Jumat, 24 Agustus 2007

Dialog Dua Perempuan

Tabloid Politik dan Hukum yang dipegang perempuan paruh baya tersebut langsung ia letakkan saat melihat putri semata wayangnya muncul diruangan tengah dengan wajah cemberut. Seperti biasa, Hani perempuan itu langsung menerima salaman dari anaknya disusuli dengan kecupan dikening anaknya. Begitulah cara ia menumpahkan kasih sayang pada anaknya.

“Bagaimana hari ini? Menyenangkan?” Tanya Hani pada anaknya, Zalia

Zalia mengangguk. Tapi Hani tahu kalau anggukan itu lebih pada ekspresi tidak menyenangkan yang ingin dikatakan oleh Zalia.

“Apakah tidak bisa kalau tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia Mama?” Tanya Zalia kemudian. Mulutnya masih moncong kedepan. Hani jadi geli melihat sikap anaknya. Kalau tengah begitu pasti dia disuruh mengarang lagi di sekolah. Tugas yang paling tidak disukai oleh Zalia.

“Bisa saja, toh setiap hari kita sudah berbicara dalam bahasa Indonesia.” Jawab Hani pendek. Zalia tersenyum senang, ia merasa ibunya berpihak padanya. Mengarang memang tugas yang sangat menyebalkan baginya. Sejak ia tahu menulis dan membaca hal yang paling tidak disukai olehnya adalah pelajaran menulis. Konon lagi kalau ia disuruh memikirkan sesuatu dan menuliskannya dalam bentuk cerita.

“Terus untuk apa pelajaran itu masih ada juga.”

“Karena Bahasa Indonesia yang kita pakai banyak tidak benarnya. Penggunaan kosa kata yang tidak tepat,”

“Tapi…” potong Zalia cepat.

Alis Hani berkerut, menunggu ucapan anaknya selanjutnya.

“Tapi kenapa?”

“Akhir-akhir ini bukan tugas mengarangnya yang membuat Zalia sebal. Tapi gurunya.”

“Lho, kok gurunya. Memang kenapa dengan gurunya?” hani sedikit tidak mengerti dengan alasan yang diberikan oleh Zalia.

“Bapak itu seperti pilih kasih terhadap siswa yang lain. Masak anak-anak yang lain disuruh mengarang bebas, sedangkan aku disuruh mengarang tentang keluarga.” Mata Zalia berkaca-kaca. Tampaknya ia memang sedang kesal sekaligus sedih. “Mama kan tahu, Zalia paling tidak suka pelajaran mengarang, apalagi mengarang tentang keluarga. Dimana Zalia harus bercerita tentang ibu, tentang ayah, tentang kakak, adik….bapak itu tidak mau kalau aku hanya menceritakan tentang ibu saja. Padahal aku sudah katakan kalau tidak punya ayah, tidak punya adik…” kali ini tangis Zalia benar-benar pecah. Air matanya mengalir dipipinya yang putih kemerahan.

Hani menarik napas berat, kegundahan yang sama juga mulai merasuki dirinya. Bahkan lebih parah lagi dari yang dirasakan oleh Hani anaknya. Entah mengapa, tiba-tiba saja ia merasa tulang belulangnya hancur. Seluruh persendiannya lemas tak bertenaga, sekalipun untuk merengkuh Zalia kedalam pelukannya.

Rasanya baru kemarin ia melahirkan Zalia, memberinya asi dan nasi pisang, mengganti popoknya, meninabobokannya, menggendongnya. Tapi hari ini ia mendapati anaknya sudah dewasa, ia sudah kelas dua SMU, sudah dapat mengatakan ia tidak menyukai ini dan tidak menyukai itu. Hal yang diam-diam sangat ditakuti Hani.

