Kamis, 30 Agustus 2007

Rabu, 29 Agustus 2007

Pesan Kepada Teman

"Salam. Terimakasih telah mengantarkan kopian Meretas Jalan Menuju Jingga
(saya menunggu2 anda online dari kemarin).
Saya betul2 gak menyangka, anda menitip itu untuk saya, saya kaget bercampur senang (beberapa saat kemudian terharu), teringat perjuangan anda menulis itu, dan perjuangan anda mengantarnya untk saya. Saya sudah membaca semuanya.
Terimakasih telah berbagi kpd saya.
Jika nanti anda sdh online, saya ingin dengar cerita anda kala mengantarnya kpd saya"



Empat baris pesan muncul dalam bentuk offline message begitu saya membuka program yahoo messenger dilayar komputer. satu dari empat itu tidaklah terlalu menarik untuk diperhatikan, bahkan langsung saya delete tetapi tidak untuk tiga pesan lainnya yang dikirimkan oleh nick name yang sama. membaca pesan tersebut membuat saya serta merta ingin menangis dan mengeluarkan air mata sebanyak-banyaknya. namun karena ditempat umum dan di ruangan terbuka itu tidak mungkin untuk dilakukan. menangis didepan orang? adalah hal yang tidak mungkin saya lakukan dan tidak ingin saya lakukan kecuali dia adalah orang-orang pilihan bagi saya.

karenanya, yang terbaik untuk saat itu adalah memilih rest room sebagai tempat yang tepat untuk mengeluarkan semua air mata yang mulai menggenang saat kalimat terakhir selesai saya baca. aneh sekali. saya merasa cengeng, sangat cengeng bahkan sejak Meretas Jalan Menuju Jingga selesai ditulis. menangislah saya sepuasnya di kamar mandi, beruntungnya kondisi kamar mandi tersebut bersih dan nyaman sebagai fasilitas yang disediakan untuk umum.

tapi bukan soal itu yang ingin saya ceritakan, melainkan perihal cerita saya yang ditunggu oleh seorang teman tersebut. anggap saja ini sebuah kejutan baru untuknya. aktivitas yang semakin padat akhir-akhir ini membuat saya jarang sekali bisa online pada siang hari. paling itu baru bisa dilakukan setelah pukul tujuh malam. hal yang berbeda dialami oleh teman saya, ia bisa online mulai pagi hingga pukul enam sore. perbedaan inilah yang membuat intensitas kami "bertemu" menjadi berkurang dan oleh karenanya saya terpaksa "menitipkan" pesanannya di ruang tamu ini.

seorang teman, yang saya sedikit sekali mengetahui tentangnya, tidak tahu asal-usulnya, tidak tahu dimana ia tinggal, saya hanya tahu nama lengkapnya, dimana dia bekerja, sedikit tentang latar belakangnya sebagai aktivis, tapi tentu saja saya tidak akan mengatakan siapa teman saya itu. saya ragu apakah kami pantas disebut sebagai teman (atau mungkin sahabat?) mengingat serba sedikitnya pengetahuan kami tentang masing-masing tadi.

semua itu kemudian menjadi penting dan berarti saat ia menjadi istimewa dalam keseharian saya, dialog-dialog yang kami lakukan, seloroh, semua terasa hidup dan banyak menginspirasi saya dalam banyak hal. saya banyak belajar dari ketenangan dan kematangannya dalam berfikir. satu hal yang akan selalu saya ingat, dia hadir dalam hari-hari berat saya, menemani saya, termasuk dalam proses menyelesaikan Meretas Jalan Menuju Jingga. menenangkan saat saya dengan asertifnya mengemukakan apa yang saya maui dan inginkan. dia memang teman yang menyenangkan, tidak pernah menyalahkan, tidak pernah menggurui, tidak pernah mendikte, walaupun ia berhak melakukan itu mengingat usia kami yang memang terpaut jauh. karena itu saya menjadi sangat hormat dan menjunjung tinggi apa yang dulu pernah kami sepakati. dan dengan itu semua ia masih sering menerima kemarahan dan kejengkelan saya yang terkadang tidak masuk akal. mau mendengar jerit hati saya, mau merasakan tangis dan air mata terpendam saya, dan kadang iseng memberikan jalan keluar yang konyol. tapi itulah kelebihannya.


dari awal saya memang sudah berfikir untuk memberikan kejutan itu untuk nya. sejak itu terfikirkan oleh saya, saya hanya berharap agar ia masih bekerja ditempatnya yang sekarang sehingga tidak perlu repot-repot mencari-cari alamatnya untuk menitipkannya. karena itulah, begitu cerita tersebut selesai saya tulis, saya buru-buru mengeditnya lalu mem-print out nya hingga hampir pukul sebelas malam. menjelang tengah malam itu saya pulang kerumah dengan niat ingin menitipkan sesuatu dalam amplop besar berbentuk surat yang harus saya tulis tangan (saya sengaja tidak ingin mengetiknya). lalu barulah setelah itu saya mengirimkannya kepadanya.

tapi niat itu hanya sampai pada niat saja, karena begitu sampai dirumah saya kecapean dan sangat lelah. rasa kantuk yang luar biasa membuat saya tidak sanggup menuliskan apapun walau hanya sepotong tulisan untuknya. tapi alangkah tidak enaknya ditengah rasa kantuk yang mendera itu saya harus mengerjakan pekerjaan lain (bahan presentasi untuk esok hari) yang mau tidak mau harus saya selesaikan malam itu. dan selesai hingga akhirnya saya terkapar dilantai. semestinya kata-kata ini tidak dituliskan disini, tapi dihalaman kertas putih dengan tinta hitam yang saya punyai. tapi....

esoknya seperti biasa, saya memasukkan naskah tersebut didalam amplop besar. bercampur dengan isi tas yang lain. bahan presentasi, botol minuman, dua buah kotak pensil besar yang berbeda fungsi, dan cet berecet lainnya yang tidak perlu disebutkan satu persatu tapi sangat berarti demi kenyamanan beraktivitas.

maka sebelum pukul lima sore saya sudah berhasil menitipkan itu pada petugas khusus yang ada disana. tentunya setelah dua kali saya bertemu orang yang salah untuk menitipkan itu. saya memang bertekad ia harus menerima itu pada hari tersebut (tapi saya tidak tahu apakah dia menerimanya hari Jumat sore itu atau tidak).

"Titip ini untuk Bapak Bla bla bla..." kata saya sambil menyerahkan amplop. petugas tersebut mengangguk seraya mengatakan apakah saya perlu dibuatkan nota penerimaan atau tidak. dan saya menjawabnya tidak perlu. saya berfikir, kalaupun teman saya itu tidak menerimanya atau amplop itu hilang, berarti memang saya yang belum beruntung.

tidak ada perjuangan apa-apa untuk mengantarkan bungkusan itu kepadanya seperti yang ia katakan. hanya datang, menitipkan lalu menuju kantin dan memesan Peunajoh Raja disana. saya senang, telah memenuhi janji saya pada diri saya sendiri. dan saya senang, dia telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup saya.

21:03
rumah cinta
28/8/07



Senin, 27 Agustus 2007

Aku Diminta Bercerita

Aku Diminta Bercerita
aku diminta bercerita tentang cinta
terus terang aku bingung
sama bingungnya seperti diminta bercerita tentang isi hati
sebab banyak sekali yang berkubang disana
ketika matahari tergelincir
kumpulan air mata membanjir
membentuk lumut-lumut berkerak disudut yang entah
mungkin juga berkolaborasi dengan bulan yang terbalut perak
yang ku katakan ada bola matanya disana
aku setengah sadar
terhuyung dan hampir terjerembab
tapi ku akui
kau memang hebat dan berani



senin, 27/08/07

Jumat, 24 Agustus 2007

Dialog Dua Perempuan

Dialog Dua Perempuan

Tabloid Politik dan Hukum yang dipegang perempuan paruh baya tersebut langsung ia letakkan saat melihat putri semata wayangnya muncul diruangan tengah dengan wajah cemberut. Seperti biasa, Hani perempuan itu langsung menerima salaman dari anaknya disusuli dengan kecupan dikening anaknya. Begitulah cara ia menumpahkan kasih sayang pada anaknya.

“Bagaimana hari ini? Menyenangkan?” Tanya Hani pada anaknya, Zalia

Zalia mengangguk. Tapi Hani tahu kalau anggukan itu lebih pada ekspresi tidak menyenangkan yang ingin dikatakan oleh Zalia.

“Apakah tidak bisa kalau tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia Mama?” Tanya Zalia kemudian. Mulutnya masih moncong kedepan. Hani jadi geli melihat sikap anaknya. Kalau tengah begitu pasti dia disuruh mengarang lagi di sekolah. Tugas yang paling tidak disukai oleh Zalia.

“Bisa saja, toh setiap hari kita sudah berbicara dalam bahasa Indonesia.” Jawab Hani pendek. Zalia tersenyum senang, ia merasa ibunya berpihak padanya. Mengarang memang tugas yang sangat menyebalkan baginya. Sejak ia tahu menulis dan membaca hal yang paling tidak disukai olehnya adalah pelajaran menulis. Konon lagi kalau ia disuruh memikirkan sesuatu dan menuliskannya dalam bentuk cerita.

“Terus untuk apa pelajaran itu masih ada juga.”

“Karena Bahasa Indonesia yang kita pakai banyak tidak benarnya. Penggunaan kosa kata yang tidak tepat,”

“Tapi…” potong Zalia cepat.

Alis Hani berkerut, menunggu ucapan anaknya selanjutnya.

“Tapi kenapa?”

“Akhir-akhir ini bukan tugas mengarangnya yang membuat Zalia sebal. Tapi gurunya.”

“Lho, kok gurunya. Memang kenapa dengan gurunya?” hani sedikit tidak mengerti dengan alasan yang diberikan oleh Zalia.

