Sabtu, 30 Agustus 2025

Setelah Kau Pergi, Negeri Ini Makin Tak Baik-Baik Saja



Setelah kau pergi, keadaan di negeri ini semakin tak baik-baik saja. Malam kemarin, seorang anak di ibu kota negara, bernama Affan Kurniawan, yang baru berusia 21 tahun, seorang tulang punggung keluarga, akhirnya meninggal dunia setelah ... dilindas oleh mobil berlapis baja dan antipeluru pada Kamis malam, 28 Agustus 2025. 

Ya, dilindas oleh mobil barracuda milik Satuan Brimob Polda Metro Jaya. Mengerikan, ya. Sungguh tragis. Ini bukan kematian biasa. Ini tragedi. Pertanda bahwa negeri ini semakin tak baik-baik saja. Semakin tersuruk dalam lubang yang dalam.

Jika kaumasih ada, mungkin kamu akan melihat sendiri betapa semakin frustrasinya menjadi rakyat akhir-akhir ini. Atau, mungkin kaujustru frustrasi karena (mungkin) aku misuh-misuh kepadamu sebagai pelampiasan atas segala kedongkolan di hati.

Saat pemilu lalu, berbagai janji dilarungkan sebagai sesaji politik dan hinggap dalam sanubari rakyat. Tapi semua itu hanya fatamorgana. Kamuflase belaka. Rakyat terlalu serius menanggapi dongeng politik. Sementara politisi semakin lihai membual. Mereka semakin tak malu-malu menunjukkan "sisi lain" mereka yang nirempati dan nirakhlak.

Ini bulan Agustus. Bulan kemerdekaan. Tepat pada tahun ini, gempita perayaan 80 tahun Indonesia baru saja berlangsung di seluruh antero negeri. Dengan episentrumnya, tentu saja, di suatu tempat di mana para pejabat berkumpul untuk bersenang-senang. Dengan cara ... berjoget-joget gemoy.

Gemoy. Sebuah kata yang mulai diperdengingkan kepada kita menjelang musim pemilu lalu. Dan kini telinga kita semakin akrab, bahkan mesra, dengan istilah itu. Gemoy, entah kenapa, aku merasa kata-kata itu lebih dari sekadar kata. Ia mengandung, mungkin senyawa, mungkin pula sihir, atau semacam zat bius, yang mampu menghipnotis atau menyihir atau melenakan kita agar tunduk-patuh pada ketololan penguasa. Tak bisa berkutik karena sudah disajenkan dengan makanan bergizi gratis, sekolah rakyat, atau sejenisnya.

Usia delapan puluh tahun negara ini, yang disimbolkan dengan angka delapan (8) dan nol (0). Gabungan dua angka yang teramat istimewa. Angka delapan terbalik, bukankan itu simbol infinity atau ketertakhinggaan? Sedangkan nol, jangan anggap ia hanya sebuah bilangan yang kosong. Justru, karena nol-lah sebuah bilangan akan berubah nilainya. Kita tentu bisa membedakan nilai sebuah angka dengan tambahan 0, 00, atau 000. 

Ah, ironinya, karena nol pula kita kerap kesulitan menghitung jumlah uang rakyat yang dikorupsi para tikus busuk itu. Karena korupsi mereka, rakyat semakin akrab dengan istilah triliunan, tapi bingung ada berapa banyak nolnya.

Yang tak terhingga, ditambah sebagai penambah nilai bilangan, mestinya itu simbol untuk sebuah usia negeri yang bernilai dan tak terhingga. Kita berharap, yang tak terhingga itu adalah kebahagiaan yang kita rasakan karena pejabatnya berakhlak baik, tak jago mencuri, dan amanah. Namun, kenyataannya? Akhlak menjadi jargon: ber-AKHLAK!

Agustus belum pun berakhir. Euforia bulan kemerdekaan masih tersisa pada dinding-dinding gapura yang dicat merah-putih, atau umbul-umbul merah-putih yang masih berkibar--meski sudah robek karena terus dipapar angin. Namun, kita sudah harus menyaksikan seorang anak bernama Affan Kurniawan harus pergi dengan cara seperti itu. 

Di sisa-sisa bulan kemerdekaan ini, yang kita rasakan justru perasaan terjajah oleh bangsa sendiri. Melalui kebijakan-kebijakan semacam kenaikan pungutan pajak, kenaikan tunjangan anggota DPR RI, meninggalnya seorang anak karena di otaknya sudah menjadi sarang cacing. Atau ... tanah-tanah menganggur kita yang akan dirampas oleh negara. Juga perihal rekening kita yang bakal dibekukan sekiranya dalam tiga bulan tak ada transaksi. Yang rajin bertransaksi pun akan diawasi. 

Tiba-tiba aku menjadi khawatir pada dua rekeningku. Dua-duanya hanya tersisa beberapa puluh ribu lagi. Kemarin sore, aku mentransfer setengah dari beberapa puluh ribu itu ke rekening yang lain supaya bisa ditarik beberapa puluh ribu. Kaubingung, ya? Sama, aku lebih bingung. Bingung bagaimana caranya agar rekening itu jangan sampai dibekukan--mengingat jika saldonya tak bertambah, aku tak bisa bertransaksi, kan?

Tak cukup di situ, rakyat pun masih dikatakan tolol. Anehnya, beberapa orang yang kita enggak tahu apa kontribusinya untuk bangsa ini justru diganjari penghargaan oleh Presiden. Bukan cuma fisik kita yang dihajar, emosi kita dikuras, mental kita pun dirusak. 

Kau, yang sudah di sana, semoga selalu berbahagia. Tenanglah karena tak perlu lagi menyaksikan dan merisaukan berbagai "dagelan" buruk yang dipertontonkan oleh orang-orang yang mengaku pemimpin kita. Ah, di dunia fana ini, kata pemimpin semakin kehilangan makna, bahkan tak bermakna lagi.

Seperti yang dulu-dulu sering kita bincangkan. Pemimpin, mestinya mengayomi, kan? Mestinya lebih mau mendengar, kan? Harus punya bahu yang kuat dan dada yang lega untuk mendengar keluh kesah rakyatnya, kan? Tapi semua itu tidak ada pada mereka yang mengaku pemimpin, entah itu di eksekutif, lebih-lebih di legislatif. Mereka ini seperti dua penyamun yang berkomplot untuk mencuri harta rakyat. Harta kita. Mereka sebenarnya badut. Cuma bisa ngibeng sana ngibeng sini.

Itu saja yang ingin kukabarkan kepadamu hari ini. Semoga sepenggal doa yang kukirim semalam bisa menjadi "jaminan" untukmu mendengar ceritaku hari ini. Allahumma firlahu warhamhu wa 'afihi wa 'fu 'anhu




Sabtu, 09 Agustus 2025

Semangkuk Mi Komplit di Hari Sabtu



Semangkuk mi ramen komplit dihidangkan oleh pramusaji setelah aku selesai menyunting dua artikel masing-masing 1.500 kata. Segera kugeser laptop, kuatur ke mode sleep. Saatnya bersantap. Aroma kuah kari dari mi yang kupesan sungguh menggoda. Tadinya aku ingin memesan seporsi laksa, tetapi malah tergiur pada mi kari--setelah melihat gambarnya di buku menu--dengan aneka toping: irisan daging sapi, daging ayam, bola ikan, jagung, sawi, dan telur. Rupanya daging sedang kosong, sebagai alternatifnya diganti dengan udang. 

Pukul sebelas lewat seperempat saat aku tiba di kafe ini. Aku pelanggan pertama. Pagi tadi, saat tiba di kedai kopi sekitar pukul tujuh, aku juga jadi pelanggan pertama. Sudah beberapa pekan ini hari-hariku selalu berawal lebih pagi dari biasanya. Pukul enam lewat aku sudah stand by di depan laptop, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang baru start pada pukul sembilan pagi atau setengah jam lebih awal dari itu. 

Malam pun begitu, setelah salat Magrib, sembari menunggu Isya, aku mencicil pekerjaan. Setelah Isya aku break sebentar, baru lanjut lagi hingga pukul sepuluh atau lebih sedikit. Sebagai "bonus", aku sudah mengantuk berat sebelum pukul sebelas. Jika biasanya sering tertidur di atas pukul dua belas, akhir-akhir ini sudah pulas sebelum itu. Menonton Drakor pun selalu terlewatkan. Sudah tak sanggup lagi.

Aktivitasku hari ini kumulai dengan memosting beberapa berita ke website. Setelah itu membuat catatan hasil pertemuan sore kemarin dan mengirimkannya ke grup. Dua hal itu kuanggap penting dan mendesak. Barulah setelah itu aku menyunting dan menyiapkan konten untuk postingan di akun medsos yang akan diposting siang atau sore nanti. Pagi tadi sebelum keluar rumah, sudah ada satu konten yang tayang. 

