kemarahan yang tak pernah terlampiaskan.
“Meski tak pernah terjadi, tetapi engkau telah lebih dari sekedar seseorang yang mampu menghibur laraku. Yang harus aku hormati, aku sayangi, aku banggakan di hadapan semua orang.” Lanjutku.
Aku menyeka air mata yang meleleh di pipiku. Tetapi semakin kusapu semakin lancar saja ia keluar, seolah tak peduli pada buku-buku jariku yang telah menyeka butir-butirnya. Hingga akhirnya kubiarkan saja ia tumpah, biarlah esok pagi muncul sebagai sembab di mataku yang bulat telur.
“Aku merasa waktu kita semakin singkat, terbatas. Sementara engkau belum sepenuhnya tahu tentang isi hatiku.”
Aku terus saja berbicara, perkataan yang sudah sering kukatakan sebenarnya. Mungkin kau telah bosan mendengarnya, atau memang kau menginginkan agar aku terus mengatakannya hingga aku tak punya lagi kata yang tepat untuk mengeksplorasi perasaanku.
“Ya, aku tahu.” Jawabmu. Sangat singkat.
Sunyi semakin saja senyap. Hanya desah nafas yang sesekali terdengar menyerobot pembicaraan. Semacam leguh panjang dari akumulasi beban yang memuncak.
“Kadangkala kupikir aku tak lagi mencintaimu. Aku mengurangi rengekan dan mengeluhkan rindu. Aku membatasi melukis wajahmu dengan imajinasiku. Aku menghalaumu setiap kali kesepian menderaku. Aku menyesali air mata yang tumpah karena menangisimu. Kupikir aku telah benar-benar tidak mencintaimu lagi.”
Kataku mengawali pembicaraan tadi. Entah mengapa, kadangkala aku dirasuki keraguan tentangmu. Keraguan serupa momok yang membentang dan menghalangiku untuk melihat bahwa engkau benar-benar mencintaiku.
Lalu kutepis bayangan-bayangan mengerikan itu dengan menghadirkan sosokmu yang bijaksana, kata-katamu yang pendek namun terasa menggelitik syaraf. Dan juga kesabaranmu yang begitu santun. Tawamu yang tak pernah berubah. Permintaan manjamu akan puisi-puisi rinduku. “Aku senang membaca puisi-puisimu, membuatku bahagia dan merasa dicintai, walaupun aku tak begitu mengerti.” Katamu suatu hari, beberapa bulan yang lalu.
“Tapi kau membuatku terdiam setiap kali kita berbicara, kau menuntun perasaanku. Mengukuhkannya. Membuatku menangis dengan kabar kepindahanmu dari satu tempat ke tempat lain. Aku takut. Takut kehilanganmu dan juga cintamu. Aku selalu khawatir dengan hubungan ini sebab aku masih dan akan selalu mencintaimu.”
“Sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan kota ini, ada seseorang yang harus kutemui di sana, maafkan aku belum bisa menemuimu, aku mohon engkau mengerti dengan kondisiku Sayang.”
Kadangkala kita harus mengalah pada hening. Yang mampu menerobos hingga ke relung jiwa dan pita suara kita. Membungkam indera pengecap kita. Menulikan telinga dari riuh protes.
Ini adalah rasa khawatir yang telah terjadi sejak beberapa hari yang lalu. Ketika kau mengatakan bahwa kau akan meninggalkan kota ini. Aku diam, dibungkus hening hingga akhirnya percakapan kita terputus begitu saja.
Lalu aku dengan perasaan sedih bercampur lara berjalan menerobos mendung pekat yang telah satu persatu menetaskan hujan. Air mataku menitik, kerongkonganku terasa sakit, bagai tersekat, mungkin lebih tepat bagai tercekik karena menahan sesak yang hebat.
“Bukan kah seharusnya engkau berangkat esok lusa?”
“Sekarang atau lusa sama saja, sebab engkau akan memberikan pengertianmu yang banyak untukku.”
“Aku akan selalu memberikan doa terbaikku untukmu.”
“Terimakasih Cinta.”
Dan hening menjadi pemilik sunyi yang maha dahsyat. Mengatupkan mata menjadi rapat hingga tak ada kesempatan bagi cahaya untuk membuatnya kembali nganga. Bahkan untuk berkedip. Di sini, di hatiku, hening akan menjadi raja bagi tuan namamu.
                                                                               
Minggu, 05 Februari 12