Entah seberapa sering Zalia bertanya mengapa ia tidak pernah melihat ayah dirumah mereka. Tidak pernah mengantarnya ke sekolah layaknya teman-temannya yang lain. Ia hanya mengenal seorang ibu sejak lahir hingga dewasa. Namun ia tak pernah bertanya lagi soal itu saat tahu bahwa yang melahirkan dirinya adalah Hani. Ia tak tahu bahwa selain Hani tentu saja ada seseorang yang membuatnya ada ke dunia ini. Ia hanya tahu proses melahirkan hanya bisa dilakukan oleh perempuan, bukan laki-laki. Karena itu ia tak begitu mempedulikan keberadaan seorang ayah baginya.

Namun, kondisi itu pelan-pelan berubah seiring dengan pertumbuhan usianya yang semakin dewasa. Ia mulai lebih aktif lagi menanyakan perihal ayahnya pada sang ibu. Namun jawaban yang ia dapatkan tak pernah puas seperti yang ia harapkan.

“Nanti kalau kamu sudah dewasa kamu akan tahu Zalia.” Jawab hani suatu ketika

“Kapan Zalia dewasa mama?”

“Saat kamu mulai merasa membutuhkan orang lain selain Mama.”

“Siapa itu Mama?” Zalia masih belum paham

“Nanti kalau kamu sudah dewasa kamu akan tahu sendiri.”

Zalia kecil hanya melongok menatap mata ibunya yang sendu. Ia tak tahu mengapa ibunya berubah setiap kali ia menanyakan siapa ayahnya. Tapi, namanya saja anak kecil ia tidak tahu dengan semua itu.

“Mama?” panggil Zalia setelah agak lama. Hani tersentak dan langsung membetulkan letak duduknya.

“Iya sayang. Jangan menangis lagi ya.” Ucapnya pelan

Kali ini giliran Zalia yang bengong, karena ia sudah berhenti menangis sejak tadi tapi mengapa baru sekarang Hani menyuruhnya diam.

“Mama memikirkan sesuatu?”

Hani menggeleng.

“Mama…” panggilnya pelan

“Ya sayang.” Jawab Hani sambil mengusap pipi anaknya. Kembali ia menangis. Setiap kali memandangi Zalia selalu ia menangis, selalu saja hatinya sendu dan muncul rindu yang menggelegak. Wajah itu putih kemerahan, bukan seperti dirinya yang hitam manis, bukan juga seperti Iyan mantan suaminya yang tidak terlalu putih. Hidungnya mancung dan matanya agak kecoklatan. Rambutnya sedikit agak kemerahan. Orang akan lebih percaya bila dikatakan Zalia memiliki garis keturunan arab ketimbang dikatakan keturunan Melayu maupun Aceh.

Zalia memang sangat berbeda, dan juga istimewa bagi Hani. Ia sama sekali tidak berjiwa seniman padahak dirinya dan mantan suaminya, ayahnya Zalia adalah penulis dan seniman, Iyan seorang pelukis dan pemusik. Tapi Zalia, ia sangat menyukai pelajaran eksakta dan hal-hal yang berbau ilmiah dan penelitian. Karena itu sedikit sekali orang yang percaya kalau Zalia anak kandung Hani. Mereka lebih senang mengatakan Zalia anak hasil adopsi atau anak titipan. Walaupun untuk itu setiap kali Hani harus menangis karena Zalia memang darah dagingnya sendiri. Anak hasil pernikahannya dengan Iyan, mantan suaminya yang sekarang entah dimana.

“Zalia sudah tahu, siapa orang lain yang mama maksudkan dulu.”

“Siapa dia?” selidik Hani

“laki-laki kan Ma”

Hani mengangguk sambil mengusap kepala anaknya. Zalia memang benar.

“Jadi sekarang Zalia boleh tahu kan tentang ayah Ma?”

“Benar kamu ingin tahu semua itu?”

“Iya.”

