Selasa, 07 Agustus 2007

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian VII



Bukan kepalang senangnya hati ku saat tahu kedua orang tua ku sudah setuju dan mau menerima Juan sebagai calon menantu mereka. Aku sama sekali tidak mau tahu apa yang dikatakan Juan untuk meluluhkan hati mereka, dan juga tidak mau tahu apa jawaban orang tua ku selain mereka telah menyetujuinya.

Seperti baru pertama kali dalam hidup ku aku merasakan kebahagiaan sedalam ini, meskipun didalam hati kecilku seperti ada satu ruang kosong yang luas dan membuat ku merasa kehilangan. Aku tahu apa sebabnya tapi aku tidak mau terlalu memikirkan itu. Semua kesakitan dan kekecewaan itu adalah cerita kemarin yang ingin ku kubur dalam-dalam. Aku ingin melupakan dan mencoret nama Zal didalam hati ku dan menggantinya dengan nama Juan. Lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suami ku.

Sambil bernyanyi-nyanyi kecil aku memberesi kamar, sudah ku putuskan besok untuk pulang kerumah orang tua ku. Selain ingin membicarakan lebih lanjut soal pernikahan ini aku juga sudah lama tidak pulang kerumah. Rasa rindu dan kangen kepada ayah dan mama jelas tidak tertahankan lagi, tapi beberapa perbedaan diantara kami membuat ku tidak betah dirumah dan memilih untuk kost ditempat lain yang agak jauh dengan mereka. Apalagi setelah mama tahu hubungan ku dengan Juan, aku jadi lebih malas lagi pulang kerumah. Karena setiap kali aku pulang selalu saja ada yang ia katakan tentang Juan, dan semua itu tentang yang buruk-buruk.

Segaris senyuman menyertai ku saat melangkah kan kaki ke halaman rumah kedua orang tua ku. Bunga-bunga disana masih terawat dengan indah dan rapi, beberapa koleksi bunga mama terlihat bertambah. Kolam kecil ditengah halaman juga masih mengalirkan airnya yang bening. Didalamnya beberapa ekor ikan mas koki besar terlihat berlalu lalang, barangkali saja ia sedang menyambut kedatangan tuan putri dirumah ini. Yang dulu sering memberinya umpan dan menggorengnya bila lapar. Aku jadi tersenyum geli mengenang semua masa kecil itu.

Interiornya juga tidak ada yang berubah, ini bukanlah kebiasaan mama, biasanya sebulan sekali ia pasti mengubah interior ruangan, membeli satu atau dua barang-barang baru. Atau mengubah letak sofa dan hiasan dinding lainnya. Mungkin mama enggan melakukan semua itu lagi, karena dia hanya tinggal berdua saja dengan ayah dirumah.

“Mama! Mama!” teriak ku berkali-kali. Tidak ada jawaban. Aku melangkah ke dapur. Juga tidak ada orang.

“Kemana mama ya?” batin ku bertanya-tanya.

Aku kembali keruang tamu dan merebahkan tubuh ku disana. Tapi tak lama setelah itu aku kembali ke dapur, entah mengapa perasaan ku seperti mendorongku untuk keluar ke halaman belakang. Dari jendela dapur ku lihat mama sedang duduk dengan bibi Haryati, entah apa yang mereka obrolkan tapi sepertinya sangat serius. Aku yang tadinya ingin membuat kejutan jadi urung dan diam-diam tergerak untuk ingin mendengarkan obrolan mereka.

“Itulah, saya bingung bagaimana mau menyampaikannya kepada Jingga. Sementara saya sudah terlanjur setuju dengan hubungan mereka. Kamu juga, mengapa terlambat sekali memberi tahukan masalah ini kepada saya?” suara mama terdengar begitu jelas.

“Lho, kakak ini bagaimana, sudah untung saya mau kasih tahu. Toh kan Jingga belum jadi menikah dengan duda itu, jadi masih belum terlambat kan?”

“Iya juga, tapi…bagaimana saya ngomongnya ke Jingga ya?”

“Bilang saja kalau kakak tidak setuju. Habis perkara kan?”

“Tapi kan harus ada alasan yang jelas.”

“Lho, alasan apalagi, jelas-jelas Juan itu duda, punya anak dua, memangnya kakak mau punya menantu sudah pernah menikah? Jingga masih gadis lho kak, masih banyak laki-laki lain yang mau sama dia.”

Nanar ku pandangi mama dan bibi haryati yang sedang mengobrol diluar sana, ku tajamkan telinga ku berkali-kali untuk memastikan agar yang ku dengar bukan tentang Juan. Tapi berkali-kali itu juga yang dikatakan oleh bibi haryati, memaksa mama agar menolak hubungan ku dengan Juan.

Aku memang belum mendengar langsung penolakan dari mama, tapi apa yang dia katakan bukanlah pertanda baik bagi diri ku. Apalagi tadinya mama memang tidak menyetujui hubungan ku dengan Juan. Menurutnya Juan terlalu tua untuk ku. Tidak jelas asal usulnya, dan entah apa lagi yang mama katakan yang semuanya menurut ku tidak masuk akal. Aku juga menjadi tidak menyukai bibi haryati, padahal selama ini aku tahu dia sangat baik dan perhatian pada ku. Dan anehnya, sebulan yang lalu ia pernah bilang bahwa hubungan ku dengan Juan tidaklah seburuk yang ada di pikiran kedua orang tua ku. Dan ia akan berusaha meyakinkan mama agar menerima Juan. Tapi sekarang? Mengapa ia berkata lain pada mama? Ah…

Aku berbalik dan masuk ke kamar tidurku. Nama Zal terpampang lebar didinding begitu pintu kamar terbuka. Membuat hati ku berdesir kuat, kerinduan yang tadi sempat hilang kembali lagi menendang-nendang hati ku. Aku ingin sekali berada didekat Zal pada saat kondisi seperti ini, aku ingin bercerita tentang hidup ku. Tentang Juan, tentang semuanya. Tapi dimana Zal? Dia hilang, diam, dan bisu. Aku seperti terkapar lunglai dalam lelah panjang setiap kali rindu ini menyerang. Membuat ku tidak berdaya dan kesakitan. Sakit yang teramat sangat yang seorang pun tidak bisa merasakannya. Dan hanya aku yang tahu.