Sembari mengerjakan itu, proses chit-chat dengan teman, rekan kerja, atau narasumber tetap berlangsung melalui WhatsApp. Inilah enaknya bekerja antarlayar. Pada satu waktu bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus alias multitasking. Meskipun, sehabis itu biasanya terasa lelah luar biasa. Sebab pada waktu yang bersamaan otak kita dipaksa untuk mengorganisasikan beberapa hal sekaligus. Data dan informasi berbeda yang harus dihadirkan otak dalam waktu bersamaan memberinya beban ekstra. Tetapi, begitulah hebatnya otak kita. 

Selesai membuat konten, aku mencicil menyunting tulisan untuk sebuah buku antologi. Ketika tulisan kedua hampir rampung, masuk pesan dari seseorang. Ia memastikan apa hari ini aku jadi datang ke tempatnya. Ya, Allah, aku benar-benar lupa kalau kemarin aku membuat janji temu dengannya hari ini. Syukurlah kemarin belum ada kepastian soal waktu.

"Pukul sebelas bisa, ya, Bu? Sekarang saya sedang ada pekerjaan," balasku buru-buru.

Masih ada tiga per empat jam lagi sebelum pukul sebelas. Aku segera merampungkan suntingan yang tinggal sedikit lagi. Pukul setengah sebelas aku harus sudah bergerak. Benar saja, aku tiba di rumah ibu tersebut tepat waktu. Ia menyambutku di rumahnya yang sederhana. Rumah itu adalah bantuan dari salah seorang anggota legislatif melalui dana pokok pikirannya. Kami banyak mengobrol tentang kegembiraannya bisa mendapatkan rumah tersebut sehingga kini ia punya tempat tinggal yang layak huni. Baginya punya rumah seperti mimpi, tapi ia juga yakin bahwa tak ada yang tak mungkin bagi Allah untuk mewujudkan.

Kami juga mengobrol tentang harga beras yang naik gila-gilaan. "Sanggup beli beras, tak sanggup beli ikan," begitulah ucapnya.

Aku setuju. Sekarang, harga-harga barang memang pada melambung. Mulai dari beras hingga minyak, mulai dari bawang hingga ikan. Kami mengobrol tak lama, hanya sekitar tiga puluh menit. Aku pun tak ingin berlama-lama karena perutku terasa nyeri akibat datang bulan. Dalam perjalanan pulang, tetiba aku teringat pada semangkuk mi laksa yang pernah kucicip di kafe ini. Sebelumnya, pernah dua kali aku datang, tapi stok mi sedang kosong. Aku pulang dengan setengah sebal saat itu. 

Hari ini aku datang lagi, tapi justru memesan yang lain. Selain karena ketiadaan daging iris yang sempat memengaruhi mood-ku untuk makan, ternyata lidahku memang lebih cocok dengan laksa atau yang cheese. Kupesan juga segelas minuman berwarna biru dengan campuran soda, es batu, dan setangkai daun mint. Segar benar meneguk ocean squash untuk hari yang terasa menyengat.



Sembari menunggu pesanan mi, aku bisa menyelesaikan dua suntingan lagi. Ah, berarti tinggal empat tulisan lagi. Aku janji menyelesaikannya maksimal hingga hari Selasa. Semoga esok tuntas semua. 

Memasuki bulan Agustus ini, hari-hariku memang terasa sangat padat. Hingga saat ini, masih ada satu buku yang mesti kurevisi dan kusiapkan daftar pustakanya untuk proses cetak ulang; menyelesaikan beberapa bab tulisan lagi untuk buku yang sudah kujanjikan untuk diluncurkan pada akhir Oktober nanti. Dua pekerjaan ini masuk daftar penting dan mendesak karena berburu dengan tenggat. Juga, beberapa hasil liputan yang tulisannya bahkan belum kusiapkkan, termasuk satu liputan pada Juni lalu. 

Usai menghabiskan semangkuk mi, aku pun menyusun jadwal untuk sepekan ini. Esok, Minggu (10/8) dimulai dengan rapat persiapan FGD yang rencananya bakal digelar pada tgl 12 atau 13 Agustus. Hari Rabu pagi (13), aku punya agenda siniar untu pre-launching buku Berdamai dari Senjata Berkonflik dalam UUPA yang akan diluncurkan pada 15 Agustus--bertepatan dengan 20 tahun perdamaian Aceh. Di hari Jumat itu, sorenya aku juga sudah ada agenda menjadi pemantik diskusi film Peace Generation yang juga dihajatkan untuk memperingati dua dekade damai Aceh. Sebelum itu, pada hari Kamis, undangan untuk agenda yang sama juga sudah ada. 

Selama empat bulan terakhir nyaris tak ada yang berubah dari ritme kerjaku. Yang berbeda mungkin, kini tak ada lagi yang menyapa atau sekadar merecoki ketika aku bekerja. Atau, aku yang bahkan tanpa ditanyai pun akan bercerita sendiri. Tanggal lima belas nanti, tepat empat bulan ia pergi. Saat menyantap mi seperti tadi, sambil mendengar lagu-lagu mengalun lembut, perasaan sentimental hadir seketika. Atau, saat menulis catatan ini, tiba-tiba aku terkenang pada pesan-pesannya yang menguatkan. Selain karena takdir Tuhan, aku percaya, bahwa dukungannya begitu besar hingga aku berada pada titik ini.[] 

Rabu, 07 Mei 2025

Life Begin at Fourty



Life begins at forty katanya. Hidup dimulai saat usia empat puluh tahun. Jika demikian, berarti inilah hari pertama aku "memulai" hidupku. Karena pada hari ini, hari usiaku genap empat dekade. Setidaknya begitulah jika aku mengacu pada usia resmi yang tertera di berbagai dokumen administrasi kependudukan. Karena adminduk itu pula, usia produktifku menjadi lebih pendek. Namun, karena itu pula aku bisa curi start untuk sekolah lebih awal.

Semula aku berniat untuk "merayakan" momen istimewa ini dengan pergi ke kafe. Aku akan memesan (mungkin) secangkir red velvet atau latte dan sepotong keik. Nyatanya, aku (kembali) terdampar di sebuah warung kopi yang dalam beberapa waktu terakhir lebih sering aku kunjungi (justru) karena sepi pengunjung. Seperti biasa, aku pun memesan secangkir kopi dan mengudap beberapa kue.

Barangkali, inilah esensi menjadi seorang manusia "paruh baya". Lebih menyukai tempat yang tenang, alih-alih tempat yang ramai nan bising. 

Menyadari bahwa usiaku kini tak muda lagi, hal pertama yang kulakukan adalah bersyukur. Bersyukur karena seluruh pancaindraku masih berfungsi dengan baik; bersyukur karena nyawa masih bersarang di dalam tubuh ini; bersyukur masih menemukan ucapan-ucapan selamat ulang tahun dari satu dua orang teman saat bangun tidur.

Tak ada yang begitu luar biasa dari hidupku, tapi kalau kupikir-pikir, apa yang kualami selama hidupku agak kompleks juga. Tak ada pencapaian yang luar biasa. Prestasi akademikku sejak sekolah dasar hingga kuliah tidak menonjol--kalau tidak dibilang gagal. Bahkan profesi yang kulakoni saat ini bisa dibilang efek dari sebuah "kecelakaan", tapi aku sangat menikmati kecelakaan ini. Kuanggap ini sebagai berkah atas keinginan masa kecilku untuk menjadi berbeda dari orang-orang di sekitarku.

Namun, kalau boleh sedikit berbangga diri, aku ingin mengapresiasi diriku sendiri. Sebelum usiaku benar-benar genap empat puluh tahun, aku berhasil "menyematkan" gelar sarjana di belakang nama adik bungsuku. Satu-satunya adik perempuanku. Sebagai anak sulung, mungkin aku akan selalu merasa bersalah jika tak mampu menyekolahkan adikku hingga ke perguruan tinggi.

Aku juga sudah berhasil membangun ulang rumah kami sehingga kini kami kembali punya tempat bernaung. Bagi sebagian orang, membangun rumah mungkin suatu hal yang biasa. Normal. Tidak untukku. Aku mengerahkan segala daya dan upaya demi mewujudkan rumah (impian) tersebut. Aku menahan banyak keinginan pribadi agar bisa menabung. Karena itu aku merasa menjadi sangat berguna sebagai seorang anak. 

Barangkali hanya dua itu prestasiku yang menurutku cukup "bermartabat". Yang membuat 'ke-a-d-a-a-n-ku' mendapat pengakuan dari orang-orang sekitarku. Selebihnya, aku hanyalah sehelai daun yang tetap bergerak karena terjebak di arus yang deras. Sering aku hampir tenggelam, tetapi kemudian terapung kembali.