“Bapak itu seperti pilih kasih terhadap siswa yang lain. Masak anak-anak yang lain disuruh mengarang bebas, sedangkan aku disuruh mengarang tentang keluarga.” Mata Zalia berkaca-kaca. Tampaknya ia memang sedang kesal sekaligus sedih. “Mama kan tahu, Zalia paling tidak suka pelajaran mengarang, apalagi mengarang tentang keluarga. Dimana Zalia harus bercerita tentang ibu, tentang ayah, tentang kakak, adik….bapak itu tidak mau kalau aku hanya menceritakan tentang ibu saja. Padahal aku sudah katakan kalau tidak punya ayah, tidak punya adik…” kali ini tangis Zalia benar-benar pecah. Air matanya mengalir dipipinya yang putih kemerahan.

Hani menarik napas berat, kegundahan yang sama juga mulai merasuki dirinya. Bahkan lebih parah lagi dari yang dirasakan oleh Hani anaknya. Entah mengapa, tiba-tiba saja ia merasa tulang belulangnya hancur. Seluruh persendiannya lemas tak bertenaga, sekalipun untuk merengkuh Zalia kedalam pelukannya.

Rasanya baru kemarin ia melahirkan Zalia, memberinya asi dan nasi pisang, mengganti popoknya, meninabobokannya, menggendongnya. Tapi hari ini ia mendapati anaknya sudah dewasa, ia sudah kelas dua SMU, sudah dapat mengatakan ia tidak menyukai ini dan tidak menyukai itu. Hal yang diam-diam sangat ditakuti Hani.

Entah seberapa sering Zalia bertanya mengapa ia tidak pernah melihat ayah dirumah mereka. Tidak pernah mengantarnya ke sekolah layaknya teman-temannya yang lain. Ia hanya mengenal seorang ibu sejak lahir hingga dewasa. Namun ia tak pernah bertanya lagi soal itu saat tahu bahwa yang melahirkan dirinya adalah Hani. Ia tak tahu bahwa selain Hani tentu saja ada seseorang yang membuatnya ada ke dunia ini. Ia hanya tahu proses melahirkan hanya bisa dilakukan oleh perempuan, bukan laki-laki. Karena itu ia tak begitu mempedulikan keberadaan seorang ayah baginya.

Namun, kondisi itu pelan-pelan berubah seiring dengan pertumbuhan usianya yang semakin dewasa. Ia mulai lebih aktif lagi menanyakan perihal ayahnya pada sang ibu. Namun jawaban yang ia dapatkan tak pernah puas seperti yang ia harapkan.

“Nanti kalau kamu sudah dewasa kamu akan tahu Zalia.” Jawab hani suatu ketika

“Kapan Zalia dewasa mama?”

“Saat kamu mulai merasa membutuhkan orang lain selain Mama.”

“Siapa itu Mama?” Zalia masih belum paham

“Nanti kalau kamu sudah dewasa kamu akan tahu sendiri.”

Zalia kecil hanya melongok menatap mata ibunya yang sendu. Ia tak tahu mengapa ibunya berubah setiap kali ia menanyakan siapa ayahnya. Tapi, namanya saja anak kecil ia tidak tahu dengan semua itu.

“Mama?” panggil Zalia setelah agak lama. Hani tersentak dan langsung membetulkan letak duduknya.

“Iya sayang. Jangan menangis lagi ya.” Ucapnya pelan

Kali ini giliran Zalia yang bengong, karena ia sudah berhenti menangis sejak tadi tapi mengapa baru sekarang Hani menyuruhnya diam.

“Mama memikirkan sesuatu?”

Hani menggeleng.

“Mama…” panggilnya pelan

“Ya sayang.” Jawab Hani sambil mengusap pipi anaknya. Kembali ia menangis. Setiap kali memandangi Zalia selalu ia menangis, selalu saja hatinya sendu dan muncul rindu yang menggelegak. Wajah itu putih kemerahan, bukan seperti dirinya yang hitam manis, bukan juga seperti Iyan mantan suaminya yang tidak terlalu putih. Hidungnya mancung dan matanya agak kecoklatan. Rambutnya sedikit agak kemerahan. Orang akan lebih percaya bila dikatakan Zalia memiliki garis keturunan arab ketimbang dikatakan keturunan Melayu maupun Aceh.

Zalia memang sangat berbeda, dan juga istimewa bagi Hani. Ia sama sekali tidak berjiwa seniman padahak dirinya dan mantan suaminya, ayahnya Zalia adalah penulis dan seniman, Iyan seorang pelukis dan pemusik. Tapi Zalia, ia sangat menyukai pelajaran eksakta dan hal-hal yang berbau ilmiah dan penelitian. Karena itu sedikit sekali orang yang percaya kalau Zalia anak kandung Hani. Mereka lebih senang mengatakan Zalia anak hasil adopsi atau anak titipan. Walaupun untuk itu setiap kali Hani harus menangis karena Zalia memang darah dagingnya sendiri. Anak hasil pernikahannya dengan Iyan, mantan suaminya yang sekarang entah dimana.

“Zalia sudah tahu, siapa orang lain yang mama maksudkan dulu.”

“Siapa dia?” selidik Hani

“laki-laki kan Ma”

Hani mengangguk sambil mengusap kepala anaknya. Zalia memang benar.

“Jadi sekarang Zalia boleh tahu kan tentang ayah Ma?”

“Benar kamu ingin tahu semua itu?”

“Iya.”

“Baiklah,” Hani menarik napas. “Kita mulai dari arti nama kamu Zalia. Mengapa mama memberikan kamu nama seperti itu. Yang dulu sering sekali kamu protes karena orang-orang banyak memanggil mu dengan Zal. Dan kamu bilang nama itu terdengar seperti nama laki-laki kan?” hani memulai ceritanya. Zalia mengangguk. Yah, dulu dia memang sering merajuk saat orang-orang memanggilnya begitu.

“Nama itu berasal dari nama seseorang yang bernama Zal. Seseorang yang sangat dekat dihati mama. Saking dekatnya mama sampai tidak bisa menghadirkan orang lain dihati mama selain dia.”

“Apakah Zal itu bagian dari nama ayah?”

Hani menggeleng

“Mama mengenal Zal jauh sebelum mama bertemu dan menikah dengan ayah mu Zalia. Karena sesuatu dan lain hal, mama tidak bisa terus bersama dengan Zal. Karena itu akhirnya mama menjatuhkan pilihan pada ayah mu. Tapi itupun tidak bertahan lama, karena mama tidak sanggup terus menerus hidup diliputi kebohongan.”

“Apa maksud mama kebohongan.”

“Mama tidak pernah bisa mencintai ayah kalian, karena itu mama memutuskan dan meminta agar ayah menceraikan mama.”

“Ayah mengabulkan?”

“Tentu saja tidak sayang. Tapi mama bersikeras.”

“Maksud mama kalian? Apa aku punya kakak?”

“Iya, laki-laki. Ayah mu tidak mengizinkan mama membawanya.”

“Berarti ayah tidak sayang pada ku.”

“Bukan begitu. Saat mama pergi, ayah tidak tahu kalau mama mengandung mu. Mama juga tidak tahu kalau saat itu mama mengandung. Kalau mama tahu tentu saja mama tidak terlalu ngotot untuk berpisah dari ayah”

“Apakah aku mirip ayah Ma?”

Lagi-lagi Hani menggeleng

“Jadi aku ini anak siapa Mama?”

“Zalia, jangan berpikir buruk dulu. Kamu tidak perlu takut dan jangan pernah berfikir kamu anak hasil tidak baik. Saat mengandung mu, mama terus menerus merindui Zal. Fotonya selalu mama lihat, pokoknya segala sesuatu yang mama lakukan karena termotivasi oleh Zal. Mama juga sangat kaget begitu kamu lahir seluruh wajah Zal ada pada diri mu. Kemiripan kalian sangat banyak, hobby, keinginan. Semua itu tidak sanggup mama jangkau mengapa bisa terjadi Zalia.” Air mata Hani mengucur deras. Jiwanya benar-benar lara sekarang. Ia sangat kasihan pada Zalia yang tidak pernah mengenal siapa ayahnya. Dan juga kepada anak lelakinya yang sekarang tidak pernah ia tahu keberadaannya, apakah ia tumbuh selamat atau sudah tidak ada lagi. Apakah dia sudah dewasa dan tampan seperti ayahnya atau bagaimana. Tak bisa dilukiskan bagaimana rindunya.

“Mengapa bisa begini mama?” Zalia jadi ikut menangis.

“Suatu saat kamu akan mengerti Zalia. Tentang arti mencintai dan dicintai. Akal kita tidak pernah cukup untuk mengkaji semua itu. Akal kita terbatas.”

“Bagaimana kalau tiba-tiba ayah hadir ditengah-tengah kita Ma?” Tanya Zalia kemudian.

Hani merengkuh anaknya dan menjatuhkannya dalam pelukannya. Baginya ada atau tidak kehadiran Iyan kembali bukanlah persoalan baginya. Ia sudah tak pernah memikirkannya lagi untuk kembali hidup bersama Iyan.

“Jangan katakan kalau guru bahasa mu itu adalah ayah mu Zalia.”

“Itulah yang ingin aku kata kan Mama.”

Dan air mata adalah jawaban atas semua itu.

Rumah Cinta

24/08/07

Selasa, 21 Agustus 2007

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian XIV (Tamat)

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian XIV (Tamat)

Lama ku pandangi wajah Juan. Belum ada sepatah katapun yang mampu ku ucapkan, padahal keberadaan Juan disini adalah karena undangan ku setelah tiga bulan lebih kami tidak pernah saling bertemu, tidak pernah berkirim kabar dan tidak pernah saling tahu bagaimana keadaan masing-masing. Sangat banyak yang ingin ku katakan padanya, tentang keinginan dan semua isi hati ku selama ini. Tapi entah mengapa bibir ini tiba-tiba mengatup. Suasana hati ku berganti dengan keharuan dan kesenduan yang sangat luar biasa.

