Rabu, 08 Agustus 2007

Meretas Jalan Menuju Jingga Bagian XI


“Apa maksud abang menyinggung soal Juan? Abang kenal dia” Tanya ku curiga sambil melepaskan pelukannya. Aku memandangnya tak berkedip, menunggu jawaban darinya. Zal tersenyum.

“Kamu tentunya bertanya-tanya kan, mengapa selama delapan bulan terakhir ini abang sepertinya menjauh dari kamu. Dan kamu mengenal Juan juga selama waktu itu bukan?” Zal memulai pembicaraannya. Aku diam saja mendengarkan.

“Kamu belum lupakan kapan kamu menceritakan perihal abang kepada Juan?”

“Iya, Jingga masih ingat. Dan setelah itu Juan menghilang. Apa ada kaitannya dengan abang?” buru ku

“Abang juga yakin kamu belum lupa saat kamu bertemu dengan Juan di Kafe ini, dimeja ini beberapa bulan yang lalu. Setelah ia lama menghilang.”

“Abang terlalu bertele-tele.”

“Waktu dia menghilang setelah kamu menceritakan soal hubungan kita, Juan datang menemui abang, hanya untuk memastikan apakah Zal yang kamu maksud abang atau Zal yang lain. Ternyata Zal itu adalah abang, abang mengaku setelah dia mendesak dan memaksa abang. Waktu itu ia memang sempat shock karena memang tidak menduga kalau abang telah menjalin hubungan sangat lama dengan kamu, padahal kamu tahu sendirikan kalau abang sudah menikah dan punya anak. Juan sempat marah dengan abang, dan dia berniat untuk tidak lagi menemui kamu. Tapi waktu itu abang bersikeras dan memaksa dia agar balik lagi sama kamu. Karena abang tahu dia sangat sayang dan mencintai kamu dengan tulus. Dia memutuskan begitu karena merasa tidak enak, dan ia berfikir telah merebut kamu dari abang.”

“Waktu acara Saudagar Aceh Serantau sebenarnya abang juga ikut, tapi saat Juan bercerita dia bertemu dengan kamu dan dia jatuh hati sama kamu abang mengurungkan niat untuk menghubungi mu. Saat itulah abang berfikir ingin membiarkan kamu lepas, agar kamu bias leluasa menjalin komunikasi dengan Juan. Abang tidak ingin jadi benalu dalam hati mu Jingga. Tapi waktu itu abang tidak pernah bercerita kalau abang kenal kamu, hingga sampai akhirnya kamu menceritakan sendiri hubungan kita kepada Juan. Dan abang tidak bisa berbohong lagi.”

“Abang….kenapa abang jahat sekali pada Jingga?” air mata ku mulai keluar lagi.

“Jingga, tunggu dulu. Abang belum selesai berbicara.”

“Jingga tidak habis fikir dengan semua ini bang…”

“Waktu kamu diusir dari rumah dan menelepon abang, sebenarnya abang tidak bermaksud untuk menolaknya. Tapi karena Juan sudah duluan cerita pada abang, dan abang berfikir itulah saat yang tepat bagi abang untuk menarik diri dari kehidupan mu dan mengirimkan Juan terus menerus dalam situasi apapun untuk mu. Supaya kamu benar-benar yakin bahwa Juan mencintai kamu. Dan supaya kamu bisa melupakan abang.”

“Jingga jadi semakin tidak yakin dengan cintanya Juang bang…dia hanya kasihan kepada ku. Bukan karena cinta, tapi karena iba.”

“Jingga, abang jaminannya kalau Juan benar-benar menyukai kamu. Dan abang tahu persis Juan itu laki-laki seperti apa. Karena itu abang rela melepaskan mu untuk nya. Abang juga tahu kamu seperti apa, karena itu abang tidak mau kamu jatuh pada orang lain.”

“Tapi mengapa abang tidak bilang dari awal?”

“Abang ingin semuanya berjalan secara alamiah. Sesuai dengan proses yang kalian jalani, agar tidak ada kesalahan dikemudian hari.”

“Terus, kenapa abang datang malam ini menemui Jingga?”

“Atas permintaan Juan.”

“Abang lihat sendiri kan? Untuk apa Juan menyuruh abang menemui ku kalau dia tidak punya maksud apa-apa. Atau jangan-jangan abang dan dia memang berniat jahat terhadap Jingga.”

Air mata ku kembali terburai. Aku sama sekali tidak bisa mengilustrasikan seperti apa jiwa ku saat ini. Senang kah dengan semua cerita kebetulan ini? Atau sebaliknya.

“Juan memang punya maksud, tapi maksudnya baik Jingga. Agar hubungan diantara kita jelas dan beres. Itu langkah yang bijak menurut abang. Juan atau abang maupun kamu tentu saja tidak menginginkan ada konflik dikemudian hari kan? Karena itu Juan meminta abang menyelesaikannya sekarang juga.”

“Sekarang dimana Juan?”

Ada. Kamu tidak perlu khawatir. Dia tidak akan menghilang lagi.”

“Semua ini seperti sandiwara. Entah kebetulan atau memang abang sudah mengaturnya sedemikian rupa, agar aku terlihat lemah dan bodoh didepan abang. Agar orang-orang merasa kasihan dengan ku.”

“Jingga, berhentilah berkata seperti itu. Semua orang menyayangi mu, Juan, abang, semuanya.”

“Kalau semua orang menyayangi ku, mengapa semua ini terjadi pada ku bang?”