Aku bersyukur, hingga usiaku yang sekarang, Allah senantiasa menyehatkanku. Tak sekali pun aku pernah merasakan rawatan rumah sakit. Semoga Allah terus menjagaku. Semoga Allah terus menyehatkanku. Dan semoga aku bisa menjaga diriku dengan sebaik-baiknya sebagai wujud syukurku atas karunia Allah.

Memasuki usiaku yang sekarang, ada beberapa hal yang kulakukan sebagai memijak "anak tangga" baru. Pertama, aku memutuskan untuk kuliah lagi. Kuliah di prodi yang sejak dua dekade silam aku inginkan. Untuk orang-orang seusiaku, apalagi dengan aktivitasku sekarang, kuliah bukan lagi untuk mencari gelar akademik, melainkan untuk "memberi makan" ego yang terselubung di dalam diriku. Aku selalu percaya dan meyakini, hidup akan terus berwarna selama kita menemukan hal-hal atau pengetahuan baru. Kuliah adalah salah satu cara--untuk saat ini--yang bisa kulakukan untuk mewarnai hidupku yang kompleks ini.

Kedua, aku memutuskan untuk bergabung dengan sebuah media daring baru. Setelah tiga tahun "berhibernasi" dari media daring yang terbit harian, aku tergelitik lagi untuk menikmati hal-hal semacam itu. Saat mendapatkan tawaran pada Ramadan lalu, aku bahkan tak meminta waktu untuk berpikir. Aku langsung memutuskan untuk mau dan bilang iya. Pada akhirnya, aku sadar,  segala sesuatu yang kulakukan selama ini bukan karena "apa", melainkan karena "siapa". Sering aku bertahan dalam satu kondisi karena faktor siapa itu tadi.

Memaknai Kehilangan

Namun, ini kali pertama aku mengingat tanggal lahirku dengan kesedihan. Mendung menyelimutiku seharian ini. Dadaku terasa penuh saat aku menuliskan ini. Ini pertama kalinya aku tidak mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari seseorang, bukan karena ia tak mau mengucapkan, tetapi karena orang tersebut sudah tak ada. Juga bukan ucapan selamat ulang tahun yang kuharapkan ada darinya, melainkan sapaan yang membahagiakan. 

Menjelang siang tadi, saat aku menceritakan perihal rasa kehilanganku pada seorang teman, aku mengatakan, "Ternyata ada orang-orang yang bahkan setelah dia enggak ada pun, kita masih mengingatnya." 

Orang itu, tentulah sangat berkesan di hati, keberadaannya berarti, dan kehilangannya menghadirkan jeri. Lagi-lagi aku bersyukur karena teman tersebut bisa memahami. Responsnya memvalidasi rasa kehilangan yang aku rasakan selama hampir dua bulan ini. Dan hanya padanya, menceritakan apa yang sebenar-benarnya teralami tak memunculkan rasa bersalah dalam diri ini.

Malam sebelumnya aku menuliskan secarik isi hatiku:

Hei, kamu ... 

Apa kabarmu? 

Aku ingin bercerita, tapi besok saja, ya. 

Aku ingin ketemu, tapi tak mungkin lagi, ya. 

Senyummu tetap menawan dalam ingatanku. 

Tuturmu tetap lembut dalam pikiranku. 

Tindakmu tetap santun dalam kenanganku. 

Ah, beginikah rasanya kehilangan? 

May, 06, 2025: 01.42.03 WIB

Yang menakjubkan, malam itu aku memimpikan dia. Pertama kalinya ia hadir sebagai mimpi sejak ia pergi dari kefanaan ini. Dalam mimpi itu ia memintaku untuk menunggu. Syukurlah, ia hanya memintaku menunggu. Bukan mengajakku pergi. Jika tidak, mungkin catatan asal-asalan ini tak pernah ada ....[]


Selasa, 15 April 2025

Kau Pergi dengan Membawa Segala Kenangan tentang Kita

Hari ini sebulan yang lalu, kau pergi dengan membawa segala kenangan tentang kita. Aku terlampau bersedih hingga tak sanggup menuliskan apa pun untuk "mengantar" kepergianmu ketika itu. Kecuali hanya beberapa potong kalimat. Hari ini, sedihku telah berkurang, tetapi justru kerinduanku yang semakin bertambah.

Nyaris setiap hari aku membuka kotak pesan darimu. Entah untuk melihat pesan-pesan bercentang satu yang (tetap) kukirimkan untukmu. Entah sekadar untuk membaca ulang pesan-pesan terdahulu. Yang pasti, di sana masih terdapat foto terakhirmu yang kau kirim untukku. Kau berada di sebuah resto, sedang menyuap nasi berwarna kuning yang dimasak dari beras basmati. Kau bilang itu nasi kebuli. Menggugah seleraku saat kau kirimkan foto itu. 

Setiap kali membuka kotak pesan itu, aku berharap centangnya menjadi ganda. Atau mungkin pesanku kemudian berbalas. Sekalipun bukan olehmu. Seperti pagi itu, sebulan yang lalu, aku sedang berolahraga di taman seperti biasa. Kusempatkan buka WhatsApp untuk melihat pembaruan terkini dari daftar kontak. Ada pembaruan darimu. Sebuah foto yang memperlihatkan seseorang terbaring di ranjang pasien rumah sakit. Di ruang ICU. Sebuah monitor menunjukkan angka-angka tertentu. Juga ada alat bantu napas yang dipasang pada tubuh pasien. Tak begitu kuperhatikan wajah yang terhalang oleh selang alat bantu napas itu sehingga kulewatkan pembaruan itu.

Awalnya tak sedikit pun terpikir kalau itu kamu. Namun, saat aku melihat pembaruan kedua, tertera sepotong kalimat yang memanjatkan doa berharap kesembuhan. Namamu tercantum di sana. Refleks aku menutup mulutku yang ternganga. Air mataku tumpah. Kulihat lagi pembaruan pertama. Ku-reply segera pembaruan itu, "Abang sakit?"

Begitulah aku bertanya. Dengan bahasa sehari-hari yang biasa kupakai saat mengobrol denganmu. Dengan harapan, kamu sendiri yang akan membalas pesan itu nantinya. Pesan itu berbalas kemudian, tetapi bukan kamu yang membalasnya. Hari-hari berikutnya, aku hanya bisa menunggu ada kabar baik mengenai kondisimu. Dan itu sungguh menyiksa. Selama itu pula, aku terus berdoa. Semoga kita masih sempat bertukar cerita. Semoga kita masih sempat bersua wajah.

Aku mendoakan kesembuhanmu dengan caraku sendiri. Setiap usai salat, selalu kubacakan surah Yasin. Aku berharap fadilahnya sampai kepadamu: menyadarkanmu; menyehatkanmu kembali. Namun, empat hari kemudian, yang kudapati justru sebuah kabar duka. Kau pergi, meninggalkan aku; meninggalkan segala yang ada pada kehidupan fana ini; meninggalkan orang-orang yang mencintai dan menyayangi kamu.

Matamu mengatup untuk selamanya. Napasmu berhenti untuk seterusnya. Jantungmu tak lagi berdenyut sejak dokter menetapkan waktu kepergianmu: Sabtu, 15 Maret 2025, pukul 00. 25 WIB. Pancaindramu tak lagi berfungsi. Nyawamu terlepas dari jasad, pergi menghadap Sang Pemilik Kehidupan. 

Kau pergi bertepatan dengan 15 Ramadan 1446 Hijriah. Aku melihatmu terakhir kali juga pada saat Ramadan. Ramadan yang lalu. 1445 Hijriah. Saat kuingat-ingat lagi, kita pertama kali saling mengenal di bulan Maret, kau pun pergi di bulan Maret. Kita saling kenal di tahun 2005 dan terpisah di tahun 2025. Itu sudah dua puluh tahun yang lalu. 

Aku pernah, bahkan sering menangisimu, tetapi menangisi kehilanganmu seperti itu sangatlah menyesakkan. Semakin aku menangis, semakin satu per satu kenangan tentangmu muncul. Senyummu yang selalu memesona melayang-layang di sekitar mataku. Tutur katamu yang selalu lembut, saat itu rasanya justru begitu bising di telingaku. 

Bahkan kau yang kulihat terakhir kali tahun lalu, rasanya semakin jelas dalam ingatanku. Kau yang bergamis putih, menunggu hadirku di bawah tenda di pekarangan rumah. Tenda yang dipasang untuk menerima pengunjung yang melayat atas kepergian saudaramu. Kau menyongsong dengan sepasang sayap yang merentang. 

Apakah kepergianmu tak boleh kutangisi? Boleh, kan? Bagaimana mungkin aku tak bersedih. Bagaimana mungkin aku tak menangis. Saat kusadari kini, ternyata kamu masih terlalu berarti untukku. 