Pada saat-saat seperti ini kebimbangan dan keraguan kerap kali menyerangku. Membuatku terkurung antara iya dan tidak untuk mengambil keputusan. Tapi, kali ini aku tidak boleh gagal, apa yang beberapa waktu lalu pernah ku lakukan tidak boleh terulang lagi hari ini. Aku ingin semuanya menjadi baik, berjalan sebagaimana garis yang wajar, tidak menelikung, tidak merampas hak orang lain. Aku hanya ingin memiliki Juan sekarang.

Tapi apakah ia masih menerima ku? Perempuan yang pernah mempermainkannya karena alasan yang tidak masuk akal. Perempuan yang telah kalah oleh perasaannya sendiri. Perempuan yang telah membuat hidupnya sendiri terkatung-katung?

Untuk yang kesekian kalinya aku hanya bisa memandangi wajah Juan yang teduh. Wajahnya yang bersih dan bersinar masih sama seperti saat pertama sekali aku mengenalnya. Sikapnya yang lembut dan sabar juga tak pernah berubah meskipun aku telah berkali-kali melakuan kesalahan. Dan ia masih mau memenuhi undangan ku malam ini, itu artinya dia tidak membenci ku. Setidaknya aku masih berani berharap matahari jingga ku belumlah tenggelam.

Entah mengapa kali ini aku sangat sulit mengeluarkan apa yang ada dihati ku. Tidak seperti biasanya, meskipun aku cenderung introvert tetapi bisa menjadi sangat terbuka kepada orang yang sudah sangat dekat dengan ku. Tak terkecuali Juan. Tapi lidah ku seperti tidak berfungsi sama sekali saat ini.

"Sudah setengah jam kita duduk, apakah hanya untuk diam saja Jingga?" Tanya Juan memecah keheningan. Aku menoleh, memandangi bola matanya yang hitam dan bersinar. Ku tarik napas dalam-dalam, berharap semua bongkahan gundah dihati ku menyublim dan menguap bersama semilir angin.

"Abang yakin, ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, dan penting. Kalau tidak untuk apa kamu mengundang abang setelah sekian lama kita tidak pernah berkomunikasi. Tapi melihat mu diam begini abang jadi ragu…" Juan sengaja mengulurkan ucapannya.

"Abang marah sama Jingga?" Tanya ku pelan.

"Abang tidak pernah merasa begitu, kamu masih muda, pola pikir dan suasana hati kamu masih sering berubah-ubah, dan abang bisa mengerti itu. Tapi sayangnya kamu tidak pernah mau membaginya bersama abang, kamu telan dan pendam sendiri masalah mu." Kata Juan tenang.

"Jingga tidak bermaksud begitu bang,"

"Kamu boleh-boleh saja bilang tidak, tapi abang bukan anak kecil lagi."

"Maksud Jingga mengundang abang kali ini adalah untuk memperjelas hubungan kita, sebelumnya Jingga minta maaf telah berlaku tidak baik terhadap abang."

"Kamu mau hubungan kita ini dikemanakan?"

"Semuanya terserah abang, Jingga tidak bisa mengatakan apa-apa. Belum tentu apa yang Jingga maui abang juga menyetujuinya. Aku…aku hanya merasa tidak pantas saja menjadi seseorang yang istimewa untuk abang."

"Mengapa berkata seperti itu?"

Aku tidak langsung menjawab. Pertanyaan Juan tidak mudah untuk dijabarkan. Perlu susunan kata-kata yang panjang dan terarah untuk bisa menggambarkan seperti apa sebenarnya hati dan perasaan ku. Aku mengamati bayangan wajahku dari pantulan meja. Walaupun tidak begitu jelas tapi sangat kentara kesenduan dan kegelisahan disana. Aku mendadak menjadi tak ubahnya seperti pesakitan yang duduk dimeja hijau. Menunggu ketukan-ketukan palu dari Juan tentang kelanjutan hubungan kami. Terus terang aku sangat takut Juan hilang dalam kehidupan ku dan berharap ia akan menjadi suami ku. Tapi dengan apa yang pernah ku lakuan padanya bukan tak mungkin Juan sudah mencoret nama ku dari daftar sebagai calon istrinya.

"Aku tidak punya alasan bang. Tapi yang pasti aku merasa begitu, abang terlalu baik untuk gadis seperti ku, terlalu dewasa untu menerima sikap ke kanakan ku ini." Kata ku akhirnya.

“Apa kamu berfikir abang akan menghakimi orang begitu mudahnya Jingga? Apakah ada yang sempurna didunia ini selain sang pencipta itu sendiri?”

Aku menggeleng.

“Kalau begitu mengapa kamu berkata seperti itu?”Tanya Juan lagi.

“Ya…enggak begitu juga…” aku tergagap. Benar-benar tampak bodoh dihadapan Juan.

Tanpa aba-aba Juan merapatkan dirinya didekatku. Aku sama sekali tidak menggeser dudukku. Kedua tangannya yang kekar memegang bahu ku. Aku diam saja dan membiarkan jari-jari tangannya mencengkeram pundakku agak sedikit kuat. Matanya yang lembut menatap bola mata ku hingga membuat ku malu dan menunduk.

“Jujur saja abang katakan, abang sangat mencintai dan menyayangi kamu Jingga. Perasaan abang pada mu masih seperti dulu. Abang tetap ingin kamu menjadi istri abang, bisa menerima abang dengan apa adanya,” ucapnya tak lama setelah itu. Aku terdiam sesaat. Merasa tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar. Tak yakin dengan perkataan Juan. Juan mengangguk sekali lagi untuk meyakinkan hati ku. Sepertinya ia mengerti dengan keraguan ku.

“Sekarang semuanya tinggal menunggu keputusan kamu. Kalau kamu masih mau hubungan ini dilanjutkan, kita lanjutkan dengan syarat kita harus segera menikah. Kalau tidak….ya, kita sudahi sampai disini saja.” Ucap Juan pelan

Aku mendongak. Mencari kebenaran sekali lagi dimatanya yang teduh

“Benarkah?” Tanya ku, masih dengan rasa tidak percaya yang besar.

“Iya. Kamu mau abang harus bilang bagaimana lagi?” tanyanya setengah bercanda. “Apa kamu mau abang mengambilkan bulan itu untuk mu?”

Aku tertawa mendengar candaannya yang berlebih. Juan memang mempunyai segalanya. Dalam segalah hal ia banyak kesamaan dan kemiripan dengan Zal. Senang bercanda, romantis, berwibawa, dan juga manja. Tapi Juan tetaplah Juan, bukan Zal maupun yang lainnya.

Tak sadar air mata ku jatuh menetes. Keharuan tiba-tiba menyeruak begitu hebatnya dalam hati ku. Membuat ku tak mampu membendung air mata yang akan keluar. Air mata ku jatuh seiring dengan bibir yang terus tersenyum dalam ketakjuban. Semua ini adalah karunia. Jika saja aku bisa berbagi kebahagiaan ini dengan kedua orang tua ku. Betapa lebih indahnya.

“Tapi …” tiba-tiba Juan mengucapkan sesuatu. Seperti ada kerisauan dihatinya. Aku kembali cemas

Ada apa bang?” Tanya ku penuh selidik. Aku khawatir dia berubah pikiran.

“Bagaimana dengan wali nikah kamu?”

Aku menghela napas.

“Jingga sudah bicarakan dengan Om Aby, beliau sudah bersedia.”

“Maafkan abang ya sayang. Tidak berhasil meyakinkan hati orang tua mu. Kita berdoa saja semoga Allah memberikan keajaiban-Nya.”

Aku mengangguk pelan. Hanya itu yang bisa ku lakukan. Aku sendiri juga masih belum mengerti dengan sikap orang tua ku yang tiba-tiba keras dan tidak mau bertoleransi sedikitpun begitu. Padahal aku tahu mereka sangat menyayangi ku, terlebih setelah kakak dan adik ku meninggal dalam kecelakaan lima tahun yang lalu. Mereka membuang kesedihannya dengan memanja kan ku dengan sangat berlebihan. Walaupun untuk menandingi itu aku terpaksa mengenyampingkan beberapa keinginanku yang tidak sesuai dengan mereka.

“Ayah dan mama sangat sayang pada Jingga. Semua orang tahu itu Bang. Jingga juga bingung mengapa bisa jadi begini.”

“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Paling mereka hanya bisa bertahan sebentar dengan cara begitu.”

“Semoga.”

***

Air mata ku terus mengalir. Walaupun bedak dan pemerah pipi sudah dibubuhkan oleh Bibi Intan, istri paman Aby tetap saja tidak mampu ku bendung air mata ku untuk tidak meleleh. Berkali-kali bibi Intan menyapunya dengan tisu, berkali-kali pula air mata ku tumpah dan membasahi pipi ku. Disamping kiri pama Aby berdiri mematung, memandangi ku dari cermin besar didepan ku. Barangkali ia juga tengah berfikir sama seperti yang sedang aku fikirkan. Mengapa ayahku belum juga luluh sampai hari ini. Mengapa ia tega membiarkan anak perempuannya dinikahkan oleh adiknya. Yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai orang tua.

Tangan paman Aby yang besar menyentuh bahu ku. Sekedar untuk mengalirkan semangat dan membuang kesedihan ku. Agar aku merasa yakin, bahwa dalam kondisi seperti ini masih ada yang mau menerima ku. Masih ada yang menganggap ku anak dan bersedia menjadi wali nikah ku. Entah apa jadinya bila pama Aby tidak bersedia menjadi wali nikah ku. Mungkin aku juga tidak akan mau menikah.

“Kuat kan hati mu Jingga. Jangan menangis terus. Pengantin laki-lakinya sudah datang.”