“Sejak kapan abang berteman dengan Juan?”

“Saat abang masih kerja di Lhokseumawe dulu.”

“Sudah sangat lama sekali.”

“Iya, karena itu abang tahu persis Juan itu seperti apa. Dan dia cocok untuk kamu.”

“Sudahlah bang, aku tak berminat lagi bercerita tentang itu.”

“Abang tidak mau kamu berfikir buruk tentang Juan.”

Bagaimana mungkin aku tidak berfikir buruk bila kenyataannya begini. Siapapun aku yakin akan berfikir tentang semua kemungkinan yang buruk.

“Kalau kamu tidak percaya abang dan Juan berteman, coba kamu fikirkan, darimana Juan tahu semua tentang diri mu, apa kegiatan kamu, apa kesukaan kamu, dimana tempat favorit mu. Semua itu abang yang beri tahu.”

“Sudah bang. Jangan teruskan. Jingga mau pulang. Kepala ku bisa pecah bila terus-terusan ngomongin masalah ini.”

“Tunggu sebentar lagi.”

“Tidak ada yang perlu ditunggu lagi. Semuanya sudah jelas. Abang atau Juan sama saja. Tidak ada yang tulus menyayangi ku.”

Aku menyeka air mata yang menetes dipipi.

“Jingga.”

“Jingga pulang. Salam!”

Aku mengambil tas dan terus berlalu dari hadapan Juan. Hati ku sakit dan perih. Kedua lelaki itu telah mempermainkan perasaan ku. Aku tak peduli saat melintasi orang-orang yang memandangku dengan heran. Hampir-hampir aku tak kuasa mengemudikan sepeda motor ku karena rasa lemas yang begitu sangat. Lemas bukan karena lelah bekerja, tapi karena akal ku yang kurasakan tak lagi mampu mengontrol hati ku. aku kecewa, sangat kecewa.

Ku hempaskan tubuh ku diranjang begitu sampai dikamar. Ku campakkan ransel begitu saja. Dan aku kembali menangis kuat-kuat, gaun pengantin yang menggantung didinding kamar membuat hati ku semakin teriris-iris. Aku merasa tak pantas mengenakan pakaian putih itu. Pakaian itu terlalu suci untuk orang yang hatinya sudah ternoda seperti aku. Untuk anak manusia yang lemah, rapuh oleh cinta yang ia miliki.

Aku bangkit dan mengeluarkan sekotak rokok dari dalam laci, entah mengapa setiap kali aku mengalami kesedihan seperti ini, kurasakan hanya benda kecil ini yang mampu menghiburku. Padahal beberapa bulan yang lalu aku sudah berjanji untuk tidak menyentuhnya lagi. Tapi aku tak mampu. Aku ingin asapnya yang melayang-layang di udara ikut menerbangkan seluruh gundah dan resah ku. Menerbangkan seluruh kekecewaan dan rasa perih di hati ku.

Aku lelaki
Yang memangku cinta
Ada dirimu dalam dirinya
Kumiliki bersamaan dalam waktu tak bersama
Ada cintamu dalam dirinya
Sedang diriku begitu cinta
Tak terbelenggu dalam kekayaan cinta
Atas nama cinta dirinya dan dirimu
Ku memeluk jiwaku sendiri
Ketika hati gelisah tak bisa memiliki
Atas nama cintamu dan cintanya
Hati ini pun tak mungkin tak kubagi
Cinta ini hanya untuk yang mencintai
Untuk yang bersumpah mencintai

Sender:

Zal

081317xxxxxx

Ku baca berulang-ulang pesan yang disampaikan Zal kepada ku. Kalimat-kalimatnya yang ia tuliskan jelas tak dapat menyembunyikan bahwa ia sebenarnya juga sangat menyayangi ku. Tapi untuk apalagi ia mengirimkan kata-kata seperti itu? Sementara aku dan dia jelas-jelas tak pernah bisa bersama. aku kadang tak pernah mengerti dengan sikap Zal yang begitu. Ia mengatakan agar aku melupakannya, tapi ia terus-terusan memberi ku harapan, mengirimi ku matahari matahari jingga yang menyala terang. Menyinari relung-relung hati ku dengan kerlap kerilip kasih sayangnya yang besar.

Berkali-kali ku hisap rokok putih didepan ku dan puntungnya kubiarkan berserakan dilantai. Aku tak sanggup berfikir apa-apa lagi. Dengan marah ku robek-robek nama Zal yang ku gambar dikertas besar yang ku tempel didinding. Ku robek menjadi kecil-kecil tak tebentuk. Namun semua itu tetap saja tak membuat ku puas, tak membuat kekecewaan ku hilang. Serpihan kertas-kertas itu berserakan dilantai.

Kembali ku nyalakan sebatang rokok, tapi bukan untuk ku hisap. Melainkan untuk menyulut gaun pengantin yang telah bergantung selama seminggu dikamar ini. Aku tak lagi menginginkannya, apalagi memakainya. Dengan kasar ku remas-remas baju itu dan ku lemparkan ke lantai. Ku pijak-pijak hingga aku lelah dan terkapar dilantai.

“Maafkan aku…” desis ku. Entah kepada siapa. Mata ku semakin mengabur, basah oleh air mata dan rasa kantuk yang tiba-tiba menyerangku begitu kuat.

“Apakah matahari jingga ku masih ada?” lirih ku sebelum akhirnya tertidur.

Bersambung…

Previous Post
Next Post

Coffee addicted and mother of words

0 komentar:

Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)