Tahun lalu, pada pertemuan terakhir kita, terasa kini semacam reviu atas hari-hari kita yang sudah-sudah. Bukan hanya itu, kau pun seperti mereviu kembali kehadiranmu sebagai seseorang di dunia ini. Kau bercerita tentang dari mana orang tuamu berasal, di mana mereka pernah tinggal, dan di mana akhirnya mereka menetap. Kau jabarkan di mana kau lahir, tumbuh, dan besar. Obrolan yang intens.

Kau telah pergi, dengan membawa segala kenangan tentang kita. Apa yang kini bisa kukatakan selain selamat jalan, Zenja? Doa-doa untukmu terus kupanjatkan. Semoga Allah mendengar dan menerima doaku. Aku mengingatmu sebagai orang baik yang penuh kasih. Sebagai orang dewasa yang membantuku berproses dan bertumbuh. Yang selalu mendukungku dan senantiasa mengingat hari ulang tahunku.

Waktumu telah tiba, meskipun kau belum begitu tua untuk pulang ke sana. Tapi begitulah takdir, begitulah maut, cepat atau lambat tak sedikit pun ditentukan oleh usia. Masih banyak cerita yang kusimpan, belum sempat kusampaikan padamu karena aku masih menunggu waktu yang tepat. Ternyata waktu yang tepat itu tak pernah ada. Semua cerita itu kini telah kuterbangkan ke angkasa. Semoga kau bisa menemukan salah satunya. Ada atau tidaknya kamu, aku selalu ingin menjadi yang kau banggakan ....[]


Sabtu, 01 Maret 2025

Selamat jalan, Black

Black (kanan) bersama Cleo.


Selamat jalan, Black.

Terima kasih sudah bertahun-tahun bersama kami.

Kau hadir sebagai pelipur di tengah kebosanan saat pandemi melanda.

Kerincingan di lehermu yang riuh saat menyambut kami pulang akan selalu jadi kenangan.

Kamu kucing yang manis, manja, tetapi tidak rewel.

Tatap pandangmu selalu teduh

Ekormu yang superpendek begitu lucu

dan “kaus putih” di kakimu itu menjadikanmu semakin istimewa bagi kami.

Black, kemarin kamuu masih bersama kami. Kau memang sakit dan tampak lemas, tapi bukankah setiap Ramadan kamu selalu sakit? Hingga tak sedikit pun kami curiga bahwa ini sakit yang akan mengantarmu pada peristirahatan terakhir.

Kemarin siang aku mendengar suaramu yang memilukan. Menyayat hatiku. Apakah kau bermaksud memberi tahu?

Black, sering kudengar cerita-cerita tentang kucing-kucing yang mau meninggal justru meninggalkan rumahnya, supaya pemiliknya tidak sedih dan berduka.

Tapi kamu justru membiarkan kami menyaksikan kepergianmu. Di waktu subuh di hari pertama Ramadan.

Kaki Black usai tak bernyawa lagi, 1 Maret 2025.


Black, ternyata kepergianmu bisa bikin patah hati.

AKu menguburkanmu pagi ini. Kugali tanah dengan cangkul dengan keringat dingin mengucur. Antar capai dan sedih. Kubalut jasadmu dengan kain putih dari Bu De. Kumassukkan kamu ke liang itu dan kututup dengan tanah. Tak lama kemudian hujan turun, seperti melengkapi rasa sedihku.

Kami nelangsa sekali. Kupikir, kehilangan kamu yang seekor kucing takkan sebesar ini, tapi rasa aku patah hati.


Beristirahat dengan tenang ya, Black.

Sabtu, 15 Februari 2025

Rumah untuk Pulang

Rumah kita yang belum sempurna, tapi kehadirannya sangat-sangat membahagiakan.
 

Assalamualaikum, Ayah.


Ayah, 

per 16 Januari 2025 sudah 17 tahun Ayah berpulang. Usiaku belum terlalu matang ketika Ayah pergi, tetapi pelan-pelan, aku yang tadinya meraba-raba dan gamang bisa berdiri dengan tegak. Sepeninggal Ayah, banyak yang terjadi di rumah kita dan itu semua membuatku semakin memahami apa artinya menjadi dewasa. Mengingat betapa Ayah begitu "memanjakan" aku dulu, kupikir aku tak bisa semandiri ini. Namun, cinta Ayahlah yang membuatku menjadi seperti sekarang. Ayah kebanggaanku dan akan selalu begitu.


Ayah, 

aku ingin bercerita. Kali ini, cerita yang membahagiakan. 


Sebentar lagi Ramadan, Yah. Berbeda dengan tahun-tahun yang telah lalu, Ramadan ini akan menjadi istimewa karena kami, khususnya Mamak, akan menyambutnya dengan ber-makmeugang di rumah. Itu artinya, kami bisa "dekat" lagi dengan Ayah.


Rumah kita tampak dari belakang, Yah. Dapurnya tak lagi sebesar dulu, tak apa kan, Yah?


Ayah,

rumah kita yang pada 14 Maret 2017 dibakar orang sudah kubangun lagi. Sudah utuh kembali. Meski belum sempurna, tapi aku senang karena akhirnya Mamak dan adik-adik jadi punya rumah (lagi) untuk pulang. Betapa bahagianya melihat senyum mereka. Pun aku, yang sejak SMP sudah kos di rumah orang, sejatinya selalu merindukan rumah untuk pulang.


Ayah,

kini aku bisa merasakan kebahagiaan yang dulu pernah Ayah rasa. Ketika pertama sekali Ayah berhasil membangun rumah kita yang pertama--di tengah huru-hara negeri kita yang mematikan harapan. Waktu itu aku sekitar kelas dua SMP. Betapa berbunga-bunganya hatiku saat setiap akhir pekan pulang ke rumah. Tidur di kamar sendiri di tempat tidur yang berkelambu. 


Kata Mamak, salah satu yang membuat Ayah bersegera membangun rumah adalah karena Ayah punya anak perempuan. Di rumah itu pula aku pernah menangis sambil menggelesot karena tak mau pulang ke tempat kos. Lalu Ayah membujukku pelan-pelan hingga akhirnya tangisku reda. Lucu sekali mengingat aku sudah SMP. 


Namun, rumah itu tak bertahan lama, huru-hara di kampung kita tak hanya merenggut harapan anak manusia, tetapi juga benda-benda yang mereka miliki. Bekas rumah itu sampai sekarang masih ada, sumurnya juga masih tetap mengeluarkan air. 


Lalu, setelah kita pindah ke kampung yang baru, Ayah kembali membangun rumah untuk kita bernaung. Rumah itu selesai saat aku kelas dua SMA. Rumah itu menjadi saksi atas banyak peristiwa. Di sumur di rumah kita itu, ada mantel Ayah yang kami "sembunyikan" setelah peristiwa besar yang terjadi di Kota Idi.


Setahun kemudian, aku pun (kembali) meninggalkan rumah untuk kuliah. Hari-hari menjelang aku berangkat ke Banda, saat aku menyapu halaman, sempat kucuri dengar obrolan Ayah dengan seorang tetangga. Ayah bilang, kelak jika pun Ayah pergi, Ayah sudah "tenang". Sudah ada rumah bagi kami untuk berlindung dari terik dan hujan; ada sepetak dua petak kebun yang sudah menghasilkan untuk bertahan hidup. Selebihnya, ilmulah yang menjadi penentu jalan hidup kami. Namun, manusia hanya bisa berencana, Allah lah yang paling tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.

Abu Wahab menepungtawari rumah kita pada pagi Kamis, 14 Februari 2025. Kami ahlibait turut dipeusijuek oleh Abu, Yah.


Ayah,

ketenangan seperti itulah yang (mungkin) kini menyelimuti hatiku. Aku yang selama bertahun-tahun menyimpan kegusaran, kini merasakan kelegaan luar biasa; ringan luar biasa. Aku sempat merasakan kehampaan karena rumah yang Ayah tinggalkan untuk kami pada akhirnya hilang dengan cara seperti itu. Sesungguhnya, yang paling berharga dari sebuah rumah adalah kenangannya. Kenangan bersama Ayah. 

Ini penampakan  ruang depan dan sebagian ruang tengah, Yah, yang kini telah lebih multifungsi: ada musala dan mezanine di atasnya yang terhubung ke rooftop. 


Ayah,

aku sangat sedih ketika Adek D tamat SMA dan dia tak punya rumah untuk pulang. Alhamdulillah, sekarang dia sudah tamat kuliah dan bisa melengkapi kebahagiaannya dengan bisa pulang ke rumah. Sebagai anak bungsu dan usianya masih sangat dini ketika Ayah pergi, Adek D tentulah yang merasa paling kehilangan. Ia memendam isi hatinya selama bertahun-tahun dan belakangan baru mulai berani ia sampaikan. Saat Ramadan atau Lebaran tiba, keceriaannya seperti tertahan. Semoga ke depan tak lagi begitu.