“Bagaimana tidak sedih dan menangis paman, disaat-saat seperti ini semestinya ayah dan mama yang mendampingi Jingga. Bukan paman. Peristiwa seperti ini sekali dalam seumur hidup Jingga, dan juga ayah, karena mereka tidak punya anak lain selain Jingga.” Ucapku dengan tangis yang makin keras. Bibi Intan semakin kalang kabut melihat ku. Begitu juga dengan paman Aby, kedua suami istri itu sibuk menenangkan ku, menyuruh ku diam. “Tapi aku….Tidak ada seorang anakpun yang senang menikah seperti Jingga ini paman, sudah tidak direstui, diusir dari rumah, harus menyiapkan semuanya sendiri. Entah apa jadinya bila paman juga tidak mau menerima Jingga.” Aku makin tersedu-sedu. Ku peluk bibi Intan dengan erat.

“Sudah sayang, ini hari kebahagiaan mu, jangan menangis terus ya? Bibi yakin, mama dan ayah pasti akan menemui kamu, walaupun kita tidak bisa pastikan kapan harinya. Kami cukup mengenal siapa ayah mu.” Ucap bibi Intan lembut. Paman Aby mengangguk mengiyakan.

Acara pernikahan ini sengaja dibuat sesederhana mungkin. Dari keluarga ku hanya dihadiri oleh paman Aby dan bibi Intan, nenek dan beberapa teman dekat ku saja. Sementara dari pihak Juan yang datang hanya kedua orang tuanya, kakak dan seorang adiknya dan beberapa orang lainnya yang tidak ku kenal. Aku tak sanggup untuk menghadirkan banyak orang sementara kedua orang tua ku sendiri bersikeras untuk tidak hadir. Anak mana yang sanggup menerima ucapan selamat dari orang lain sementara restu dari orang tuanya sendiri tidak ia terima.

Lagi-lagi air mata ku mengalir mengenang semua itu. Tak pernah ku duga semua kenangan manis bersama orang tua berakhir dengan ukiran pahit seperti ini. Saat sayup-sayup suara Juan melafalkan akad nikah aku justru semakin larut dalam isak tangis. Orang-orang yang hadir disana memandangku dengan gumulan perasaan yang entah seperti apa. Sebagian yang sudah mengerti duduk persoalannya memandangku dengan prihatin, sementara yang tidak mengerti permasalahannya entah apa yang mereka pikirkan tentang ku. Bukan aku ingin terus menerus menangisi ini, tapi air mata yang terus mengalir ini memang tidak bisa dibendung.

Isakan itu berubah menjadi sesenggukan yang parau saat ibu Juan memeluk dan merengkuh ku. Kata-kata petuahnya yang lembut dan bersahaja membuat hati ku semakin larut dalam kesedihan yang panjang dan tak berujung. Aku merindukan pelukan ibu sekarang. Menginginkan ayah memeluk ku dan membisikkan sesuatu ditelinga ku, seperti yang dibisikkan oleh ibunya Juan.

“Kuat hati mu Nak…” bisik Ibunya Juan ditelinga ku. “Jadilah perempuan yang tegar seperti karang, memiliki kesabaran seluas lautan. Menjadi oase ditengah padang gurun. Jangan pernah membenci kedua orang tua mu karena masalah ini. Mereka hanya sedang emosi.” Tuturnya lembut.

Aku menangguk pelan sambil menyeka air mata.

“Makasih Ma,” jawab ku singkat.

“Sekarang kamu sudah menjadi seorang istri, lakukanlah tugas dan kewajiban mu dengan baik, agar kamu juga mendapatkan hak mu dengan baik pula. Ibu titip Juan ya…”

Aku lah yang menitipkan diri pada Juan. Jawab ku dalam hati. Sungguh ia perempuan yang sangat perasa sekali. Betapa beruntungnya aku mendapatkan ibu sepertinya.

Tak lama setelah itu nenek melakukan ritual kecil yang dikenal dengan sebutan peusijuek. Aku dan Juan didudukan bersama dan diperciki air dengan menggunakan rangkaian bunga dan daun-daunan. Dikedua telinga kami disematkan ketan kuning dan disuapi dengan tumpoe, sejenis makanan tradisional pelengkap ritual peusijuek tadi yang juga terbuat dari tepung ketan.

Setelah itu saling bergantian, ritual berikutnya dilakukan oleh ibunya Juan, bibi Intan dan beberapa orang tetua kampung lainnya. Ritual ini sendiri bagi sebagian orang ada yang menganggapnya sebagai perbuatan bid’ah, karena ia lebih mirip dengan ritual hinduisme. Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa ini adalah simbolisasi dari kemakmuran, kesejukan dan kebersamaan. Entahlah, aku tidak begitu mengerti, tepatnya tidak berani mengatakan tidak. Takut akan dikatakan sebagai pembangkang lagi.

Sejalan dengan itu diluar sana terdengar sedikit kegaduhan kecil. Tak lama kemudian suasana itu menular kedalam, orang-orang mulai berbisik, semuanya memandang keluar. Aku dan Juan saling berpandangan. Akan ada kejadian apalagi ini. Mau tak mau aku jadi risau juga. Tapi untuk bangun dan melihat keluar jelas tidak mungkin.

Ada apa lagi bang?” Tanya ku pada Juan.

“Abang juga tidak tahu sayang,” jawabnya

“Alhamdulillah! Jingga…” suara nenek terdengar pias

Ada apa Nek?” buru ku

“Orang tua mu.” Nenek menunjuk keluar

“Kenapa? Mereka datang kemari?”

“Iya Nak. Itu mereka masih diluar.”

“Benar kah?” nenek mengangguk pasti. “Bang?” kata ku pada Juan dengan bibir merekah tersenyum. Walaupun aku belum tahu apa maksud kedatangan mereka tapi hati ku mengatakan bahwa mereka ingin memberi restu untuk ku. Dan juga Juan tentunya.

Tanpa menunggu lama aku langsung bangkit dan melihat keluar. Disana ku lihat mama tengah duduk dikursi dan menangis. Disampingnya ayah termangu, terdiam membisu. Untuk sesaat aku hanya sanggup menyaksikan semua adegan itu dari balik pintu. Orang-orang yang hadir disana ada yang mulai menitikkan air mata.

“Mama….maafkan Jingga!” issak ku sambil merengkuh kakinya untuk bersujud. Ku ciumi kakinya dengan penuh takzim dan bersahaja. “Beri Jingga restu ma” kata ku lagi. Hal yang sama juga ku lakukan pada ayah. Aku menangis sejadinya. Disampingku Juan menyusul, menciumi kaki kedua orang tua ku. Namun melihat keduanya masih belum bergeming membuat ku menjadi semakin was-was dan bersedih hati.

“Ma, Ayah, katakanlah sesuatu untuk Jingga.” Ratap ku.

“Nek…” kata ku pada nenek mengharapkan ada penjelasan dari kediaman ini.

“Biarkan orang tua mu menenangkan diri dulu. Kamu masuk saja dulu.”

“Nggak Nek. Jingga nggak mau masuk kalau mama dan ayah belum memberikan restu untuk Jingga.”

“Tapi semuanya kan bisa dibicarakan didalam sayang, ngga disini.”

“Tapi Nek…untuk apa mama dan ayah datang, kalau bukan untuk Jingga?”

Tak ada yang bersuara, selain dari isakan tangis setiap orang yang terdengar seperti desau angin yang kuat. Semua larut dalam perasaannya masing-masing. Kali ini aku tak menolak ketika nenek menuntun ku masuk ke dalam. Kebisuan kedua orang tua ku kembali membuat hati ku terasa robek seperti disayat-sayat. Perih.

“Jingga….” Suara mama membuat langkah ku terhenti

Aku menoleh dan membalikkan badan. Ku lihat mama merentangkan kedua tangannya. Kepalanya ia anggukkan pertanda menyuruhku agar mendekatinya. Aku tersenyum lega.

“Maafkan kami ya Nak.” Ucap mama terbata

“Maafkan ayah juga sayang.”

Aku tak sanggup lagi berkata-kata. Usai sudah semua perjalanan ini. Usai sudah semua peperangan hati dan kehidupan ku. Semua yang hadir juga tak sanggup membendung air mata mereka untuk tidak jatuh. Sesungguhnya Allah adalah maha pembolak-balik hati. Setiap malam aku berdoa agar Allah mengembalikan orang tua ku, dan Dia sudah mengabulkan doa ku. Terimakasih Allah.

“Jaga Jingga baik-baik Juan.” Ucap mama dan ayah bersamaan.

Juan mengangguk. Dengan lembut ayah merengkuhnya dan memeluknya dengan erat. Ini adalah karunia terbesar dalam hidup ku. Meskipun sedikit ada kekecewaan karena bukan ayah yang menikah kan ku. Tapi, semua itu adalah fase kehidupan yang harus dialami oleh seorang Jingga.

“Abang adalah matahari jingga ku.” Bisik ku pada Juan.

“Kamu juga matahari jingga ku.”

“Selamat untuk kalian berdua” sebuah suara lain tiba-tiba membuat kami sama-sama berpaling.

“Zal.” Ucap ku refleks

“Terimakasih sudah mau datang Zal.” juan dan zal saling berpelukan
aku menatap kedua laki-laki tersebut dengan senyum mengembang.

(Tamat)

22 Juli – 21 Agustus 2007

Minggu, 19 Agustus 2007

Kuat

Kuat
xxxx itu kuat, tetapi lebih bijaksana karena kesalehannya
xxxx itu kuat, tetapi lebih mulia karena ketaqwaannya
xxxx itu kuat, tetapi lebih terhormat karena imannya
xxxx itu kuat, tetapi lebih abang cintai karena memiliki ketiganya




on tuesday, 5 may 2005

AKU

AKU
aku malam yang rindukan bulan
aku siang yang rindukan matahari
aku gersang yang rindukan embun
aku padang pasir yang rindukan oase
aku jalan yang rindukan musafir
aku lautan yang rindukan pelayar
aku belantara yang rindukan penjelajah

Sabtu, 11 Agustus 2007

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian XIII


Sudah sepuluh menit lebih aku berada didepan komputer, tetapi belum ada satupun pekerjaan yang ku kerjakan. Aku samasekali tidak bisa berkonsentrasi sementara beberapa proposal yang ku rancang harus siap dicetak hari ini. Sejak tadi aku hanya duduk diam dan memperhatikan layar monitor ku saja. Sementara lagu Making love out of nothing at all-nya air supply terus mengalun tak henti-hentinya membuat ku semakin larut dalam suasana hati yang tidak menentu.