Dengan gemetar ku nyalakan layar computer dan mengetik beberapa baris surat untuk nya.

From : jingga@hati.com

To : zal@hati.com

Subject :Catatan Hati Yang gelisah

Hari-hari yang basah

Sebasah hati ku yang selalu merindui mu

Jiwa ku,

Adalah kamu yang membuat hati ku selalu bergetar

Adalah kamu yang telah menyelipkan sedikit cinta di hati ku

Membuat ku sedikit mengerti tentang arti kehidupan yang pelik dan berliku. Tentang perjuangan untuk bisa mencintai mu dengan segala keterbatasan dan kekurangan ku

Menunggu sesuatu dari mu adalah semangat bagi ku menjalani hari-hari. Sepatah kata dari mu adalah seribu bunga yang dikirimkan waktu kepada ku. Mendengar suara mu adalah ibarat tetes embun, oase atas kekeringan yang diserap oleh asa.

Aku sedang tak ingin menghitung, bukan juga sedang mengakumulasi, sekian tahun hubungan kita, tak pernah sekalipun ku dengar suara mu hingga jemu. Padahal sangat ingin sekali aku bukan hanya sekedar berbicara, tapi juga berteriak, menjerit, menangis, sebisa yang ku lakukan. Agar kau tahu bahwa apa yang ku katakana adalah benar. Aku mencintai kamu dengan sepenuh hati, menyayangi mu dengan segenap jiwa dan raga yang ku punya.

Aku melakukan itu barusan, walau hanya sepintas, tapi sepertinya itu memang tidak penting untuk mu. Kekasih…selalu saja begini, rindu, menangis, air mata adalah keseharian ku, saat kau pergi tak ada kabar untuk ku aku menangis, saat kau datang kau diam aku menangis, bahkan sesaat aku mendengar suara mu aku juga menangis. Sebab hanya itu yang aku punya untuk membuat diri ku percaya, bahwa kau begitu berarti untuk ku.

Aku tidak akan mengemis sayang pada mu, siapapun kamu, dimana pun kamu, aku yakin dan percaya, kamu pasti bisa merasakan cinta ku yang besar ini.

Aku bingung, bukan kepada orang lain, tapi pada diri ku sendiri. Aku lelah, aku capek, mencintai seseorang yang kerap kali membuat ku ragu apakah ia mencintai ku? Apakah ia menyayangi ku seperti yang sering ia katakana, sungguh, aku ingin mendengar cemburu-cemburu mu seperti dulu lagi.

Kau mungkin tak percaya, betapa hati ku telah beku saat ini. Aku tidak ingin mencintai selain untuk mu. Kalau pun itu terjadi, hanya karena keadaanlah aku bisa.

Aku selalu merasa yakin bahwa aku akan kuat menjalani semua ini, aku akan dengan mudah mengatur scenario untuk hidup ku, tapi ternyata tidak. Tidak ada yang bisa menggantikan nama mu dihat ku yang kecil ini.

Kau mungkin akan tertawa membaca surat ini, mungkin juga kasihan dan iba, tapi apakah aku perlu menyelubungi perasaan ku dengan kebohongan yang lain?

Zal, begitu aku sering mengkiaskan nama mu. Bacalah dalam semua cerita-cerita yang ku tulis, bacalah dalam tiap kalimat surat cinta yang sering aku kirim kan kepada mu. Semuanya tentang kamu. Kau tahu, cerita-cerita itu membuat mereka cemburu, kau terlalu istimewa kata mereka, hingga layak dan pantas disandingkan dengan puisi-puisi yang indah.

Aku tak lagi punya kata-kata untuk mengatakan apa yang sedang ku rasa saat ini. Aku hanya berharap angina segera menyampaikan pesan rindu ku untuk mu. Dan merpati menerbangkan lembaran surat ini kehadapan mu. Agar kau bisa membacanya, sebelum kaki mu menginjak tanah basah halaman rumah mu besok pagi.

Kau selalu membuat ku cemburu, kau bercerita tentang anak-anak, sedang aku hanya bisa mereka-reka, akankah kerinduan mereka sama besarnya dengan kerinduan yang ku simpan untuk ayah mereka? Mereka kapan saja bisa menghadiahi mu dengan seribu ciuman setiap waktu, sedang aku? Bertanya rindu saja tidak boleh.

Barangkali Tuhan sedang menyiapkan cinta yang lain untuk ku, dan mudah-mudahan aku bisa menjalaninya. Aku percaya akan ada yang lebih baik setelah hari ini. Matahari yang ku tunggu besok pagi adalah senyum mu, sebab kau adalah matahari hati ku.

09.57 p.m

Jumat, 27 Juli 2007

Ku baca sekali lagi hingga akhirnya ku tekan tanda send di bawah surat tersebut. Tangis ku yang tadi tertahan menjadi pecah dan terburai. Aku larut dalam tangis dan luka di hati yang kembali menganga. Kecewa pada Zal, kecewa pada diri ku sendiri, dan kecewa pada orang tua ku.



bersambung...


Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)