Ayah,

aku takjub pada cara Allah menggerakkan hati manusia, tepatnya hatiku. Selama bertahun-tahun aku tak pernah sedikit pun punya niat untuk membangun lagi rumah kita. Selain karena keterbatasan finansial, kupikir, kalau ada rezeki, sebaiknya aku membeli rumah di Banda saja. Tapi, selama bertahun-tahun itu pula aku memanjaatkan doa yang sangat khusus. Dan ketika niatku menjadi bulat untuk membangun kembali rumah kita pada pertengahan tahun 2023, aku yakin itu adalah jawaban dari Allah Swt. atas doa-doaku yang khusus itu. Semua takkan terjadi tanpa kehendak-Nya kan, Yah? 


Pada Desember 2023, aku pulang ke kampung untuk bertemu tukang, membicarakan biayanya, dan akhirnya berjabat tangan sebagai tanda "deal". Alhamdulillah, setelah setahun lebih sedikit, rumah kita akhirnya bisa ditempati. Bertepatan dengan 13 Februari 2025/14 Syakban 1446 Hijriah, Abu menepungtawari rumah kita dan malam hari sebelumnya ada samadiah untuk segala arwah. Semoga keberkahan selalu tercurahkan kepada keluarga kita, Yah.  


Mamak salat untuk yang pertama kalinya di rumah setelah ia meninggalkan rumah karena sakit usai Idulfitri tahun 2015. Ternyata itu sudah sepuluh tahun lalu ya, Yah?


Ayah,

tak ada yang berubah dari rumah kita dulu, aku hanya memperlebar sedikit dari dua kamar tidur utama dan ruang tamunya supaya sedikit lebih leluasa. Di kamar tempat Mamak tidur, aku tambahkan kamar mandi di dalamnya supaya mudah bagi Mamak jika ingin berwudu untuk salat malam. Di ruang tengah aku tambahkan mezanine dan di bawahnya aku jadikan musala supaya ada tempat khusus untuk salat. Aku juga memindahkan pintu samping di sisi kiri ke sebelah kanan untuk melancarkan sirkulasi udara dan cahaya matahari. Dulu Ayah ingin rumah punya kita ada teras, kan? Keinginan Ayah sudah kuwujudkan. 

Ini kamar mandi di kamar Mamak, Yah. Mamak sering mandi sebelum salat malam atau salat Subuh, Yah. Semoga keberadaan kamar mandi ini membuat Mamak semakin nyaman dan tenang beribadah.


Ayah,

aku sanggup karena doa-doa yang setiap malam dipanjatkan Mamak dalam salatnya. Doa-doa yang selalu disertai dengan isak tangis dan sering kudengar sayup-sayup di dalam tidurku. Bukankah doa seorang ibu tak bertabir?

Ini cucu Ayah, namanya Hurein Nazhifa Amina, anak Johan dan Zahra. Sebenarnya, Yah, aku menjadi mantap membangun lagi rumah kita setelah Dek Johan menikah pada Juli 2023. 


Ayah,

terima kasih sudah mendukungku dengan caramu. Terima kasih sudah hadir melalui mimpi-mimpiku untuk menguatkanku. Aku sangat bahagia, Yah, karena banyak sekali yang tulus menyayangiku, banyak yang mendoakan usahaku, dan banyak yang mendukungku. Semoga Allah Swt. membalas semua kebaikan itu dan memudahkan serta mengabulkan segala harap dan doa mereka. 



Agar terhubung dengan teras aku juga membuat jalan setepak serupa ini, Yah. Ini foto sebelum ditaruh batu.



Ayah,

saat aku menuliskan ini, aku sudah kembali ke Banda Aceh, mungkin ini saatnya aku fokus lagi untuk menyusun impian-impianku yang sempat tertunda (?)


(15/2/2025)

Sabtu, 07 Desember 2024

Merindukan Rumah untuk Pulang

Foto AI Generate (Bing)


Pada Agustus 2023, saya mengikuti pelatihan menulis memoar secara online yang diselenggarakan oleh panitia Balige Writers Festival sebagai prakegiatan puncak yang berlangsung pada Oktober 2023. Pelatihan tersebut diisi oleh dua pemateri, yaitu Danny Yatim dan Nuria Soeharto. Sebagaimana pelatihan pada umumnya, para peserta pun diminta untuk berlatih. Saya menuliskannya dengan penuh semangat.

Setelah lebih setahun tersimpan di laptop, hari ini, ketika saya sedang menikmati secangkir kopi hitam di sebuah kedai kopi di bantaran Krueng Aceh, saya kembali teringat pada tulisan tersebut. Maka, sebagai kenang-kenangan bagi masa depan, saya publikasikan tulisan tersebut di sini.

------------

 

SEWINDU sudah aku tak bisa merasakan “nikmatnya” berlebaran. Maksudku begini, jika Lebaran dimaknai sebagai sebuah ritual keagamaan: ada salat Id, ada salam-salaman dengan sanak saudara dan para tetangga, ada makan-makan, ya, tentu saja aku bisa menikmati semua itu. Namun, nikmat yang kumaksud ialah karena kami tidak berlebaran di rumah sendiri.

 

Dalam setahun ada dua kali Lebaran, dan selalu saja kami berpindah-pindah tempat untuk merayakannya. Paling sering di rumah Nenek di Teupin Raya, Kabupaten Pidie, yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan dengan mobil dari Banda Aceh—ibu kota Provinsi Aceh. Selebihnya, kami pernah berlebaran di Aceh Barat, sekitar lima atau enam jam perjalanan dari Banda Aceh.

 

Pernah juga berlebaran di Kota Sinabang, ibu kota Kabupaten Simeulue, sebuah pulau dengan nama yang sama di lambung Samudra Hindia. Pulau ini satu gugus dengan Kepulauan Banyak di Singkil, seterusnya hingga ke Nias di Sumatera Utara. Perjalanan menembus lautan dari Pelabuhan Calang hingga ke Pelabuhan Sinabang tak kurang dari empat belas jam. Itu kalau cuacanya normal. Melelahkan, tetapi kami anggap itu sebagai petualangan. Oh ya, kenapa kusebut kami, karena selain  aku, juga ada Ibu dan Adik.

 

Kalau mau lebih pendek waktunya di kapal, kami bisa menyeberang dari pelabuhan di Aceh Selatan, tetapi harus menempuh perjalanan seharian dari Banda Aceh ke Aceh Selatan. Sama saja!

 

Kalian mungkin bertanya-tanya, mengapa harus pindah-pindah begitu? Jawabannya satu: karena kami tak punya rumah.

 

Aku yang sejak SMP harus indekos demi melanjutkan sekolah ke ibu kota kecamatan, dan telah berdomisili di Banda Aceh selama dua dekade, selalu mendambakan rumah untuk pulang. Waktu SMP aku pulang ke rumah sepekan atau dua pekan sekali. Pulang, yang artinya bisa bertemu dengan ayah dan ibu, bermain dengan adik, bersantap dengan lauk-pauk buatan ibu, sangatlah membahagikan. Aku benar-benar menemukan kehangatan di rumah.

 

Itu sebabnya, ketika rumah kami terbakar pada 2017 lalu, hatiku benar-benar hancur. Aku tak punya lagi tempat untuk pulang. Lebih dari itu, dengan terbakarnya rumah itu, ada banyak kenangan yang hilang. Terutama kenangan bersama Ayah. Ya, karena rumah itu dibangun oleh Ayah dengan susah payah. Ia mempertaruhkan tidak saja tenaga dan materi, tetapi juga nyawanya agar rumah itu bisa berdiri.

 

Rumah itu tidak kecil, meskipun tidak begitu besar. Namun, cukup leluasa untuk kami tinggali berenam. Ada tiga kamar tidur, satu ruang tamu, dua ruang keluarga, dan satu ruang dapur. Halamannya luas. Selalu bersih dan penuh dengan bebungaan. Letaknya di tengah persawahan yang berbatasan langsung dengan jalan utama desa. Angin bisa masuk dengan leluasa dari jendela-jendela besar yang ada di setiap sisi rumah. Membuat suasana di dalam rumah jadi terasa sejuk.

 

Saat musim tanam padi tiba, pemandangan di sekitarnya benar-benar bikin terpesona. Hijau menyegarkan di awal-awal musim tanam dan kuning yang memancarkan harapan menjelang masa panen tiba. Di halaman rumah ada gazebo yang selalu menjadi tempat favorit untuk mengaso di siang hari. Terutama bagi orang-orang yang bekerja pada Ayah.