Aku tahu Direktur ku terus memperhatikan ku sejak tadi, tapi sepertinya ia juga mengerti dengan gelisah yang sedang menggulana dihati ku. Sehingga ia tidak mengatakan apa-apa dan diam saja. Sesungguhnya dikantor ini semuanya sama, kami bekerja lintas sektoral tetapi karena tuntutan organisasi tetap saja harus ada yang menjadi petinggi dan ada yang menjadi bawahan.

“Kamu ada masalah Jingga?”

Pertanyaan Andra si ibu direktur mengagetkan ku. Aku mencoba untuk tersenyum tapi terasa hambar dan getir. Aku membuka beberapa file untuk menutupi ke-kikukan-ku.

“Kalau kamu menganggap aku sahabatmu, berbagilah Ngga. Kita bisa cari solusinya bersama-sama kan?” kembali ucapan Andra masuk ke gendang telinga ku.

Aku kembali tersenyum. Tapi dengan air mata yang mengambang dipelupuk mata. Terpaksa aku berkedip-kedip berkali-kali agar air mata itu tidak jadi jatuh.

“Kalau memang tidak sanggup mengerjakan pekerjaan mu, sebaiknya jangan dikerjakan dulu. Biar nanti Sarah saja yang mengerjakan. Kan tinggal di print out saja.”

“Aku memang sedang tidak enakan. Akhir-akhir ini aku kurang istirahat dan banyak pikiran Kak. Tapi bukan karena pekerjaan, tapi soal yang lainnya.” Aku mulai bersuara. Ku pikir ada baiknya juga bila aku berbagi dengan Andra, dia sudah menikah dan paling tidak bisa memberikan jalan keluar pada persoalan yang sedang ku hadapi ini.

Dan tidak enaknya air mata ini mulai berloncatan lagi begitu aku mulai mengawali ceritaku. Rongga hati ku serasa sesak dan sengkak, lidah ku menjadi kelu. Andra memperhatikan ku dengan serius, ia tidak lagi berkomentar apapun, hanya menunggu kelanjutan cerita ku.

“Aku sedang menghadapi masalah yang membingungkan, Kak. Kepalaku mau pecah rasanya menghadapi semua ini.”

“Masalah apa itu?”

“Kakak masih ingat dengan Juan yang pernah bertemu di Kafe Kita yang aku kenalkan sama kakak beberapa bulan yang lalu?”

“Ya. Kakak ingat. Kenapa dengan dia?”

“Aku dan Juan sebenarnya punya hubungan khusus, kami saling menyukai dan berniat meneruskannya ke jenjang pernikahan. Tapi orang tua ku tidak menyetujuinya.” Mata ku menerawang, menatap langit-langit ruangan kantor yang berwarna biru muda. Ku gigit bibir bawah ku kuat-kuat agar air mata ku tidak lagi keluar.

“Tidak setuju kenapa, Dek?” jawab Andra. Ia memang begitu, kalau sedang serius selalu memanggil ku begitu. Dek!

“Karena Juan sudah menikah.”

“Apa? Sudah menikah? Dan kamu mau?” Tanya Andra beruntun.

Sudah ku duga. Dia pasti akan kaget. Aku mengangguk.

“Tapi dia sudah bercerai dengan istrinya sejak lima tahun yang lalu, dan menurutku tidak ada yang cela dari Juan yang bisa membuat ku untuk menolaknya.” Kata ku lagi. Andra tampaknya sedang berfikir, ia pasti tidak mau salah memberikan pendapat dalam hal ini. Takut aku tersinggung.

“Dan sekarang, aku diusir dari rumah karena aku tidak mau menolak Juan.”

“Apa!? Diusir?! Sejak kapan? Kok kamu ngga pernah bilang sama kakak?”

“Sudah satu bulan kak. Memang tidak ada yang tahu, dan aku tidak mau orang-orang tahu.”

“Apa aku orang lain Jingga? Jingga….sudah selama itu kamu diusir keluarga mu, mengapa baru sekarang kamu cerita sama kakak?” Andra terlihat gemas.

“Aku tidak mau persoalan pribadi ku diketahui oleh orang lain Kak. Aku merasa sanggup mengatasi semua itu, tapi ternyata tidak. Sekarang aku menjadi bingung, bingung untuk membuat keputusan.”

“Apa Juan tahu?”

“Juan tahu, itulah persoalannya. Aku meninggalkannya begitu saja tanpa batas waktu pasti. Saat Juan mengajak ku menikah sekarang, aku jadi ragu, tapi bukan karena persoalan orang tua ku melainkan karena persoalan lainnya.”

“Masalah apalagi?”

“Kak?”

“Ya”

“Kakak janji ya, kalau aku bercerita yang sebenarnya kakak tidak akan mencela ku.”

“Apa selama ini kakak pernah berbuat begitu?”

“Tidak. Tapi ini masalahnya lain.”

“Ayo katakan saja,”

“Sebenarnya sebelum ada Juan, ada laki-laki lain dihati ku. Dan sampai sekarang pun masih. Aku sangat mencintainya, dan aku yakin dia juga begitu. Tapi karena sesuatu dan lain hal kami tidak mungkin bersama. Karena itulah aku tidak bisa sepenuhnya menerima kehadiran Juan. Namun, saat aku mencobanya dan keputusan ku sudah mantap untuk menerima Juan, aku baru tahu kalau ternyata Juan teman dekat lelaki yang ku cintai itu. Kakak bisa bayangkan bagaimana robeknya hati ku? Menikah dengan teman dekat kekasih ku sendiri, yang dengan sendirinya kami akan semakin menjadi sering bertemu nantinya. Itulah yang membuat ku takut dan tidak berani meneruskan hubungan dengan Juan. Tapi…dilain hal aku juga tidak ingin kehilangannya.”

“Kakak juga tidak tahu mau beri komentar apa Dek, tapi, kalau boleh kakak tahu apa yang membuat kamu dan kekasih mu tidak mungkin bersama.”

“Karena dia sudah menikah.”

“Jingga…” desis Andra kaget

Aku mengangguk.

“Kakak bukan bermaksud menyalahkan mu, tapi ini memang rumit.”

“Menurut kakak, apa sebaiknya yang harus aku lakukan?”

“Kakak hanya bisa memberi saran, tidak bisa mendikte keputusan pada mu. Tapi…coba kamu fikirkan lagi, apa untungnya bagi kamu mempertahankan laki-laki yang tidak bisa kamu nikahi, dan apa buruknya menerima Juan dengan setengah hati mu. Awalnya memang terasa sedikit berat, tapi seiring dengan berjalannya waktu, kalau kamu sudah bersamanya nanti rasa suka dan cinta yang sebenarnya itu akan hadir.”

“Itulah yang aku tidak yakin Kak.”

“Keraguan mu itu sebenarnya adalah racun bagi masa depan mu, sampai kapan kamu akan terus memenjarakan perasaan mu begitu? Apa kamu tidak ingin punya keluarga sendiri yang utuh dan bisa kamu atur sendiri? Dan…ini hanya sebagai perbandingan saja, apa kamu mau dan rela kalau suami mu nanti diam-diam menyimpan cinta untuk perempuan lain Jingga?”

“Kak…aku tidak tahu. Aku bingung sekali.” Aku mulai menangis

“Kakak tidak ingin melihat mu menderita di kemudian hari. Katakanlah kamu menikah dengan laki-laki itu, kamu memang akan bahagia karena menikah dengan belahan jiwa mu, tapi bagaimana kedepannya? Apa kamu mau hidup sendiri nanti dimasa tua mu? Membesarkan anak-anak sendiri tanpa suami? Sementara dia entah ada dimana?”

“Kakak…”

“Sakit diawal memang tidak begitu enak, tapi itu masih jauh lebih baik daripada berantakan pada akhirnya.”

“Apa menurut kakak, sebaiknya aku menerima Juan?”

“Kalau kamu sudah yakin dengan keputusan itu, jangan menunda-nunda sesuatu yang akan membuat mu menyesal suatu hari nanti.”

Aku menatap Andra dalam-dalam. Dengan lembut ia menyeka air mata ku dan menuntunku dalam pelukannya. Tangis ku pun kembali pecah dan terisak-isak.

“Makasih ya kak…”

“Sama-sama Jingga. Jadikanlah ini pelajaran, jangan takut berbagi dengan orang lain. Paling tidak itu akan membuat mu merasa tidak sendiri.”

“Aku takut orang-orang akan mencemooh ku.”

“Tidak semuanya begitu”

“Aku percaya pada Kakak.”

“Kakak juga tidak seluruhnya mengerti pada persoalan kamu, tapi kakak pikir memang seharusnya kita berfikir realistis. Persoalan cinta memang misteri Jingga…kalau kita tidak pintar-pintar memilahnya bukan tidak mungkin kita terjebak pada hal-hal yang tidak kita ingin kan.”

“Itulah yang membuat ku terkatung-katung sejak dulu kak. Kalau saja aku terlalu mengikuti keinginan ku, barangkali aku telah menjadi istrinya dan bukan tidak mungkin akan terjadi hal-hal buruk lainnya.”

“Sekarang buatlah pilihan yang berarti untuk hidup mu. Jangan sampai salah arahan, apa yang kamu alami sudah pernah dirasakan oleh orang tua ku dulu. Karena itu kakak sangat mengerti bagaimana kondisi psikologis seorang perempuan seperti mu. Bukan hanya kamu, tapi juga anak yang akan kamu lahirkan nanti.”

“Benar kah Kak?”

“Iya, ibu kakak sangat menderita karena itu, tapi karena rasa cintanya yang besar kepada ayah dia selalu menutupi rasa kesepiannya dan penderitaannya dengan kebesaran cintanya itu. Sebagai anak yang sudah dewasa tentu saja kakak tidak bisa dibohongi untuk itu. Tapi…kakak tidak pernah mempertanyakan soal itu pada ibu. Karena ayah kakak juga sudah tidak ada lagi, ibu juga sudah tua.”