“Baiklah,” Hani menarik napas. “Kita mulai dari arti nama kamu Zalia. Mengapa mama memberikan kamu nama seperti itu. Yang dulu sering sekali kamu protes karena orang-orang banyak memanggil mu dengan Zal. Dan kamu bilang nama itu terdengar seperti nama laki-laki kan?” hani memulai ceritanya. Zalia mengangguk. Yah, dulu dia memang sering merajuk saat orang-orang memanggilnya begitu.

“Nama itu berasal dari nama seseorang yang bernama Zal. Seseorang yang sangat dekat dihati mama. Saking dekatnya mama sampai tidak bisa menghadirkan orang lain dihati mama selain dia.”

“Apakah Zal itu bagian dari nama ayah?”

Hani menggeleng

“Mama mengenal Zal jauh sebelum mama bertemu dan menikah dengan ayah mu Zalia. Karena sesuatu dan lain hal, mama tidak bisa terus bersama dengan Zal. Karena itu akhirnya mama menjatuhkan pilihan pada ayah mu. Tapi itupun tidak bertahan lama, karena mama tidak sanggup terus menerus hidup diliputi kebohongan.”

“Apa maksud mama kebohongan.”

“Mama tidak pernah bisa mencintai ayah kalian, karena itu mama memutuskan dan meminta agar ayah menceraikan mama.”

“Ayah mengabulkan?”

“Tentu saja tidak sayang. Tapi mama bersikeras.”

“Maksud mama kalian? Apa aku punya kakak?”

“Iya, laki-laki. Ayah mu tidak mengizinkan mama membawanya.”

“Berarti ayah tidak sayang pada ku.”

“Bukan begitu. Saat mama pergi, ayah tidak tahu kalau mama mengandung mu. Mama juga tidak tahu kalau saat itu mama mengandung. Kalau mama tahu tentu saja mama tidak terlalu ngotot untuk berpisah dari ayah”

“Apakah aku mirip ayah Ma?”

Lagi-lagi Hani menggeleng

“Jadi aku ini anak siapa Mama?”

“Zalia, jangan berpikir buruk dulu. Kamu tidak perlu takut dan jangan pernah berfikir kamu anak hasil tidak baik. Saat mengandung mu, mama terus menerus merindui Zal. Fotonya selalu mama lihat, pokoknya segala sesuatu yang mama lakukan karena termotivasi oleh Zal. Mama juga sangat kaget begitu kamu lahir seluruh wajah Zal ada pada diri mu. Kemiripan kalian sangat banyak, hobby, keinginan. Semua itu tidak sanggup mama jangkau mengapa bisa terjadi Zalia.” Air mata Hani mengucur deras. Jiwanya benar-benar lara sekarang. Ia sangat kasihan pada Zalia yang tidak pernah mengenal siapa ayahnya. Dan juga kepada anak lelakinya yang sekarang tidak pernah ia tahu keberadaannya, apakah ia tumbuh selamat atau sudah tidak ada lagi. Apakah dia sudah dewasa dan tampan seperti ayahnya atau bagaimana. Tak bisa dilukiskan bagaimana rindunya.

“Mengapa bisa begini mama?” Zalia jadi ikut menangis.

“Suatu saat kamu akan mengerti Zalia. Tentang arti mencintai dan dicintai. Akal kita tidak pernah cukup untuk mengkaji semua itu. Akal kita terbatas.”

“Bagaimana kalau tiba-tiba ayah hadir ditengah-tengah kita Ma?” Tanya Zalia kemudian.

Hani merengkuh anaknya dan menjatuhkannya dalam pelukannya. Baginya ada atau tidak kehadiran Iyan kembali bukanlah persoalan baginya. Ia sudah tak pernah memikirkannya lagi untuk kembali hidup bersama Iyan.

“Jangan katakan kalau guru bahasa mu itu adalah ayah mu Zalia.”

“Itulah yang ingin aku kata kan Mama.”

Dan air mata adalah jawaban atas semua itu.

Rumah Cinta

24/08/07

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)