 

Rumah kami berada di sebuah desa di Kabupaten Aceh Timur. Itu rumah kedua yang dibangun ayah dalam rentang waktu hanya tiga tahun. Dibangun di tahun 2000-an di tengah kemuncak konflik yang saat itu sedang gila-gilanya di Aceh. Saat aku kelas dua SMP, ayah baru saja selesai membangun rumah di desa lain. Agak jauh ke arah selatan dari desa tempat rumah kedua didirikan. Rumah yang terpaksa dibongkar karena desakan situasi keamanan yang semakin mencekam. Bahkan cat yang melapisi dindingnya pun belum hilang baunya.

 

Aku masih ingat betul bagaimana cara kami meninggalkan rumah itu. Waktu itu tahun ‘99, aku baru tamat SMP dan sedang persiapan masuk SMA. Uhm, rasanya kurang tepat menyebut “persiapan” sebab memang tidak ada persiapan apa pun yang kulakukan. Hanya mendaftar bermodal surat keterangan tamat SMP. Di rumah hanya ada aku dan Ayah, sebab ibu dan dua adikku sudah pergi ke Kabupaten Bireuen, menjenguk kakek yang sakit parah.

 

Tiba-tiba keadaan menjadi "panas" karena munculnya surat kaleng yang meminta agar masyarakat meninggalkan desa. Khususnya bagi warga yang beretnis Jawa. Meski keluarga kami asli Aceh, kami tetap pergi meninggalkan desa. Siapa yang bisa menjamin keselamatan kami jika tetap bertahan di sana?

 

Ayah lantas menyuruhku membereskan barang-barang. Aku memasukkan gelas dan piring ke dalam ember; mengemasi pakaian dan membungkusnya dengan kain. Aku bingung. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, terutama ketika Ayah tidak di rumah.

 

Ayah punya satu mobil Chevrolet tua warna biru yang ia beli sekitar satu tahun sebelumnya. Mobil itu sangat berguna bagi Ayah yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi. Dengan mobil itu ia mengangkut hasil ladang seperti kopra atau kakao (biji cokelat) untuk dijual ke ibu kota kecamatan.

 

Di tengah situasi itu, rupanya jasa Ayah sebagai pemilik Chevrolet sangat diperlukan. Ayahlah satu-satunya yang punya mobil di kampung kami. Jadi, saban hari Chevrolet itu mengangkut barang-barang warga yang hendak mengungsi ke kota. Ketika kami meninggalkan kampung, rumah-rumah warga sudah banyak yang kosong. Jalanan sangat lengang. Bahkan angin pun seolah enggan berkesiur.

 

Semula Ayah tak berniat membongkar rumah itu, ia masih punya harapan keadaan akan segera kondusif dan kami bisa kembali pulang. Rupanya, alih-alih semakin membaik, keadaan justru semakin memanas. Bahkan rumah wawak (kakak Ayah) yang bersebelahan dengan rumah kami dibakar orang tak dikenal. Hangus jadi arang. Setelah itulah Ayah segera membongkar rumah semipermanen itu dan memindahkannya pada sebidang tanah di kampung yang sekarang kami tinggali.

 

Selain sebagai pedagang, Ayah juga punya sedikit kebun. Meski sudah mengungsi ke desa lain, kami tetap pergi ke desa yang lama untuk memetik hasil kebun. Dengan hasil kebun itulah kami bertahan hidup. Kami mulai beradaptasi dengan segala kekacauan itu, misalnya, saat hendak ke kebun tidak pergi sendiri, tetapi perlu mengajak teman. Teman itu, alangkah lebih baik lagi jika perempuan. Kalau nekat pergi sendirian atau semuanya lelaki, apabila kepergok dengan si baju hijau di kebun, bisa-bisa dianggap sebagai gerilyawan. Kalau sudah begitu, bisa habis kita!

 

Maka Ayah selalu mengajak Ibu setiap kali ke kebun. Sesekali dia mengajakku. Begitu juga bapak-bapak yang lain. Istri-istri mereka menjadi tameng. Begitulah peran perempuan di kubangan konflik. Terkadang kami pergi ramai-ramai dengan para tetangga di desa yang lama. Perginya, ya, dengan Si Biru yang dikemudikan Ayah. Pernah suatu sore, saking penuhnya muatan, Si Biru terjerembab di kubangan lumpur.

 

Dengan sisa-sisa kayu dari rumah lama itulah Ayah kembali membangun rumah kedua. Agar kami yang sudah sekian lama homeless ini bisa punya rumah. Kelak setelah rumah itu selesai dibangun, pada suatu sore di tahun 2002, menjelang keberangkatanku untuk kuliah ke Banda Aceh, Ayah pernah mengatakan pada seorang tetangga, “Kalau saya pergi nanti, setidaknya anak-anak sudah punya rumah sebagai tempat berteduh.”

 

Enam tahun kemudian Ayah pergi untuk selama-lamanya. Ia meninggal dunia di usia yang sangat muda: 45 tahun. Sejak saat itu, saya sebagai anak sulung merasa perlu mengambil semua tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Lalu, rumah yang selama ini menaungi kami dari hujan dan terik itu pun terbakar. Setelah sejak 2015 ditinggalkan sementara oleh Ibu yang sakit dan dibawa berobat ke Banda Aceh. Sejak itu pula, kami tak pernah berlebaran di rumah dan Lebaran tak pernah sama lagi nikmatnya bagiku.[]

Selasa, 27 Agustus 2024

Pertemuan Demi Pertemuan



Hidup ini, sejatinya dibangun dari pertemuan demi pertemuan, bukan? Namun, yang menjadi pertanyaannya, sejauh apa kita bisa menjadikan setiap pertemuan itu bermakna? Karena, sering kali, di antara pertemuan demi pertemuan itu, yang banyak justru mendatangkan kecewa dan luka.

Setiap manusia punya hati. Tapi, hati yang kumaksud tentulah bukan sebuah organ yang memiliki fungsi untuk membantu proses metabolisme di dalam tubuh kita. Hati yang kumaksud, adalah sesuatu yang tak terlihat, tak tersentuh, tetapi ada. Ketika kita merasa sakit, nyerinya sulit sekali untuk pulih. 

Aku selalu penasaran, bagaimana jika manusia tidak punya "hati"? Apakah hidupnya akan lebih baik karena tidak bisa "merasai" apa pun yang melukainya? Atau, justru karena itulah kita akan semakin sakit. Karena tak bisa merasakan apa-apa.

Rasa sakit itu, kenapa sukar sekali sembuh? Sekuat apa pun aku berusaha, mengapa rasanya selalu seperti kembali ke titik semula. Di satu titik di perjalanan terjauh ini, aku berulang kali bertanya pada diriku sendiri. Kapan aku akan merasa baik-baik saja?

Kupikir aku sudah tak punya waktu lagi untuk bersedih. Untuk merasakan sebilah sembilu mengiris-ngiris perasaan dan hatiku. Untuk merasa, bahwa aku ternyata masih bisa terluka. Ternyata, kesibukan demi kusibukan, yang terkadang kupaksakan itu, hanya membuatku teralih sebentar saja.

Tuhan, aku tahu kamu telah memelukku. Erat. Begitu erat. Kau telah menghiburku dengan banyak hal. Tapi, apakah ini cara-Mu untuk menghilangkan semua bintik-bintik noda di hidupku? Bukankah dari setiap rasa kecewa, rasa sakit, atau ketidaknyamanan yang seorang hamba rasakan, adalah sebentuk kasih sayang dari-Mu?

Tuhan, Kau Mahatahu tentang apa yang terjadi hingga sejauh perjalanan hidupku. Tapi, biarkan aku tetap bercerita. Selalu dan selalu. Aku hanya ingin bersandar, sambil meresapi sisi terhalus perasaanku. Kurasakan betapa nyeri ini terasa nyeri. Mengalir perlahan merambati rongga-rongga di dadaku. 

Hidup ini, sejatinya dibangun dari pertemuan demi pertemuan, bukan? 

Senin, 06 Mei 2024

Make Your Priority

www.duperrin.com


Make your priority adalah cara yang saya terapkan untuk membuat hidup saya tetap seimbang. Sebagai orang yang cenderung introvert, saya memang lebih suka menikmati kesendirian. Terasa menyenangkan ketika sendiri dan interaksi dengan orang lain lebih terbatas. 

Namun, aktivitas membuat saya harus bertemu dengan orang orang. Basi-basi bukanlah tindakan yang terlalu saya sukai. Dan jika saya paksakan, adakalanya menjadi garing. Interaksi yang berlebihan terkadang membuat saya lelah. 

Itu sebabnya, di akhir pekan saya lebih suka menghabiskan waktu di rumah. Tidur adalah aktivitas yang paling saya sukai. Saya tak pernah merindukan pantai sebagai tempat melepas lelah. Saya juga tak pernah mengidamkan tempat semacam mal untuk menghabiskan waktu. 