“Aku benar-benar merasa lega sekarang Kak.”

“Banyak-banyaklah berdoa…”

Bersambung…

Rabu, 08 Agustus 2007

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian XII


Arloji ditanganku sudah menunjukkan angka pukul enam lebih tiga puluh menit. Sebentar lagi magrib menjelang. Tapi aku masih belum ingin beranjak dari tepi pantai ini. Dentuman-dentuman ombak yang menghempas karang terasa sangat menarik untuk ku perhatikan. Bertahun-tahun, selama panjang usia waktu karang itu terus menerus dipukul oleh ombak yang keras. Diterjang oleh badai yang ganas, tapi ia tetap kokoh. Tak bergeming apalagi retak dan hancur.

Tak sekalipun ia mengeluh menjadi karang, tak sekalipun ia protes mengapa Tuhan menjadikannya karang yang selalu berteman dengan laut dan gelombang. Dengan angin dan matahari. Dan ia tak pernah membantah saat Tuhan menyuruhnya menjaga pantai dari abrasi air laut. Ia tak takut oleh waktu yang membuatnya tua dan keropos.

Berkali-kali aku menghela napas, merasa malu sekaligus cemburu pada ketegaran makhluk bernama karang. Aku manusia, punya akal dan pikirian, karunia yang diberikan Allah yang tidak dipunyai oleh makhluk mana pun. Tapi mengapa aku serapuh ini? Mengapa aku tidak sekuat karang itu menghadapi kehidupan ini? Mengapa aku tak mau berjuang untuk merubah nasib ku sendiri? Mengapa cinta sampai bisa mempermain kan ku? Kurang bersyukur kah aku? Kurang berterima kasih kah aku?

“Sudah terlalu malam untuk terus berada ditepi pantai.” Sebuah suara menghentak kan ku. Aku menoleh. Seorang perempuan datang menghampiri ku. Aku jelas tak mengenalnya, tapi ia terlihat begitu bersahaja dan ramah.

“Saya juga mau pulang Bu,” jawabku sambil tersenyum

“Jangan terlalu dipikirkan apa yang terjadi dalam kehidupan ini, semua itu hanya akan membuat kita semakin tidak mensyukuri nikmat Tuhan. Membuat kita semakin berjarak dengan Nya.”

“Ah ibu…”

“Pulanglah…matahari jingga mu sudah menunggu dirumah mu.”

“matahari jingga?”

“Iya.”

Lagi-lagi perempuan itu tersenyum. Aku menurut. Bangkit dan menyapu butiran pasir yang ada dibagian belakang rok ku.

“Tapi siapa matahari jingga yang ibu maksud?” tanyaku sambil menoleh.

Dan…alangkah terperanjatnya aku saat melihat perempuan tadi tidak ada lagi ditempatnya. Ku edarkan pandanganku ke sekeliling pantai. Tidak ada seorang pun. Dan…kalaupun perempuan itu pergi tentu tidak akan secepat ini ia menghilang. Aku jadi merinding, bulu kuduk ku berdiri. Siapa perempuan itu? Dan apa maksudnya mengatakan demikian?

Ku percepat langkah kaki ku meninggalkan pantai, matahari telah tenggelam, berganti dengan gelap yang sebentar lagi akan pekat. Aku jadi merasa takut, padahal sesaat yang lalu ku rasakan tempat ini maish terang benderang. Mengapa berubah secepat ini pikirku berkali-kali.

Apakah ini yang dimaksudkan oleh perempuan tadi ditepi pantai? Matahari jingga telah menunggu dirumah ku. Dan saat aku pulang memang Juan tengah menunggu ku diteras depan. Apakah dia matahari jingga itu? Apakah ini pertanda baik untuk ku? Atau apa?

“Sudah lama bang?” tanya ku sambil duduk disebelah Juan

“Lumayan.” Jawab juan singkat

“kenapa tidak menelfon ku?”

“Abang tidak mau mengganggu aktivitas mu”

Aku tersenyum. Begitu juga dengan Juan. Wajahnya terlihat sangat tenang dan teduh. Matanya yang bersinar membuat ku ingin terus memandanginya lama-lama. Tapi entah mengapa kali ini hati ku tidak bergetar saat memandang mata nya. Aku juga tidak merasakan rindu yang berlebihan untuk nya. Walaupun ku akui aku ingin bersama dengannya.

“Jingga, ada yang harus kita bicarakan”

“Tentang apa?”

“Tentang hubungan kita.”

“Apa yang ingin abang bicararakan?”

“Apa tidak sebaiknya kamu mandi dulu, biar segar dan enakan.”

“Tidak usah, jingga sudah mandi tadi sore kok.”

“Soal pernikahan kita…”

“Abang mau bilang dibatalkan saja kan? Jingga sudah duga itu kok bang, dan Jingga terima keputusan itu.”

“Lho!” juan tampaknya sangat kaget dengan pernyataan ku barusan. Matanya memicing, alisnya berkerut. “Kamu ini kalau ngomong suka asal saja, bukan itu yang akan abang sampaikan. Tapi soal lain, kita kan akan menikah lusa, siapa yang akan menjadi wali kamu. Itu yang ingin abang bicarakan dengan kamu.”

“Kalau begitu ya tidak usah menikah saja.”

“Tidak usah menikah bagaimana? Kamu ini kok semakin aneh saja sih Jingga?”

“Sudah tahu Jingga aneh, tapi kenapa masih mau berhubungan dengan Jingga.”

“Abang tidak ngerti maksud kamu.”

“Abang sudah mengerti jauh sebelum kita seperti ini.”

“Maksud kamu?”

“Tanyakan semuanya pada diri abang.” Aku jadi tambah emosi dengan Juan yang pura-pura tidak tahu apa-apa. “Aku tidak ingin menikah dulu bang, dengan siapapun itu. Aku ingin menenangkan hati ku dulu, menenangkan pikiran ku.”

“Ruwet! Semuanya jadi runyam.” Gumam Juan

“Yang bikin runyam dan ruwet juga abang sendiri. Mengapa abang tidak katakan dari awal kalau abang temannya Zal? Mengapa abang menyembunyikan itu dari Jingga? Kenapa bang?” aku mulai merandek.

“Tapi…bukan kah Zal sudah bercerita semuanya?”

“Iya, memang sudah! Tapi itu bukan penyelesaian. Jingga merasa abang dan Zal telah mempemainkan Jingga. Abang sudah bohongi Jingga.”

“Tidak ada yang mempermainkan kamu.”

“Abang bisa beri Jingga waktu?”

“Sampai kapan?”

“Jingga tidak tahu bang.mungkin sampai jingga percaya dan yakin kalau abang benar-benar tulus mencintai ku.”

“Jingga…Jingga…harus seperti apa abang yakin kan kamu? Kalau abang benar-benar sayang dan cinta sama kamu?”

“Abang harus bisa mengembalikan orang tua ku.” Ucap ku asal. Padahal sebenarnya aku hanya ingin menghindar untuk sementara waktu dari Juan. Aku menjadi ragu akan cintanya.

“Iya, abang akan membuktikan itu.”

Aku mengangguk pelan. Bayang-bayang rembulan membuat ku cemburu, ia begitu setia pada malam. Ditemani bintang gemintang. Diam-diam ku amati wajah Juan, ada kesedihan dan mendung menggelayut diwajahnya yang bersih. Namun sinar harapan masih terpancar dimatanya yang hitam. Aku jadi kasihan dan tidak tega padanya. Tapi membohongi diri sendiri juga tidak ada gunanya.

Demikian besarkah kekuatan cinta Zal terpatri didalam hati ku? Hingga aku tidak sanggup menukarkannya dengan laki-laki sebaik Juan sekali pun. Sepelik ini kah jatuh cinta? Serumit inikah menyayangi? Sesakit inikah mengasihi?

“Benar apa yang dikatakan Zal pada abang. Kesetiaan mu memang luar biasa Jingga. Zal boleh berbangga hati mempunyai kekasih seperti mu, tapi sayangnya dia sudah berkeluarga dan mempunyai anak.”

“Abang, jangan ungkit-ungkit lagi soal itu. Jingga dan Zal sudah berakhir.”

“Justru karena itulah abang ingin menggantikan posisi Zal dihati mu. Abang ingin kesetiaan yang kamu miliki itu bisa abang peroleh.”

“Kita lihat saja nanti.”

“Yah,”

Angin bertiup semilir, lembut dan sejuk. Merayap hingga ke palung jiwaku yang paling dalam. Namun semua itu belum mampu mendamaikan hati ku untuk menerima Juan. Aku akan mencobanya beberapa waktu lagi. Aku tidak ingin tergesa-gesa menikah dan menyesal kemudian hari. Dan aku…ingin melihat apakah Juan serius dengan apa yang dia ucapkan barusan. Mengembalikan kedua orang tua ku.

Bersambung…

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian XI


“Apa maksud abang menyinggung soal Juan? Abang kenal dia” Tanya ku curiga sambil melepaskan pelukannya. Aku memandangnya tak berkedip, menunggu jawaban darinya. Zal tersenyum.

“Kamu tentunya bertanya-tanya kan, mengapa selama delapan bulan terakhir ini abang sepertinya menjauh dari kamu. Dan kamu mengenal Juan juga selama waktu itu bukan?” Zal memulai pembicaraannya. Aku diam saja mendengarkan.

“Kamu belum lupakan kapan kamu menceritakan perihal abang kepada Juan?”

“Iya, Jingga masih ingat. Dan setelah itu Juan menghilang. Apa ada kaitannya dengan abang?” buru ku

“Abang juga yakin kamu belum lupa saat kamu bertemu dengan Juan di Kafe ini, dimeja ini beberapa bulan yang lalu. Setelah ia lama menghilang.”