Saya selalu mencari kedai kopi yang tak begitu ramai untuk saya kunjungi. Saya lebih suka berdiam lama di satu tempat, ketimbang bergerak dari satu tempat ke tempat lain dalam durasi yang cepat. Saya lebih suka mengobrol deep dengan hanya satu atau dua orang, ketimbang haha hihi dengan banyak orang sekaligus.

Teman dekat saya hanya berbilang jari. Dan di antara itu, hanya satu dua saja yang sangat-sangat intens berkomunikasi. Saya tidak menutup diri untuk menjalin pertemanan dengan orang-orang baru. Tapi itu artinya, semua harus dimulai dari nol. Dan hanya dengan mereka yang sangat intens itulah saya berbagi tentang banyak hal, terutama terkait dengan pekerjaan yang memang jarang sekali saya ceritakan pada siapa pun. 

Orang-orang seperti saya, mungkin, bukanlah orang yang pandai menunjukkan antusiasme. Saya tak punya idola dalam bidang apa pun. Buat saya, semua orang punya sisi menarik, pada saat yang bersamaan juga punya sisi sebaliknya. Mengidolakan orang-orang tertentu hanya membuat bingung. Menambah beban. Karena itu artinya kita harus selalu update tentang perkembangan orang tersebut, bukan tak mungkin mengikuti apa yang mereka lakukan yang belum tentu cocok dengan kita.

Bagaimana saya membuat prioritas? Yakni berdasarkan konsep empat kuadran: penting dan genting; penting dan tidak genting; tidak penting dan genting; tidak penting dan tidak genting. Kuadran ini saya dapatkan ketika saya masih aktif mengikuti kelas-kelas pengembangan diri di suatu komunitas. 

Dengan berpatokan pada kuadran ini, saya tidak akan merasa bersalah ketika menolak ajakan untuk ngopi sementara di saat yang sama ada deadline pekerjaan yang saya mesti tuntaskan. Saya pilih yang kedua. Di waktu berbeda, saya memilih minum kopi dengan kawan ketimbang menemani ibu berkunjung ke rumah keluarga. Minum kopi dengan kawan adalah salah satu cara saya menjaga relasi. Relasi penting bagi perjalanan karier saya. Karier penting untuk eksistensi saya sebagai manusia. Berkat eksistensi itulah Allah membuka jalan rezeki saya. Realistis sekali, ya? :-)

Begitulah hidup. Saya menyadari hidup sebagai sebuah perjalanan yang penuh konsekuensi. Wajar jika di setiap titik perjalanan itu kita ingin meninggalkan jejak yang berkesan bagi orang lain. Dan karena itulah kita berhak memutuskan untuk bertemu dan berelasi dengan siapa, mendengar apa, melihat apa,  dan melakukan apa. 

Hal yang selanjutnya menjadi pertanyaan adalah apakah tidak pernah bertemu dengan orang yang salah? Melakukan kesalahan? Melihat dan mendengar yang tidak ingin kita dengar dan kita lihat? Justru sering. Saking seringnya saya lupa ada berapa banyak. Dan saya tak ingin menyesalinya tanpa berbuat apa apa.[]

Sabtu, 23 Maret 2024

Idi Lautan Api



Penampakan Simpang Empat (Simpang Peut) Kota Idi Rayek, Aceh Timur. Saya jepret menjelang pukul satu siang tiga hari lalu (Selasa, 19 Maret 2024) sambil memicingkan mata di tengah terik yang bikin meledak kepala buaya. Setelah dilihat-lihat kembali, kesemrawutan kabel listrik itu memberikan efek estetis (plus dramatis) tersendiri. Seperti lukisan abstrak. Harganya mahal meski maknanya sukar dipahami oleh orang awam.


Jika kita dari arah Banda Aceh, ke kiri dari Simpang Empat ini akan berujung ke Kuala Idi. Kalau lurus tentulah ke Sumut. Kalau ke kanan, bisa tembus ke Keude Geurubak, ke PT Bumi Flora, Idi Cut, bahkan Alur Merah. Rumah saya yang sekarang hanya berselang dua kampung dari simpang ini. Rumah yang sebelumnya berselang enam kampung dari simpang ini. Agak ke depan sedikit, di sebelah kiri, dulunya Polres Aceh Timur.

Saya akrab dengan Simpang Empat ini. Punya memori khusus. Di pojok kanan itu dulunya ada warung bakso. Beberapa kali Ayah pernah membawa kami (saya dan sepupu) untuk makan bakso di sana. Itu ketika saya masih SMP. Di pojok itu juga ada warung Selera Anda yang menjual mi dan martabak. Ayah sering membeli mi goreng dan martabak di sana. Bersebab itu pula saya lebih suka mi goreng ketimbang yang rebus. Kenangan ternyata mampu mengubah rasa di lidah seseorang. Di tempat Selera Anda itu sekarang sudah jadi toko obat. Simpang ini juga jadi tempat mangkal RBT yang makin ke sini jumlahnya makin menyusut.

Waktu SMP saya kos di Idi Rayek. Mulanya di Asrama Koramil Idi Rayek. Di rumah orang tua salah satu guru SD saya. Ketika di sinilah untuk pertama kalinya saya melihat seorang pemuda mabuk. Jalannya tenggen. Mulutnya menceracau. Tetap "fly" meski ibunya berteriak mengeluarkan sumpah serapah dan mengusirnya. Ketika di sini pula, karena sering melihat cucu ibu kos membuat grafiti, saya pun jadi suka grafiti.

Beberapa bulan kos di asrama koramil, kami pindah ke Gp. Blang. Tinggal di rumah salah seorang kenalan ayah. Rumah milik seorang tauke besar di masanya di Idi Rayek. Di sini lumayan lama, setidaknya kami bertahan hingga naik kelas dua SMP. Dari sini kemudian pindah lagi, masih di Gp. Blang juga, tapi di Lr. Blang Pidie. Tentunya kami tinggal di rumah orang Pidie. 🙂 Persisnya seberang Masjid Jamik Idi Rayek. Dari ketiga tempat kos ini saya dan teman-teman berjalan kaki ke sekolah di SMP N 1 Idi. Di Jalan Peutua Husen, arah ke Kuala Idi.

Suatu hari di pertengahan tahun '98, kami sedang belajar dengan serius. Hari masih belum terlalu siang. Mungkin sekitar pukul sepuluhan. Tiba-tiba tampak asap hitam membubung tinggi di angkasa. Segera warga sekolah kasak-kusuk. Guru menjadi panik. Anak murid apa lagi. Waktu itu, menjelang runtuhnya Orde Baru, kerusuhan demi kerusuhan besar memang terjadi di mana-mana. Tak terkecuali di Kota Idi yang banyak orang Tionghoa. Umumnya mereka membuka usaha bengkel. Ada juga yang dealer motor. Sebagian berjualan emas.

Sekolah dibubarkan. Guru meminta murid-murid segera pulang. Ah, senangnya. Tapi, saya dan beberapa teman tak langsung pulang ke kos. Sampai di simpang Kantor Camat Idi Rayek, kami justru berbelok ke kanan, ke arah pusat kota, mestinya lurus saja ke seberang jalan besar. Kami penasaran. Dari mana sumber asap tadi berasal. Apa yang terjadi?

Sampai di kota, yang ada hanya kelengangan. Rusuh-rusuh sudah selesai. Kami masuk ke Tepekong Chin Sui Co Su (Vihara Murni Sakti). Ini salah satu bangunan bersejarah di Kota Idi. Sebelumnya setiap Imlek banyak warga Tionghoa dari luar yang berziarah ke sini. Bangunan vihara hancur. Rusak total. Lama-lama di situ, muncul juga kengerian sehingga kami memutuskan untuk segera pulang ke kos. Itu pertama dan terakhir kalinya saya masuk ke vihara itu.

Seingat saya, bermula dari rusuh-rusuh di bulan Mei itulah kondisi di tempat kami semakin tak kondusif. Saya yang waktu itu masih remaja belum begitu memahami situasi. Tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ketika tragedi Idi Cut terjadi di bulan Februari 1999, saya masih di tempat kos. Malam itu semua panik. Waswas. Apakah kejadian yang bermula dari dakwah itu sampai merembet ke Idi?

Karena kondisi yang semakin tak menentu, akhirnya kami pulang ke rumah. Tidak kos lagi. Orang tua pasti lebih merasa aman kalau anaknya ada di rumah bersama mereka. Di sisa kelas tiga SMP, untuk beberapa waktu saya pergi ke sekolah dari rumah yang jaraknya lumayan jauh. Syukurlah waktu itu sudah bisa membawa motor. Ayah mengizinkan saya membawa motor.

Masa-masa menjelang tamat SMP hingga tamat SMA saya lalui dalam deraan konflik yang demikian parah. Alih-alih memikirkan mau sambung ke mana setelah tamat SMP, kami justru sibuk mengungsi. Ketika sudah di SMA pun, suatu hari, setiba di sekolah terpaksa pulang lagi karena sekolahnya dibakar. 🙁 Rentetan kejadian lainnya, perlu banyak waktu untuk merenungi kembali.

Puncak ketidaktenangan di Kota Idi mungkin pada tahun 2001. Di bulan Maret tanggal satu. Bulan yang sama ketika saya menjepret Simpang Empat ini tiga hari yang lalu. Waktu itu menjelang Iduladha. Terjadi baku tembak sejak menjelang magrib hingga malam harinya antara GAM dengan aparat bersenjata RI. Toko, rumah, hingga boat milik warga Idi dibakar. Idi menjadi "lautan api". Rumah saya, yang berselang dua desa dari Kota Idi, menjadi ramai. Orang entah dari mana-mana berdatangan untuk menyelamatkan diri. Utamanya laki-laki. Satu di antara yang masih saya ingat adalah Teungku Ramit, tauke besar di Idi.

Esoknya, tanggal 2, setelah aparat kembali menguasa kota, mereka melakukan penyisiran. Bahkan hingga ke kampung kami. Alhamdulillah tak sampai ke kawasan rumah saya. Waktu itu, saya sedang bikin kue untuk Lebaran. Ayah tidak ada di rumah. Pergi menjauh ke desa lain. Surat-surat penting sudah diamankan. Baju mantel Ayah yang berwarna dongker dan panjangnya selutut, kami cemplungkan ke dalam sumur. Di masa itu, orang bisa saja ditangkap karena di rumahnya kedapatan barang-barang semacam mantel, kesamaan nama, atau kemiripan wajah/postur.

Efek dari kejadian itu, berbulan-bulan Kota Idi menjadi kota mati. Angker. Berada di kawasan Simpang Empat ini terasa mencekam. Untuk keperluan berbelanja mesti ke Peureulak atau ke Kota Langsa. Kalau yang dekat-dekat bisa seputaran Keude Pliek atau Keude Geurubak.

Melihat Simpang Empat 23 tahun setelah kejadian itu rasanya ada yang lain di hati. Toko-toko lama kini berganti menjadi toko-toko baru. Kota Idi yang pernah mati suri sudah berdenyut kembali. Tapi, seiring dengan itu, pelan-pelan kejadian itu akan semakin dilupakan. Apalagi--sepengetahuan saya--tidak ada monumen atau sejenisnya dibangun untuk "mengabadikan" sejarah kelam itu.[]

Bna, 22 Maret 2024

Rabu, 17 Januari 2024

Berhitung Hari



Mari berhitung hari. Januari yang begitu cepat berlari. Hari ini waktuku terasa sangat produktif. Sejak pagi aku sudah "ngetem" di depan laptop--setelah pekerjaan rumah selesai. Sembari menunggu jemputan adik yang akan balik ke Sinabang (Simeulue), aku menyambi mengedit satu bab naskah autobiografi seorang akademisi.

Setelah adik berangkat, aku pun berangkat. Berkemudi roda dua di bawah rintik hujan. Tujuanku Darussalam, untuk mengambil buku pesanan yang sudah setengah bulan tertunda. Sebelum itu aku berencana ketemu dengan seorang teman. Eh, baru sampai Lingke, motorku mendadak mati. Kunyalakan lagi. Hidup. Baru beberapa meter mati lagi. Syukurnya di sekitar itu ada sebuah bengkel kecil. Kubelokkan Beat-ku ke bengkel itu. Aku meminta pemilik bengkel untuk memeriksa. Ternyata, olinya sudah kering. Kerontang. Syukurlah motornya nggak jim. Sembari menunggu pengisian oli kukirim pesan pada teman yang sudah menunggu. Jawabannya melegakan: sabar menanti.

Sesaat setelah aku tiba, hujan turun dengan lebatnya. Kami terjebak di toko ekspedisi. Kami pun mengobrolkan apa yang bisa diobrolkan dalam situasi di toko orang, hujan lebat pula. Setelah hujan reda, kami berpisah. Satu ke kiri, satu ke kanan. Yang ke kanan tentu saja aku karena tujuanku ke Tanjong Deah.

Pulang mengambil buku, aku mampir ke kedai kopi dan melanjutkan bekerja: menyunting dan merevisi sebuah tulisan advertorial. Pulang menjelang Magrib. Tiba di rumah, istirahat sebentar, lalu mencuci piring. Usai Isya baru lanjut kembali menyunting, alhamdulillah tersisa 20 lembar. Kutarget esok kelar.[]

 

Jumat, 12 Januari 2024

Menjelang Akhir Pekan Kedua



Menjelang akhir pekan kedua di tahun ini. Ah, kenapa aku jadi sibuk menghitung hari, ya? Padahal ini masih Januari. Baru tanggal dua belas hari ini. Justru. Justru itulah aku menghitung hari. Karena di bulan yang masih "sedini" ini, aku sudah harus pasang gigi tarik. Siap-siap untuk menanjak.

Aktivitas tahun ini langsung terasa sejak hari-hari pertama di tahun baru. Rapat demi rapat. Tugas demi tugas. Ini bukan keluhan atau semacamnya. Tapi, karena intensitas yang padat itu, ditambah beban pikiran yang terus menghantui, akhirnya tubuhku jadi terkena dampaknya. Sudah tiga hari ini badanku terasa meriang. Sudah tiga hari pula aku menelan obat antidemam untuk mencegah tumbang. Esok mau ke Gayo. Udara di sana tak begitu akrab denganku. Kalau badanku tidak fit, aku jadi khawatir.

Hari ini aku ingin tiduran saja sebenarnya. Tapi, pukul delapan kurang lima menit pagi tadi aku sudah di kedai kopi. Ada rapat dengan penulis buku yang sedang kusunting. Dari situ, pukul 9.45 bergerak ke arah Tibang, ada rapat juga di sana dengan salah satu lembaga. Kelar sudah pukul dua belas lewat. Menjelang salat Jumat. Buru-buru aku pulang karena kepala sudah terasa berat. Nanti malam aku masih harus mempersiapkan diri untuk diskusi online selama dua jam.

Sehari sebelumnya, sejak pukul setengah sepuluh pagi hingga pukul sepuluh malam aku berada di luar. Dari kedai kopi ke kedai kopi. Seharian tak kena air di badan, rasanya gerah rah rah. Badan capek. Mata mengantuk. Kepala semakin berat. 

Pulangnya, masih harus merampungkan satu pekerjaan. Praktisnya baru pukul satu malam selesai. Setelah itu barulah aku mencoba tidur. Tapi, efek kopi yang kuminum di pagi hari, efek terlampau lelah, efek cerita yang sudah berjubel di kepala, alih-alih tidur nyenyak, malah sebaliknya. Aku cuma bisa golek sana sini dan mungkin baru terpejam setelah pukul dua lewat.

Hari sebelumnya lagi juga kurang lebih begitu. Dua malam menginap di rumah sakit karena ibu sedang dirawat. Tapi, ya, mana bisa tidur juga. Syukurlah ibu bisa pulang di hari kedua setelah dirawat. 

Dengan segala kelelahan ini, aku bersyukur masih ada yang bisa kukerjakan. Masih ada interaksi dengan teman-teman. Masih ada tempat berbagi. Dan... tentu saja untuk itu kita harus perbanyak syukur.[]

Selasa, 09 Januari 2024

Malam Kedua di Kamar Lantai Tiga



Dokter bilang Mamak bisa pulang besok. Jadi, malam ini, kami harus menginap semalam lagi di rumah sakit. Dua malam sudah.

Berbeda dengan malam kemarin, malam ini sudah ada pasien lain di kamar ini. 

Aku pun. Tadi pagi-pagi pukul tujuh sudah pulang ke rumah. Tiba di rumah kukeringkan kain di mesin yang sudah dicuci semalam, lalu menjemur. Setelah itu mengolah sisa cumi di kulas. Selanjutnya mencuci piring. Terakhir, mandi. Berkemas-kemas. Kembali lagi ke rumah sakit.

Hari ini aku ada janji wawancara pukul sepuluh pagi. Mestinya aku pergi dengan seorang rekan, tetapi karena yang bersangkutan ada musibah keluarga dan harus pulang kampung, akhirnya aku pergi wawancara sendiri.

Jadwal wawancara yang kutarget cuma satu jam, rupanya karena kebanyakan ngalur-ngidul malah molor jadi pukul dua belas. Dari rumah narasumber segera aku meluncur ke kedai kopi di pinggir sungai. Ada janji temu dengan rekan-rekan. Pulangnya setengah dua, langsung ke rumah sakit. Melanjutkan menyunting buku. Alhamdulillah, malam ini selesai urusan penyuntingan.

Sementara itu, nasofaring semakin tidak nyaman. Aku seperti mau flu. Badan pun terasa hangat.Kepala nyut-nyutan. Ya, Allah, sehatkan aku. Sehatkan aku...[]