“Abang terlalu bertele-tele.”

“Waktu dia menghilang setelah kamu menceritakan soal hubungan kita, Juan datang menemui abang, hanya untuk memastikan apakah Zal yang kamu maksud abang atau Zal yang lain. Ternyata Zal itu adalah abang, abang mengaku setelah dia mendesak dan memaksa abang. Waktu itu ia memang sempat shock karena memang tidak menduga kalau abang telah menjalin hubungan sangat lama dengan kamu, padahal kamu tahu sendirikan kalau abang sudah menikah dan punya anak. Juan sempat marah dengan abang, dan dia berniat untuk tidak lagi menemui kamu. Tapi waktu itu abang bersikeras dan memaksa dia agar balik lagi sama kamu. Karena abang tahu dia sangat sayang dan mencintai kamu dengan tulus. Dia memutuskan begitu karena merasa tidak enak, dan ia berfikir telah merebut kamu dari abang.”

“Waktu acara Saudagar Aceh Serantau sebenarnya abang juga ikut, tapi saat Juan bercerita dia bertemu dengan kamu dan dia jatuh hati sama kamu abang mengurungkan niat untuk menghubungi mu. Saat itulah abang berfikir ingin membiarkan kamu lepas, agar kamu bias leluasa menjalin komunikasi dengan Juan. Abang tidak ingin jadi benalu dalam hati mu Jingga. Tapi waktu itu abang tidak pernah bercerita kalau abang kenal kamu, hingga sampai akhirnya kamu menceritakan sendiri hubungan kita kepada Juan. Dan abang tidak bisa berbohong lagi.”

“Abang….kenapa abang jahat sekali pada Jingga?” air mata ku mulai keluar lagi.

“Jingga, tunggu dulu. Abang belum selesai berbicara.”

“Jingga tidak habis fikir dengan semua ini bang…”

“Waktu kamu diusir dari rumah dan menelepon abang, sebenarnya abang tidak bermaksud untuk menolaknya. Tapi karena Juan sudah duluan cerita pada abang, dan abang berfikir itulah saat yang tepat bagi abang untuk menarik diri dari kehidupan mu dan mengirimkan Juan terus menerus dalam situasi apapun untuk mu. Supaya kamu benar-benar yakin bahwa Juan mencintai kamu. Dan supaya kamu bisa melupakan abang.”

“Jingga jadi semakin tidak yakin dengan cintanya Juang bang…dia hanya kasihan kepada ku. Bukan karena cinta, tapi karena iba.”

“Jingga, abang jaminannya kalau Juan benar-benar menyukai kamu. Dan abang tahu persis Juan itu laki-laki seperti apa. Karena itu abang rela melepaskan mu untuk nya. Abang juga tahu kamu seperti apa, karena itu abang tidak mau kamu jatuh pada orang lain.”

“Tapi mengapa abang tidak bilang dari awal?”

“Abang ingin semuanya berjalan secara alamiah. Sesuai dengan proses yang kalian jalani, agar tidak ada kesalahan dikemudian hari.”

“Terus, kenapa abang datang malam ini menemui Jingga?”

“Atas permintaan Juan.”

“Abang lihat sendiri kan? Untuk apa Juan menyuruh abang menemui ku kalau dia tidak punya maksud apa-apa. Atau jangan-jangan abang dan dia memang berniat jahat terhadap Jingga.”

Air mata ku kembali terburai. Aku sama sekali tidak bisa mengilustrasikan seperti apa jiwa ku saat ini. Senang kah dengan semua cerita kebetulan ini? Atau sebaliknya.

“Juan memang punya maksud, tapi maksudnya baik Jingga. Agar hubungan diantara kita jelas dan beres. Itu langkah yang bijak menurut abang. Juan atau abang maupun kamu tentu saja tidak menginginkan ada konflik dikemudian hari kan? Karena itu Juan meminta abang menyelesaikannya sekarang juga.”

“Sekarang dimana Juan?”

Ada. Kamu tidak perlu khawatir. Dia tidak akan menghilang lagi.”

“Semua ini seperti sandiwara. Entah kebetulan atau memang abang sudah mengaturnya sedemikian rupa, agar aku terlihat lemah dan bodoh didepan abang. Agar orang-orang merasa kasihan dengan ku.”

“Jingga, berhentilah berkata seperti itu. Semua orang menyayangi mu, Juan, abang, semuanya.”

“Kalau semua orang menyayangi ku, mengapa semua ini terjadi pada ku bang?”

“Sejak kapan abang berteman dengan Juan?”

“Saat abang masih kerja di Lhokseumawe dulu.”

“Sudah sangat lama sekali.”

“Iya, karena itu abang tahu persis Juan itu seperti apa. Dan dia cocok untuk kamu.”

“Sudahlah bang, aku tak berminat lagi bercerita tentang itu.”

“Abang tidak mau kamu berfikir buruk tentang Juan.”

Bagaimana mungkin aku tidak berfikir buruk bila kenyataannya begini. Siapapun aku yakin akan berfikir tentang semua kemungkinan yang buruk.

“Kalau kamu tidak percaya abang dan Juan berteman, coba kamu fikirkan, darimana Juan tahu semua tentang diri mu, apa kegiatan kamu, apa kesukaan kamu, dimana tempat favorit mu. Semua itu abang yang beri tahu.”

“Sudah bang. Jangan teruskan. Jingga mau pulang. Kepala ku bisa pecah bila terus-terusan ngomongin masalah ini.”

“Tunggu sebentar lagi.”

“Tidak ada yang perlu ditunggu lagi. Semuanya sudah jelas. Abang atau Juan sama saja. Tidak ada yang tulus menyayangi ku.”

Aku menyeka air mata yang menetes dipipi.

“Jingga.”

“Jingga pulang. Salam!”

Aku mengambil tas dan terus berlalu dari hadapan Juan. Hati ku sakit dan perih. Kedua lelaki itu telah mempermainkan perasaan ku. Aku tak peduli saat melintasi orang-orang yang memandangku dengan heran. Hampir-hampir aku tak kuasa mengemudikan sepeda motor ku karena rasa lemas yang begitu sangat. Lemas bukan karena lelah bekerja, tapi karena akal ku yang kurasakan tak lagi mampu mengontrol hati ku. aku kecewa, sangat kecewa.

Ku hempaskan tubuh ku diranjang begitu sampai dikamar. Ku campakkan ransel begitu saja. Dan aku kembali menangis kuat-kuat, gaun pengantin yang menggantung didinding kamar membuat hati ku semakin teriris-iris. Aku merasa tak pantas mengenakan pakaian putih itu. Pakaian itu terlalu suci untuk orang yang hatinya sudah ternoda seperti aku. Untuk anak manusia yang lemah, rapuh oleh cinta yang ia miliki.

Aku bangkit dan mengeluarkan sekotak rokok dari dalam laci, entah mengapa setiap kali aku mengalami kesedihan seperti ini, kurasakan hanya benda kecil ini yang mampu menghiburku. Padahal beberapa bulan yang lalu aku sudah berjanji untuk tidak menyentuhnya lagi. Tapi aku tak mampu. Aku ingin asapnya yang melayang-layang di udara ikut menerbangkan seluruh gundah dan resah ku. Menerbangkan seluruh kekecewaan dan rasa perih di hati ku.

Aku lelaki
Yang memangku cinta
Ada dirimu dalam dirinya
Kumiliki bersamaan dalam waktu tak bersama
Ada cintamu dalam dirinya
Sedang diriku begitu cinta
Tak terbelenggu dalam kekayaan cinta
Atas nama cinta dirinya dan dirimu
Ku memeluk jiwaku sendiri
Ketika hati gelisah tak bisa memiliki
Atas nama cintamu dan cintanya
Hati ini pun tak mungkin tak kubagi
Cinta ini hanya untuk yang mencintai
Untuk yang bersumpah mencintai

Sender:

Zal

081317xxxxxx

Ku baca berulang-ulang pesan yang disampaikan Zal kepada ku. Kalimat-kalimatnya yang ia tuliskan jelas tak dapat menyembunyikan bahwa ia sebenarnya juga sangat menyayangi ku. Tapi untuk apalagi ia mengirimkan kata-kata seperti itu? Sementara aku dan dia jelas-jelas tak pernah bisa bersama. aku kadang tak pernah mengerti dengan sikap Zal yang begitu. Ia mengatakan agar aku melupakannya, tapi ia terus-terusan memberi ku harapan, mengirimi ku matahari matahari jingga yang menyala terang. Menyinari relung-relung hati ku dengan kerlap kerilip kasih sayangnya yang besar.

Berkali-kali ku hisap rokok putih didepan ku dan puntungnya kubiarkan berserakan dilantai. Aku tak sanggup berfikir apa-apa lagi. Dengan marah ku robek-robek nama Zal yang ku gambar dikertas besar yang ku tempel didinding. Ku robek menjadi kecil-kecil tak tebentuk. Namun semua itu tetap saja tak membuat ku puas, tak membuat kekecewaan ku hilang. Serpihan kertas-kertas itu berserakan dilantai.

Kembali ku nyalakan sebatang rokok, tapi bukan untuk ku hisap. Melainkan untuk menyulut gaun pengantin yang telah bergantung selama seminggu dikamar ini. Aku tak lagi menginginkannya, apalagi memakainya. Dengan kasar ku remas-remas baju itu dan ku lemparkan ke lantai. Ku pijak-pijak hingga aku lelah dan terkapar dilantai.

“Maafkan aku…” desis ku. Entah kepada siapa. Mata ku semakin mengabur, basah oleh air mata dan rasa kantuk yang tiba-tiba menyerangku begitu kuat.

“Apakah matahari jingga ku masih ada?” lirih ku sebelum akhirnya tertidur.

Bersambung…

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian X


Aku wanita

Yang punya cinta dihati

Ada dirimu dan dirinya didalam hidup ku

Mengapa terlambat cinta mu telah termiliki

Sedang diri ku dengan dia telah begitu cinta

Mengapa yang lain bisa mendua dengan mudahnya

Namun kita terbelenggu dalam ikatan tanpa cinta

Atas nama cinta

Hati ini tak mungkin terbagi

Walau sampai nanti

Cinta ini hanya untuk engkau

Atas nama cinta

Ku relakan jalan ku merana

Asal engkau akhirnya dengan ku

Ku bersumpah atas nama cinta

Lagu atas nama cinta-nya Rossa mengalun dengan indah dari hand phone ku, nama Zal muncul disana. Hati ku berdebar-debar hebat, bergemuruh dan gerimis. Zal, ada apa ia menelepon ku. Apakah ia juga merasakan rindu yang sama kepada ku? Apakah hatinya juga merasakan gelisah dan sakit yang ku rasakan? Disaat aku hampir bisa melupakannya mengapa ia muncul lagi? Sengaja kah ia membuat aku begini?

Lama kubiarkan benda mungil itu meraung-raung, hingga akhirnya kembali diam. Namun saat panggilan ketiga aku tak tahan dan akhirnya ku terima juga. Suara Zal yang khas segera menyambutku dengan kerinduan yang penuh dan tertahan.

“Jingga, abang ada di Banda Aceh sekarang. Abang ingin ketemu dengan kamu sebentar, apa kamu punya waktu?”

“Jingga…Jingga…kapan abang sampai?” aku jadi gugup dan gemetar. Ku rasakan seolah-olah Zal ada didekat ku sekarang. Padahal aku tidak yakin kalau Zal ada di Banda Aceh sekarang. Bisa saja dia membohongiku.

“Kemarin.”

“Kemarin? Mengapa abang baru mengabari ku sekarang?” refleks aku berteriak dan menangis. Merasa tidak terima dengan sikap Zal yang tidak memberi tahu kedatangannya ke Banda Aceh kepada ku. Aku merasakan keanehan pada diri ku sendiri. Disatu sisi ingin melupakan Zal, tapi disisi lain aku seperti tak terima bila Zal sengaja tidak melakukan komunikasi dengan ku.

“Sekarang kan abang sudah hubungi kamu. Kamu kok malah nangis, apa kamu nggak mau ketemu sama abang?”

“Mau. Abang dimana sekarang?”

“Abang ada di kafe Kita. Datang saja kesana, abang ada di meja nomor sepuluh.”

“Iya, sebentar lagi Jingga sampai.”

Setelah selesai berbicara dengan Zal langsung ku sambar jaket yang tersangkut dibelakang pintu dan bergegas keluar setelah mengunci pintu. Rasanya sudah tak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Zal. Lelaki yang sangat ku cintai dan ku sayangi sepenuh hati. Antara senang dan takut aku menyusuri jalan, melajukan motor ku dengan sedikit lebih kencang dan segera memarkirkannya dihalaman kafe yang luas tersebut.

“Jingga!” sebuah suara mengaget kan ku dari belakang. Aku berbalik. Zal berdiri dibelakangku dengan senyum mengembang dibibirnya. Tapi tidak dengan ku. Aku justru terpaku dengan mulut menganga dan mata berkaca-kaca, ingin mengatakan sesuatu tapi aku tidak kuasa.

“Kita duduk dulu.” Kembali kata-kata Zal membuat ku sadar, aku tengah berada diantara banyak orang.

“Iya.” Jawab ku pendek

“Kemana saja abang selama ini?” Tanya ku setelah kami duduk.

Zal menarik napas dalam-dalam, matanya maish belum beranjak dari memandang ku.

“Abang sengaja melakukan semua itu Jingga. Abang terpaksa melakukan itu. Demi kamu, demi abang juga.”

“Kalau begitu mengapa abang temui Jingga sekarang? Apa abang pikir itu lebih baik? Tidak bang, justru membuat kita lebih sakit lagi. Terutama Jingga. Abang tahu seperti apa rasa cinta Jingga kepada abang, kalau abang berbuat begitu itu sama saja dengan abang mempermainkan perasaan ku.”

“Jingga, sungguh, abang tidak bermaksud untuk mempermain kan kamu. Abang hanya berharap pertemuan kita ini bisa jadi obat bagi kita.”

“Obat? Obat apa? Racun iya.”

“Jingga, siapa yang harus dipersalahkan? Abang atau kamu?”

“Jelas-jelas abang” sela ku

“Kita bertemu bukan untuk bertengkar kan?”

“Tapi Jingga sudah kehabisan cara untuk mengatakan semua ini bang. Lusa aku akan menikah, malam ini abang menemui ku. Pertemuan ini membuat niat ku kembali goyah. Membuat ku kembali sakit. Entahlah…barangkali abang sengaja membuat ku begini…”

“mengapa kamu tidak memberi tahu abang kalau kamu akan menikah?”

“Apa itu perlu bang? Kemana abang selama ini, mengapa abang tidak pernah bertanya kabar ku, mengapa abang hilang, diam, bisu saat aku begitu rapuh dan lemah. Kemana?”

“Jingga…”

“Aku sudah berjuang besar untuk semua ini bang, belajar melupakan mu, belajar mencintai laki-laki lain selain mu. Tidak hanya itu, kedua orang tua ku pun tidak lagi mengakui ku sebagai anaknya. Aku tidak punya siapa-siapa lagi.”

“Mengapa semua itu bisa terjadi?”

“Karena aku memilih menikah dengan laki-laki yang sudah pernah menikah. Ayah dan mama tidak setuju. Waktu itu aku ingin sekali berbagi pada abang, tapi waktu aku telfon abang, abang malah menolaknya. Lalu sekarang abang datang dan bertanya mengapa aku menikah tanpa memberi tahu kepada abang?”

“Maafkan abang Jingga. Abang merasa bersalah bersalah telah membuat mu begini. Tapi abang juga tidak bisa melakukan apa-apa.”

“Jingga tidak ingin dengar apapun lagi. Sudah cukup Jingga merasakan semuanya.”

Hening. Tak ada yang bersuara, aku sibuk dengan alam pikirku sendiri, begitu juga dengan Zal. Pertemuan ini bukanlah obat sebagaimana yang diinginkan Zal tapi adalah racun bagi diri ku. Mengapa aku sampai terjerembab pada persoalan ini berkali-kali. Membuat ku jatuh bangun dan kesakitan berulang-ulang.

“Jingga tidak tau mau bercerita sama siapa bang. Sedikit saja Jingga salah ngomong, jingga sudah dianggap perempuan ngga baik karena telah menjalin hubungan tidak resmi dengan suami orang. Disaat Jingga merasa telah menemukan obat untuk itu, petaka lain malah datang. Jingga diusir dari rumah, jingga merasa sangat tidak berarti. Jingga merasa…seperti tidak ada orang yang peduli dengan jingga.”

“Dan sekarang…abang datang. Aku jadi ingin menunda pernikahan ini bang. Aku…aku…seperti belum sanggup memasukkan nama lain dihati ku. Aku belum bisa melupakan abang, belum sanggup mencoret nama abang dihati ku.”

“Itulah yang ingin abang katakan sama kamu, selama ini mungkin telah banyak kesalahan yang kita lakukan Jingga. Khususnya abang, menyakiti perasaan mu, menyakiti kehidupan mu dan membuat mu jadi begini. Abang ingin kedepan kita lebih baik lagi, mungkin…inilah saatnya. Waktu yang kita janjikan itu telah tiba. Suatu saat, kelak jika kamu menikah…kamu akan sepenuhnya menjadi adik abang. Dan saat itu telah tiba bukan? Abang merasa hadir disaat yang tepat, bisa menjelaskan semua ini tepat pada waktunya. Kamu adalah adik abang, dan siapapun suami mu dia juga adik abang.”

“Apa abang fikir semudah itu bang? Membalik sampul dari kekasih menjadi teman biasa, mengganti nama dari cinta menjadi entah apa?”

“Kita harus bisa.”

“Tetap tak mudah bagi ku.”

Angin bertiup semilir, mataku mulai mengabur karena genangan air mata. Tapi hatiku menangis lebih hebat lagi. Tersayat-sayat bahkan lebih sakit dari sayatan sembilu sekalipun. Aku tak sanggup memandangi Zal, apalagi untuk kembali berkata-kata. Dada ku sesak, lidah ku kelu.

“Abang sayang sama kamu. Sangat. Tapi jangan sampai rasa sayang itu akan merusak apapun, itu yang tidak abang inginkan. Kalau selama ini abang mengabaikan mu, bukan berarti abang tidak memikirkan mu, bukan karena abang tidak peduli pada mu. Tak lain karena abang sayang sama kamu.”

“Abang?”

“Ya”

“Boleh aku memeluk abang? Untuk yang terakhir kalinya.”

“Boleh.”

Belum selesai Zal berkata aku sudah menghambur dalam pelukannya diikuti dengan isakan tangis ku yang pecah. Apakah mudah melupakan seseorang yang kita tahu dia juga sangat menyayangi kita? Itulah yang kurasakan. Walaupun berkali-kali telah ku coba untuk mengikis nama Zal tetapi selalu saja aku belum berhasil.

“Jingga sayang abang.”

“Abang juga.”

Zal memelukku dengan kuat. Kulihat Ia juga menitikkan air mata.

“Jingga tidak mau melepaskan abang lagi.”

“Sayang…waktu itu sudah tiba. Sudah saatnya kita berpisah.”

“Kita bertemu hanya untuk berpisah abang?”

“Bukan, tapi untuk kehidupan baru berikutnya.”

“Kehidupan yang seperti apa itu?”

“Kehidupan yang lebih indah, untuk sebuah kebersamaan. Kita tidak akan berpisah lagi.”

“Maksud abang?”

“Bukahkan mulai sekarang kamu telah jadi adik abang? Itu artinya kita akan selalu bersama sampai kapan pun. Bukankah antara adik dan abang tidak pernah berpisah?”

“Aku pikir abang akan melamar ku malam ini.”

“Aku tidak akan sejahat itu dengan Juan.”

“Juan?”

“Iya”

Bersambung…